CHAPTER THREE
Malam Biru di Langit Jauh yang Akan Kita Ingat Suatu Hari Nanti
Malam Biru di Langit Jauh yang Akan Kita Ingat Suatu Hari Nanti
Kami berada di belakang Shirasagi, terguncang dari sisi ke sisi.
Shirasagi adalah kereta cepat khusus yang menghubungkan Kanezawa, Fukui, dan Nagoya, seperti jawaban Fukui untuk Thunderbird. Beberapa tahun lagi, sepertinya mereka akan memperpanjang jalur Hokuriku Shinkansen, tapi sampai sekarang, Shinkansen masih belum melewati Fukui.
Jika kalian ingin pergi ke Tokyo, kalian harus naik kereta cepat khusus ke Stasiun Kanezawa di Ishikawa, lalu turun dan pindah ke Hokuriku Shinkansen. Pilihan lainnya adalah naik ke Stasiun Maibara di Shiga, lalu naik Tokaido Shinkansen.
Kedua rute itu sama-sama bagus, tapi aku dengar Hokuriku Shikansen melewati banyak terowongan, jadi aku memilih Tokaido Shinkansen agar kami bisa menikmati pemandangan. Kami bahkan bisa naik pesawat kalau mau, tapi bandara Fukui kebanyakan digunakan untuk pesawat pribadi, dan hanya ada sedikit penerbangan komersial terjadwal. Kalau mau ke Tokyo naik pesawat, harus ke bandara Komatsu di Prefektur Ishikawa, jadi sebenarnya lebih cepat naik kereta cepat khusus dan Shinkansen.
Kebetulan, saat di taman, Asuka panik karena tidak punya uang untuk membeli tiket Shinkansen sampai aku bilang,
"Aku sudah beli, jadi kamu bisa bayar padaku kapan aja."
Memang aku yang mengajaknya ke Tokyo, dan aku jarang boros, jadi aku punya banyak uang. Kalau aku bilang aku yang traktir, rasanya tidak adil bagi orang tuaku atau Asuka sendiri, jadi aku menahan diri.
Karena jelas kami belum sarapan, kami mampir ke Imajo Soba di dalam Stasiun Fukui. Aku memesan soba plum panas dan rumput laut serta dua bola nasi, dan Asuka memesan soba panas dengan parutan ubi. Ngomong-ngomong, meskipun Imajo Soba ini adalah jenis tempat yang sempit di mana kalian berdiri untuk makan, hidangan ini cukup populer di kalangan penduduk setempat, sehingga beberapa orang bahkan datang ke stasiun hanya untuk makan di sana. Rasanya tidak terlalu mewah atau luar biasa, tapi ini adalah jenis makanan yang menenangkan yang membuat kalian ingin segera memakannya kapan pun kalian memikirkannya.
Kami meninggalkan Fukui dan melewati stasiun-stasiun di Sabae dan Takefu, melewati prefektur tersebut.
Asuka menyandarkan kepalanya di bahuku dan tertidur seperti anak kecil.
Aku tidak bisa menyalahkannya, tidak setelah aku membangunkannya saat fajar menyingsing dan kemudian memulai perjalanan tidak terduga ini padanya.
Sesekali, seirama dengan napasnya yang mengantuk, rambutnya menggelitik tulang selangkaku. Aku bisa mencium aroma lavender, dan bukan hanya tulang selangkaku yang tergelitik. Aku menatap Asuka dan terkesima oleh kepolosan di wajahnya, kepolosan yang sulit dibayangkan jika kalian membayangkan kecantikan Asuka yang biasanya bermartabat.
Dia bersandar padaku, yang membuat leher gaunnya sedikit terbuka, dan karena dia melipat tangannya di lutut, gundukan dadanya yang lembut terlihat jelas.
Aku melihat tahi lalat kecil di sana dan segera mengalihkan pandanganku ke luar jendela kereta. Aku bisa melihat sawah yang tergenang air, gunung-gunung kecil dan bukit-bukit mengelilingi sekitarnya, dan langit tak berujung di atas kepala. Pemandangan pedesaan yang khas.
Aku teringat liburan keluarga di masa lalu.
Saat aku naik bus malam untuk pertama kalinya.
Ada beberapa pasangan yang duduk di dekatnya yang tampak seperti mahasiswa, wajah mereka berdekatan dan berbisik-bisik bahagia. Bahkan ada beberapa yang terbungkus rapat di bawah selimut, dan aku ingat berpikir betapa dewasanya mereka.
Aku bertanya-tanya apa aku akan pernah melakukan perjalanan seperti itu dengan seseorang yang istimewa. Aneh rasanya membayangkan masa depan yang begitu jauh bagi seorang anak kecil. Aku merasakan beban di pundakku, dan tak lama kemudian beban lain menimpaku, dan aku pun mulai terpuruk.
Mungkin suatu hari nanti aku akan mengenang momen ini dengan penuh kerinduan.
Kereta berguncang dan berderak, membawa kedua pemimpi itu ke kota yang jauh.
✶
"Waktunya pergi, Asuka Senpai! Kamu benar-benar ketiduran, ya."
"Heeh? Satsukigase?"
"Memang, ini Fukui itu lagi! Sial, ini bukan waktunya untuk bersikap manis!"
Aku meraih tangan Asuka yang masih mengantuk, dan kami meninggalkan kereta sambil mencengkeram tas kami.
Asuka menguap.
"Maaf, kurasa aku tertidur sepanjang perjalanan."
"Kamu bahkan nenetesub air liur di bahuku."
"Tunggu, benarkah?!"
"Jelas, gak lah!"
"Oh, mouu!"
Kami menuruni tangga dan bergabung dengan kerumunan yang mengantre di gerbang transfer. Aku memimpin jalan, tapi kemudian aku mendengar suara dentuman di belakang, dan aku berbalik untuk melihat Asuka tertahan di gerbang dan mengulurkan tangannya padaku dengan putus asa.
"Tunggu! Jangan tinggalkan aku!"
"Tenanglah, Asuka Senpai. Sepertinya kamu harus memasukkan ketiga tiket itu ke gerbang sekaligus."
Kami melewati gerbang tanpa masalah lebih lanjut, membeli minuman di mesin penjual otomatis, lalu mencari tempat duduk yang sudah dialokasikan.
Aku meletakkan ransel dan tas Boston kulit bergaya retro di rak bagasi atas, lalu Asuka berseru, terdengar bersemangat.
"Kamu mau duduk di mana?"
Ah ya, kami melewatkan perjalanan kereta bolak-balik klasik seperti ini sebelumnya. Akhirnya Asuka duduk di kursi dekat jendela dan aku duduk di lorong.
Aku langsung menjawab tanpa ragu.
"Kursi dekat jendela."
"Ayo main batu-gunting-kertas..."
"Kau gak mau memberiku giliranku?"
"Ayolah, aku janji akan ngeluarin batu."
"Udah lama rasanya sejak terakhir kali aku terlibat dalam perang psikologis batu-gunting-kertas kaya gini!"
"...Satu!"
Aku melempar gunting, dan Asuka melempar batu.
"Aww, sudah kubilang aku akan ngeluarin batu. Kamu coba mengakaliku."
"Oh, diam!"
Akhirnya, Asuka kembali duduk di dekat jendela, dan aku duduk di lorong.
"Oh, hampir lupa! Bisakah kamu turunin tasku? Maaf, aku tahu kamu baru aja mengangkatnya."
Aku menuruti permintaannya, dan dia mencari-cari sesuatu di dalamnya sebelum mengeluarkan kantong plastik minimarket.
"Camilan!"
"Tiba-tiba, tasmu jadi terasa kurang hebat ya."
"Tapi, bukankah nyenengin bawa barang kaya gini dalam perjalanan?"
"Kamu pasti udah memastiin buat mematuhin batas belanja lima ratus yen, kan?"
"Yup!"
Sambil kami bercanda, aku memutuskan untuk mengutarakan sesuatu yang ada di pikiranku.
"Asuka Senpai, ayah dan ibumu...."
"Aku ninggalin pesan. Isinya, 'Tetap tenang dan jangan coba-coba mencariku'."
"Mereka gak akan ngelaporin kalau kamu hilang atau semacamnya, kan....?"
Asuka tertawa kecil.
"Hanya bercanda. Aku benci kebohongan. Jadi aku nulis, 'Aku mau melihat Tokyo, dan aku akan kembali besok'."
Aku memang berencana untuk kembali hari itu juga, tapi aku tidak mengatakan apa-apa saat itu.
"Apa kamu bilang kamu pergi bareng siapa?"
"Gak. Jelas gak, kan."
Aku menghela napas lega.
Aku sudah bersiap untuk bertanya langsung kepada ayahnya apa aku tertangkap ketika aku pergi membangunkan Asuka. Tapi sejujurnya, aku sangat lega berhasil sampai di sana tanpa bertemu dengan ayahnya. Jika aku harus menghadapi ayahnya itu, aku merasa situasinya akan sangat sulit.
"Kau tahu, agak terlambat untuk membahas ini, tapi...."
Aku berhenti sejenak.
"Maaf untuk.... semua kegilaan ini."
Asuka memiringkan kepalanya dan tersenyum hangat padaku.
"Kamu nangkep sinyal 'bantu aku' yang kukirimkan, kan?"
"Ya."
"Siapa yang bisa menyalahkan tetangga karena menyiram tanaman di kebun tetangganya jika jelas tanaman itu akan layu dan mati tanpa air?"
Aku mengalihkan pandanganku.
"Tapi sekarang aku udah ngelakuin semua yang bisa kulakukin buatmu."
Kataku dengan pelan.
"Bahkan setelah mengunjungi Tokyo, situasinya gak akan berubah. Kurasa kali ini, intinya adalah membiarkanmu akhirnya menghadapi dirimu sendiri, Asuka Senpai."
Asuka meletakkan tangannya dengan lembut di atas tanganku.
"Makasih. Versi diriku yang kamu bicarakan itu... aku akan mencoba menemukannya sendiri kali ini."
Saat kami menatap pemandangan yang berlalu di luar jendela, aku memikirkan hal-hal biasa. Rumah tua itu yang terletak di pegunungan. Pasti penuh dengan kenangan seseorang. Tapi kami tidak bisa menghargai nilainya saat kami melewatinya dalam sekejap. Di manakah letak timbangan yang dapat digunakan untuk menimbang mimpi?
Siapa yang berhak menentukan berapa berat penyeimbangnya?
Pemandangan terus berlalu di luar jendela.
✶
Lalu, tepat setelah pukul sepuluh pagi, kami tiba di Stasiun Tokyo.
Dalam perjalanan, aku ingat kami merasa senang sekali bisa melihat Gunung Fuji yang sebenarnya. Kami bahkan berfoto-foto.
Namun begitu melewati Stasiun Shin-Yokohama, kami mulai melihat gedung-gedung apartemen besar di mana-mana, yang tak akan pernah kalian lihat di Fukui, dan kami mulai bergumam satu sama lain: "Waah, ini benar-benar ibukota." Lalu kami mulai melihat gedung-gedung pencakar langit yang sesungguhnya, beberapa di antaranya bertingkat tiga, dan kami tercengang.
Lalu ketika kami melewati Stasiun Shinagawa, gedung-gedung besar itu seakan menyentuh langit, lebih tinggi dari apapun yang pernah kami lihat, dan kami berdua menempelkan hidung kami ke kaca seperti sepasang orang desa. "Waah", kata kami, berulang kali.
Saat kereta api melaju di atas rel yang tinggi, aku menatap Tokyo, terkejut melihat betapa padatnya semuanya. Hampir tidak ada ruang sama sekali di antara rumah-rumah, atau di antara blok-blok apartemen. Jaraknya cukup dekat sehingga penghuninya bisa melihat langsung ke rumah-rumah tetangga mereka. Tidak ada yang terasa nyata; malah, tampak seperti miniatur kota.
Kami turun dari Shinkansen bersama-sama, sedikit gemetar, dan Asuka berbicara lebih dulu.
"Apa ada semacam acara hari ini?"
"Aku ngerti maksudmu, tapi kurasa bukan itu."
Aku tahu ini pemberhentian terakhir, tapi Shinkansen sepertinya memuntahkan penumpang dalam jumlah yang luar biasa banyak. Tak satu pun dari kami tahu di mana pintu keluarnya, jadi untuk sementara waktu, kami memutuskan untuk bergabung dengan arus orang banyak dan menuruni eskalator.
Kami melewati gerbang bertanda TRANSFERS, dan kemudian lautan orang muncul dari peron. Udara terasa tipis, bercampur dengan bau-bau yang tak teridentifikasi.
"Asuka Senpai, kamu benar-benar akan tinggal di tempat kaya ini?"
Asuka menggelengkan kepalanya, menggenggam lenganku dengan lemah.
"Kurasa aku bisa mengerti apa yang ayahmu khawatirkan sekarang."
Tapi meski begitu, aku tak tahu harus mulai dari mana, ke mana harus pergi.
"Mungkin agak terlambat untuk memikirkan ini sekarang."
Kataku.
Angguk, angguk.
"Tapi kenapa kita gak buat rencana saat naik Shinkansen?"
Angguk, angguk.
"Er, Asuka Senpai?"
Apa tidak ada cara untuk bisa berbicara dengannya?
Lagipula, kami harus memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya, atau kami tak akan sampai ke mana pun. Menarik Asuka yang membeku, aku mencoba mencari tempat yang lebih sepi. Kalian harus melangkah maju dengan tegas, atau kalian akan terjebak di kerumunan dan menabrak orang.
Dan kenapa semua orang Tokyo ini berjalan begitu cepat?
Bukannya mereka semua terlambat naik kereta, tapi aku tak mengerti kenapa mereka semua berjalan secepat itu. Aku mulai kelelahan dan kehabisan napas, seperti sedang melarikan diri dari organisasi jahat dengan gadis yang kucintai di sisiku. Tepat ketika aku hampir menyerah untuk pergi ke pinggir, aku melihat sebuah toko buku tersembunyi di dekat eskalator. Ada papan nama di luar yang mengiklankan kari.
Rupanya, itu semacam toko buku sekaligus kafe.
Aku masuk ke dalam untuk mencari tempat beristirahat, dan saat itulah mulut Asuka mulai bekerja lagi.
"Waah, ini luar biasa. Kamu bisa membawa buku yang bahkan belum kamu beli ke kafe untuk dibaca, rupanya."
"Apa mereka gak khawatir orang-orang akan menumpahkan kari ke atasnya?"
"Iya, kan? Aku sendiri gak akan merasa aman melakukannya."
Aroma pedasnya memang mengundang minatku, tapi masih terlalu pagi untuk makan siang, jadi aku memesan kopi seduh dingin, dan Asuka memesan teh seduh dingin. Bagian dalam restoran terasa agak sempit dari sudut pandang orang Fukui, tapi kami berhasil menemukan meja kosong dan akhirnya duduk dan sedikit bersantai.
Asuka meminum es tehnya lalu mengembuskan napas perlahan.
"Entah kenapa, aku udah ngerasa lelah..."
"Dan kita bahkan belum meninggalkan stasiun."
"Kita bahkan belum sampai di ujung selatan Tokyo, ya."
"Tepat."
Aku mengangguk.
"Kita datang ke sini secara spontan, tapi apa yang harus kita lakuin sekarang?"
"Sejujurnya, aku hanya ingin jalan-jalan di Tokyo dan menikmati suasananya. Kurasa itu sudah lebih dari cukup. Hanya saja..."
Asuka mulai merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah buku merah.
"Kurasa aku mau ke sini."
Sampul buku itu bertuliskan nama universitas swasta yang sangat terkenal, nama yang dikenal setiap murid SMA di negeri ini.
"Jadi, itu universitas pilihan pertamamu di Tokyo?"
Asuka mengangguk sedikit ragu.
"Kudengar universitas itu punya prospek kerja yang bagus untuk pekerjaan media. Dan universitas itu terkenal dengan klub mahasiswanya, yang berfokus pada sastra. Banyak novelis favoritku yang kuliah di sana."
"Baiklah, kalau begitu kita akan melihatnya."
Aku mencari cara menuju universitas menggunakan ponsel. Nama-nama stasiun yang belum pernah aku dengar muncul. Aku tidak punya alasan untuk menggunakannya di Fukui, tapi tadi malam aku mengunduh aplikasi yang membantu memandu kalian berkeliling Tokyo dengan jaringan kereta api. Aku mencari rute terbaik dari Stasiun Tokyo ke stasiun yang kami inginkan, dan beberapa pilihan berbeda muncul untuk dua stasiun yang sama. Kepalaku terasa pusing.
"Menurutmu kita bisa naik kereta bawah tanah?"
Asuka menggelengkan kepalanya cemas.
"Menurutmu kita bisa pindah jalur dengan lancar?"
Geleng, geleng.
"Kalau gitu satu-satunya pilihan adalah Jalur Yamanote ini. Kita bisa ke sana tanpa perlu pindah jalur, rupanya. Lalu kita harus jalan kaki sedikit untuk sampai ke universitas. Apa itu gak masalah?"
Angguk, angguk.
Rupanya, itu tidak masalah.
Akan lebih mudah berjalan kaki dan mengandalkan peta GPS daripada menghadapi sistem kereta bawah tanah yang asing.
"Kita dapat satu tiket kembali dari gerbang, kan? Katanya kita bisa pergi ke mana saja di Tokyo dengan tiket ini, kan?"
Angguk, angguk.
Ya, itu benar.
Aku memeriksa, dan ternyata kami bisa menggunakan tiket ini untuk pergi ke Takada Baba. Kami menghabiskan minuman kami, segera mencari Jalur Yamanote menuju Ueno, dan naik.
Kursinya sudah penuh. Bahkan, saking banyaknya orang, kami bahkan tidak bisa melihat satu pun kursi. Tekanan dari orang-orang yang naik di belakang mendorong kami maju, dan baik Asuka maupun aku merasa terdorong ke tengah.
Bahkan talinya sudah diambil, jadi aku berpegangan pada tiang kosong itu.
Tidak ada kesempatan untuk meletakkan tas kami di rak, jadi aku menjepit tasku di antara kedua kakiku agar tidak merepotkan orang lain. Asuka pun mengikuti.
Kami terlalu dekat.
Pikirku.
Ada orang-orang asing yang menempel di dada dan punggungku, dan aku mencoba menjauh, merasa canggung dan menyesal, tapi orang-orang lain tampaknya tidak peduli atau bahkan memperhatikan.
Berada sedekat ini dengan seseorang di ruang publik—bahkan bukan pasangan romantis, melainkan orang asing—tak terpikirkan di Fukui. Kalian mendapat lebih banyak ruang pribadi di Lpa pada hari libur nasional. Berdesakan di dalam kotak kecil ini, tua dan muda, laki-laki dan perempuan, semuanya dilempar dan ditumpuk menjadi satu.
Dan Asuka akan tinggal di kota seperti ini?
Aku mengalihkan pandanganku ke samping. Ada seorang laki-laki tampan di depanku dan satu lagi di sampingku.
Saat itu kereta api melaju dengan hentakan keras, dan Asuka tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Mencengkeram tiang dengan tangan kananku, aku melingkarkan lenganku yang bebas di pinggangnya tanpa berpikir dan menariknya mendekat. Aku memeluknya erat, seperti memeluk seseorang yang sangat penting bagi. Seolah memohon padanya untuk tidak pergi jauh.
"Maaf, Asuka Senpai. Itu hanya refleks."
Asuka menatapku, mata indahnya berbinar.
"Gak apa-apa."
"Um, haruskah aku melepaskannya?"
"Bisakah kita tetap ka—? Maksudku, gak apa-apa tetap seperti ini. Aku ngerasa lebih nyaman mengetahui kamu ada di sini."
Kata-katanya membuatku semakin erat memeluknya.
Kami berdiri di sana dengan gugup, tapi ada banyak penumpang lain yang tampak bergerak dan bergoyang dengan nyaman mengikuti gerakan itu, bahkan tanpa tali atau tiang untuk berpegangan.
Jelas kami bukan berasal dari sini.
Pikirku.
Ini hanyalah akhir pekan biasa bagi orang-orang ini. Satu-satunya yang merasa kewalahan dan canggung hanyalah kami berdua.
"Nee, lihat ke luar."
Asuka mengangguk ke arah jendela.
Pemandangan di luar seperti dunia fiksi ilmiah.
Ke mana pun mata memandang, ada gedung-gedung besar. Jika salah satu gedung itu ada di Fukui, pasti akan menjadi landmark utama yang dikenal semua orang di prefektur ini. Dan jalanan penuh sesak dengan orang; jika ada orang sebanyak itu di Fukui, pasti akan bertanya, "Uh, ada acara besar apa hari ini?"
Sebenarnya, ada berapa banyak orang yang tinggal di kota ini?
Dan semuanya dengan mimpi mereka masing-masing, entah menjalaninya atau mengejarnya, atau menghadapi puing-puingnya yang hancur.
"Sulit dipercaya tempat ini satu negara sama Fukui."
"Tapi mereka semua hanya menatap ponsel mereka."
Kata Asuka.
"Pemandangan menakjubkan ini sudah biasa bagi mereka. Kurasa begitulah Tokyo."
Asuka mencengkeram kausku.
"Kurasa aku.... sangat bersemangat."
"Ku... Kurasa aku tahu maksudmu."
Aku tak ingin mengakuinya sepenuhnya pada diriku sendiri, tapi aku juga merasakannya. Kota ini pasti penuh dengan segala macam pengalaman yang tak mungkin kalian dapatkan di Fukui, hanya menunggu untuk diungkap.
Saat aku menatap ke luar jendela kereta, kami tiba di Stasiun Akihabara. Ada gadis-gadis ber-cosplay berjalan di sepanjang peron, dan mataku melebar dengan takjub.
Ketika Asuka bicara tentang keinginannya untuk mengalami berbagai hal agar bisa menjadi editor, aku setuju dengannya bahwa itu perlu. Tapi aku tidak benar-benar mengerti maksudnya. Aku sempat berpikir, tapi bukankah kami juga bisa mendapatkan berbagai macam pengalaman di Fukui?
Namun, saat aku melihat gadis-gadis berkostum pelayan berlenggak-lenggok, aku merasa seperti berada di negara yang sama sekali berbeda. Aku masih memikirkannya ketika aku merasakan cubitan tajam di sisi tubuhku.
"Oww! Berhenti, berhenti, aku bersumpah aku gak sedang menatap para gadis cosplay berdada besar itu."
Asuka menatapku dengan curiga sementara aku membiarkan pikiranku terus berkelana bebas. Entah Asuka berhasil meyakinkan orang tuanya atau tidak, aku tahu bahwa di akhir perjalanan singkat kami, Asuka pasti sudah memutuskan untuk tinggal di kota ini.
Seseorang seperti dia, yang mendalami novel-novel mencari dunia dan kehidupan yang tak dikenalnya—seseorang yang ingin berada di dalam dan membantu mewujudkan kisah-kisah itu—pasti dia ingin menyelami dan membenamkan diri di kota yang menakjubkan ini.
Yang berarti kesempatan kami untuk menghabiskan waktu bersama dalam waktu yang lama seperti ini—kesempatan itu akan segera hilang untuk selamanya.
Aku mengepalkan tanganku erat-erat di tiang, bertekad untuk tidak membiarkan perasaan sedih dan kesepianku merusak hari ini untuk Asuka.
✶
Takada Baba memang terasa lebih kecil dibandingkan Stasiun Tokyo, tapi sama ramainya dengan tempat-tempat lain yang pernah kami lihat sejauh ini. Meskipun, tampaknya ada cukup banyak mahasiswa di sana.
Kebetulan, ketika aku melihat plakat nama stasiun, aku menyadari tulisannya bukan TAKADA BABA seperti yang aku duga, melainkan TAKADANOBABA. Dari mana asal kata "no" itu? Apa mereka mengejek orang desa dengan nama yang terdengar seperti nama desa itu atau semacamnya?
Kami keluar dari stasiun, dan kesan pertamaku adalah : Apa ini sirkus?
Papan reklame dan iklan berwarna cerah berebut perhatian. Mataku meliriknya. Orang-orang dan mobil berlalu-lalang ke segala arah. Aku merasa gelisah dan tidak berdaya.
Asuka tampaknya merasakan hal yang sama, dan dia berkedip berulang kali dengan cepat ke segala arah di sekitar kami. Aku membuka aplikasi peta dan memasukkan tujuan kami. Rutenya tidak tampak terlalu rumit, yang sedikit membantuku merasa tenang.
"Jadi kayanya kita menyusuri jalan besar ini dan langsung saja berjalan."
Angguk, angguk.
"Kita coba adaptasi dulu, oke?"
Kami mulai berjalan, dan meskipun ada banyak minimarket dan restoran cepat saji yang juga kami kunjungi di Fukui, ada juga banyak tempat makan yang belum pernah kudengar sebelumnya, semuanya berdesakan dan berjajar di sepanjang jalan.
Ada Yoshinoya dan Matsuya yang hampir bersebelahan, keduanya restoran cepat saji dengan mangkuk daging sapi—hanya ada satu toko lain yang diapit di antara keduanya. Bagaimana mereka bisa bertahan dari persaingan langsung padahal letaknya begitu berdekatan? Aku bertanya-tanya tentang itu.
"Asuka Senpai, tempat apa Hidakaya ini? Apa ini kedai ramen? Masakan Cina? Aku suka lentera yang tergantung di luar; lumayan keren."
"Oh ya! Kira-kira ini tempat makan yang sudah lama berdiri, ya? Ayo kita tambahkan ke daftar kandidat makan siang!"
"Dan kenapa semua restoran ini begitu kecil?! Parkir pun gak ada. Matsuya dan Yoshinoya di Fukui jauh lebih besar."
"Hmm, hmm. Fukui tak terkalahkan."
(Terjemahan: Jelas dong. Fukui jelas bisa bersaing.)
"Oh, lihat, ada Starbucks juga! Seperti yang diharapkan dari kota besar kaya gini."
"Wow! Kamu bisa beli kopi untuk dibawa ke kelas!"
"Omong-omong, bukannya banyak minimarket di sekitar sini? Ada 7-Eleven di sini—lalu ada satu lagi di sana."
"Orang Tokyo pasti terlalu ramai untuk menyeberang jalan, ya?"
"Kupikir semua restoran ini mungkin terkonsentrasi di dekat stasiun, tapi mereka malah terus saja mengikuti jalan."
"Dengan semua pilihan ini, aku merasa gak enak kalau gak mencoba semuanya."
"Oh, sepertinya kita belok ke sini. Asuka Senpai, lihat, ada toko pakaian vintage yang keren di sini! Aku yakin toko itu cukup populer! Bagaimana kalau kita lihat ke dalam?"
"Ayo!"
....Dan hanya itu saja percakapan gembira dari dua pendatang baru di Tokyo yang akan kalian dengar dari kami. Kami memasuki jalan kecil itu, bersorak-sorai riang bersama, dan melangkah masuk ke dalam toko. Aroma pakaian lama tercium di udara.
Aroma itu mengingatkanku pada musim panas yang dihabiskan untuk mengunjungi rumah nenekku, aroma yang sebenarnya agak kusuka. Toko itu kecil. Hanya perlu beberapa langkah masuk untuk mencapai dinding belakang. Di sana tidak ada rak-rak pakaian lama yang acak, melainkan pilihan-pilihan yang dikurasi dengan cermat dan ditata dengan artistik.
Sepertinya ada banyak blus dan gaun retro untuk perempuan, dan kupikir gaya pakaian ini akan terlihat sangat bagus untuk Asuka. Aku memandangi pilihan-pilihan itu sejenak, lalu aku mengambil sebuah pakaian yang cantik.
"Bagaimana dengan ini?"
Pakaian itu berlengan pendek dengan pita kecil di leher, berwarna biru kobalt bermotif polkadot musim panas.
Aku tidak tahu banyak tentang modis, tapi sepertinya pakaian itu seperti yang biasa dikenakan gadis-gadis di film-film lama, seperti American Graffiti dan Back to the Future.
"Oh, imutnya!"
"Kenapa gak kamu coba aja?"
Asuka bertanya pada penjaga toko di belakang, lalu menuju ruang ganti. Aku menunggu di luar ruang ganti, berpikir.
Asuka sedang berganti pakaian...
Aku teringat kilatan warna biru kehijauan yang kulihat saat kami bermain biliar dan bergegas meninggalkan ruang ganti. Aku tidak memikirkannya dua kali saat menunggu Yuuko dan Haru di luar ruang ganti. Mungkin karena aku dan Asuka hanya berdua saja dalam perjalanan seperti ini.
Menyingkirkan pikiran-pikiran yang terus berkecamuk di benakku, aku mencari-cari di rak pakaian laki-laki. Tentunya, satu-satunya hal yang kuingat tentang ini adalah, ya, ini memang pakaian. Setelah mencari-cari sebentar, pintu bilik ganti terbuka.
"Bagaimana menurutmu?"
Itu Asuka, dengan sedikit rasa malu dalam suaranya.
"Pakaiannya cocok. Kamu mirip Ingrid Bergman di Casablanca."
"Apa itu pujian? Atau kamu bilang ini terlalu jadul?"
"Maksudku, kamu terlihat seperti baru saja keluar dari film hitam-putih."
"Itu gak menjawab pertanyaanku, tahu?"
Aku bercanda karena merasa canggung memberinya dua pujian langsung dalam satu hari, tapi tentunya, pakaian itu terlihat cocok untuknya.
Asuka cemberut dan melanjutkan.
"Lain kali aku pakai itu aja, dan kita akan kencan yang sedikit lebih mewah, oke?"
"...Oke."
Melihat senyum malunya, aku senang menyarankan untuk mampir ke toko ini.
"Oke, sekarang giliranku memilihkan baju buatmu. Kita bisa saling memberi sebagai hadiah; bagaimana menurutmu?"
"Tentu, makasih. Pakaian bergaya seperti ini gak cocok buatku."
"Serahkan aja sama Asuka Onee-chan ini. Aku akan membuatmu terlihat seperti Humphrey Bogart di Casablanca."
"Apa maksudnya?"
"Seorang egois jadul yang baik hati yang membuat gadis menangis."
"Hei! Dan apa maksudmu?"
Akhirnya, aku setuju untuk membiarkan Asuka menggunakan keahliannya memilihkan beberapa pakaian untuk kucoba.
✶
Setelah membeli baju untuk satu sama lain, kami kembali keluar dan menyusuri jalan sempit itu. Aku tertarik dengan toko buku bekas yang dekat dengan toko pakaian retro, tapi waktu kami sudah terbuang lebih banyak dari yang aku perkirakan, jadi aku memutuskan untuk memprioritaskan tujuan utama kami.
Kami memasuki kawasan perumahan yang sangat sepi dibandingkan dengan hiruk pikuk di dekat stasiun. Ada beberapa rumah dan gedung apartemen tua. Pemandangan yang lebih nyaman bagi anak-anak desa seperti kami.
Berjalan di sampingku, Asuka berkomentar,
"Senang melihat Tokyo punya lingkungan seperti ini, ya?"
"Agak menenangkan. Rasanya seperti, wahh, orang-orang benar-benar tinggal di sini."
Mungkin itu tidak perlu dikatakan, tapi aku tetap menyuarakan pikiran itu.
"Sudah hampir siang."
Kata Asuka.
"Apa kamu mencium baunya? Itu bau kari. Novel ringan dan film selalu berfokus pada bagian kota besar Tokyo, tapi ada juga lingkungan perumahan di mana orang-orang menjalani kehidupan normal."
"Kita orang desa tumbuh besar dengan anggapan Tokyo itu dingin dan impersonal. Kurasa kita udah dicuci otak."
Asuka tertawa kecil mendengarnya.
Setelah berjalan beberapa saat, kami kembali ke jalan besar.
Ada sebuah gedung di depan yang tampak seperti bagian dari kampus. Rupanya, kami sudah dekat dengan tujuan kami. Kami berjalan di sepanjang jalan utama, aku memeriksa peta di ponselku, dan akhirnya, kami sampai di kampus universitas.... hanya saja gerbang utamanya tertutup.
"Aww. Seriusan nih...?"
"Ah, sial."
Aku tahu ini akhir pekan, tapi kecuali kampus khusus perempuan, kupikir sudah jadi rahasia umum kalau kampus-kampus itu buka bahkan di akhir pekan untuk siapapun yang mau masuk. Aku tak percaya kami sudah jauh-jauh ke Tokyo hanya untuk akhirnya tak bisa mengunjungi destinasi utama kami. Aku juga malu karena kurang persiapan.
"Maaf, Asuka Senpai. Seharusnya aku mengeceknya dulu."
"Bukan, aku yang seharusnya minta maaf. Tapi cukup melihatnya dari luar saja."
Sementara kami berdiri di sana dengan bingung—
"Halo. Apa kalian berkunjung?"
—seseorang berbicara kepada kami.
Kami menoleh dan melihat seorang lelaki tua tersenyum kepada kami dengan seekor anjing Shiba Inu. Dia tampak berusia tujuh puluhan dan memiliki postur tubuh yang bagus. Rambut putihnya terpotong rapi, dan entah bagaimana ia mengingatkanku pada seorang manajer pasar ikan.
"Halo."
Asuka menundukkan kepalanya dengan sopan.
"Halo, halo."
Jawab lelaki tua itu.
"Bolehkah aku mengelus anjingmu?"
"Silakan, silakan."
Asuka berjongkok, dan anjing Shiba itu meletakkan kaki depannya di pahanya dan menjilati wajahnya.
"Whoa! Kamu menggelitikku."
Melihat ekor berbulu halus itu bergoyang-goyang, aku ingin berteriak,
"Duduk!"
Setelah menerima kasih sayang anjing itu, Asuka kembali berdiri. Kehilangan sumber perhatiannya, anjing itu datang dan mengendus kakiku sebelum mengangkat hidungnya dan berlari kecil kembali ke pemiliknya.
Aku yakin kau itu laki-laki, kan?
"Kami datang buat melihat kampus ini, tapi kami gak bisa masuk karena ini akhir pekan." Suara Asuka dipenuhi kekecewaan.
"Ah, kalian gak bisa masuk dari sini. Tapi kalau kalian ke arah sana, ada kampus utama. Kalian bisa masuk dari sana."
Ini pasti yang mereka sebut dialek Tokyo. Agak cepat dan agak berat, tapi aksennya agak ramah di saat yang bersamaan.
"Benarkah?! Kami sebenarnya berasal dari Fukui, jadi kami benar-benar gak tahu apa-apa."
"Fukui? Aku belum pernah ke sana. Apa kalian mahasiswa?"
"Kami sekarang SMA."
"Mau kuliah di Tokyo?"
"Aku masih mencoba memutuskannya..."
"Agak ramai, memang, tapi lumayan juga di sini."
Asuka tersenyum kecil.
"Aku juga berpikir begitu."
Kami satu-satunya yang mengerti maksud jawabannya.
Lelaki tua itu menepuk kepala anjing itu. Anjing itu tampak gelisah, entah karena ingin melanjutkan jalan-jalannya atau karena sangat ingin mendapat perhatian lebih dari gadis muda yang cantik itu.
"Apa kalian kakak beradik?"
" "Heeh?" "
Kami berdua berteriak kaget. Serentak.
"Oh, apa aku salah? Aku merasa kalian mirip."
Sementara kami ragu-ragu harus berkata apa, lelaki yang lebih tua itu melanjutkan.
"Baiklah, selamat bersenang-senang."
Kupikir kami akan mengobrol panjang lebar, tapi lelaki tua itu pergi sambil melambaikan tangan dengan santai.
Asuka dan aku saling berpandangan. Dia yang pertama bicara.
"Adik laki-laki dan kakak perempuan."
"Bukan pacar, ya."
Kami berdua tertawa terbahak-bahak.
Entah kenapa, rasanya lucu sekali. Aku tertawa sampai tersedak.
"Apa kita mirip?"
Asuka memiringkan kepalanya, berpikir.
"Gak, kita gak mirip."
Setelah dia berkata begitu, aku melanjutkan.
"Aku terkejut. Tokyo ternyata cukup ramah."
"Ramah, benar? Tokyo ini."
Aku berharap, dari lubuk hatiku, kehangatan Tokyo yang ramah akan menyelimuti masa depan Asuka seperti selimut yang hangat dan protektif.
✶
Setelah itu, kami menuju ke kampus utama, menggunakan aplikasi peta sebagai pemandu. Seperti yang dikatakan lelaki tua itu, kami bisa memasuki area kampus dengan bebas dari sini.
Ketika kami mencoba masuk melalui gerbang utama, aku melihat bangunan yang tampak seperti gereja. Apa itu gedung universitas atau sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungan dengan kampus? Jika itu yang pertama, lalu untuk apa? Aku tidak bisa membayangkannya.
Ketika kami melangkah masuk ke area kampus, kami mendapati banyak mahasiswa dan mahasiswi di sekitar meskipun saat itu akhir pekan. Beberapa duduk di bangku membaca dan bersantai, menggenggam kopi, dan yang lainnya mengobrol dengan bersemangat.
Aku pikir universitas di Tokyo akan terasa lebih sesak dan kurang santai, tapi ternyata menyenangkan, dengan pepohonan tinggi yang tersebar di sana-sini dan jalan setapak yang lebar. Beberapa bangunan tampak tradisional, tapi tepat di seberangnya, kalian akan menemukan bangunan yang lebih modern dengan kaca dan beton. Kontrasnya cukup menarik.
Asuka melihat sekeliling, matanya berbinar-binar.
Aku tersenyum kecil saat berbicara.
"Rasanya jauh lebih santai daripada yang kukira. Benar-benar kaya kampus yang berfokus pada sastra."
"Kurasa aku bisa bayangin diriku sebagai mahasiswi di sini."
Asuka memberi isyarat agar aku mendekat ke bangku terdekat.
"Lihat, coba bayangkan."
Kami duduk bersebelahan dan memejamkan mata.
"Kita sama-sama berkuliah. Aku memakai pakaian yang kamu belikan buatku, dan kamu memakai kemeja yang kubelikan buatmu. Mungkin kita berdua sudah mengecat rambut kita. Tapi aku gak bisa membayangkan bagian itu."
"Menurutku kamu terlihat luar biasa apa adanya, Asuka Senpai. Tapi bagaimana denganku? Mungkin aku harus mencoba warna pirang pucat?"
"Kamu juga akan terlihat seperti mahasiswa sungguhan dari luar, tahu."
"Jangan bicara begitu dengan nada serius. Kamu bisa menyakiti perasaanku."
Asuka tertawa kecil.
"Kurasa kamu juga akan masuk jurusan sastra. Kita akan duduk berdampingan seperti ini dan mengobrol tentang kelas apa yang kita ambil."
"Kita juga harus memilih klub kampus."
"Kamu pasti nggak mau pisah sama aku, jadi kamu ikut klub apapun yang aku ikuti."
"Pastinya biar aku gak diajak gadis-gadis lapar setelah keluar malam bareng."
"Kamu gak selugu itu soal dunia."
Asuka menepuk pahaku.
"Semoga aku bisa dapat kerja paruh waktu di penerbit."
"Lalu aku harus gimana? Jadi host dari klub yang nak?"
"Onee-chanmu ini nggak akan pernah mengizinkannya."
Angin sejuk bertiup.
Bercak-bercak sinar matahari bergoyang mengikuti irama.
"Di akhir pekan..... kita jalan-jalan keliling kota bareng seperti yang baru saja kita lakukan dan berlatih masak-masak kita yang payah di dapur kecil."
"Sekadar mengingatkan, aku sebenarnya lumayan jago masak, tahu?"
"....Pertama, kita mulai dengan sesuatu seperti semur daging dan kentang."
"Jangan pura-pura gak dengar."
Tapi Asuka melanjutkan.
"Masa depan seperti itu gak akan terjadi. Karena aku setahun lebih tua darimu di sekolah."
Aku terpaksa setuju.
"Sekalipun aku memilih universitas yang sama denganmu. Saat aku masuk, kamu pasti udah milih jurusanmu, kamu pasti sibuk belajar dan bekerja paruh waktu di perusahaan penerbitan, dan kamu pasti udah punya teman baru di klub kampusmu. Kamu bahkan pasti sudah menguasai memasak semur daging dan kentang. Dan kamu mungkin udah punya pacar saat itu."
"Kita gak di tempat yang sama, kan?"
"Kita terpisah bermil-mil jauhnya."
Asuka menyentuhkan jari kelingkingnya ke jari kelingkingku.
"Meskipun saat ini, kita sedekat ini."
Setahun adalah waktu yang lama bagi kami para murid SMA. Selama itu, banyak hal akan berubah. Terlalu banyak yang akan berubah.
Asuka mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku, seolah berjanji.
"Tapi aku harus menatap ke depan dan terus maju. Atau aku gak akan mampu mengimbangi."
Dengan siapa?
Tapi aku tidak menyuarakannya.
Mungkin itu masih mimpi yang setengah jadi. Jarum jam yang terus berdetak. Sebuah hantu, ilusi seseorang yang kalian bangun dan idolakan. Kami semua, kami hanya melangkah maju setiap hari, menjalani masa muda yang tidak akan pernah kembali.
✶
Asuka bilang dia ingin pergi ke Jinbocho.
Aku sendiri pernah mendengarnya, tapi ternyata, daerah itu banyak sekali penerbit dan toko buku, semacam surga bagi para bibliofil. Aku mencarinya di ponsel dan menyadari letaknya cukup jauh. Seharusnya kami pergi ke sana dulu. Namun, kami memulai perjalanan ini tanpa rencana apapun, jadi mau bagaimana lagi.
Jika kami berjalan kaki dari stasiun bernama Kanda, kami bisa menghindari berganti kereta. Dengan begitu, kami tinggal naik kereta yang kami lewati tapi dari arah berlawanan.
Aku ingin memberi Asuka kesempatan untuk melihat berbagai area di Tokyo, jadi aku memutuskan untuk mencoba naik kereta bawah tanah dan berganti jalur kereta.
Rasanya benar-benar seperti neraka. Aku mencoba mencari gedung-gedung besar yang mungkin stasiun, tapi entah kenapa semua pintu masuk kereta bawah tanah itu kecil sekali. Dan berganti jalur kereta di kereta bawah tanah itu sangat membingungkan. Lagipula, aku sama sekali tidak tahu bagaimana caranya membeli tiket.
Akhirnya aku harus meminta bantuan petugas stasiun setidaknya lima kali, tapi akhirnya kami berhasil sampai di Jinbocho. Kami memilih salah satu dari banyak pintu keluar dan muncul ke permukaan. Rasanya seperti kami telah melintasi ruang bawah tanah video game yang besar, dan rasa selesainya membuatku sedikit berkaca-kaca.
"Tokyo benar-benar menakutkan, ya."
Angguk, angguk.
"Laparnya. Gimana kalau kita makan?"
Angguk, angguk.
Dan akhirnya kami sampai di restoran kari terbaik di Jinbocho. Ngomong-ngomong, tempat ini juga benar-benar akan membuat bingung orang desa.
Bahkan setelah kami tiba di tempat yang ditunjukkan di aplikasi peta, tidak ada pintu masuk yang terlihat. Kami berjalan berkeliling, dan akhirnya kami harus meminta bantuan seorang pejalan kaki.
Bagaimana kami bisa tahu kalau kami harus memutar ke belakang gedung untuk menemukan pintu masuk? Lagipula, meskipun sudah lewat pukul dua siang, dan puncak makan siang sudah lama berlalu, masih ada sekitar sepuluh orang yang mengantre di depan kami.
Akhirnya, kami diantar ke tempat duduk sofa, dan dengan sedikit frustrasi, aku memesan kari daging sapi ukuran besar, ekstra pedas. Asuka memesan kari ayam, agak pedas. Setelah menunggu beberapa saat, kami masing-masing disuguhi dua kentang panggang yang dilumuri mentega.
Asuka dan aku bertukar pandang.
"Asuka Senpai, apa yang harus kita lakukan dengan kentang-kentangnya?"
"Ini ada menteganya, jadi kurasa kita harus memakannya saja? Kamu tahu, seperti kentang panggang yang ada di kios festival."
Kami melihat sekeliling, berusaha untuk tidak terlihat seperti orang bodoh. Beberapa orang memakan kentang begitu saja, sementara yang lain mencampurnya dengan kari mereka.
"Sepertinya kita bisa melakukan keduanya."
Kataku.
Asuka tersenyum kecut.
"Kamu tahu, kamu dan aku memang orang desa. Gak ada yang melarang kita makan kentang-kentang itu sesuka hati."
"Lucu rasanya ngebayangin seorang gadis yang melompat ke sungai kotor tanpa peduli siapa yang melihat, malah stres memikirkan cara makan kentang yang benar."
"Ah, lagi-lagi kamu mengejekku."
Asuka mencoba membelah kentangnya menjadi dua menggunakan garpu, tapi hasilnya buruk. Akhirnya, dia menyerah dan mengambilnya. Dengan jari gemetar, dia mencoba membelahnya, tapi gagal. Jadi, aku datang untuk membantunya dan berhasil membelahnya dengan garpuku. Asuka menyeringai senang.
Mengambil setengah kentang itu, Asuka mencelupkannya ke dalam mentega, lalu berkata.
"Tapi, apa kau gak sadar, saat kita jalan-jalan sebelumnya? Kayanya gak ada seorang pun di sini yang saling memperhatikan. Dan mereka juga gak memperhatikan kita."
"Tentu. Aku melihat beberapa orang berjalan-jalan dengan pakaian yang agak aneh, bahkan orang itu bermain harmonika di jalan. Tapi kayanya gak ada yang peduli atau mengatakan apapun."
Aku menaburkan garam di kentangku dan menggigitnya.
Astaga. Panas sekali dan sangat enak.
"Tempat tinggal kami lumayan, untuk ukuran Fukui, tapi tetap aja terasa pedesaan, ya?"
"Maksudmu bagaimana semua orang tahu urusan orang lain?"
Kami sering mendengar bahwa kota-kota kecil memiliki lembaga pengawasan yang cukup ketat. Nah, Kota Fukui sebenarnya bukan desa kecil atau semacamnya, tapi meskipun merupakan tempat paling makmur di prefektur ini, suasana pengawasan di kota kecil tetap terasa.
Ambil contoh ketika orang tuaku bercerai. Beritanya menyebar secepat kilat. Lalu, ketika diputuskan bahwa aku akan tinggal sendirian, aku harus berhadapan dengan simpati yang berlebihan dari semua orang di sekitarku.
Asuka melanjutkan.
"Tapi tahukah kamu, itu sebenarnya salah satu hal baik tentang Fukui, itulah yang kupikirkan."
"Maksudmu seperti ketika lelaki tua itu membantu kita menemukan jalan yang kita cari tadi?"
"Ya. Terkadang sangat membantu ketika orang lain memperhatikanmu. Kurasa itu sisi baiknya."
Mungkin Asuka menghubungkan hal ini dengan pengalamannya sendiri ditolak oleh orang tuanya.
Jika tidak ada yang pernah melarang kalian, kalian bisa langsung meraih impian kalian tanpa ragu. Tapi jika tidak ada yang mencoba menghentikan kalian, kalian bisa saja membuat kesalahan fatal yang tidak akan pernah bisa kalian tarik kembali.
Aku masih memikirkan hal itu ketika pesanan kari kami diantar ke meja.
Ada keju di atas nasi, lalu, entah kenapa, ada buah plum renyah dan acar. Kari punya Asuka disajikan di wadah kari yang mewah, sementara kariku disajikan di wadah terpisah yang dalam.
Kami bertatapan mata, lalu kami berdua tertawa.
Aku yakin Asuka akan berkata, "Jadi, kita harus menuangkan ini ke nasinya sebelum dimakan, atau...?"
Mengangkat bahu, Asuka mengangkat wadah dan menumpahkan saus kari ke nasi. Aku melakukan hal yang sama. Kami berdua menggigit nasinya bersamaan, lalu...
" "Enak sekali!" "
Wajah kami penuh kebahagiaan.
Kari itu pada dasarnya ala Eropa, tapi ada rasa pedas yang tidak terlukiskan, dan rasanya kental dengan sedikit rasa manis. Daging sapinya empuk sekali sampai bisa dipotong pakai sendok, dan lumer di mulut. Aku memasukkan sisa kentang ke dalam saus dan memotongnya pakai sendok sebelum menyantapnya. Rasa pedas sausnya jadi jauh lebih lembut. Rasanya lumayan.
"Aku mau tinggal di Tokyo!"
Seru Asuka.
"Ya, aku tahu."
Jawabku.
"Bolehkah aku minta sedikit daging sapimu?"
"Satu-satunya yang bisa dibagi saat kencan adalah Chupets dan es loli Papico di hari musim panas, kan?"
"Yah, aku punya pengecualian khusus untuk kari!"
Aku memutar bola mata dan tertawa saat Asuka menyodorkan sesendok karinya kepadaku.
"Apa ini?"
"Kurasa ini disebut momen 'Buka lebar-lebar mulutmu!', tuan muda."
"Kenapa bicaramu kuno sekali?"
"Semuanya tergantung pengalaman, tahu. Masa muda itu singkat, seperti kata orang."
Asuka bertingkah sombong, tapi pipinya merah padam.
Aku mencondongkan tubuh dan membuka mulutku, dan dengan tangan gemetar, Asuka membawa sesendok kari ke bibirku. Rasanya seperti adegan di pesta pernikahan di mana para pasangan saling menyuapi gigitan pertama kue. Aku meraih pergelangan tangannya dan mendekatkan sendoknya ke mulutku.
"Mmn. Ayamnya benar-benar juicy."
"...Bukan kaya gitu. Coba lagi."
"Gak, gak. Kamu bisa membakar lidahku."
Aku memotong sepotong daging sapi dan mengisi sendokku sendiri, menuangkan sedikit nasi dan saus di atasnya.
"Sekarang, giliranmu. Buka mulutmu lebar-lebar."
Saat aku mengatakan itu, Asuka menghadapku dan membuka mulutnya.
Hei, kenapa kamu malah menutup matamu? Kamu gak akan mendapatkan semacam ciuman, tahu.
Bibir mungil Asuka tampak begitu montok dan lembut, dan sedikit berkilau.
"Nee. Ayo."
Maaf, Asuka Senpai. Aku gak menggodamu. Hanya saja tanganku gemetar.
Sambil memegang pergelangan tanganku dengan tanganku yang lain, aku berhasil mendekatkan sendok ke mulutnya. Saat sendok itu mencapai bibirnya, Asuka meraih tanganku dengan mata masih terpejam, dan memegangnya dengan kedua tangannya, dia melahap kari dari sendokku.
Setelah mengunyah beberapa saat, Asuka menjilati tetesan saus yang hampir tumpah dari sudut mulutnya.
...Aku hanya memberinya sesendok kari, kan?
"Enak."
Saat kami berdua mengoceh tentang kari—
Bam!
—salah satu dari dua laki-laki yang duduk berhadapan di meja sebelah memukulkan tinjunya ke meja. Kami menoleh dengan terkejut, dan aku melihat ada secarik kertas di atas meja di antara mereka, penuh coretan tinta merah.
Pemuda yang menggedor meja itu—dia pasti berusia dua puluhan—lalu berbicara.
"Udah berapa banyak penolakannya?! Apa kau mau melanjutkan rencana ini? Yang terakhir diajukan, kita sudah susah payah mempelajari judul-judul buku terlaris sebelumnya dan tren pasar saat ini, tahu?"
Laki-laki yang duduk di seberangnya berusia tiga puluhan, berkacamata.
"Memang ada banyak kisah kedewasaan yang serupa."
"Itu jelas! Misalnya...."
Laki-laki yang lebih muda itu mulai menyebutkan judul-judul buku yang pernah kudengar. Aku bahkan punya beberapa di antaranya di rak bukuku di rumah.
Aku menatap Asuka, mataku melebar. Asuka balas menatapku dengan ekspresi terkejut yang sama di wajahnya. Mungkinkah? Apa kami sedang menyaksikan pertemuan antara seorang novelis sungguhan dan editornya?
Ini adalah restoran kari dengan rating tertinggi di Jinbocho, daerah yang terkenal dengan penerbitnya. Tidak terlalu mengada-ada jika membayangkan bisnis penerbitan dijalankan di sini. Kami berusaha untuk tidak terlalu banyak menatap sambil mendengarkan meja di sebelahnya dengan saksama.
Laki-laki berkacamata itu menjawab.
"Memang benar banyak novelis sukses yang menghasilkan buku terlaris setelah mempelajari tren pasar dan karya-karya serupa. Tapi kau bukan tipe orang seperti itu."
"...Aku tidak bisa memikirkan apapun. Novel debutku, aku hanya menulis tentang pekerjaan yang sedang kulakukan saat itu dan secara tidak sengaja beruntung mendapatkan kesuksesan besar. Tapi aku tidak punya bakat untuk menciptakan sesuatu dari imajinasi. Aku tidak bisa menulisnya kecuali aku mengalaminya sendiri."
Lalu novelis itu mengambil halaman-halaman di depannya dan meremasnya.
"Kupikir aku bisa menulis sesuatu tentang masa muda, tapi sejujurnya aku menjalani hidup yang sangat membosankan. Kurasa anak-anak zaman sekarang akan menganggapku kurang populer? Aku selalu duduk di pojok kelas, iri pada anak-anak lain yang punya keistimewaan. Aku bukan tipe orang yang bisa menjadi novelis sejati."
"Jangan beritahu editormu apa yang boleh dan tidak boleh kau lakukan. Akulah yang berhak memutuskannya."
Laki-laki berkacamata itu mengetukkan pena merahnya ke meja.
"Aku tidak mencarimu untuk menjadi editor setelah kau memenangkan penghargaan pendatang baru atas pengalaman hidupmu yang langka dan tidak biasa. Lagipula, pekerjaanmu tidak terlalu aneh. Bakatmu terletak pada penggambaran kesepian sehari-hari, dalam menuangkan seluk-beluk kehidupan ke dalam kata-kata. Jadi, usulmu ini? Aku menolaknya."
"....Kalau kau berpikir begitu, kenapa kau tidak—?"
Editor itu mengetukkan pena merahnya ke meja lagi, keras, seolah-olah dia sudah tahu apa yang akan dikatakan novelis itu selanjutnya.
"Kau duduk di sana sebagai novelis, menyarankan agar aku, sang editor, yang menulis, bukan kau? Tentu, aku bisa memberimu beberapa petunjuk, beberapa panduan di sepanjang jalan. Tapi kaulah penulisnya di sini, bukan aku."
"Tapi..."
Sang editor melanjutkan, ekspresinya lebih lembut.
"Begini, kenapa kau tidak coba ceritakan tentang masa mudamu yang 'membosankan' ini? Bukan ini... cerita basi yang bisa kau baca di mana saja."
Novelis itu menggertakkan giginya dan merengut, lalu menenangkan diri dan, sambil menghela napas panjang, mulai menceritakan kisahnya sendiri.
"..."
"...?"
"..."
"...!"
Itu pemandangan yang tidak biasa. Kisah novelis itu memang penuh dengan pengalaman pribadi yang menarik. Namun sang editor menanggapi semua yang dikatakannya dengan : "Tapi kenapa?" dan "Dan bagaimana perasaanmu saat itu?" dan "Itu bagus; lalu apa yang terjadi?" dan "Mungkinkah orang lain yang terlibat juga merasakan hal yang sama?" dan seterusnya, dan aku mendapati diriku terseret ke dalam cerita, meskipun yang dilakukan novelis hanyalah menjawab pertanyaan-pertanyaan utama editor.
Ada rasa sakit, kesedihan, pertikaian, dan gejolak di dalamnya....
Dan aku menyadari bahwa itu adalah kisah yang sepenuhnya pribadi.
Ketika mereka berhenti sejenak untuk bernapas, sang editor tersenyum.
"Nah, sekarang. Bukankah itu jenis cerita yang seharusnya kau tulis? Aku pastinya akan membaca buku seperti itu."
Novelis itu menatap lautan tinta merah di depannya dan bergumam.
"...Aku kurang percaya diri."
Dia mendongak cepat, matanya menyala-nyala.
"Kata-kataku yang konyol... kisah sehari-hari seperti ini... apa ini akan beresonansi dengan seseorang yang menjalani kehidupan sederhana sepertiku, menurutmu? Jika aku bisa melakukan sesuatu untuk membantu orang lain yang merasakan kepedihan ini, jika aku bisa mendampingi mereka melewati air mata mereka, jika aku bisa membantu membawa sedikit cahaya dalam kehidupan orang lain..."
"...Jika kau menulisnya dengan segenap kemampuanmu, maka aku yakin kau bisa."
Sang editor tidak berbasa-basi.
"Aku tidak hanya mengambil cerita-cerita menakjubkan dan memolesnya. Aku menggambarnya. Dan bersama-sama, kami menyajikannya kepada orang-orang. Karena... itulah yang dilakukan seorang editor."
Sang novelis merapikan halaman-halaman yang kusut.
"Aku... akan menulisnya. Aku akan mencobanya."
Sang editor tersenyum ramah.
"Jangan khawatir. Aku percaya padamu. Kau hanya perlu percaya pada kekuatan kata-katamu."
Kemudian keduanya mengemasi peralatan kerja mereka dan mulai mengobrol tentang hal-hal biasa dalam hidup, seolah-olah tidak ada hal luar biasa yang baru saja terjadi.
✶
"Itu... sesuatu yang gak biasa, ya?"
Kataku saat kami meninggalkan restoran kari.
"Ya. Agak gila kita menyaksikan pemandangan kaya itu saat kita baru saja datang ke Tokyo."
Kata Asuka, tersenyum.
"Jadi gimana menurutmu? Melihat pertemuan sungguhan antara seorang novelis dan editornya?"
"Itu membuatku berpikir betapa aku benar-benar gak tahu apa-apa."
Asuka meregangkan badan dan melanjutkan.
"Aku jadi malu. Kupikir tugas editor itu menyanjung para novelis. Ambil draf mereka dan katakan, 'Terima kasih atas naskahmu, maestro!' Editor yang tadi—dia memang menyanjungnya, tapi dia juga menantangnya, bahkan berdebat dengannya dan menjadi sangat marah karenanya."
Aku merasakan hal yang persis sama. Kupikir tugas editor adalah memberitahu penulis tentang tenggat waktu dan memeriksa draf ketika sudah selesai.
Aku mengangguk memberi semangat.
"Luar biasa, kan? Kalau editor itu langsung menerimanya begitu saja ketika novelis itu bilang cerita tentang masa mudanya membosankan, atau kalau dia mendengarkan lalu bilang, 'Ya, agak biasa saja', maka sudahlah, kan? Dan gak akan ada yang pernah mendengar cerita luar biasa itu. Cerita itu akan... lenyap begitu aja."
Asuka melanjutkan dengan penuh semangat.
"Menemukan cerita yang masih terpendam dan membawanya keluar untuk dinikmati orang lain—mereka berdua sangat serius dan bersemangat tentang hal itu. Rasanya, dedikasi yang begitu besar pada apa yang nyata..."
Asuka berhenti bicara dan berhenti sejenak sebelum melanjutkan, ekspresi polos dan tulus di wajahnya.
"Aku bukan satu-satunya yang sangat menyukai cerita, kan?"
Kurasa Asuka sedang dilanda kecemasan yang serius.
Dia punya impian untuk berbagi cerita kepada orang lain sebagai editor, menjadi pencinta buku, selagi tinggal di kota kecil Fukui, namun dia tidak punya siapapun untuk benar-benar dia percayai....
Kini untuk pertama kalinya, dia menemukan orang-orangnya.
Mimpinya yang samar itu dengan cepat menjadi semakin nyata.
Asuka berlari beberapa langkah di depanku lalu berputar balik, tersenyum padaku hingga memperlihatkan giginya.
"Aku ingin jadi editor, bagaimanapun juga."
Entah kenapa.
Saat itu, aku bisa membayangkan dengan jelas Asuka sedang berdiskusi sengit dengan seorang novelis keras kepala di kota ini—rambutnya sedikit lebih panjang dari sekarang, mengenakan setelan celana yang nyaman.
Di restoran kari tadi, dengan semangat yang lebih besar daripada editor tadi, menyampaikan maksudnya dengan tekad bulat. Maka dalam hatiku, aku memutuskan untuk mulai bersiap-siap mengucapkan selamat tinggal.
✶
Saat kami berjalan-jalan di sekitar Jinbocho, aku menyadari bahwa tempat ini benar-benar kota buku, lebih dari yang aku bayangkan.
Aku tidak perlu menggunakan ponsel untuk mencari apapun. Toko buku di sini sama banyaknya dengan restoran di Takadanobaba. Memang ada cabang toko buku, tapi tampaknya juga ada toko buku bekas khusus yang menjual buku misteri, buku musik, mobil, motor, semua yang bisa kalian bayangkan.
Bahkan toko buku terkecil pun tampaknya memiliki setidaknya satu pelanggan setia yang membolak-balik halaman bukunya. Sulit dipercaya ada begitu banyak pembaca setia di dunia ini. Aku tidak sesering Asuka membaca, tapi aku juga menyukai buku, jadi kami berdua masuk ke toko buku yang terlihat menarik dan akhirnya membeli beberapa volume masing-masing.
Saking asyiknya, kami sampai tidak sadar sudah jam setengah lima.
Aku menoleh ke Asuka, yang berjalan terhuyung-huyung di sampingku, dan berbicara.
"Ada lagi yang mau kamu kunjungi?"
"Um... mungkin Shinjuku dan Shibuya? Aku mau jalan-jalan ke beberapa tempat terkenal, kurasa."
Aku mencarinya di ponselku, dan ternyata ada stasiun bernama Shinsen-Shinjuku yang hanya berjarak satu stasiun dari stasiun kereta bawah tanah. Aku tidak yakin apa bedanya Shinjuku dan Shinsen-Shinjuku, tapi kalau namanya ada Shinjuku, mungkin itu bisa mengantar kami ke tempat yang kami tuju.
Berbekal pengalaman yang kami dapatkan sebelumnya, kami membeli tiket dan naik kereta bawah tanah. Setelah sekitar sepuluh menit, kami tiba. Aku memikirkan betapa sulitnya memperkirakan jarak pasti antar tempat di kota ini, padahal kami bisa langsung naik kereta bawah tanah.
Kami naik eskalator panjang, melewati gerbang tiket, dan mengikuti petunjuk menuju pintu keluar selatan untuk sementara waktu.
Kami naik dua eskalator lagi, lalu...
"Apa-apaan ini...."
Mataku hampir melotot.
Orang, orang, orang, semuanya berlalu-lalang.
Stasiun Tokyo saja sudah cukup mengejutkan, tapi ini jauh lebih mengejutkan.
Pikirku.
Ini bukan seperti gelombang manusia. Ini lautan manusia.
Terlepas dari semua candaan yang ada, aku bingung harus berjalan ke mana atau bahkan ke arah mana kami harus mulai. Tapi tidak satu pun dari orang-orang itu bertabrakan. Mereka bergerak dengan mulus, masing-masing berjalan sendiri.
Tidak perlu kukatakan, di sampingku, Asuka benar-benar membeku. Dia seperti bayi rusa yang baru lahir. Di kereta, dia bilang ingin melihat toko buku Kinokuniya, dan sepertinya arah itu adalah pintu keluar timur ketika aku mencarinya. Tapi bagaimana kami bisa keluar?
Aku menarik tangan Asuka dan mulai berjalan, berpikir kami akan sampai di tujuan jika kami langsung masuk. Orang-orang di depan kami bergerak dengan mulus ke samping. Sepertinya selama kami menghindari orang-orang yang berjalan sambil sibuk dengan ponsel mereka, kami bisa mengikuti arus umum untuk sampai ke tempat yang kami inginkan.
Setelah berjalan beberapa saat, aku melihat sesuatu yang tampak seperti pintu keluar, jadi aku segera memotong arus orang, dan akhirnya, kami keluar. Ada jalan yang cukup lebar di luar dengan banyak orang di sekitar, meskipun tidak sebanyak di stasiun.
Asuka terdengar terengah-engah saat berbicara.
"Aku pernah dengar jumlah orang yang melewati Stasiun Shinjuku dalam sehari adalah yang terbanyak di dunia."
"Aku sudah menduganya, saat kamu diam seperti patung beku. Apa orang-orang ini semua memiliki pelatihan khusus? Apa mereka ninja?"
Aku melihat ke arah jalan menuju Kinokuniya, lalu kami melanjutkan perjalanan, tetap dekat dengan dinding. Kami menuruni tangga dan sampai di jalan belakang yang hampir tidak ada mobil yang melewatinya.
Namun, saat itu pun, jalanan tetap dipenuhi begitu banyak orang. Orang sebanyak ini hanya akan terlihat di Fukui setahun sekali untuk festival besar.
Asuka menggumamkan sesuatu.
"Langitnya terasa begitu sempit."
Aku pun melihat ke atas. Kami dikelilingi gedung-gedung di kedua sisi, dan langit biru tampak seperti garis buatan yang ditarik di antara keduanya.
Setelah seharian berjalan-jalan di Tokyo, indraku sedikit mati rasa, tapi tingginya gedung-gedung di deretannya adalah sesuatu yang belum pernah kulihat di Fukui.
Kesadaran akan ketinggian mereka yang sebenarnya menghantamku, dan rasanya anehnya menyesakkan. Rasanya lebih mencengangkan dari sebelumnya, berdiri di sana di Shinjuku, dengan aroma knalpot mobil dan makanan dari berbagai restoran yang bercampur di udara. Entah bagaimana rasanya salah.
Kami telah menjalani hidup kami di bawah langit luas dengan awan-awan yang mengalir lembut, berbincang-bincang di tengah angin segar yang beraroma musim, mendengarkan suara lembut gemericik air. Namun, aku tidak pernah benar-benar menyadari apa artinya dikelilingi oleh alam.
Dalam hal itu, kota ini benar-benar persis seperti yang dibayangkan oleh orang desa, pikirku.
Merasa kewalahan, kami bergegas masuk ke Kinokuniya dan memasuki kafe bergaya Jepang di lantai satu, tempat kami membeli matcha latte dingin dan houjicha latte dingin. Tempat itu kebetulan menarik perhatian kami, tapi saat kami bergantian menikmati latte, rasa manis teh Jepang yang mewah itu sungguh nikmat.
" "Rasanya Tokyo banget!" "
Kami berdua pun bersorak riang, merasa jauh lebih baik, sebagai sepasang orang desa.
Setelah itu, kami berkeliling di seluruh tujuh lantai Kinokuniya, yang ukurannya sangat berbeda dari toko buku kecil Jinbocho dan pengunjungnya berkali-kali lipat lebih banyak.
Kami melihat sebuah bangunan menarik yang tampaknya merupakan semacam kolaborasi antara Uniqlo dan sebuah pemasok elektronik. Kami pergi ke toko serba Isetan, untuk melepas penat dari rasa canggung, lalu menikmati jendela belanja di toko serba lain bernama Oi Oi. Ngomong-ngomong, ternyata meskipun dieja Oi Oi, pengucapannya Marui. Apa itu normal? Apa mereka menyebutnya begitu hanya untuk mengejek anak-anak desa yang baru pertama kali datang ke Tokyo?
Saat kami berkeliling, hari sudah gelap hampir tanpa kami sadari.
Aku melihat jam tanganku. Sudah lewat pukul tujuh malam.
"Nee, selanjutnya aku mau jalan-jalan di daerah terkenal bernama Kabukicho itu."
Asuka, yang berjalan di depanku, berbalik dan menyeringai.
"Tapi..."
Aku ragu-ragu.
"Kita harus segera kembali ke Stasiun Tokyo, atau kita akan ketinggalan Shinkansen terakhir."
Sebenarnya, aku sudah berencana untuk berangkat jauh lebih awal.
Dengan begini, kami akan naik kereta terakhir dan baru akan tiba di Fukui menjelang tengah malam. Dan tengah malam adalah batas waktu antara perjalanan satu hari dan perjalanan semalam.
"Udah kubilang, kan? Aku meninggalkan pesan yang bilang kalau aku akan kembali besok."
Kata Asuka, menyeringai nakal padaku.
"Orang tuamu gak mencoba menghubungimu sama sekali?"
Asuka mengeluarkan ponselnya dan melihatnya.
"Nggak!"
Jawabnya santai.
"Apa kamu gak ngutak-atik pengaturan ponselnya?"
"Ayolah, kita udah jauh-jauh ke Tokyo! Kesempatan ini gak akan datang lagi. Aku harus menyerap dan merasakan sebanyak mungkin! Lagipula..."
Asuka menundukkan kepalanya, tampak sedih sambil melanjutkan.
"Ini bisa jadi perjalanan pertama dan terakhirku denganmu."
"Jangan bilang begitu. Jangan menatapku seperti itu. Gimana aku bisa menolakmu kalau kamu menatapku kaya gitu?"
"Aku mau tinggal di mimpi ini sedikit lebih lama lagi. Kita gak akan pernah bisa ikut karyawisata bersama. Ini satu-satunya kesempatan kita untuk bersama kaya ini."
Dalam mimpi ini, ya?
Aku tahu aku tidak sanggup menyeret Asuka pulang.
"Baiklah, baiklah! Lagipula, akulah yang kabur bersamamu ke Tokyo. Kurasa sudah kewajibanku untuk tetap bersamamu."
"Yup!"
Dan dia menggenggam tanganku, seolah itu hal yang paling wajar di dunia.
Aku ingin mempertahankan senyum itu di wajahnya selama mungkin. Andai saja dia bisa melupakan konflik dengan ayahnya, setidaknya selama perjalanan ini.
Aku baru saja menggenggam tangan Asuka ketika...
Ding-ding-ding-ding.
Ponselku mulai berdering.
Aku melihat layarnya dan melihat nama Kura di sana.
Ding-ding-ding-ding, ding-ding-ding-ding.
Aku punya firasat buruk.
Orang itu tidak pernah meneleponku di akhir pekan, sampai sekarang. Dan dia hanya pernah meneleponku di hari kerja untuk menyelesaikan tugas administrasi yang seharusnya kulakukan.
Ding-ding-ding-ding, ding-ding-ding-ding, ding-ding-ding-ding.
Hanya ada satu alasan mengapa Kura meneleponku di saat seperti ini.
Aku menatap Asuka. Bibirnya gemetar seperti anak kecil—anak nakal yang baru saja ketahuan berbuat salah. Itu memberitahuku semua yang perlu kuketahui.
Ding-ding-ding-ding, ding-ding-ding-ding, ding-ding-ding-ding, ding-ding-ding-ding.
Suara buatan itu tidak kunjung berhenti.
Aku menarik napas dalam-dalam, menahan napas, dan menjawab panggilan telepon itu.
"Halo."
"Chitose. Permainan berakhir."
Kupikir begitu.
"Apa yang kau bicarakan? Apa aku tidak bisa mencoba lagi?"
"Kau benar-benar berpikir aku bisa membantumu di sini? ....Hei, Nisshi, akhirnya aku berhasil."
Aku tahu dua hal yang pasti. Kebenaran tentang Asuka yang ada di sini bersamaku sudah terungkap. Dan Kura berusaha membantu kami. Lagipula, ini panggilan telepon pertama yang kuterima seharian ini. Kura mungkin mengulur waktu sampai sekarang. Dan dengan satu kalimat, dia ingin aku tahu itu.
"Halo, ini ayah Asuka. Bisakah kau memberikan teleponnya ke putriku?"
Aku tidak lagi berbicara dengan Kura.
Aku menatap Asuka lagi. Dia menggelengkan kepalanya, matanya berkaca-kaca, siap menangis kapan saja. Aku menegangkan perutku lagi.
Kematian lebih baik daripada hidup yang gak indah.
Benar, kan? Aku orang egois jadul dan baik hati.
"Hah? Apa yang kau bicarakan?"
Jawabku dengan lancar.
"Tidak ada gunanya berpura-pura bodoh. Asuka tidak akan pernah melakukan hal seperti ini sendirian. Kau yang menyeretnya, kan? Bertingkah seperti pelatih kehidupan yang sinting. Itu sudah jelas."
"Kau tahu, ini sangat merepotkanku. Saat ini aku sedang berkencan di Tokyo dengan seorang gadis cantik. Aku benar-benar gak punya waktu untuk mengobrol panjang lebar di telepon."
"Berikan saja ponselnya itu ke gadis cantik yang kau sebut itu."
"Kau pikir karena aku menyebutnya gadis manis, itu sudah pasti putrimu sendiri? Kau sok tegas, tapi, Nishino-san, kedengarannya kau agak terobsesi."
Dan aku memang bermaksud memprovokasi. Kalau ayah Asuka ini kehilangan ketenangannya, Chitose yang akan diuntungkan.
Ketika mendengarku menyebut nama "Nishino-san" Asuka langsung pucat pasi dan memelukku erat. Aku mengedipkan mata nakal padanya.
"Kau benar-benar lucu, ya? Kau mengingatkanku pada Kura muda."
"Tolong, jangan samakan aku dengannya. Aku ini benar-benar bisa mengendalikan diri, terima kasih."
"Hei, Chitose! Aku bisa mendengarmu. Ucapanmu itu terdengar jelas."
Ah, ups. Itu kasar.
"Jadi, apa rencanamu untuk terus menyangkal semuanya?"
Kedengarannya Nishino-san tidak akan membiarkanku lolos begitu saja.
"Aku tidak menyangkal. Tapi ini argumen yang sia-sia. Aku bilang Asuka Senpai tidak ada di sini. Kau boleh terus bertanya, tapi itu tidak akan membuatnya tiba-tiba muncul. Ah, benar juga..."
Aku mencari jadwal Shinkansen di ponselku.
"Kereta Shirasagi besok, yang tiba pukul dua belas siang. Kami akan kembali naik kereta itu. Kalau kau menunggu di gerbang tiket, aku bisa memberimu jawaban yang kau inginkan. Kalau ternyata aku bersama Asuka Senpai, silakan meluapkan amarahmu."
"Lumayan, tapi naif. Kalau Asuka benar-benar tidak bersamamu sekarang, aku akan segera membuat laporan orang hilang ke polisi."
Ah, sial.
Pikirku.
Tapi, ini memang tidak terelakkan.
"Misalkan Asuka Senpai bersamaku. Kau akan kesulitan melacak kami di kota besar Tokyo sebelum besok siang. Dan setelah kami kembali, kurasa Asuka Senpai bisa menjelaskan kepada polisi bahwa dia pergi atas kemauannya sendiri dengan cukup mudah."
"Tidak masalah kalau itu atas kemauannya sendiri selama dia masih di bawah umur. Dan ada kemungkinan siapapun yang bersamanya akan didakwa sebagai kaki tangan."
Sial, dia berhasil menyudutkanku.
Aku memeras otakku.
"Bagaimana kalau Asuka Senpai pergi ke Tokyo atas kemauannya sendiri, dan kebetulan aku juga ada di Tokyo untuk suatu urusan. Lalu kami bertemu. Kemungkinannya kecil, tapi kau tidak akan bisa membuktikan sebaliknya, kan?"
"Kurasa kamera keamanan Stasiun Fukui tidak akan merekam kalian berdua, kan?"
"Anggap kami ketemu di stasiun. Secara kebetulan akhirnya duduk bersama. Kedengarannya seperti sesuatu yang diambil dari manga shoujo, tapi mungkin saja, kan?"
"Siapa yang beli tiketnya? Dan kapan?"
Astaga, dia semakin memojokkanku. Tapi aku masih bisa memberi kami waktu sampai besok.
"Aku beli tiket kedua untuk gadis yang rencananya akan kuajak jalan-jalan ke Tokyo. Tapi di menit-menit terakhir kami bertengkar karena hal konyol, dan aku punya tiket tambahan. Lalu kudengar Asuka Senpai juga sedang mencari tiket. Kamera CCTV itu kan tidak ada perekam suara, benar?"
"Kau sedang dekat sama gadis lain?"
"Sudah kubilang. Anggap saja aku benar-benar sama Asuka Senpai. Sebut saja teori kursi malas. Demi argumen."
{ TLN : Teori Kursi Malas itu mengacu pada pengembangan ide atau pemahaman baru dalam suatu bidang tanpa penelitian empiris, pengumpulan data, atau pengalaman langsung di dunia nyata. }
"Oh begitu."
Aku bisa mendengar ayah Asuka menghela napas.
"Meskipun mungkin tidak masuk akal, selama Asuka terus mendukungmu, kurasa melapor ke polisi tidak mungkin."
Sejak awal, aku memang tidak berpikir Ayah Asuka ini serius ingin melapor ke polisi. Lagipula, itulah yang kuharapkan. Dan selama situasinya seperti itu, dia tidak bisa menyentuhku. Setidaknya, selama Ayah Asuka itu bisa memastikan Asuka bersamaku, dan kami tidak mengalami masalah apapun, Ayah Asuka itu tidak akan membesar-besarkan masalah ini.
"Besok siang. Di Shirasagi, benar?"
Kata ayah Asuka.
"Ya."
"Sepertinya aku juga perlu bicara serius denganmu, benar?"
"Bagaimana kalau kubawakan kue camilan Tokyo Banana sebagai oleh-oleh, dan kita impas?"
"Aku benci pisang."
Dengan bunyi bip, Ayah Asuka mengakhiri panggilan.
"...Haha."
Aku mengembuskan napas yang dari tadi kutahan.
Aku tidak bisa bilang aku bisa mengatasinya, melainkan berusaha keras untuk keluar dari situasi itu. Sebenarnya, rasanya lebih seperti aku ditangkap lalu dilepaskan kembali ke alam liar.
Asuka masih berpegangan erat di lenganku, menatapku, dengan putus asa menahan air mata. Rupanya, dia menangkap inti pembicaraan itu.
"Maaf."
Akulah yang harusnya minta maaf.
"..."
Jari-jari Asuka mencengkeram lenganku, kepalanya tertunduk pasrah.
"Kayanya aku akan kesulitan menikahimu sekarang."
Kataku.
"...Heeh?"
"Kurasa ayahmu membenciku."
"Jadi...?"
"Kita hanya punya waktu. Sampai besok siang."
Ekspresi Asuka seperti bunga yang sedang mekar.
"Hidupkan ponselmu. Kalau kita terpisah, kita akan sulit bertemu lagi."
Asuka tertawa kecil dan menggaruk pipinya, lalu menggenggam tanganku lagi.
Langit di atas kami memang sempit, dan meskipun kami tidak bisa melihat bintang, bulan tetap mengawasi kami seperti biasa.
Jalanan Shinjuku, yang kukira gelap gulita, kini berpendar dengan lampu neon warna-warni. Rasanya seperti kami benar-benar terlelap dalam mimpi.
Untuk pertama kalinya, Tokyo tampak indah bagiku.
✶
Pertama-tama, kami perlu mengamankan akomodasi untuk malam itu, jadi kami duduk di alun-alun di depan Alta, dan aku mulai mencari hotel di area tersebut melalui aplikasi browser-ku. Dengan mempertimbangkan anggaran kami, kami perlu menginap di bawah sepuluh ribu yen per orang, dan ternyata ada cukup banyak tempat yang sesuai dengan kondisi itu.
Namun, meskipun aku sudah mencoba menelepon beberapa kali untuk memesan kamar, semua tempat yang bersih dan murah sepertinya sudah penuh, dan tempat-tempat yang masih kosong sepertinya terlalu kumuh untuk membawa seorang gadis. Meskipun aku mencari tempat di sekitar Stasiun Shinjuku, ternyata itu stasiun yang berbeda, dan aku tidak menemukan apapun.
Aku tidak keberatan menginap di hotel kapsul atau semacamnya jika hanya aku, tapi aku tidak bisa membawa Asuka ke sana. Bukannya tidak ada pilihan tempat menginap sama sekali, tapi aku ingin menunggu pilihan terbaik selama mungkin, sampai satu-satunya pilihan kami adalah tidur di jalanan. Bahkan jika kami mencoba pindah ke stasiun lain, kami tidak tahu daerahnya, jadi kami tidak tahu harus ke mana yang mungkin memiliki hotel yang murah dan bersih.
Lebih parahnya lagi, kami berdua sudah sangat lelah.
Kami benar-benar dalam kesulitan di sini.
Pikirku.
Aku mencoba mencari hotel menggunakan aplikasi peta. Sepertinya ada beberapa pilihan di Kabukicho, tempat yang menurut Asuka ingin dia kunjungi.
"Gimana kalau kita coba jalan-jalan di sekitar Kabukicho dan bertanya langsung ke beberapa hotel?"
"Oke. Itu mungkin lebih cepat. Mereka mungkin akan ada beberapa pembatalan mendadak atau semacamnya."
Setelah saling mengangguk, kami mulai bergerak.
Setelah berjalan di sepanjang jalan setapak di samping Alta beberapa saat, kami menyeberang di lampu merah, dan kemudian ada sebuah toko Don Quixote yang besar. Setelah itu, sepertinya itu adalah daerah Kabukicho. Cukup besar, tapi dari tampilan bangunannya saja, jelas bahwa toko Don Quixote di Fukui jauh lebih besar. Aneh rasanya sampai ada rasa superioritas.
"Wahh, kota ini seperti hidup."
Kata Asuka.
"Rasanya aku bisa mendengar jantungku berdebar kencang."
Kata-kata itu juga beresonansi denganku.
Jalanan dengan Kinokuniya di atasnya memang menakjubkan, tapi dari jalan di samping Alta hingga ke sini, lampu neonnya jauh lebih terang, dan deretan restoran, toko obat, dan bar semuanya tampak menyatu. Rasanya seluruh area ini seperti monster raksasa yang hidup.
Kalian bisa membandingkannya dengan distrik hiburan malam Katamachi di Fukui yang menjadi favorit Kura, tapi ada lebih banyak orang, lebih banyak tempat usaha, dan semuanya jauh lebih norak.
"Kayanya aku mulai mengerti kenapa mereka menyebutnya Kabukicho sekarang."
Asuka tersenyum kecut setuju.
"Sejujurnya, aku takut."
"Sama."
Berjalan di sekitar kami adalah para pemuda berambut pirang berjas dan para gadis muda bergaun mencolok dengan payudara mereka yang setengah terbuka. Mereka semua jelas merupakan bagian dari perdagangan malam.
Asuka melanjutkan.
"Tapi ada juga anak SMA biasa yang berkeliaran."
Benar juga.
Pikirku.
Meskipun terasa seperti dunia yang sepenuhnya dewasa, ada gadis-gadis muda berseragam yang berjalan dengan percaya diri.
"Pokoknya, ayo kita cari dulu."
Asuka mengangguk, tapi dia masih terlihat agak takut saat memegang lengan bajuku.
Seiring kami berjalan lebih jauh ke Kabukicho, kami bisa melihat tempat karaoke dan restoran waralaba yang juga kuingat pernah kulihat di Fukui, yang cukup meyakinkan. Yah, bercampur dengan itu ada beberapa tempat yang jelas-jelas terlihat dewasa, dan aku bingung harus menatap ke mana.
"Nee, lihat. Katanya ada 'kios informasi tempat usaha' di sana. Haruskah kita memeriksanya?"
"Apa kamu gila?! Begitu polosnya tentang dunia ini!"
Maksudku, aku juga tidak tahu banyak tentang tempat itu, tapi jelas bukan tempat yang bisa kalian harapkan untuk mendapatkan informasi tentang tempat wisata atau tempat makan terbaik. Lihat saja lampu neon yang menyala-nyala dari papan tanda itu.
Asuka sepertinya juga menyadarinya dan wajahnya memerah. Dia mencubit sisi tubuhku.
"Itu bukan salahku tadi, tahu?"
Aku mengangkat kepalaku, dan tepat di depan kami berdiri sebuah bangunan besar yang seolah menjulang tinggi ke langit. Dari kejauhan, aku bisa melihat sesuatu yang tampak seperti Godzilla bertengger di puncak gedung. Mungkin itu bioskop. Melihat pengaturan seperti ini entah bagaimana membuat area itu terasa sedikit lebih aman, dan aku merasa rileks, yang aneh.
Kami berbelok ke kanan tanpa alasan tertentu, dan aku menoleh ke Asuka.
"Apa kamu cukup berani untuk makan di sekitar sini?"
"Gak juga. Ada papan tanda di mana-mana yang mengatakan untuk berhati-hati terhadap tempat makan murahan."
"Oh ya. Aku juga lagi malas makan di restoran cepat saji. Kita bisa makan itu kapan saja di Fukui."
Asuka menghela napas kecil.
"Sekarang aku udah cukup paham seperti apa Kabukicho itu, dan sejujurnya, aku merasa cukup lelah. Kita juga belum memutuskan tempat menginap."
"Aku tahu agak mengecewakan melakukan ini dalam perjalanan, tapi apa kamu mau beli makanan dari minimarket dan makan di hotel saja?"
"Kedengarannya bagus. Lagipula, kita ini masih SMA."
Aku baru saja melihat sebuah gedung dengan Family Mart di depannya.
Ada papan neon di dinding bertuliskan "Aku ♡ Kabukicho".
"Aku mau beli beberapa. Mau ikut?"
"Boleh nitip aja sama kamu? Aku mau nikmatin suasana di sini lebih lama."
"Oke. Isian apa yang kamu suka buat bola-bola nasimu?"
"Acar plum!"
Asuka bersandar di lampu jalan di dekatnya, dan aku pun pergi berbelanja.
✶
Aku membeli beberapa bola nasi dan lauk pauk sederhana, membayar, lalu ketika aku meninggalkan toko swalayan, tidak ada tanda-tanda Asuka di tempat dia duduk tadi. Aku melihat sekeliling, dan kemudian, tidak jauh dari situ, aku melihat Asuka. Seorang laki-laki berambut pirang berjas memegang lengan Asuka.
Sebelum sempat berpikir, aku mulai berlari.
"Ayo, ayo. Kau pasti akan sangat populer. Gimana kalau yang tanpa transaksi?"
"Aku gak mau ikut! Lepaskan aku sekarang!"
BAM.
Aku menghantamkan bahuku ke orang itu. Aku hanya bermaksud mengejutkan orang itu, tapi aku malah menghadangnya lebih keras dari yang kurencanakan, dan orang itu terhuyung ke depan, jatuh berlutut.
"Sial. Asuka Senpai!"
Aku meraihnya dan mulai berlari, menariknya.
"Kembali ke sini, bocah! Akan kubunuh kau!"
Aku menoleh dan melihat orang itu sudah berdiri dan mengejar kami, tapi serangan mendadak itu tampaknya membuatnya bingung, dan kami berhasil menjaga jarak lebih jauh dari yang kuduga. Karena kami sama sekali tidak mengenal daerah ini, kami berbelok ke kiri dan ke kanan secara acak.
"Di sana!"
Asuka menunjuk ke sebuah bangunan modern yang menjulang di depan, dan kami langsung masuk ke pintu masuk.
....Kami berhasil masuk sebelum orang itu melihat ke mana kami pergi. Awalnya kami terengah-engah bersama; Asuka berbicara setelah kami sedikit tenang.
"Maaf aku gak bisa menanganinya sendiri. Seharusnya aku bersikap lebih tegas atau mengabaikannya dari awal, tapi ketika dia bertanya apa aku punya waktu sebentar, kupikir dia mau nanyain arah."
Yah, mungkin itu tidak bisa dihindari. Biasanya memang begitulah yang terjadi ketika seseorang menghentikan kalian di jalan di Fukui.
"Apa dia mencoba mencari tahu sesuatu?"
"Sesuatu tentang bar khusus perempuan atau klub host perempuan.... dia tanya... dia tanya, apa aku tertarik melakukan pekerjaan dewasa. Dan dia bilang kalau aku gak mau.... kita bisa pergi ke hotel saja, dan dia akan membayarku...."
"Yoshaa! Aku akan buang mayatnya di tebing Tojimbo. Kamu tunggu di sini, Senpai. ♡"
"Tenanglah! Ini Tokyo!"
Bodohnya aku meninggalkan Asuka sendirian. Aku tahu seperti apa Kabukicho nantinya, dan aku tidak percaya aku lengah bahkan sebelum kami menghabiskan seharian penuh di kota itu. Seandainya kami lebih terbiasa dengan daerah itu, kami bisa menanganinya dengan lebih baik, tapi—dan aku benci mengatakan ini—jelas sekali Asuka benar-benar polos.
Ngomong-ngomong, Tojimbo adalah salah satu dari sedikit tempat wisata di Fukui. Kalian bisa menikmati pemandangan tebing yang membentang di sepanjang laut, tapi tempat itu juga terkenal sebagai tempat bunuh diri. Itu tempat para penjahat selalu dikejar di akhir drama menegangkan yang tayang di hari selasa.
"Aku juga minta maaf."
Kataku.
"Seharusnya aku berpura-pura jadi pacarmu atau semacamnya dan menarikmu pergi... Tapi akhirnya aku marah."
Asuka terkekeh.
"Kesempatan emas melihatmu begitu bersemangat padaku juga."
Mungkin maksudnya tentang Nanase.
"Tentu aja. Kamu itu sangat penting bagiku, Asuka Senpai."
"Menakutkan, tapi juga seperti adegan dari novel. Mereka berdua melarikan diri dari penjahat mengerikan itu..."
"Aku terus menarikmu sejak pagi dengan kondisi mental kaya gitu. Kalau ini novel, kamu harus ketangkap setidaknya sekali, atau ceritanya akan jadi sangat membosankan."
"Hmph. Kurasa gak apa-apa kalau kamu bisa jadi orang keren tanpa harus membuat lelucon, tahu?"
Asuka mendecakkan lidahnya kesal.
"Singkirkan aja pikiran itu. Aku pasti sudah mati kalau gak bisa membuat lelucon yang buruk. Tapi yang lebih penting..."
Aku melihat sekeliling pintu masuk tempat kami berdiri.
"Asuka Senpai, kurasa ini mungkin salah satu dari hotel cin— Nguuu!"
Sepasang tangan terjulur dan membekap mulutku.
"Jangan katakan itu. Jangan katakan itu. Aku akan benar-benar bisa mati karena malu, tahu."
Asuka tersipu merah padam dan mengalihkan pandangannya sambil melanjutkan.
"Orang itu mungkin masih berkeliaran, dan awalnya kita lagi cari tempat menginap, kan? Kurasa menginap di sini mungkin pilihan terbaik."
Asuka melepaskan cengkeramannya agar aku bisa menjawab.
"Tapi..."
"Kau datang ke Tokyo buatku, tapi aku malah membuat kita dalam masalah karena kenaifanku. Aku gak bisa membuat kamu dalam bahaya lagi. Kita gak tahu koneksi macam apa yang mungkin dimiliki orang itu. Jadi, gak apa-apa. Aku percaya padamu."
Memang, orang yang tadi itu terlihat seperti berandalan, atau mungkin salah satu anggota klub host. Mungkin terlibat dalam hal-hal yang sangat mencurigakan.
Tapi, begitulah kota ini.
Orang itu mungkin punya teman. Mereka bahkan mungkin yakuza. Kami akan berada dalam masalah besar jika begitu. Kalau sampai terjadi apa-apa, aku tidak akan sanggup menghadapi ayah Asuka atau Kura. Lagipula, aku tidak mau lihat Asuka dalam bahaya.
Mengutuk kurangnya pandangan ke depanku, aku mengumpulkan tekad.
"Asuka Senpai, aku janji gak akan buat itu sakit."
"Hmph!"
Asuka menutupi wajahnya dengan tangan dan menunduk malu, lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya.
Lalu Asuka menatap mataku tajam.
"...Baiklah. Aku gak peduli kalau itu salah, asalkan denganmu."
"Dasar penggoda. Karena udah bilang gitu, aku akan bertahan apapun yang terjadi."
Jawabku tanpa ragu, tidak mau dia lihat betapa gelisahnya aku.
Asuka menyeringai lebar, agak dewasa.
"Lihat? Aku tahu aku akan baik-baik aja, karena kamu memang tipe orang kaya gitu."
Um, permisi, Nona Editor Masa Depan. Mungkin kamu bisa mengambil pernyataan itu dan membuatnya sedikit lebih jelas?
Di hadapan kepercayaan diri gadis yang lebih tua itu, yang bisa aku lakukan hanyalah menerima pernyataan samarnya itu begitu saja.
✶
Biasanya, tempat-tempat seperti ini terlarang bagi anak di bawah delapan belas tahun, tapi ini darurat, jadi kuharap mereka membuat pengecualian untuk kami. Sayang sekali kalau dua anak dari Fukui sampai ke Tokyo hanya untuk berakhir digulung tikar bambu dan didorong ke Teluk Tokyo, kan?
Dalam hati mencari alasan kepada orang tidak dikenal, aku berhasil mendaftarkan diri kami tanpa menimbulkan terlalu banyak kecurigaan. Sebenarnya, yang kami lakukan hanyalah memilih kamar dengan semacam mesin, lalu membayar di meja resepsionis yang dipisahkan oleh sekat. Kami tidak perlu berbicara dengan staf mana pun atau bahkan membiarkan mereka melihat wajah kami sama sekali.
Ngomong-ngomong, aku hanya diam mengamati lalu meniru apa yang dilakukan pasangan di depan kami. Sebagian besar kamar penuh, tapi untungnya ada satu kamar murah yang tersedia, dan sesuai dengan anggaran kami.
Di dekat meja resepsionis ada meja yang berisi botol-botol besar sampo dan sabun mandi yang bisa dipinjam gratis, jadi kusarankan Asuka untuk memilih yang mana saja yang dia mau. Ketika kami tiba di kamar, kami mendapati semua yang ada di dalamnya pada dasarnya berwarna putih. Ada tempat tidur ganda besar, sofa, meja rendah, dan TV. Ruangan itu fungsional dan bergaya.
Aku mendapati diriku melihat sekeliling, mata melirik ke sana kemari.
Kamar yang remang-remang itu memiliki lampu neon biru di dinding, dan sesekali berubah warna, berganti ungu lalu merah muda, yang agak meresahkan. Namun, ruangan itu tidak memiliki nuansa seksi, yang justru melegakan.
Rasanya, akhir-akhir ini, situasi tiba-tiba seperti ini terus terjadi padaku.
Setelah terbebas dari sebagian besar ketegangan kami, kami meletakkan tas kami di sofa untuk sementara waktu, lalu....
" "Lelahnya!" "
Kami berdua menjatuhkan diri ke tempat tidur. Berbaring tengkurap, kami meregangkan tubuh, saling memandang, dan menyeringai. Dari balik rambutnya yang berantakan, aku bisa melihat tahi lalat berbentuk tetesan air mata di bawah matanya. Aku biasanya tidak melihatnya dari sudut ini, dan dia sungguh memukau. Aku berusaha menahan gejolak emosi, menggunakan seluruh logikaku.
Tanpa menyadarinya, Asuka berbicara dengan suara riang yang aneh.
"Nee, itu luar biasa, kan! Kita sedang di Tokyo sekarang. Dan kita akan menginap bersama."
Aku tersenyum kecut.
"Aku pasti gak akan pernah percaya bagian terakhirnya."
"Rasanya seperti... aku merasa sangat bebas. Seharian ini kita seperti dua awan yang melayang-layang, benar?"
Asuka menghentakkan tangan dan kakinya seperti anak kecil.
Dia terlihat sangat imut sampai-sampai aku harus menahan diri untuk tidak berkomentar seperti, "Kurasa besok akan ada badai besar setelah kita kembali."
Asuka membeku, seolah-olah baru saja memikirkan sesuatu, dan perlahan berbalik menatapku.
"Nee, apa kamu... mau makan malam? Mau mandi? Atau mau a...?"
"Berhenti di sana! Kamu gak biasa buat lelucon murahan! Dan aku lapar, jadi ayo kita makan! Oke? Oke?!"
Hahh.
Aku baru saja memikirkan Yuuko, dan entah kenapa aku mulai merasa bersalah.
✶
Setelah itu, kami makan makanan yang kubeli di minimarket.
Kami lelah setelah seharian berjalan-jalan, jadi aku memutuskan untuk mengisi bak mandi. Kamar mandinya cukup besar dan mewah, dan entah kenapa, bak mandinya pun tampak menyala dengan warna-warna pelangi.
Ketika Asuka menyadarinya, dia langsung bersemangat dan berkata tanpa berpikir :
"Kita bisa masuk bersama!"
"Tentu, kamu mau aku bergabung? Membasuh punggungmu? Membuatkanmu ubur-ubur kecil dari handuk?"
"...K-Kita bisa menekan tombol TAMBAHKAN AIR sama-sama...?"
"Aku gak begitu yakin apa maksudmu, tapi kalau itu bisa menutupi rasa malumu, kurasa aku setuju aja."
Saat kami menghabiskan makanan, bak mandi akhirnya terisi.
Sejujurnya, masuk lebih dulu rasanya kurang nyaman, begitu pula masuk kedua. Karena kedua pilihan itu terasa nyaman, aku memutuskan untuk menyarankan agar perempuan lebih dulu dan menyarankan Asuka untuk mandi pertama. Asuka mengobrak-abrik tasnya dan bersiap-siap mandi, lalu dia menghilang ke kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, aku bisa mendengar suara pancuran air mengalir.
Aku senang kamar itu tipe yang kamar mandinya terpisah. Jika itu salah satu kamar yang bak mandinya berada di balik dinding kaca transparan, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan.
Meski begitu.
Pikirku.
Ketika Nanase menginap bersamaku, aku merasa lebih percaya diri karena itu adalah tempatku sendiri. Tapi di sini, semuanya begitu luar biasa dan di luar zona nyamanku. Jika aku tidak bisa mengendalikan diri, apapun bisa terjadi.
Hari itu terasa begitu panjang sekaligus begitu singkat, dan aku bisa menghabiskan waktu bersama Asuka bukan sebagai teman sekolah, melainkan bersama seorang gadis. Kehadirannya yang nyata sudah cukup terasa.
Phwoosh. Splash. Patter.
Suara air mengalir yang menyegarkan mengancam akan membawa pikiranku ke suatu tempat, dan aku harus menggelengkan kepalaku keras-keras. Aku duduk di sofa dan melihat ponselku, berharap bisa menenangkan diri. Aku hanya menerima satu pesan singkat.
Rasanya aneh. Teman-temanku biasanya hanya mengirimiku pesan lewat aplikasi LINE.
Jangan lupa pakai kondom.
"Matilah sana!"
Tentunya, pesan itu dari Kura.
Terima kasih untuk itu, Kura-san! Sekarang aku kembali ke dunia nyata! Bagus sekali pelajarannya, brengsek! Dan matilah sana!
Aku memeriksa apa ada pesan dari Yuuko dan yang lainnya, dan aku lega ternyata tidak ada. Lalu aku merasa sedikit benci pada diri sendiri karena kelegaan itu.
Sambil menghabiskan waktu melakukan ini-itu, suara air mengalir berubah, digantikan oleh suara deru pengering rambut. Akhirnya, suara itu berhenti juga, dan pintu terbuka dengan bunyi klik saat Asuka melangkah keluar, mengenakan jubah mandi putih bersih.
—Jubah mandi?!
"Ah, rasanya menyegarkan. Makasih udah membiarkanku mandi lebih dulu."
Dia pasti mengeringkan rambutnya dengan cepat, tidak ingin membuatku menunggu terlalu lama. Rambutnya masih tampak agak lembap dan mencapai bahunya saat dia berdiri di sana, menggosoknya dengan handuk dengan santai.
Tali jubah mandinya memang terikat erat, tapi—entah memang dirancang seperti ini atau apa—aku bisa melihat tulang selangka Asuka dan tahi lalat kecil yang terlihat jelas di bagian atas dadanya. Bahannya melar hingga tepat di atas lututnya, tapi saat Asuka melangkah maju, aku bisa melihat pahanya yang berkilau saat jubahnya tersibak.
Kulitnya seputih porselen, dengan semburat warna bunga sakura.
"Hmm?"
Aku sadar aku sedang menatapnya, saat Asuka duduk di sampingku dan menatapku dengan heran. Aroma sampo, kondisioner, dan bilasan tubuh yang asing itu seakan menguar di tubuhku.
"Tidak, tidak, Asuka Senpai, jangan bergerak. Aku bisa melihat semuanya kalau kamu gerak."
"Heeh? Hmm, aku tahu, agak memalukan, tapi kujamin, aku mengikat talinya dengan erat."
Eh, ya, memang benar, tapi jubah mandi itu kan cuma handuk yang bentuknya aneh, benar? Jauh lebih longgar dan menggantung daripada, katakanlah, yukata katun di penginapan tradisional. Mungkin nyaman untuk bersantai, tapi kami tidak bisa tidur dengan pakaian seperti itu tanpa terbangun di pagi hari dan mendapati diri kami dalam keadaan yang sangat berantakan.
Apa yang akan dilakukan Saku yang malang jika matanya diserang oleh pemandangan seperti itu?
Asuka melanjutkan.
"Aku gak pernah nyangka kita berdua akan tidur di kamar yang sama. Kupikir aku bisa pakai saja apapun yang ada di hotel."
Maksudku, aku mengerti itu, tapi... tetap saja!
Aku tentu tidak bisa menyuruh seorang gadis untuk memakai kembali pakaian yang telah dia pakai seharian untuk berjalan-jalan, dan pakaian bergaya vintage yang kami beli di toko pakaian bekas bukanlah jenis pakaian yang bisa dipakai untuk tidur.
"Seandainya aku tahu. Aku pasti akan membawa piyama yang imut."
"Ah, benar juga!"
Aku berlari ke lemari.
Hotel pada umumnya biasanya menyediakan berbagai macam fasilitas untuk tamu, kan? ...Ini dia!
"Asuka Senpai, tolong, pakai ini."
Yang kutemukan adalah piyama polos yang tampak normal dengan kancing depan.
"Tunggu, hotel ini punya piyama?"
Mungkin sulit bagi Asuka untuk menyadarinya, karena jubah mandinya diletakkan begitu saja di tempat yang terlihat jelas, tapi kalian harus mencari piyama di sini.
"Lihat, mereka punya warna biru tua dan bunga sakura, dalam set piyama yang serasi."
"...Bukankah itu agak memalukan juga?"
"...Ya, memang."
✶
Akhirnya, Asuka berganti piyama, lalu giliranku ke kamar mandi.
Bak mandinya benar-benar menyala dengan warna-warna pelangi, dan aku merasa malu sekaligus canggung saat mencoba mendorongnya. Lantai dan bangku bak mandi basah, dan seluruh kamar mandi berbau sampo dan kondisioner yang sama seperti yang kucium sebelumnya.
Bayangkan beberapa saat yang lalu, Asuka ada di sini, membasuh tubuhnya dan berendam di bak mandi... sulit untuk tidak memikirkannya, tapi aku memaksakan diri untuk tidak melakukannya sambil buru-buru membasuh rambut dan tubuhku di bawah semprotan air.
...Aku mungkin sedikit lebih berusaha untuk menjadi bersih daripada biasanya.
Aku menenggelamkan diri ke dalam bak mandi, menyandarkan kepala di tepinya, dan memikirkan kembali kejadian hari itu. Rasanya banyak yang telah terjadi sejak Nanase memberiku dorongan dan omelan yang kubutuhkan untuk bertindak, tapi sebenarnya ini baru sehari.
Haruskah aku melakukan ini? Memang sekarang sudah terlambat untuk itu, tapi aku tetap bertanya-tanya lagi. Bagaimana jika aku benar-benar membuat ayah Asuka marah dan merusak hubungan mereka? Segalanya lebih mudah dengan Kenta dan Nanase.
Aku punya seseorang yang ingin kuperbaiki, dan aku punya seorang pengganggu yang harus kutaklukkan. Tapi pekerjaan sebenarnya dilakukan oleh masing-masing individu itu sendiri.
Kali ini berbeda.
Ayah Asuka bukanlah pengganggu yang perlu ditaklukkan. Dan Asuka berusaha membela dirinya sendiri. Dia berusaha sekuat tenaga. Namun, yang kulakukan hanyalah menyeret Asuka ke Tokyo.
Apa pilihan itu benar-benar akan memberikan efek positif pada situasi ini?
Apa hakmu untuk ikut campur dalam percakapan ini?
Sejujurnya, aku tidak punya jawaban konkret kali ini. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk membantu Asuka.
Aku tenggelam hingga ke ujung kepalaku di air panas, gelembung-gelembung keluar dari mulutku. Lalu aku ingat kalau Asuka juga sempat berendam di air yang sama beberapa menit sebelumnya, dan aku pun melompat keluar dari bak mandi, sambil memercikkan air ke mana-mana.
✶
Aku mengeringkan rambutku dan meninggalkan kamar mandi. Aku mendapati Asuka sedang bersantai di sofa di ruangan remang-remang itu, diterangi cahaya ponselnya. Aku bertanya-tanya apa dia mendapat pesan dari orang tuanya atau semacamnya, atau mungkin dia khawatir karena kami tidak mendengar kabar apapun setelah itu.
Ketika Asuka menyadari aku ada di sana, dia buru-buru memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Menatapku, dia tertawa kecil.
"Kurasa ini agak memalukan, ya? Rasanya seperti kita tinggal bersama."
Aku teringat kembali percakapan kami di universitas tadi saat menjawab.
"Yah, lagipula, aku akan selalu menjadi laki-laki pertama yang memakai piyama pasangan denganmu. Gak peduli seberapa jauh jarak kita nanti."
Mata Asuka melebar dengan lebar, dan dia tampak sedih sekaligus gembira saat menjawab.
"Itu sesuatu yang gak akan pernah kita lupakan, ya."
Saat percakapan mereda, suasana hening yang canggung pun menyelimuti. Kami sudah makan malam dan mandi. Langkah logis berikutnya adalah tidur, tapi waktu masih menunjukkan pukul sebelas malam. Kami lelah, pastinya, tapi masih terlalu awal untuk dua anak SMA tidur.
Aku mencoba memikirkan obrolan yang mungkin bisa menjembatani kekosongan itu, tapi untuk sekali ini pikiranku buntu, dan aku tidak bisa memikirkan kata-kata yang ringan. Mataku tertuju pada tempat tidur. Aku panik dan segera mengalihkan pandangan, bertemu pandang dengan Asuka yang juga segera mengalihkan pandangan dari tempat tidur.
Kami berdua meringis canggung.
Lalu Asuka melirik ke sekeliling ruangan dengan agak gelisah, sebelum tampak mengumpulkan keberanian dan berdiri.
"Ayo kita lihat-lihat ruangannya, karena kita udah di sini."
Kata Asuka dengan nada polos dan tanpa perhitungan.
"Uh, kurasa sebaiknya kamu jangan lakuin itu..."
Tapi sudah terlambat bagiku untuk menghentikannya. Dia sudah meraih laci terdekat dan membukanya.
"Eehh!"
"Sudah kubilang jangan lakuin itu. Apa kamu lupa hotel macam apa ini?"
Aku pergi dan berdiri di sampingnya, dan saat itulah aku melihat kondom dan pelumas yang tertata rapi, bersama vibrator merah muda dengan slip kertas di atasnya yang dengan sopan mengumumkan bahwa vibrator itu telah disanitasi. Aku menutup laci itu hingga tertutup kembali dengan tangan terkepal.
Bibir Asuka bergerak tanpa suara sebelum dia berkata,
"Kamu tampak sangat tenang."
"Jika kamu pikir begitu, kamu seharusnya memberi pujian kepada malaikat di bahu Saku yang malang saat ini."
"Hampir seolah kamu udah terbiasa dengan hal kaya gini."
"Saat kamu berdiri kaya patung di lobi, aku sudah merhatiin pasangan di antrean di depan kita. Atau kamu lupa?"
"Kau benar-benar berpikir aku gadis yang naif, ya?"
"Ya! Sejak pagi ini!"
Saat aku mengatakan itu, Asuka dengan lembut meletakkan tangannya di gagang laci yang baru saja kututup.
"...Aku sudah tahun terakhir SMA, tahu. Aku tahu betul tentang hal-hal ini. Aku tahu cara menggunakan semua benda di sini, dan aku tahu persis seperti apa tempat kita sekarang."
Senyum Asuka yang dewasa dan transparan palsu itu membuat dadaku sakit sesaat.
"Jadi maksudku, kalau memang begitu... kalau sampai begitu, aku gak akan takut atau menangis atau semacamnya. Aku bukan pemula.... itu benar, tahu?"
Asuka menatapku ragu-ragu, mengamati wajahku untuk menunggu jawaban. Tapi aku agak jahat, jadi aku tersenyum padanya. Senyum itu ramah, tapi penuh perhitungan, tidak mengkhianati apa yang kurasakan.
"Tapi kamu tahu, waktu yang kuhabiskan bersamamu.... setidaknya untuk perjalanan ini... aku ingin menghabiskannya dengan polos, kaya dulu... seperti kita masih anak-anak. Itu… itu yang kupikirkan."
Ketika Asuka selesai mengatakan itu, nadanya dipenuhi kecemasan, aku menatapnya, dan...
Sudah saatnya kami menghentikan omong kosong ini.
Itulah yang kupikirkan. Dan itu adalah pemikiran yang kuat. Aku meraih lengan Asuka dan melemparkannya ke tempat tidur. Menopang diriku dengan tanganku, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya, dan...
"Heeh? Heeeh?"
Dengan bingung, Asuka memejamkan matanya rapat-rapat.
Dan kemudian aku—
"Hyah!"
—mengambil bantal dan memukul wajah cantiknya itu.
"Guhhh!"
Dia memekik, suaranya terdengar tidak bermartabat.
"Kenapa kamu lakuin itu?!"
Kata Asuka di sekitar mulut yang penuh bantal saat aku mulai meremasnya ke wajahnya.
Aku menjawab dengan dingin.
"Kaya yang kamu mau. Aku memberimu pengalaman perang bantal menginap khas anak SMA."
"Heeh? Apa? Apa benar-benar kaya gitu cara mainnya?!"
"Sekarang. Kamu. Dengerin!"
Whap, whomp, whack.
Aku menyerangnya dengan bantal berirama untuk memberi tanda baca pada setiap kata.
"Apa kamu tahu betapa eratnya aku berpegangan pada malaikat bahuku sekarang dan berusaha untuk gak mikirin hal-hal tertentu?! Apa kamu sengaja bicara kaya gitu tadi, Asuka Senpai? Kamu ini apa, semacam iblis?!"
"Tapi, tapi... Oww, hei! Kamu itu kan laki-laki, jadi kupikir aku harus mempersiapkan diri secara mental untuk hal-hal tertentu..."
"Malaikat dan iblis dalam diriku udah cukup banyak bertengkar tanpa bantuanmu! Jangan remehkan libido laki-laki di masa mudanya! Kamu mau melewatkan tiga langkah terakhir di tangga menuju kedewasaan, ya?!"
"...Er, um..."
"Jangan! Hanya! Geleng! Geleng! Dasar bodoh!"
Phwap, thwack, whomp, plomp.
"Kalau kamu mau jadi editor, pikirkan dasar-dasar cerita! Naiklah selangkah demi selangkah! Kendalikan emosi pembaca yang meluap-luap! Kalau aku punya kamu yang sekarang, Asuka Senpai, mereka bakal meledak! Kamu mau tinggal di Tokyo, kan? Kamu mau hidup di kota ini, kan?"
Dari balik bantal, aku tahu dia mengangguk.
"Kalau begitu, perbaiki diri. Jangan hanya mengikuti arus. Fokuslah pada keinginan bebasmu sendiri, pada apa yang membuatmu menjadi Asuka. Lihat orang lain apa adanya. Fokuslah pada impianmu! Kamu harus menjadi dirimu sendiri!"
Angguk, angguk, angguk, angguk.
"Dan jika, di masa depan, ada masa depan untuk kita bersama, dan jika kita berdua bersedia saling menghormati dan menyatukan tubuh kita... barulah, kita akan mengambil langkah terakhir itu. Itu cara terbaik, kan? Aku tipe orang yang jadul, kamu tahu."
"Um, bolehkah aku—hanya mengatakan satu hal?"
Kata Asuka, pelan.
Thwack!
Dia mengayunkan bantal kedua ke arahku, yang tidak kusadari, dan menghantam wajahku tepat di atasnya.
"Berhenti ngomong sembarangan! Aku ngerti dasar-dasar cerita! Aku ngerti alur narasi! Aku bisa melihat orang lain apa adanya, dan aku gak goyah! Jangan ngomong sok tahu, dasar gila!"
"Itu bukan cuma satu hal!"
Setelah itu, kami pun memulai perang bantal yang heboh ala karyawisata.
"Lumayan, dasar putri lusuh! Aku akan menanamkan kesadaran akan kerasnya dunia ke dalam dirimu!"
"Oh ya? Maju sini! Yang bisa kamu lakuin cuma ngoceh nggak jelas kalau ada gadis yang merayumu!"
Rasanya seperti hari aku ketemu Asuka, sama anak-anak itu.
"Sialan kau! Aku akan pegang BEEP itumu dari sana dan BEEP-mu, dasar BEEP yang terus-terusan BEEP!"
"Kamu bisa pakai kata-kata aslinya, tahu? Perempuan dewasa sepertiku gak butuh anak kecil sepertimu untuk berbasa-basi!"
"Seandainya kamu punya sedikit kedewasaan itu waktu kita jalan-jalan di Tokyo!"
Kami berteriak, menjerit, dan tertawa bersama.
Melompat-lompat di tempat tidur, di sofa, saling memukul dengan bantal.
Suatu hari nanti kami akan dewasa—bahkan, kami tidak punya pilihan. Tapi sampai saat itu tiba, aku ingin menjadi anak-anak semaksimal mungkin. Kalau kalian tidak bisa menjadi anak-anak dengan benar, kalian tidak punya kesempatan lagi setelah dewasa. Dan malam seperti ini adalah waktu yang tepat untuk bersikap kekanak-kanakan.
✶
Kelelahan, kami menjatuhkan diri berdampingan di tempat tidur ganda, menatap langit-langit. Aku berencana mencoba tidur di sofa, seperti ketika Nanase menginap, tapi Asuka berkata, "Itu akan membosankan."
Yah, sudah jelas malam ini tidak akan menjadi malam yang benar-benar untuk pasangan anak laki-laki dan gadis.
"Astaga, aku berkeringat seperti ini. Padahal aku sudah mandi juga. Apa aku bau?"
Asuka membenamkan hidungnya di dadaku dan mendengus.
"Kamu bau! Kamu memang bau!"
"Mau aku cium dadamu juga?"
Saat itu sekitar pukul sebelas malam.
Jam di kamar ini digital, tapi di dalam kepalaku, aku hampir bisa mendengar jarum jam berdetak menunjukkan waktu yang tersisa, detik demi detik.
"Gimana kalau kita bicarakan sesuatu?"
Tanya Asuka.
"Ini perjalanan spektakuler kita sekali seumur hidup. Kita mungkin gak akan pernah bisa melakukannya lagi. Kita perlu membahas sesuatu yang penting. Supaya meskipun kita lupa aroma sampo yang kita pakai, kita tetap bisa mengingat percakapan ini."
Benar, kami gak akan pernah mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan persis seperti ini lagi, pikirku.
Ini bukan tentang dengan siapa aku, atau tujuannya. Ini tentang momen ini. Menyelam ke kota yang tidak dikenal bersama gadis yang sangat kukagumi. Saat ini, kami seperti tokoh dari novel. Tapi, tentunya, tidak perlu menyebutkan siapa tokoh utamanya.
"Maksudku...."
Lanjut Asuka.
"Ceritakan tentang dirimu?"
"Aku gak punya cerita yang cocok untuk malam kaya gini."
"Gak perlu yang begitu wah. Aku gak butuh drama atau romansa. Ceritain aja gimana kamu bisa menjadi dirimu yang sekarang?"
Sambil menimbang-nimbang makna di balik kata-katanya itu, aku menatap wajahnya. Begitu khidmat, begitu ramah, sedikit transparan. Matanya tampak seperti bisa menangis kapan saja. Maka aku pun mengerti apa yang dia minta dariku.
"Jika aku membicarakan itu, akankah itu menyalakan secercah cahaya apapun di masa depanmu, Asuka Senpai?"
"Aku membutuhkannya. Seperti diriku saat ini, akhir perjalanan ini, malam ini. Ceritakan tentang dirimu?"
Itu adalah kisah yang belum pernah kuceritakan kepada siapapun. Tidak kepada Yuuko Hiiragi, tidak kepada Yua Uchida, tidak kepada Haru Aomi, tidak kepada Yuzuki Nanase, tidak kepada Kaito Asano, tidak kepada Kazuki Mizushino, dan tidak kepada Kenta Yamazaki—yah, kecuali sebagian.
Karena....
"Aku yakin itu gak akan sesuai harapanmu. Itu masa lalu yang biasa-biasa saja dan murahan. Jadi gak layak dijadikan cerita."
Begitulah adanya.
Asuka menggenggam tanganku dengan lembut.
"Sekalipun itu cerita yang biasa-biasa saja dan murahan—sebagai editor, aku akan membuatnya menjadi cerita yang gak tertandingi di dunia."
Ah, kalau gitu, aku bisa santai.
Aku bisa bersikap seperti anak kecil di depannya, setidaknya sedikit.
Di malam sekali seumur hidup ini, aku mungkin bisa menulis cerita sekali seumur hidup.
Aku tidak bisa melakukannya sebaik dirimu—tidak seperti kata-kata yang pernah kamu bawakan padaku—tapi aku bisa menceritakan kisah Saku Chitose yang remeh, membosankan, dan tidak masuk akal.
✶
"Sejak kecil, aku selalu jadi tipe yang menonjol. Kalau kamu ingin tahu kapan ini dimulai, aku tahu setidaknya sejak TK banyak anak perempuan yang sangat menyukaiku, dan aku selalu jadi pemenang lomba lari."
"Mm."
"Gak ada yang berubah ketika aku masuk SD. Anak-anak perempuan masih sangat menyukaiku, dan gak ada yang bisa ngalahin aku di pelajaran olahraga, di hari olahraga, dan di turnamen lari. Aku mendapat nilai tertinggi di semua ujian hanya karena memperhatikan pelajaran di kelas."
"Mm."
Sampai saat itu, ceritanya sama persis dengan yang kuceritakan pada Kenta. Asuka terus berkata "Mm", tapi setiap kali dia mengatakannya, nadanya berbeda-beda. Itu menunjukkan bahwa dia mendengarkan dengan saksama tapi tidak akan menyela.
"Pertama kali aku menyadari kalau mungkin aku ini istimewa, itu saat tahun keempat SD. Aku mulai memperhatikan yang lain dan menyadari bahwa gak satu pun dari mereka bisa melakukan hal-hal sebaik aku."
"Mm."
"Tapi aku gak meremehkan anak-anak lain. Aku sangat peduli pada teman-temanku, entah mereka bisa lari cepat atau gak, dan aku sering dipaksa untuk memimpin. Aku hanya ingin akrab dengan semua orang."
"Mm."
"Aku tahu kedengarannya buruk untuk mengatakannya sendiri, tapi kurasa, setidaknya dibandingkan dengan diriku yang sekarang, aku orang yang cukup baik. Aku gak akan pernah meninggalkan teman-temanku, dan aku selalu berusaha membantu orang yang kesulitan."
"Mm."
"Aku masih mengingatnya, bahkan sampai sekarang. Ada seorang gadis di kelasku yang agak dijauhi semua orang. Saat istirahat makan siang, dia duduk sendirian, memeluk dirinya sendiri, dan menggambar dalam diam. Semua orang bilang dia murung dan menyeramkan. Tapi ada semacam acara di mana kami harus berpasangan, laki-laki dan perempuan, dan ketika aku melihatnya duduk diam dengan kepala tertunduk, aku bertanya padanya, 'Mau berpasangan denganku?' "
"Mm."
"Bukannya aku pikir kalau aku ini Tuan Keren karena berpasangan dengan gadis yang gak punya teman; aku sebenarnya menawarkan diri dengan niat tulus. Tapi terkadang orang bahkan gak sadar apa yang kita lakukan."
"Mm."
"Saat aku ngobrol dengannya, dia tampak biasa aja, bahkan agak menarik. Dia nunjukkin beberapa gambarnya. Dia menggambar beberapa karakter manga yang kusuka, karya yang sangat bagus. Dia sangat bersemangat, dan keesokan harinya dia memberiku satu sebagai hadiah. Itu benar-benar membuatku senang."
"Mm."
"Lalu setelah itu, dia bilang dia menyukaiku, dan ketika aku bilang menolaknya, dia mencoba membuatku merasa bersalah. Mengatakan semua hal seperti aku seharusnya gak pernah bersikap baik padanya, bahwa dia gak mau dikasihani."
"Mm."
"Semua orang di sekitarku juga menyalahkanku. 'Oh, Chitose bikin gadis itu nangis'."
"Mm."
"Aku tidak ngasihani dia. Sejujurnya, menurutku gambar-gambarnya keren. Dan seru juga mengobrol tentang manga dengannya. Kupikir kami bisa berteman. Kalau aku tipe orang yang lebih normal, kalau aku gak terlalu merasa perlu berbicara dengannya, kurasa dia gak akan salah paham kaya gitu."
"Mm."
"Biasanya, orang lain yang datang kepadaku untuk meminta bantuan. Aku hampir gak pernah menolak siapapun yang membutuhkan bantuanku. Awalnya, semua orang sangat berterima kasih, seperti, 'Oh, makasih banyak'."
"Mm."
"Tapi kemudian mereka terbiasa. Mereka mulai berkata, kaya, 'Kalau repot ngerjaiinnya sendiri, minta aja pada Chitose. Dia akan mengurusnya'. Ngerjaiinnya sendiri terlalu banyak, tapi dia bisa melakukannya dengan satu tangan terikat di belakang, jadi kenapa bukan dia sendiri yang ngerjain itu? Seperti itu."
"Mm."
"Jadi, setiap kali aku coba nolak permintaan, atau jika hasil yang aku berikan gak sesuai dengan harapan orang tersebut, mereka akan kecewa, dan lebih buruk lagi, mereka akan bilang, 'Kenapa? Kenapa kau gak bisa membantuku sedikit aja?' atau 'Kau cuma gak tulus aja, kan?' dan terus-terusan mengeluh seperti itu."
"Mm."
"Dan semuanya mulai menumpuk. Citra Chitose sebagai 'orang yang bisa melakukan apa saja, teman semua orang' mulai terkikis perlahan, dan kemudian semua orang mencelaku jauh lebih dari yang seharusnya."
"Mm."
"Kurasa saat itulah aku mulai bermain bisbol junior. Aku dengan cepat menjadi jauh lebih baik dalam permainan ini daripada yang lain yang bergabung saat aku bergabung, dan aku mulai mengejar ketinggalan dengan yang lebih tua dengan cepat."
"Mm."
"Tapi tahukah kamu, di usia segitu, seseorang gak bisa jadi jago olahraga atau belajar hanya dengan mengandalkan bakat alami yang mereka punya sejak lahir. Aku bukan yang tertinggi di antara teman-temanku, dan anak-anak lain juga mulai mengalami lonjakan pertumbuhan."
"Mm."
"Aku awalnya hanya ngandalin bakat alamiku, jadi aku takut. Aku sadar aku akan diabaikan dan dibuang kalau yang lain mengejar dan menyalipku. Aku populer hanya karena aku Chitose, orang yang bisa melakukan apa saja, teman semua orang."
"Mm."
"Sejujurnya, selama masa sekolah dasar, banyak anak yang jago olahraga dan belajar sepertiku, tapi lama-kelamaan turun ke kelas menengah."
"Mm."
"Jadi aku belajar sekeras mungkin. Bahkan di sekolah dasar, aku belajar lebih giat daripada siapapun sebelum ujian, dan ketika kompetisi lari semakin dekat, aku berlatih dengan berlari di sepanjang tepi sungai setiap hari. Bahkan bisbol. Aku berlatih ayunan sampai kulit tanganku mengelupas. Gak seorang pun anak yang lebih tua melakukannya."
"Mm."
"Lalu, ketika aku memasuki tahun kelima, sampai pada titik di mana semua orang menganggap remeh bahwa aku bisa ngelakuin apa saja. Gak seorang pun menyangka aku mengerahkan upaya secara diam-diam. Dan aku gak pernah membicarakannya sedikit pun. Kupikir yang diinginkan semua orang adalah Chitose yang bisa melakukan segalanya tanpa perlu berkeringat."
"Mm."
"Gak butuh waktu lama bagi mereka untuk mulai mencari kesalahan dan kegagalanku yang jarang terjadi, daripada kemenangan. Lagipula, kemenangan itu membosankan. Misalnya, kalau aku dapat seratus poin di ujian, mereka akan mengejekku, tapi kalau dapat sembilan puluh, mereka akan sangat gembira sampai-sampai bertepuk tangan. 'Chitose gak dapat seratus poin? Apa dia benar-benar bodoh atau apa?' "
"Mm."
"Mereka gak hanya menunggu kegagalanku. Mereka aktif berusaha membuatku gagal. Gak ada yang mau mengoper bola padaku saat kami bermain sepak bola di gym. PR yang kukira sudah kukerjakan langsung lenyap dari mejaku. Mereka mengoleskan parfum lelucon ini ke baju olahragaku agar bau. Gak ada batasnya."
"Mm."
"Lalu mereka semua tertawa seolah-olah itu adalah kesenangan terbesar yang pernah ada. 'Gak bisa cetak gol? Apa yang terjadi dengan PR-mu?' terus-menerus mengejekku seperti itu. Hahaha, seolah-olah itu lelucon terlucu yang pernah mereka dengar."
"Mm."
"Tapi gak satu pun dari mereka menganggapnya sebagai perundungan. Termasuk aku. Aku tahu jika aku membalas mereka, itu gak akan ngubah cara pandang mereka terhadapku. Dan sepulang sekolah, anak-anak yang mengejekku masih bermain denganku, seperti teman."
"Mm."
"Kurasa mereka semua hanya berusaha menyamakan kedudukan mereka dengan cara apapun yang mereka bisa."
"Mm."
"Maksudku, karena aku terlahir dengan segala kekurangan mereka, dan aku lebih menonjol daripada siapapun, mereka pikir aku bisa menerima sedikit pukulan di tanah. Seolah-olah mereka ingin memberiku sedikit hambatan. Seperti anak-anak yang diberkahi bakat seharusnya sudah menduga hal kaya gitu."
"Mm."
"Tapi waktu itu, aku masih anak-anak. Rasanya sakit, dan membuatku sedih. Aku hanya berusaha sebaik mungkin, jadi kenapa aku harus menerima hinaan kaya gitu dari anak-anak seperti mereka yang gak pernah mencoba?"
"Mm."
"Lalu anak tertindas itu berpikir : Kalau aku bisa seperti yang lain, mereka akan berhenti menggangguku. Anak tertindas itu sengaja gagal memasukkan bola saat pertandingan sepak bola, dia membiarkan soal ujian kosong meskipun dia tahu jawabannya, dan ketika teman-temannya meminta bantuan, dia hanya melotot dan bilang gak."
"Mm."
"Tapi itu juga gak membuat mereka senang. Mereka udah mengalungkan poster ini di leherku, bertuliskan Berbakat dan Diberkahi di atasnya, dan aku gak bisa berbuat apa-apa untuk ngelepasinnya. Semua usahaku dianggap sia-sia. Kesalahanku dibesar-besarkan. Kalau aku membiarkan anak-anak lain mengalahkanku di olahraga, mereka akan bersorak-sorai. 'Chitose gak seperti yang digembar-gemborkan', kata mereka."
"Mm."
"Aku masih kecil, jadi aku gak tahu harus berbuat apa. Kalau aku berhasil, aku celaka. Kalau aku gagal, aku celaka. Kalau aku mencoba bersikap biasa aja, itu gak berhasil karena rekam jejakku yang luar biasa. Mereka hanya mengira aku kehilangan keunggulan."
"Mm."
"Lalu salah satu guru, yang mengawasiku, mengatakan sesuatu kepadaku."
Ini sama seperti yang kukatakan pada Kenta.
"Anak sepertimu, yang dikaruniai semua bakat ini, seharusnya berdiri di depan kelas dan menjadi teladan bagi yang lain. Kamu mungkin bertanya-tanya mengapa hanya kamu yang harus berusaha sekuat tenaga, tapi anak-anak lain—yah, mereka bertanya-tanya mengapa hanya kamu yang memiliki semua bakat ini... jadi, kamu harus terbang lebih tinggi lagi. Kamu harus berlari lebih cepat lagi. Sampai kamu menjadi pahlawan sejati, tipe yang menginspirasi yang lain untuk mengikuti di belakangmu...."
Mulai sekarang, sisanya adalah kebenaran yang sebenarnya, bagian yang belum kubagikan.
"Aku memahami kata-kata itu dengan cara yang sama sekali berbeda dari yang guru itu inginkan."
"Mm."
"Kupikir mencoba menjadi anak biasa hanya membuat yang lain ingin menjatuhkanku bersama mereka. Aku memutuskan untuk menjadi sempurna, jauh di atas mereka sehingga mereka gak pernah berpikir untuk membandingkan diri mereka denganku."
"Mm."
"Aku bersumpah untuk menjadi pahlawan yang sempurna, bukan untuk membantu orang lain, tapi untuk menjauhkan mereka semua dariku."
"Mm."
"Semuanya jauh lebih mudah setelah itu. Satu per satu, aku mengidentifikasi kelemahanku, celah-celah di mana ada yang hilang, dan menutupnya rapat-rapat."
"Mm."
"Maksudku, kalau aku membantu anak laki-laki yang dirundung di SMP, dia akan ngikutin aku setiap hari setelah itu. Dia akhirnya akan menunggu di luar rumahku di akhir pekan. Aku gak bisa hanya berdiam diri melihat seseorang dirundung—itu aja—tapi itu gak berarti aku harus berteman baik dengannya mulai keesokan harinya, kan? Tapi ketika aku bilang mereka menggangguku, mereka akan pergi dan mulai melancarkan serangan fitnah terhadapku."
"Mm."
"Yah, kalau begitu, seharusnya aku gak pernah repot-repot bersikap baik dari awal. Seharusnya aku menekankan bahwa aku hanya membantu mereka untuk alasanku sendiri. Jangan berpikir begitu, karena aku sudah membantumu, aku ingin bersamamu. Jika aku melakukan itu, aku bisa menghindari orang-orang menaruh semua harapan ini padaku dan kekecewaan."
"Mm."
"Kalau aku curhat ke orang-orang yang kuanggap teman saat aku lagi ada masalah, besoknya mereka pasti langsung cerita ke semua orang tentang kelemahanku dan menertawakannya. Jadi, kalau begitu, aku gak perlu repot-repot nunjukin isi hatiku ke orang lain. Aku harus jaga jarak sama semua orang, gak mau terlibat sama siapapun, dan gak boleh terlalu kenal aku."
"Mm."
"Gadis-gadis yang punya perasaan sama aku dan akhirnya ditolak, dan para anak laki-laki yang suka sama gadis-gadis itu, bakal nyebut aku tukang gombal dan playboy. Jadi, kupikir aku harus memastikan semua orang tahu aku gak bisa dipercaya sejak awal. Dengan begitu, mereka tahu aku bukan tipe orang yang bakal buat jatuh cinta."
"Mm."
"Kalau orang-orang cuma bakal ngomongin aku yang jelek-jelek aja, kupikir aku harus jaga jarak dari semua orang sejak awal dan bertingkah seperti orang sombong yang menyebalkan."
"Mm."
"Tapi aku tahu semua orang pasti akan kesal kalau aku selalu terlalu sempurna, jadi aku memutuskan untuk mulai melontarkan beberapa lelucon yang bikin malu sesekali, hanya untuk sedikit meredakan tekanan."
"Mm."
Seperti ketika seorang gadis yang kupikir teman baikku mengungkapkan perasaannya kepadaku dan aku menolaknya dengan dingin, lalu keesokan harinya dia bilang aku hanya pacaran sebentar dengannya lalu meninggalkannya.
Seperti ketika ada sekelompok kakak kelas yang mulai unjuk kekuatan dan datang untuk mendorongku, tahu aku tidak bisa melawan karena aku tidak ingin membuat masalah bagi tim bisbol.
Seperti ketika seorang anak laki-laki berpikir aku telah merebut pacarnya, dan dia datang menyerbu ke kelas kami, lalu membuat keributan besar tanpa alasan di depan semua teman sekelasku, lalu melempar ponselku ke luar jendela.
Seperti ketika nilai bagusku membuat orang-orang mulai menyebarkan rumor bahwa aku mendapat "pelajaran tambahan" dari guru muda yang menarik itu.
Seperti saat orang tuaku bercerai, dan seseorang menuliskan semua detail mengerikan itu di papan tulis kelas.
Seperti di tahun pertama, saat aku menjadi pemain inti di tim, dan orang-orang mulai mengabaikanku hanya karena perintah seniorku.
Lalu, di SMA—
"Maksudku, aku bisa menceritakan semua kejadian secara detail, tapi bukan berarti ada satu hal tertentu yang menjadi sumber trauma. Yang kumaksud adalah semua batu kecil yang mereka lemparkan itu menghancurkanku hingga yang tersisa adalah diriku yang sekarang."
Lihat? Sudah kubilang itu cerita yang remeh, membosankan, dan konyol.
✶
"....Dan itulah akhirnya."
Seruan Asuka yang berulang kali untuk memberitahuku bahwa dia masih mendengarkan dan akhirnya berhenti. Aku ragu untuk menatapnya.
"Lihat? Cerita itu agak murahan dan biasa aja. Gak ada cerita hebat yang bisa ditemukan di sana."
Karena tidak ada jawaban, aku melanjutkan.
"Hari itu, aku berniat meraih bulan. Aku ingin menjadi seperti kelereng kaca yang tenggelam di dalam botol Ramune. Aku ingin menjadi seseorang yang diinginkan semua orang, sesuatu yang begitu berharga sehingga gak seorang pun bisa mengubahnya."
Lampu neon di sepanjang dinding menerangiku dalam keadaanku yang menyedihkan.
"Tapi kurasa aku mungkin salah tentang semuanya dari awal. Kelereng botol Ramune bukanlah bulan di langit malam. Kelereng itu terperangkap di antara dinding-dinding keras, terkepung, ketakutan. Yang bisa dilakukannya hanyalah menatap bulan dari dalam botol kacanya, cahayanya yang jauh menerangi kegelapan. Dia gak bisa pergi ke mana pun."
Dan aku tidak pernah menjadi bulan. Aku hanyalah sebuah kelereng.
Kisah seperti itulah yang kuceritakan.
Aku pernah menceritakannya pada Kenta, suatu saat titik.
Aku yakin dengan filosofiku, cara hidupku.
Aku ingin seperti kelereng yang terbenam di dalam botol Ramune.
Kata-kata itu, bukan kebohongan.
Aku suka cara hidupku. Dan kurasa cara hidup itu cocok untukku.
Tapi sesekali, di malam-malam seperti malam ini, misalnya, aku jadi berpikir.
Apa yang kuinginkan hari itu? Dan di mana aku sekarang?
Asuka menghela napas pendek.
"Akhirnya aku ngerti. Kamu seperti pahlawan yang muncul dari manga shounen. Bersemangat, polos, lugas, dan baik hati. Sekarang aku bisa ngerti gimana kamu jadi kaya gitu."
Aku menatapnya, tidak mampu memahami maksudnya.
Asuka tersenyum padaku, dengan ramah—bukan, bahagia.
"Gak benar kalau hidupmu gak berisi kisah yang bagus. Hidupmu berisi begitu banyak kisah."
Tangan Asuka dengan lembut membelah rambutku, dan tangannya terasa lebih dingin daripada yang kurasakan.
"Biasanya, orang-orang akan mencoba mengarang cerita tentang apa yang kamu alami. 'Coba tebak apa yang terjadi padaku—aku begitu menderita, aku begitu sedih, rasanya begitu sakit'. Mereka hanya memutarbalikkannya menjadi alasan untuk menjadi lemah." Suaranya lembut tanpa henti.
"Ketika mereka gak bisa ngelakuin yang terbaik, ketika mereka menyerah, ketika hidup gak berjalan sesuai keinginan mereka, mereka mengarang cerita-cerita itu untuk membuat diri mereka merasa lebih baik. 'Itu terjadi padaku, jadi itu bukan salahku'. Lalu mereka memakai cap terluka oleh dunia, dan mereka mulai mencoba menyakiti orang lain yang mereka pikir dunia belum tersakiti. Meminjam istilah, mereka mencoba untuk membalas dendam."
"Tapi kamu tahu...."
Lanjut Asuka.
"Kamu nolak buat mengarang masa lalumu. Kamu menganggapnya sebagai rasa sakit yang sepele, membosankan, dan bodoh. Dan kamu berusaha sekuat tenaga untuk mengatasinya dengan caramu sendiri."
Aku merasakan sesuatu di dalam dadaku berdebar kencang.
"Kamu gak punya pahlawan seperti dirimu yang akan datang menyelamatkanmu, jadi kamu melindungi cara hidupmu sendiri dan akal sehatmu sendiri. Agar kamu bisa menjalani hidup yang indah."
"....Kau membuatnya terdengar jauh lebih dramatis daripada yang sebenarnya."
"Kau sengaja membuatnya remeh; itu sebabnya."
Senyum hangatnya menyelimutiku, dan aku menggigit bibirku agar tidak gemetar.
"Maksudku, aku...."
—Dan kemudian aku tidak bisa menghentikan aliran kata-kata itu.
"Aku ingin menjadi seperti pahlawan manga shounen saat masih kecil. Jujur dan apa adanya, menghadapi segala macam hal, berusaha keras. Menghargai teman-temanku, dan ketika aku melihat seseorang dalam kesulitan, mengulurkan tangan kepada mereka, tanpa bertanya. Aku mau menjadi orang seperti itu...."
Tapi, tapi, tapi.
"Tapi gak seorang pun menginginkan itu dariku!!!"
Aku meremas tangan Asuka erat-erat.
Ah, sial. Apa yang kukatakan ini?
Seharusnya aku tidak mengatakan semua ini.
Aku marah pada diriku sendiri, kelemahan yang telah kubiarkan bocor. Aku bukan bulan—meskipun saat ini, aku punya kewajiban untuk menerangi jalan bagi gadis ini.
Lalu, dengan kukunya yang bulat dan rapi, Asuka mengetuk dahiku.
"Tapi itu memang dirimu."
Aku tidak mengerti apa maksudnya.
"Baiklah, kamu mungkin melakukannya dengan cara yang rumit dan berliku-liku, tapi kamu bisa meraih Kenta dan Nanase tanpa berpikir dua kali, dan kamu melakukan semua yang kamu bisa buat ngatasin masalah mereka secara langsung dan mencapai solusi. Kamu peduli pada mereka berdua sebagai teman."
"Itu gak be..."
"Kamu tahu, aku lebih suka berhenti di situ aja, berdasarkan apa yang kulihat darimu sejauh ini, agar aku tidak kecewa di kemudian hari. Lebih tepatnya, aku lebih suka gak menyakiti seseorang dengan niat baikku."
"...."
"Kamu selalu menggambarkan dirimu sebagai orang jahat, selalu memilih pilihan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Bahkan jika kamu ingin membantu seseorang, dan kamu berusaha mencapai mereka dengan sungguh-sungguh, akhirnya mereka kecewa padamu. Jadi kamu berpikir, 'Kalau aku hanya akan terluka, maka ya sudahlah, aku sudah terbiasa'."
"...."
Aku menggigit bibirku lagi. Aku tidak ingin tergoda untuk berlindung pada kebaikannya.
"Tapi kamu salah. Itu gak semulia itu. Yuuko-san, Yua-san, Nanase-san, Haru-san, Kazuki, Kaito, Kenta, bahkan kamu, Asuka Senpai—kalian semua pernah mengatakan hal-hal yang seolah-olah menganggapku istimewa. Tapi Saku Chitose yang asli selalu berusaha menyerah, tapi dia gak pernah bisa. Dia hanyalah anak payah yang meronta-ronta dan gagal."
"Itulah yang kami sebut..."
Asuka berhenti sejenak, tersenyum hangat padaku.
"....pahlawan kami."
Aku tidak tahu harus menjawab apa, jadi dia menatapku dan melanjutkan.
"Gak seorang pun bisa menyamai apa yang kamu lakuin. Gak seorang pun bisa terus menggapai jarak yang jauh meskipun percaya mereka gak akan pernah bisa. Jadi, ketika kamu melihat orang seperti itu, kamu pikir kamu normal, dan orang lain terdistorsi. Jika kamu gak ngelakuin itu, kamu gak bisa membohongi diri sendiri dengan percaya bahwa kamu gak bersemangat tentang berbagai hal."
Asuka menyentuh pipiku dengan lembut.
"Mungkin kamu ingin menjadi bulan purnama, Saku. Tapi entah kamu bulan separuh, atau bulan sabit, atau kelereng yang ada di dalam botol Ramune—kamu tetaplah harta yang berharga bagi seseorang."
Aku meremas tangannya dan memejamkan mata erat-erat. Jika tidak, aku merasa ada sesuatu di dalam diriku yang mungkin akan hancur.
"Nee. Sentuh aku?"
Suara Asuka berbisik saat dia membelai tanganku dengan masing-masing jarinya secara bergantian.
"Dahiku, pipiku, bibirku, bahuku, lenganku. Bahkan perutku... meski agak memalukan, tapi bahkan pahaku, betisku, lututku, jari-jari kakiku."
Sambil berbicara, Asuka mengarahkan tanganku ke setiap area.
Baik secara langsung, maupun melalui kain tipis itu, aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya, kelembutannya, melalui jari-jariku, dan itu sungguh meresahkan.
"Aku di sini, kamu lihat?"
Asuka meraih tanganku dan meremasnya erat lagi. Ekspresinya begitu dipenuhi kebaikan sehingga aku merasa hina karena telah menyimpan pikiran-pikiran kotor.
"Aku bisa ngejamin fakta bahwa cahayamu telah menerangi kehidupan setidaknya satu orang."
Senyumnya, yang mengambang di birunya malam, mengingatkanku pada bulan yang selama ini yang mau kugapai.
✶
Setelah itu, kami berbaring di tempat tidur dan mengobrol tentang berbagai hal. Tentang buku-buku yang kami sukai, manga, film, musik. Legenda urban yang kami percayai saat kecil, tempat-tempat rahasia di kota yang hanya kami yang tahu, mainan-mainan yang dulu kami sukai, apa yang akan terjadi selanjutnya.
Rasanya seperti kami akan terbangun dari mimpi jika kami berhenti mengobrol.
Akhirnya, Asuka terdiam, dan tidak lama kemudian dia mulai terisak puas dalam tidurnya.
Malam sekali seumur hidup ini akhirnya berakhir.
Aku menatap Asuka. Dia seperti anak kecil, tidur kelelahan karena terlalu banyak bermain. Mulutnya sedikit menganga.
Jika suatu hari sepuluh tahun dari sekarang tiba ketika aku menoleh ke belakang dan mengingat malam ini, aku bertanya-tanya seberapa dewasanya aku saat itu.
Dan siapa yang akan berada di sisiku?
Aku memejamkan mata, memikirkannya.
Di sisi lain mimpi ini, ada seorang anak laki-laki dan seorang gadis berlarian di jalan di musim panas.
✶
Keesokan harinya, kami bangun pukul tujuh, bersiap-siap, dan meninggalkan hotel.
Kota itu sunyi dan damai, seolah-olah semua hiruk pikuk malam sebelumnya hanyalah halusinasi. Hampir tidak ada orang di sekitar, hanya burung gagak yang mematuk kantong sampah.
Di Matsuya, seorang perempuan yang tampak seperti pekerja malam sedang melempar mangkuk daging sapi. Di sana-sini terlihat orang-orang mabuk pingsan dengan bahagia di selokan.
Di Stasiun Tokyo, kami membeli kopi dan roti lapis, beserta beberapa suvenir sederhana, dan naik Shinkansen. Kami tidak banyak bicara selama perjalanan pulang tiga jam. Sebaliknya, kami mendengarkan musik, berbagi satu earphone masing-masing, dan memandang ke luar jendela sambil menikmati pemandangan yang berlalu.
Di telingaku, "Bye Bye, Thank You" dari Bump of Chicken diputar berulang-ulang. Kurasa perjalanan kami benar-benar berakhir tadi malam. Asuka memasang ekspresi seperti iblis yang merasukinya, dan aku yakin aku juga merasakan hal yang sama.
Bisakah aku membantunya, melalui pelarian singkat ini?
Berkeliling kota tempat dia mungkin tinggal suatu hari nanti, mengalami pengalaman langka, membicarakan hal-hal yang biasanya tidak bisa kami bicarakan. Mungkin hanya itu saja. Atau mungkin itu pengalaman yang transformatif.
Peranku telah berakhir.
Sekarang yang tersisa hanyalah Asuka menulis kisahnya sendiri.
Gedung pencakar langit Tokyo segera menjauh di belakang kami, dan ketika Shinkansen mencapai Maibara, pemandangan telah lama berubah menjadi hamparan sawah yang tidak berujung. Kami turun dari Shirasagi di Fukui, dan hal pertama yang kusadari adalah betapa segarnya udara di sana.
Mungkin klise, tapi aku bisa mencium aroma segar dan alami dari pepohonan di sekitar.
Kami sedang bersiap menuruni tangga menuju gerbang tiket ketika Asuka bertanya,
"Bisakah kita berpegangan tangan?"
Mengingat siapa yang kukenal sedang menunggu kami di bawah, kurasa itu bukan ide bagus, tapi aku diam saja dan mengulurkan tanganku dalam diam.
Lalu bersama-sama, selangkah demi selangkah, kami menuruni tangga.
✶
SMACK.
Saat kami melangkah melewati gerbang tiket, yang jauh lebih kecil daripada yang di Stasiun Tokyo, sebuah tamparan mendarat di pipi Asuka.
"Hei, kalau kau mau memukul seseorang, seharusnya aku. Akulah yang membawa Asuka Senpai pergi." Kataku.
Ayah Asuka menjawab tanpa ekspresi.
"Aku tidak tahu alasan apa aku perlu menamparmu. Asuka lah yang membuat keputusan sendiri dan pergi sendiri."
Aku bisa melihat Kura berdiri agak jauh dariku.
Saat aku melangkah maju untuk mengatakan sesuatu kembali...
"Gak apa-apa."
...Asuka menghentikanku.
Lalu, dengan senyum yang jelas dan tulus, Asuka berkata :
"Ayah, maafkan aku karena membuatmu khawatir."
Asuka membungkuk rendah, sopan.
"Apapun yang ayah ingin lakukan, silakan lakukan."
"Oh, tentu saja."
Lalu Asuka menatap Kura, yang berjalan terseok-seok dengan sandal kayu tuanya yang lusuh.
"Maaf juga karena membuatmu khawatir, Kura-san."
"Aku cuma khawatir tentang satu hal."
Kura menyeringai lebar.
Dasar lelaki tua mesum. Kalau kau berani macam-macam di sini, sekarang juga, mati saja kau.
"Aku punya permintaan untuk kalian berdua."
Kata Asuka.
"Lusa, sepulang sekolah. Bisakah kita mengadakan pertemuan orang tua-guru lagi?"
Benar. Dia sudah memutuskannya.
Pikirku.
Ayah Asuka menghela napas panjang lalu menatap Kura.
"Aku tidak keberatan. Aku tidak punya urusan yang menarik sepulang sekolah."
"Terima kasih, Ayah?"
"...Kurasa sudah saatnya kau mulai belajar serius dengan tujuan mendaftar ke perguruan tinggi pilihan pertamamu. Anggap saja pertemuan terakhir ini sebagai terakhir kalinya kita membahas ini."
"Baiklah. Aku mengerti."
Asuka tersenyum, senyum tipis dan jelas, lalu menatapku.
"Dan kamu. Besok sepulang sekolah. Kamu akan berkencan sekali lagi denganku."
" "Hah?" "
Ayah Asuka dan aku berseru kaget bersamaan, lalu Ayah Asuka memelototiku.
"Baiklah, kalau begitu sudah diputuskan!"
Asuka berlari kecil ke depan.
Ayahnya mengikutinya dengan enggan, tampak agak tercengang.
Aku memanggilnya.
"Nishino-san. Ini."
Dan aku menyerahkan kantong kertas berisi kue Tokyo Banana yang kubeli.
"Bukannya sudah kubilang kalau aku membencinya."
"Karena itu aku membelinya."
Aku menyeringai, dan Nishino-san menerima kantong kertas itu dengan ekspresi jijik namun pasrah. Lalu dia sepertinya teringat sesuatu. Dia membuka dompetnya dan mengeluarkan tiga lembar uang sepuluh ribu yen.
"Ini untuk tiket Shinkansen-nya Asuka. Terima kasih sudah menjaga putriku."
Lalu dia berbalik dan pergi, dan kali ini dia tidak menoleh ke belakang.
Kura menepuk bahuku.
"Kalian berdua merusak akhir pekanku. Kau berutang yakini-ku padaku."
"Tidak bisakah aku mentraktirmu Hachiban saja?"
Dan dengan itu, pelarian singkat kami benar-benar berakhir.
✶
Setelah tidur nyenyak tanpa mimpi, hari Senin sepulang sekolah pun tiba.
Aku masih punya waktu sampai aku dan Asuka dijadwalkan bertemu, jadi aku mengobrol dengan anggota Tim Chitose sebelum mereka semua berangkat latihan klub. Rasanya seperti kembali ke dunia nyata. Akhir pekan ini terasa berat, secara mental, dan akhirnya aku menyadarinya.
Lalu....
"Teman! Waktunya kencan kita."
Sosok tidak terduga datang berlari masuk.
"Gah! Kukira kita bakal ketemuan di gerbang sekolah."
Aku menyadari apa yang baru saja kukatakan, tapi sudah terlambat untuk menariknya kembali.
"Hmph!"
"Gitu ya?"
"Menarik."
"Hee!"
Ngomong-ngomong, itu Yuuko, Yua, Nanase, dan Haru yang berbicara. Sekarang aku memastikan bahwa kami memang punya kencan tetap, dan bukan Asuka yang hanya berbicara omong kosong.
Sambil menyeringai senang, Asuka bergabung dengan kelompok kami. Dari raut wajahnya, aku bisa melihat dia tidak bertengkar hebat semalaman dengan ayahnya setelah pulang, yang rasanya agak melegakan.
"Maksudku, kalau dipikir-pikir lagi, kita kan satu sekolah, jadi kenapa harus ketemu di luar? Lagipula, ada sensasi tersendiri kalau pergi ke kelas anak tahun bawah untuk ketemu teman kencanku!"
"Asuka Senpai, apa kepala atau punggungmu sakit? Banyak sekali belati yang dilempar ke arahmu sekarang."
"Kayaknya mereka benar-benar melemparnya ke arahmu."
"Aku merasa ada yang menggelitik."
Lalu Kaito menimpali.
"Kau memang sesuatu banget, ya, Saku?! Nishino-san, kamu yakin gak mau kencan sama aku?"
"Hmm, kayaknya gak."
"Mutashiiill!!!"
Asuka mencolek pipinya sendiri dengan main-main, sementara Kenta menepuk punggung Kaito untuk menenangkannya.
Melihat ini, Kazuki berkata,
"Sialan kau, mengabaikan para tuan putri kita sendiri."
Kazuki menyeringai lebar pada keempat gadis itu.
"Grrr!"
Yuuko akhirnya bereaksi.
"Dengar, Nishino Senpai. Saku-kun dan aku itu sudah endgame, dan Ucchi adalah target sampingannya, mengerti? Selama itu jelas di sini—aku gak melihat masalah di sini."
"Yuuko, tolong jangan libatkan aku dalam hal ini..."
Yua tersenyum canggung.
Asuka melihat reaksinya dan tampak berpikir keras, berkata,
"Hmm.... kalau gitu, bolehkah aku jadi teman masa kecil yang menjadi tunangan?"
"Untuk apa?"
Aku menjawab dengan nada sinis, tanpa berpikir panjang.
Sungguh, sungguh sesuatu memang.
Nanase mengangkat kedua tangannya seolah berkata, "Uwaa."
"Baiklah, tapi kamu berutang satu pada kami, oke?"
Asuka menyeringai nakal.
"Menurutmu, kepada siapa seharusnya kamu berterima kasih karena telah membantu temanku ini tahu bagaimana caranya membantumu, Nanase?"
Mungkin maksud Asuka itu lebih pada bagaimana dia membantuku bangkit kembali setelah aku berhenti bermain bisbol daripada nasihat yang dia berikan tentang masalah Nanase. Asuka memang tidak biasa membahas hal itu, tapi mungkin itu artinya dia sekarang merasa tidak apa-apa untuk membahasnya.
"...Kalau gitu, haruskah kita impas?"
"Tentu, kita bisa lupakan saja soal perubahan itu."
Sudut mulut Nanase berkedut kesal, yang benar-benar menggelitikku.
Akhirnya, Haru angkat bicara.
"Sejujurnya, apa yang dilihat gadis cantik dan keren sepertimu, Nishino-san, dari playboy kaya dia ini?"
"Jawabannya..."
Asuka berhenti di dekat pintu, berbalik.
"...Yah, kurasa kamu sudah tahu, kan, Aomi?"
Aku menyelinap keluar dari lingkaran, tak tahan berlama-lama di sana.
✶
Setelah itu, aku dan Asuka naik kereta di Stasiun Fukui.
Kami naik kereta lokal, tapi tidak seorang pun punya alasan untuk naik kereta itu kecuali para murid yang tinggal di arah berlawanan.
Semua tempat nongkrong anak SMA bisa dijangkau dengan sepeda, dan kalau perlu pergi lebih jauh, misalnya ke pertandingan latihan atau semacamnya, kami bisa naik bus atau menumpang mobil ayah kami.
Aku bertanya kenapa kami naik kereta ini, tapi Asuka terus mengelak.
Yah, aku akan tahu setelah kami sampai. Itulah yang kukatakan pada diri sendiri, lalu, setelah sekitar dua puluh menit, Asuka berkata,
"Ini dia."
Aku melangkah keluar ke peron, tidak terlalu memikirkan apapun, tapi kemudian...
Hah?
Pikiranku terhenti.
Tempat ini terasa familiar bagiku. Penuh kenangan.
Kebetulan? Mungkinkah itu?
Aku menoleh ke Asuka. Matanya menyipit, seolah sedang memikirkan masa lalu, dan...
"Nee. Bolehkah aku berhenti bersikap lebih tua untuk sementara waktu?"
Kata Asuka.
Aku tidak bisa menjawabnya. Dia menggenggam kedua tangannya, memiringkan kepalanya ke satu sisi, dan menatapku. Lalu dia tersenyum lebar, seperti anak kecil yang tidak kuasa menahan rasa bahagianya.
"Lama gak ketemu, Saku-kun."
"K-Kamu...."
Sebuah ilusi samar, seorang anak laki-laki dan seorang gadis, mendekat.