CHAPTER ONE
Hujan dengan Peluang Mimpi
Hujan dengan Peluang Mimpi
Hujan itu bagaikan kaca patri tua.
Jendela-jendela kelas berkilauan dengan aliran air hujan yang tak henti-hentinya, dan lapangan olahraga yang gersang itu tertutupi oleh tabir lembut yang nyaris transparan. Saat ini awal Juni, dan datangnya musim hujan terasa nyata (dan jauh lebih awal dari biasanya). Langit kelabu dan berat, mengguyur tanpa henti ke seluruh kota.
Meskipun di luar cukup gelap hingga membuat orang berpikir bahwa malam telah tiba lebih awal, ruang kelas itu terang benderang tak wajar berkat lampu neon. Seolah-olah hanya bagian realitas ini yang terputus dari dunia luar.
Terlarut dalam lamunan, aku membuka sedikit jendela. Udara yang masuk beraroma aspal dan tanah basah, mengingatkanku dengan lembut bahwa dunia dalam dan luar masih terhubung. Bayangan sawah hijau dan jalan setapak musim panas menggelembung di sudut ingatanku sejenak, sebelum mereda sekali lagi.
Dulu aku selalu berpikir bahwa aku membenci hari-hari hujan. Tapi sekarang tidak lagi. Hujan mengguyur dengan irama stakato yang stabil di atap seng di suatu tempat. Aku mendengarkan dengan malas, merasa agak bersemangat, seperti gadis muda yang melompat ke genangan air mengenakan sepatu bot merah menyala atau seperti pria necis yang menutup payungnya untuk melawan hujan deras dan menyanyikan lagu pendek yang merdu.
{ TLN : Pria necis itu orang yang berpakaian sangat rapi, bergaya, dan terawat. }
"...tose? Chitose, yahoo? Chitose!!!"
"Aduh!"
Aku sedang menikmati momen ketika seseorang menjentikkan dahiku cukup keras hingga terdengar suara tukk kecil. Hmm, aku jadi penasaran apa tukk efek suara yang tepat untuk jentikan dahi.
"Kenapa kamu melamun, hmm?"
Di sampingku, Haru Aomi menatapku dengan sedikit jengkel.
"Dengar. Seorang gadis yang baik seharusnya mencium laki-laki keren dengan lembut setelah melihatnya menatap ke kejauhan."
"Kamu mau ciuman, ya? Tamparan yang keras?"
"Maaf. Tolong jangan."
"Hmm? Apa kita masih melamun? Perlu sentilan lagi?"
"Jangan. Yang itu seperti dipukul dengan palu batu."
Hari Senin, dan kami baru saja menyelesaikan jam pelajaran ketujuh. Meskipun biasanya kelas sudah selesai, tidak ada yang pergi untuk membersihkan bersih-bersih kelas atau mengikuti kelas. Sebaliknya, kami semua masih di sini, menunggu di kelas.
Hari ini, kami memiliki jam pelajaran kedelapan yang istimewa. Kami akan menerima saran tentang pilihan masa depan kami dari beberapa murid tahun ketiga di atas kami.
Sebagai sekolah persiapan kuliah terbaik di Prefektur Fukui, SMA Fuji diberkati dengan kesempatan seperti ini.
Kami baru memasuki bulan Juni tahun kedua, tapi beberapa murid sudah mulai belajar untuk ujian masuk perguruan tinggi sekitar waktu ini. Tentunya, masih terlalu dini untuk mengikuti ujian di perguruan tinggi pilihan pertama kami, tapi mendengar dari murid tahun ketiga tentang bagaimana mereka memutuskan pilihan masa depan mereka, atau bagaimana mereka memutuskannya—itu akan memberi banyak dari kami bahan renungan yang berharga.
"Lihat, Kura-san di sini. Siap-siap, Ketua Kelas."
Kata Haru.
Aku mendongak ke mimbar guru dan Kuranosuke Iwanami, wali kelas untuk Tahun Kedua, Kelas Lima. Dia hampir tidak bisa berdiri tegak, dan rambutnya mencuat ke mana-mana saat dia membuka mulutnya dengan malas.
"Uh, jadi seperti yang kalian tahu, hari ini kita mengadakan sesi khusus murid tahun ketiga untuk membahas pilihan masa depan kalian. Tapi, jangan terlalu serius. Ingat, mereka juga rekan sekolah kalian, jadi jangan ragu untuk bertanya apapun yang kalian pikirkan."
Kura menjauh dari mimbar, sandal bersol kulitnya menghantam lantai, dan duduk di kursi lipat di dekat jendela.
"Baiklah, semuanya."
Panggil Kura ke arah pintu.
"Silakan masuk."
"Baik, Sensei!"
Aku mendengar suara yang familiar, seperti bel yang berdering jelas, lalu sekitar sepuluh murid atas masuk ke ruangan.
Berjalan di depan barisan itu...
Tunggu, seriusan?
Aku berdiri secara refleks, membenturkan lututku ke laci di bawah meja.
Ternyata Asuka Nishino yang memimpin barisan.
Seriusan? Gak ada yang memberitahuku.
Asuka tersenyum percaya diri, mustahil untuk tidak menyadarinya di tengah suasana kelas yang familiar.
Rambut pendeknya, yang terasa bergerak secara misterius, tahi lalat kecil berbentuk tetesan air mata di bawah mata kirinya, roknya yang tidak terlalu panjang atau terlalu pendek, kaki putihnya di baliknya—semuanya tampak tajam, hampir artifisial. Namun, dia tersenyum seperti kucing liar yang ramah. Kontras antara senyum itu dan penampilannya yang lain justru semakin menonjolkan sisi lain dari dunianya.
Begitulah Asuka tampak di mataku, dengan segala perasaanku padanya.
Anak-anak laki-laki di kelas sedang melihat Asuka dari dekat untuk pertama kalinya, dan mereka semua memasang ekspresi ternganga yang sama. Sementara itu, para gadis juga memperhatikannya, entah bagaimana terpesona.
Kami sudah mendengar bahwa beberapa murid tahun ketiga akan datang, tapi aku tidak pernah membayangkan salah satunya adalah Asuka. Aku yakin dia sengaja merahasiakannya dariku untuk memberiku kejutan.
Biasanya, kami hanya mengobrol di luar sekolah, jadi aku tiba-tiba merasa malu, seperti seorang yang mengundang gadis yang disukainya ke kamar tidurnya untuk pertama kalinya. Aku memalingkan wajahku, tanpa memikirkannya.
...Lalu aku bertatapan dengan Kura, yang menyeringai penuh arti padaku.
Apa kau mau kuhancurkan jadi debu penghapus, Sensei?
Aku menghela napas pelan, lalu kembali menatap mimbar, tempat Asuka sedang memperhatikanku dari tengah kelompok murid tahun ketiga. Senyumnya seolah berkata, "Kena kamu!" sambil melambaikan tangan kecil senang.
Kamu tahu persis posisi apa yang kamu lemparkan padaku di sini, kan?
Hee. Aku menyeringai kecut, balas melambai padanya, dan seperti dugaanku, aku mulai mendapatkan tatapan-tatapan seperti, "Ada apa ini?" dan "Astaga, kau lagi, hah?" dan...
Um, Yuuko Hiiragi-san, Yua Uchida-san, Yuzuki Nanase-san, bisakah kalian berhenti mencoba-coba tatapan bisa membunuh itu? Punggung dan kepalaku terasa sakit karena tatapan-tatapan yang seperti belati itu.
Aku menoleh ke belakang dan bertemu dengan tatapan tajam Yuuko. Yua sudah beberapa kali bertemu Asuka saat berjalan kaki ke dan dari sekolah bersamaku, dan Yuzuki juga baru bertemu dengan Asuka bulan lalu. Tapi aku belum pernah bicara langsung dengan Asuka di depan Yuuko, dan aku pasti akan kena marah besar nanti.
Aku menoleh ke samping, mencari bantuan, dan mendapati Haru menatap lurus ke arahku. Hening sejenak, lalu dia menyeringai. Tanggapannya membuatku sedikit kesal.
Yah, aku bisa mengalah.
"Ada apa, cemburu?"
"Yup, sangat. Sangat cemburu."
"Hmm, sungguh?"
"Siapa dia? Bukan mantan pacarmu, kan?"
"Jangan bicara seolah kamu itu pacarku sekarang."
Obrolan bodoh kami yang biasa membuatku sedikit tenang, dan sekarang aku bisa menangkap percakapan antara Asuka dan anak laki-laki yang berdiri di sampingnya. Dia tampak seperti tipe atlet. Dia lebih tinggi dariku, dan cukup tegap. Gaya rambutnya yang pendek dan rapi membuatnya tampak rapi, dan mata serta hidungnya yang indah sekilas memberitahuku bahwa, ya, orang ini populer di kalangan para gadis.
"Temanmu, Asuka?"
"Ya, dia kenalanku."
Aku sedikit risih dengan panggilan orang itu yang biasa saja dengan menyebut nama Asuka saja. Mereka sekelas, jadi karena aku memanggil Yuuko dan Yua dengan nama depan mereka, wajar saja kalau orang itu memanggil Asuka dengan nama depannya. Namun, aku merasa mungkin aku agak berlebihan dengan memanggilnya Asuka juga.
Orang itu menyeringai kecut dan melanjutkan, seolah-olah dia sama sekali tidak mencari jawaban yang sebenarnya.
"Mereka tahun kedua. Jadi bagaimana kamu kenal dia?"
"Sudah kubilang. Kami kenalan."
"Oh ya?"
Apa ada makna yang lebih dalam di balik kata-kata Asuka? Atau apa Asuka benar-benar bersungguh-sungguh, bahwa aku hanya seorang kenalan? Orang itu mungkin menganggapnya yang terakhir. Yah, aku sendiri juga tidak tahu apa ada makna yang lebih dalam di baliknya.
Orang itu menatapku, sudut mulutnya sedikit terangkat.
Aha, orang ini benar-benar naksir Asuka. Orang itu sudah menilaiku; aku bisa melihatnya di wajahnya. Sekarang dia mengirimkan pesan mental kepadaku, dan pesannya berbunyi, "Aku tahu kau juga menyukainya, tapi Asuka sudah punya pacar, dan itu aku, jadi lebih baik kau menyerah sekarang, bocah."
Hati-hati dengan siapa kau bermain-main. Aku ini playboy terbaik di SMA Fuji, kau tahu. Kirim seratus postingan kebencian di situs gosip dunia bawah sekolah, lalu kita bicara.
....Mataku terpaku pada setiap gerakan Asuka dan kakak kelas itu, dan aku menyadari aku menjadi lebih bersemangat dari biasanya.
Orang itu menghabiskan lebih banyak waktu dengan Asuka daripada aku, dan mereka mungkin punya banyak pengalaman sehari-hari yang sama. Jika Asuka adalah buku teks, orang itu akan menjadi catatan yang ditulis di margin.
Aku hanya harus duduk di sini dan menelan fakta-fakta yang sangat jelas ini, tapi itu tidak akan mudah diterima. Aku merasa seperti anak kecil, menangis tersedu-sedu di atas tangan dan lututnya setelah terjatuh di depan toko mainan. Aku sangat menyadari betapa menyedihkannya diriku.
—Sejujurnya, aku selalu merasa benar-benar canggung saat berada di depan Asuka.
Dengan santai, teman sekelas Asuka mendorong Asuka sedikit ke depan di punggung bawahnya. Aku tahu dia hanya memberi isyarat agar Asuka memimpin di sini, tapi jika aku punya beberapa detik saja untuk bertanya satu hal, pertanyaan itu adalah : Kau ingin abumu ditebar di laut atau di gunung, bung?
Aku masih berpikir ketika Asuka melangkah maju, menjauh dari jangkauan tangan orang itu.
"Baiklah. Kamu yang di sana, bisakah kamu mulai kelasnya?"
Apa? Tunggu. Aku gak perlu mengkremasinya.
Aku bisa mengubur orang itu di lapangan olahraga dengan hanya kepalanya di atas tanah lalu menyuapinya Habutae Mochi, makanan manis khas Fukui, pagi dan malam. Dia akan bosan memakannya dalam sehari dan menyerah, kalau saja tidak tersangkut di tenggorokannya dan mencekiknya lebih dulu.
"Hei. Kamu yang di sana."
Atau mungkin begini :
Aku bisa mengurung orang itu di ruang rahasia dan tidak akan membiarkannya pergi sampai dia berhasil mengupas 104 kaki kepiting Seiko, hidangan laut khas Fukui, dengan sempurna. Kaki-kaki itu cukup kurus, jadi itu pekerjaan yang berat, dan dia akan hancur mentalnya sebelum selesai setengah jalan.
"Hei, kamu, si narsis yang selalu sok keren dan benar-benar suka aku."
Siapa yang dia maksud? Itu pasti bukan aku.
Butuh seluruh kelas tertawa kecil sebelum aku menyadari bahwa Asuka sedang berbicara denganku.
Baiklah, salahku karena lambat merespons, tapi bisakah kamu gak membuat pernyataan yang akan membutuhkan pengendalian diri yang serius dariku setelah ini?
"Erm, semuanya berdiri."
Semua orang berdiri dengan suara berisik.
"Membungkuk... dan duduk."
Setelah aku menyelesaikan formalitas, Asuka mengangguk puas lalu berdeham untuk berbicara.
"Senang bertemu dengan kalian semua. Aku Asuka Nishino dari Tahun Ketiga."
Gema muncul di seluruh kelas, variasi dari "Senang bertemu kalian."
Suara Kaito Asano terdengar lebih bersemangat daripada yang lain. Dasar berandalan, kau selalu membuatku santai.
Lalu Asuka melanjutkan, tidak mau kalah bersemangat.
"Baiklah kalau begitu, jadi bagaimana kita akan melakukan ini?"
Aku mengamatinya dengan pikiran yang sedikit lebih tenang. Jelas Asuka mendapat restu dari Kura dan teman-teman sekelasnya untuk mengambil alih di sini.
Orang yang tadi melanjutkan apa yang dia tinggalkan.
"Sulit untuk bergaul dengan semua orang dalam kelompok besar, jadi bisakah aku meminta kalian untuk berpencar menjadi kelompok-kelompok yang beranggotakan sekitar empat atau lima orang? Lalu dua atau tiga dari kami akan berpasangan dan mengobrol dengan kalian di kelompok kalian."
Asuka melirikku sekilas.
Mengetahui semua yang terjadi dengan Kenta Yamazaki dan Atomu Uemura, Asuka pasti bertanya-tanya apa rencana ini akan baik-baik saja bagi kami. Aku memberinya senyum tipis dan anggukan. Kenta sekarang adalah anggota setia Tim Chitose, dan tak diragukan lagi Atomu akan bergabung satu kelompok dengan Nazuna Ayase.
Kelas kami bisa dibilang dipenuhi dengan kelompok-kelompok populer, tapi saat ini, tidak banyak ketegangan atau permusuhan di udara. Selama dua bulan terakhir, semua orang tampaknya telah menemukan tempat pergaulan mereka, dan tidak ada murid yang tampak terancam tersisih saat kelompok dibentuk. Jadi tidak perlu khawatir.
Asuka mengangguk kecil.
"Baiklah, kalau begitu. Beritahu aku setelah kalian membentuk kelompok dan beritahu aku berapa jumlah kalian."
Seperti yang kuduga, semua orang berkelompok tanpa keributan, lalu, satu per satu, memberitahu Asuka.
Setelah menghitung jumlah anggota, Asuka mengarahkan semua orang ke suatu area di kelas untuk duduk, dan mereka semua menyeret meja dan kursi mereka membentuk kelompok-kelompok kecil.
Aku memastikan semua orang kecuali Tim Chitose telah menyelesaikan kelompok mereka, untuk berjaga-jaga, sebelum aku mengumumkan nomor kelompok yang ditunjuk terakhir.
"Ada delapan dari kami di sini."
"Baiklah. Ambil tempat yang tersisa untuk kalian semua."
Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
Pikirku. Melihat Asuka di tengah-tengah murid-murid tahun ketiga, dengan santainya memberi perintah yang tegas.... rasanya seperti melihat sisi barunya, yang membuatku merasa geli. Murid-murid lainnya tampak nyaman mengikuti arahan Asuka, jadi sepertinya itulah dinamika mereka yang biasa.
Asuka yang kukenal selalu penyendiri.
Berdiri sendiri dan percaya diri—mandiri, begitulah. Kupikir di sekolah dia memancarkan aura tak tersentuh yang sama. Padahal dia sebenarnya pintar. Kurasa dia bisa mengobrol dengan mudah dengan orang lain tanpa rasa canggung, jadi mungkin masuk akal kalau seluruh kelas sepertinya berpusat padanya. Maksudku, itu terlihat jelas ketika kalian memikirkan betapa pintarnya dia.
—Dan juga.
Entah bagaimana aku merasa kesepian, seolah kehilangan sesuatu.
Aku tidak berhak kecewa setelah memaksakan ekspektasiku padanya, sesuatu yang baru saja kuperingatkan padanya. Aku bisa merasakan kata-kataku sendiri kembali menghantuiku. Tapi di saat yang sama, entah kenapa aku merasa lega mengetahui bahwa Asuka hanyalah gadis SMA biasa.
Mengesampingkan pikiran-pikiran tidak berguna itu, aku merapikan dasiku yang agak miring. Saat aku berjalan untuk bergabung dengan teman-temanku, aku mendengar Asuka memanggilku dari belakang.
"Oh, omong-omong, aku akan memanggil kelompokmu."
"Seriusan?"
"Ya. Aku ingin bicara dengan orang-orang yang selalu kudengar tentang mereka."
"Itu membuka banyak masalah, kamu tahu?"
"Untukmu, mungkin. Tapi untukku..."
"Baiklah, baiklah, aku ngerti."
Asuka bisa menjadi iblis sungguhan kalau dia mau.
✶
Kursi dan meja berdesakan di lantai membentuk formasi di mana kami saling berhadapan. Di satu sisi duduk Kazuki, Kaito, Kenta, dan aku, lalu di sisi yang berlawanan ada Yuuko, Yuzuki, Haru, dan Yua.
Di seberangku, Yuuko tampaknya telah menunggu kesempatan untuk berbicara.
"Jaaadiii?"
Mataku melirik ke sana kemari, aku mencoba bersikap samar.
"J-Jadi aku ingin tahu pembicaraan seperti apa yang akan kita dengar hari ini?"
Yuuko menyatukan kedua tangannya dan menempelkannya di pipi, memiringkan kepalanya ke satu sisi dengan sedikit gaya dramatis dan tersenyum.
"Memang, pembicaraan seperti apa yang akan kita dengar? Dari Nishino-san yang baik hati, gadis cantik yang telah bertukar pandang penuh arti dengan Saku-kun kita sendiri?"
"Y-Yah, kurasa kalau kamu tanya gadis itu, dia pasti punya banyak hal untuk diceritakan."
"Gadis itu, ya? Aku yakin dia juga sudah banyak bercerita padamu, kan, Saku-kun, hmm?"
Ya, Yuuko tidak mau membiarkan ini berlalu begitu saja. Dia menekannya.
Lalu Yuzuki menyela, tertawa kecil pelan.
"Hmm? Yuuko, kamu belum pernah ketemu dia sebelumnya?"
"Maksudmu, kamu pernah ketemu dengannya, Yuzuki?"
"Aku baru saja ketemu dengannya kemarin, tahu? Dia bilang dia dan Chitose hanya teman biasa."
"Sungguh? Begitu, begitu!"
Yuuko tampak lega, mengembuskan napas perlahan.
Terima kasih atas penyelamatnya, Yuzuki-san...
Tapi dia belum selesai.
"Tapi kemudian."
Kata Yuzuki.
"Nishino-san juga mengatakan sesuatu seperti, 'Saku seharusnya mengembangkan rasa bahaya yang lebih kuat, atau Nishino-san mungkin akan membawa Saku pergi'."
"Baiklah, sekarang aku kesal. Kesal pada Nishino-san karena mengatakan hal seperti itu dengan begitu santai, dan juga kesal padamu karena menjadi sasaran komentar itu, Yuzuki."
Aku tidak tahan lagi, dan aku berdeham.
"Tunggu, Nanase-san. Aku gak ingat Senpai mengatakan hal seperti itu."
"Gak ingat? Kamu pasti gak nangkap maksud tersiratnya."
Jawab Nanase enteng.
Yuuko tampak seperti akan meledak. Aku berpaling dari mereka berdua dan menghadap Yua untuk meminta bantuan. Panggilan daruratku pasti sampai padanya, karena dia berdeham, dengan tatapan seperti "Yua-sama tolong aku".
"Aku sudah ketemu dia beberapa kali saat berjalan kaki ke sekolah dan pulang dari sekolah. Saku-kun bahkan kenalin aku padanya. Aku gak dapat kesan dari percakapan mereka bahwa mereka lebih dari sekadar teman biasa dari kelas yang berbeda."
Aku sayang kamu, Yua-san.
Tapi Yua belum selesai.
"Tapi."
Kata Yua.
"Setiap kali Saku-kun melihatnya, wajah Saku-kun berseri-seri seperti anak kecil. Dan rasanya aku sama sekali gak terlihat sama Saku-kun, sementara Saku-kun berlari menghampirinya sambil mengibaskan ekornya."
Apa begitu yang Yua lihat selama ini?
Itu sangat menyakitkan, Yua-san. Gimana bisa kamu melemparkan kapak ke kepalaku dengan ekspresi polos seperti itu?
Aku membuka mulut untuk berbicara, tidak yakin apa yang sedang terjadi, ketika...
"Maaf, teman-teman! Kurasa kami membuatmu menunggu, ya?"
Asuka mendekat, memeluk kursi lipat di dadanya.
Teman sekelasnya ada di sampingnya. Mereka berdua duduk di samping Yuuko dan aku di tempat yang akan disediakan untuk anak yang berulang tahun jika ini adalah pesta. Mereka cukup dekat untuk saling bersentuhan, yang juga membuatku kesal. Tapi aku memutuskan untuk bersikap normal dan semoga terhindar dari pemeriksaan silang lagi.
"Baiklah, kalau gitu, jadi sekali lagi, aku Asuka Nishino, murid tahun ketiga. Dan ini..."
"Toru Okuno. Aku dan Asuka sudah sekelas sejak tahun kedua, dan—yah, seperti yang kalian lihat—dia tampaknya linglung. Jadi aku di sini untuk menggantikannya."
Hati-hati, Okuno-san. Itu tempat yang berbahaya untuk di duduki. Tangan kiriku seperti ada iblis yang terperangkap di dalamnya. Iblis itu cenderung menyerang dan mencekik siapapun yang terlalu dekat.
Dan kenapa dia mengoceh tentang hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pilihan karier masa depan kami? Apa itu untuk kebaikanku?
Orang itu jelas-jelas berusaha untuk mengungguliku, tapi di saat yang sama, juga jelas tidak banyak yang perlu diperhatikan antara dia dan Asuka. Tetap saja, aku tidak terkesan, dan aku menolak membalas senyumnya. Aku tidak ingin masuk ke ring bersamanya, jadi aku pura-pura tidak menyadari caranya mencari reaksiku.
Kaito mengangkat tangannya dengan riang saat itu, jelas tidak menyadari ketegangan yang menggelegak di antara aku dan Okuno itu.
"Aku punya pertanyaan! Apa kalian berdua pacaran?"
Okuno menjawab pertanyaan itu.
"Uh, aku gak yakin bagaimana menjawabnya... Haha."
Senyum malu-malu Okuno itu seperti atlet profesional, dirancang untuk memberi kesan kepada penonton bahwa mereka memang pacaran, atau setidaknya sedang menuju ke sana.
Tapi Asuka angkat bicara dan berkata,
"Gak, itu gak pacaran."
Sungguh penyangkalan yang halus.
Okuno tampak sedih, sementara Kaito tampak gembira. Aku memperhatikan mereka berdua saat melihat Asuka mengedipkan mata padaku.
"Aku juga gak sedang berpacaran dengan dia, oke?"
Itu adalah respons yang sangat berani, khas dari Asuka, dan langsung menembus semua ketegangan atau asumsi. Jelas itu dimaksudkan bukan hanya untuk Okuno, tapi juga untuk semua orang di sini.
Aku merasa hatiku sedikit tenggelam, seperti anak kecil yang terlalu asyik bermain dan tidak sengaja memecahkan vas berharga.
Asuka menepuk tangannya dan memulai pidatonya.
"Baiklah, kalau gitu, bisakah kita mulai sesi ini? Kurasa Kura-san mungkin sudah bilang tadi, tapi silakan bertanya apapun yang kalian punya. Gak perlu menahan diri. Sekitar waktu ini tahun lalu, aku juga gak tahu apa yang akan kulakukan. Omong-omong, apa semua orang di sini sudah mulai memikirkannya, meski samar-samar?"
Setelah semua orang bertukar pandang, Kaito memberikan tanggapannya.
"Aku belum benar-benar mempertimbangkan detailnya. Kurasa aku gak masalah masuk ke mana pun, asalkan aku bisa bermain basket dengan serius. Beasiswa olahraga akan menyenangkan, tapi mungkin agak sulit mengingat tingkat SMA kita."
Kaito memang pemain berbakat, tapi SMA Fuji tidak terlalu dikenal meseki tim basketnya yang kuat. Masuk perguruan tinggi hanya berdasarkan kecakapan olahraga saja sepertinya bukan pilihan yang realistis.
Asuka tertawa kecil geli, seolah jawaban Kaito itu sangat cocok dengan caraku menggambarkan karakter Kaito itu pada Asuka.
"Kalau begitu, Asano, kamu harus mulai memikirkan pilihanmu berdasarkan tim basket perguruan tinggi mana yang kamu ingin masuki, ya?”
Kaito tampak terkejut sesaat karena Asuka tahu namanya, tapi sesaat kemudian Kaito tampak mengabaikannya dan menyeringai senang pada Asuka.
Haru adalah orang berikutnya yang berbicara.
"Kurasa aku dan Kaito sama saja. Orang tuaku selalu bilang mereka ingin aku kuliah di perguruan tinggi negeri negeri, tapi aku gak tahu perguruan tinggi negeri negeri mana yang harus kumasuki." Jelasnya acuh tak acuh.
Asuka menanggapi dengan seringai nakal.
"Kalau yang kamu pikirkan perguruan tinggi negeri, berarti kamu pasti belajar cukup keras; benar, kan, Aomi?"
"Kok kamu tahu soal prestasi akademikku, Nishino-san? Chitose!"
"A... Aku gak nyebutin nilai ujiannya."
"Gimana mungkin kamu tahu nilai ujian pribadiku?!"
"Aku gak bisa menahannya. Aku hanya perlu melihat ke belakang ketika mendengar suara erangan itu, dan ternyata itu semua terlihat jelas."
"Ack..."
Asuka memperhatikan percakapan kami, tertawa terbahak-bahak dan merasa geli.
Setelah Asuka berhasil tenang, percakapan berlanjut.
"Coba kulihat... Nanase, bagaimana denganmu?"
Di sana, Nanase menutup mulutnya dengan tangan dan berpikir sejenak sebelum berbicara.
"Hmm, aku udah sedikit mempertimbangkan untuk meninggalkan Fukui. Aku bisa pergi ke Ishikawa, Kyoto, Aichi, Osaka.... bahkan Tokyo pun bukan pilihan, kurasa."
"Begitu, jadi kamu sedang memikirkan perguruan tinggi di prefektur lain. Aku sudah menduga kamu akan ke sana, Nanase."
Aku yakin di tempat lain juga sama, tapi ketika murid SMA Fukui memikirkan perguruan tinggi, hanya ada dua pilihan utama : meninggalkan prefektur atau tetap di sana.
Ketika kalian mempertimbangkan untuk meninggalkan prefektur, pilihan populer bagi murid SMA Fuji adalah Ishikawa, prefektur di sebelahnya, atau salah satu perguruan tinggi ternama di wilayah Kansai. Ishikawa jelas merupakan "kota" dibandingkan dengan Fukui, tapi masih cukup dekat sehingga kalian bisa pulang kapan pun kalian mau. Mungkin itu sebabnya, kurasa. Di sisi lain, aku rasa tidak banyak orang yang langsung memutuskan untuk pergi ke Tokyo. Mungkin karena terasa terlalu jauh dari Fukui, dan jaraknya juga membuat rintangan mental yang cukup berat untuk diatasi.
Kami semua sedang memikirkannya ketika Kazuki Mizushino bergabung dalam percakapan, menimpali apa yang dikatakan Nanase.
"Aku sedang memikirkan perguruan tinggi swasta di Tokyo. Pasti banyak gadis cantik di sana, dan aku berencana untuk bergabung dengan klub kampus yang kental dengan budaya kencan. Lalu aku akan menyerbu kampus secepat kilat."
Ada juga beberapa orang yang menganggap Tokyo sebagai satu-satunya pilihan mereka.
Itu pilihan yang sangat mirip dengan karakter Kazuki.
Pikirku, tapi aku mendapati diriku angkat bicara ketika sesuatu tiba-tiba terlintas di benakku.
"Tunggu, kau gak berencana bermain sepak bola lagi?"
Kazuki mengangkat bahunya, tersenyum sedikit sedih.
"Aku lebih memahami status sosialku daripada yang kau kira. Permainan sepak bolaku gak cukup bagus untuk menghasilkan uang. Aku berencana mengakhirinya di SMA."
"...Begitu ya."
Itu bukan pertanyaan yang terlalu mendalam. Ketika kalian sudah mencurahkan seluruh kemampuan kalian untuk olahraga sejak kecil, ini adalah keputusan yang harus kalian buat cepat atau lambat. Entah untuk mencobanya dan mencoba menjadi atlet profesional, atau melanjutkannya di tingkat hobi. Atau melepaskannya sepenuhnya.
Kurasa bahkan orang seperti Kazuki tahu batasannya—meskipun, menurutku, dia mampu melakukannya sebagai pemain reguler di sekolah bergengsi. Mungkin lebih dari itu karena dia sudah sampai sejauh ini.
Kenta, yang sedari tadi mendengarkan percakapan, dengan gugup angkat bicara.
"Kurasa aku akan kuliah di Universitas Fukui saja. Aku sungguh gak bisa membayangkan diriku meninggalkan prefektur ini."
Universitas Fukui, satu-satunya perguruan tinggi negeri nasional di prefektur ini. Jika kalian ingin melanjutkan kuliah di dalam prefektur, umumnya itu adalah pilihan pertama.
Sebenarnya, banyak orang yang tidak ingin meninggalkan Fukui bahkan untuk kuliah. Beberapa dari mereka sangat mencintai Fukui, tapi banyak yang takut meninggalkan kampung halaman mereka yang sudah dikenal dan hidup sendiri. Lalu, kudengar kebanyakan orang yang kuliah di Fukui akhirnya bekerja di Fukui setelahnya.
Lahir di Fukui, besar di Fukui, membangun keluarga di Fukui, dan tinggal di Fukui selamanya. Bukan aku yang menentukan apa itu kebahagiaan sejati. Kalau dipikir-pikir, aku tidak yakin ada yang benar-benar tahu.
Yua memberikan pendapatnya selanjutnya.
"Kurasa aku merasakan hal yang sama denganmu, Yamazaki-kun. Entah kenapa aku gak bisa membayangkan diriku berjalan di jalanan kota besar..."
Asuka tersenyum ramah.
"Bukan hanya kota besar yang ada di luar prefektur, kan? Setiap daerah punya perguruan tinggi ternama, kan?"
"Tapi kalau aku kuliah di perguruan tinggi daerah, kurasa lebih baik aku tetap di Fukui. Aku juga gak yakin bisa tinggal sendiri."
Yuuko mencondongkan tubuh ke depan.
"Heeeh? Ucchi, kamu pasti baik-baik saja! Kamu pasti bisa! Aku bahkan nggak bisa masak atau cuci baju. Kalau aku jauh dari rumah, aku bakal kacau banget!"
Nanase melambaikan tangannya acuh, menyela dengan seringai nakal.
"Kamu harus latihan ilmu rumah tangga dulu, Yuuko! Sekarang aku, aku sudah bisa masak dan cuci baju. Sepertinya kamu harus mengejar ketinggalan!"
Mata Yuuko menyipit saat Yuzuki menatapnya dengan seringai penuh arti.
"Hmph! Aku akan mulai hari ini! Aku akan pulang dan merebus telur atau apalah malam ini!"
"Kamu belajar ilmu rumah tangga apa sih? Kita sudah belajar itu sejak SD."
Aku tidak tahan untuk tidak menggodanya, dan Yuuko menggembungkan pipinya karena kesal.
Asuka menyadari hal ini dan angkat bicara.
"Bagaimana denganmu, Hiiragi? Kamu akan tetap di prefektur atau mencari pekerjaan di luar prefektur?"
"Sejujurnya, aku bahkan belum bisa membayangkan ke mana harus pergi. Kalau aku ikut arus saja, aku pasti akan memilih Universitas Fukui.... tapi bagaimana dengan kalian berdua, Senpai? Apa kalian sudah memilih universitas pilihan pertama?"
Aku sedikit terkejut, tapi di saat yang sama, itu masuk akal.
Yuuko selalu tampak riang di jalannya sendiri, tapi ternyata, apa yang terjadi di dalam dirinya lebih rumit dari itu. Dia selalu tampak siap untuk melompat kapan saja, didorong oleh satu emosi, tapi sebenarnya dia sangat berhati-hati dalam mengambil langkah pertama yang sangat penting. Namun, kurangnya keseimbangan ini bukanlah tanda kelemahannya, melainkan kekuatan. Setidaknya, begitulah yang kurasakan.
Okuno adalah orang berikutnya yang berbicara, setelah dia mengikuti arahan Asuka selama ini.
"Um, coba lihat... kurasa aku seperti, uh... Mizushino? Kurasa aku akan kuliah di universitas swasta di Tokyo. Keio adalah pilihan utamaku, tapi aku berencana mendaftar ke semua universitas besar... Meiji, Aoyama Gakuin, Rikkyo, Chuo, dan Hosei."
Tidak ada lagi nada permusuhan dalam suaranya. Dia jelas sangat ingin berkontribusi dan memberi nasihat, sebagai seseorang yang setahun lebih tua dari kami semua.
Bagi kami, murid persiapan kuliah, menentukan jalan hidup adalah langkah besar dalam hidup, dan itu bukan tempat untuk memasukkan agenda pribadi. Kemampuan Okuno itu untuk bersikap serius ketika situasi membutuhkannya membuatku sedikit terkesan padanya.
Yuuko punya pertanyaan lain untuk Okuno itu.
"Apa itu karena kamu ingin kuliah di Keio? Maksudku, apa seperti, uh, ada profesor yang sangat kamu kagumi di Keio, atau adakah departemen akademik tertentu yang terkait dengan tujuan karier masa depanmu?"
Okuno berpikir sejenak sebelum menjawab.
"Aku berharap bisa berpura-pura punya semua jawabannya, tapi sejujurnya, aku gak punya alasan yang jelas seperti itu. Aku besar di Fukui, jadi setidaknya sekali seumur hidupku aku ingin mencoba tinggal di kota terbesar di Jepang. Alasan aku memilih Keio... yah, kalau aku pergi ke Tokyo, mungkin keren juga bisa menjalani gaya hidup glamor ala anak-anak Keio, mungkin?"
"Er.... apa boleh kita memilih berdasarkan alasan seperti itu?"
"Itu bukan sesuatu yang patut ditiru. Hanya saja, kupikir kalau aku berusaha masuk ke perguruan tinggi terbaik yang bisa kumasuki dengan kemampuan akademisku, dan aku memilih bidang studiku dengan cermat, maka aku bisa menilai kembali masa depanku setelah kuliah, dalam empat tahun."
Kupikir mentalitas seperti itulah yang kuharapkan ada pada murid tahun ketiga dengan ujian masuk perguruan tinggi yang terus menghantuinya.
Tidak banyak orang di luar sana yang ingin merencanakan seluruh karier masa depan mereka saat masih SMA, termasuk aku.
Maksudku, memutuskan di mana kalian akan tinggal, memilih perguruan tinggi yang kalian sukai, lalu mata kuliah apa yang akan kalian pelajari berdasarkan minat dan kemampuan kalian, dan memastikan untuk memilih yang tidak terlalu intens sehingga kalian tidak akan punya waktu untuk fokus mencari pekerjaan di tahun terakhir kalian... Yang bisa kalian lakukan hanyalah memilih berdasarkan semua itu.
Yuuko mengangguk sambil berpikir, lalu ia mengalihkan pertanyaannya.
"Kamu sudah memutuskan juga, Nishino Senpai?"
Asuka tersenyum sedikit malu dan menggaruk pipinya.
"Ahahaha. Aku tahu kedengarannya sombong karena jadi yang memberikan masukan di sini, tapi sejujurnya, aku juga belum memutuskan sendiri. Baik akan tetap di prefektur atau pergi ke Tokyo, begitulah."
"Heeeeh! Sungguh gak terduga! Melihatmu hari ini saja, kamu benar-benar tampak sudah tahu semua itu."
"...Gak, sama sekali gak benar. Aku sama bingungnya dengan orang lain."
Tidak seperti biasanya, suara Asuka terdengar seperti diwarnai emosi yang tulus.
Aku ingin menyela, tapi Okuno berbicara lebih dulu.
"Aku terus bilang ke Asuka kalau kami harus pergi ke Tokyo bersama saja, kalian tahu?"
Ya, ya, bagus sekali. Ayo, Asuka, ikut aku. Mari kita tur tong-tong tua yang tenggelam dan berguling-guling di dasar laut Teluk Tokyo. Di sanalah jasad Okuno akan dibuang.
Asuka membiarkan ucapan Okuno itu berlalu begitu saja tanpa terlihat terpengaruh sama sekali.
"Hmm, aku akan mempertimbangkannya kalau kamu membelikanku apartemen satu kamar di Shirokanedai, tahu?"
"Setidaknya kamu bisa menyarankan situasi seperti teman sekamar."
Aku memperhatikan mereka berdua bercanda ringan seperti anak SMA pada umumnya, berusaha keras untuk tidak merasa kecewa. Aku tidak yakin apa kekecewaanku ditujukan pada Asuka atau pada diriku sendiri.
Asuka tertawa pelan kemudian, seolah-olah dia telah memahami perasaanku.
Aku mengalihkan pandangan, entah bagaimana merasa sedih.
✶
Setelah itu, Asuka meluangkan banyak waktu untuk menjawab pertanyaan semua orang.
Pada suatu titik, Yuuko menyadari bahwa akulah satu-satunya yang belum membicarakan rencana masa depanku, dan dia pun menunjukkannya.
Saat itulah seseorang memutuskan untuk berkata, "Kamu gak perlu membicarakan sekarang, oke?" dengan nada penuh makna, yang semakin memperkeruh suasana. Namun, terlepas dari itu, ini adalah kesempatan yang bagus, dan semua orang tampaknya mendapatkan sesuatu yang berharga dari itu.
Setelah sesi diskusi selesai, para anggota Tim Chitose pergi ke klub masing-masing, sementara Kenta, yang kegiatan klubnya hanya pulang, langsung pergi, sambil mengatakan sesuatu tentang novel ringan baru yang akan dijual hari itu.
—Jadi, apa yang kulakukan, mungkin kalian bertanya.
Aku bersandar di pintu kaca pintu masuk, mendengarkan suara hujan selama lebih dari dua puluh menit. Entah kenapa, aku tidak ingin hari ini berakhir seperti ini.
Fwump. Fwump.
Bunga-bunga warna-warni bermekaran, berlalu, dan menghilang. Para murid perempuan kelas satu, masih dengan semangat riang gembira, membuka payung mereka dengan riang, dan hujan deras berhamburan ke udara di sekitar mereka bagai bunga hortensia.
Aku memasukkan tanganku ke saku dan meraba kulit casing ponselku yang masih baru. Saat kudekatkan ujung jariku ke mulut, aku bisa mencium aroma kulitnya, aroma yang mirip sarung tangan bisbol. Aku tersenyum, sedikit.
Saat itulah seseorang mengetuk pintu kaca di belakangku.
Berputar cepat, aku bisa melihat Asuka tersenyum padaku melalui kaca.
"Jangan bilang kamu menungguku?"
Asuka muncul dari balik pintu dan menatap wajahku sambil berbicara.
Sebelum aku sempat menjawab, suara lain menyela.
"Asuka?"
Lalu orang itu muncul di belakang Asuka, dan aku melihat wajah orang yang duduk di samping Asuka hingga diskuki kami dengan kakak kelas berakhir : Okuno.
Ketika terpikir olehku bahwa mereka berdua mungkin berencana pulang bersama, aku merasakan dadaku sesak, dan aku tidak bisa bicara. Asuka menjawab dengan suara riangnya yang biasa.
"Nee, Okuno. Sampai jumpa besok. Aku pulang bersama teman baikku di sini."
"Tapi..."
"Besok, oke?"
Nada suara Asuka ramah, tapi tidak memberi Okuno itu ruang untuk berdebat. Ekspresi yang tak terbaca melintas di wajah Okuno sejenak, lalu dia mendengus sebelum berjalan pergi menuju gerbang sekolah.
Aku menarik napas seolah teringat sesuatu dan mencoba berbicara sesantai mungkin.
"Tidak biasa, kamu memanggilku seperti itu."
Asuka tertawa terbata-bata.
"Aku perlu menegaskan maksudku."
"Seolah kamu ingin menegaskan maksudmu dengan Nanase-san?"
"Kalau kamu gak bisa bersikap baik, lebih baik tutup mulutmu."
Asuka mengulurkan tangan dan meremas bibirku sambil berbicara. Jari-jarinya yang ramping samar-samar berbau sabun.
Aku memalingkan wajahku, malu, dan dia melepaskanku sambil berbicara lagi.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang? Boleh aku nebeng di bawah payungmu?"
"Apa kamu lupa payungmu sendiri?"
Bagaimana kalau aku tidak di sini? Apa dia berencana untuk menyelinap di bawah payung Okuno? Kepalaku kembali dipenuhi pikiran kekanak-kanakan.
"Aku sedang berpikir untuk menyelinap di bawah payung seseorang."
Asuka bisa melihat semuanya.
"Kurasa aku gak punya pilihan selain membantumu, kalau begitu."
"Yup. Kamu terjebak."
Aku membuka payung plastikku yang tampak murahan dan tidak jelas.
Gadis kucing liar yang nakal itu menyelinap tepat di sebelahku. Kami mulai berjalan perlahan, tanpa berkata apa-apa.
Pitter-patter, pitter-patter.
Tetesan air hujan menari tepat di atas kepala kami, di atas payung.
"Lihat, payungmu bermotif polkadot."
Asuka menatap langit melalui plastik payung sambil berbicara.
Dulu aku pikir aku benci hari hujan.
Tapi sekarang aku benar-benar tidak membencinya.
✶
Kami menyusuri jalan setapak tepi sungai yang familiar, hanya kami berdua.
Karena ada jam pelajaran khusus kelas kedelapan, puncak lalu lintas pejalan kaki di rumah sudah lama berlalu, dan tidak ada seorang pun yang terlihat di depan maupun di belakang kami. Keakraban kami seharusnya tidak terasa seaneh ini, mengingat gadis ini adalah tipe yang sepertinya tidak pernah membutuhkan orang lain.
"Nee, ingat untuk berbagi."
Asuka sepertinya menyadari aku menyandarkan payung ke sampingnya. Bahunya yang kecil menekan bahuku.
Aku mengembalikan payung ke tengah.
"Kamu bisa basah, tahu?"
"Bukankah seharusnya bagus kalau seorang gadis basah kuyup?"
"Omong-omong, aku dengar rumor kalau sungai ini dihantui oleh hantu perempuan yang tenggelam di dalamnya."
"Aku terus lupa kalau kamu punya sisi kepribadian seperti itu."
Asuka tertawa kecil sebelum melanjutkan.
"Bagus, sekarang sudah seperti biasa lagi."
"....Kurasa kamu memperhatikanku, ya?"
"Kamu agak menjauh hari ini."
"Aku yang seharusnya bilang gitu."
"Kamu hanya berpikir begitu karena kamu lah yang menjauh."
"Lagipula, kamu memang gadis SMA biasa, kan?"
"Jelas dong."
Asuka mencengkeram ujung roknya dengan jenaka.
"Apa kamu gak tahu?"
Aku bahkan tidak perlu menjelaskan padanya. Kurasa dia tahu semua yang kurasakan. Aku memutar-mutar payungku seperti yang dilakukan gadis-gadis yang kulihat tadi, membiarkan bunga hortensia mekar.
Di hari seperti ini, yang kubutuhkan adalah lelucon yang benar-benar buruk.
"Dan Senpai itu benar-benar setia padamu."
Aku berbicara dengan menekankan itu dan bisa merasakan bahu Asuka bergetar di bahuku.
"Kurasa kamu menafsirkan situasinya dengan cukup baik."
"Dia gak bisa mengalihkan pandangannya darimu. Itu gak senonoh."
"Begitu katamu, tapi aku juga melihat banyak tatapan gak senonoh darimu."
Aku menoleh ke arahnya, terkejut dengan jawabannya, pipinya menggembung seperti anak kecil. Sekarang giliranku untuk tertawa terbahak-bahak.
"Apa?"
"Hanya saja... kamu selalu terlihat keren dan biasa saja, tapi saat itu..."
"Kamu lah yang selalu berpura-pura sok keren."
"Aku gak berpura-pura. Asal kamu tahu, aku selalu keren dan misterius."
Hal semacam ini seperti ritual.
Pikirku. Bermalas-malasan, mengalihkan perhatian, membandingkan berbagai macam perasaan satu sama lain.
Tiba-tiba hujan turun lebih deras, dan Asuka mulai berjalan setengah langkah lebih dekat ke arahku.
Seragam kami sudah berganti untuk musim ini, dan lengan telanjang kami terbentur di balik lengan baju pendek kami. Kulitnya yang dingin menempel di kulitku, aku menyadari suhu tubuhnya lebih rendah daripada suhu tubuhku.
"Tapi sangat menyenangkan, membicarakan masa depan kita. Rasanya hampir seperti aku teman sekelasmu."
Kedengarannya jelas kalau dipikir-pikir, tapi Asuka lahir setahun lebih dulu dariku, dan dia juga akan tumbuh dewasa setahun lebih dulu dariku. Dia akan lulus dan meninggalkan sekolah setahun lebih dulu dariku. Kami berdua tidak lahir di periode waktu yang sama antara April dan Maret, dan orang yang akan lebih dulu tidak bisa begitu saja mengerem. Sebesar apapun keinginan kami, kami tidak akan pernah sekelas.
Sangat jelas, kurang lebih seperti itu.
Tapi Asuka melanjutkan.
"Kamu punya Hiiragi, Uchida, Nanase, Aomi, Mizushino, Asano, Yamazaki. Kenapa aku gak bisa sekelas dengan kalian semua? Itu yang kupikirkan."
"Aku sedang berpikir bagaimana aku gak ingin kamu sekelas dengan kami semua."
"Yup, aku tahu itu. Aku pasti Senpai kelasmu yang hebat, kan?"
Kamu lah yang memaksa diri untuk berkata seperti itu.
Pikirku.
Sejak senja di tepi sungai saat kami bertemu, Asuka selalu menjadi Asuka yang sama, hanya untukku.
"Nee..."
Gak apa-apa. Kau gak perlu begitu baik.
Itulah yang hendak kukatakan, tapi kukumpulkan kata-kata itu dan kusimpan di hatiku. Seharusnya aku membalasnya dengan kata-kata itu sejak lama, sejujurnya, tapi untuk sedikit lebih lama lagi, aku ingin tepat seperti ini. Namun, aku takut aku akan kehilangan kendali padanya.
Asuka berbicara lagi, seolah meniru kalimatku yang terpotong beberapa saat sebelumnya.
"Nee..."
Lengan Asuka yang menempel padaku menegang, meremas lenganku.
"Kalau kita berdua sekelas, dan kita bertemu dengan normal di upacara penerimaan, aku penasaran apa kita akan berjalan pulang dari kelas seperti ini setiap hari."
"Kalau kita berdua sekelas, dan kita bertemu dengan normal di upacara penerimaan, mungkin kamu gak akan menunjukkan minat padaku, Asuka Senpai."
"Kamu juga pasti begitu, Saku."
Lalu kenapa kami malah mengobrol seperti ini? Aku terus berjalan dengan acuh tak acuh dan mengganti topik. Dan dengan biasa.
"Kamu belum memutuskan, ya? Antara Tokyo dan Fukui."
"...Ya."
Bulan lalu, selama masalah dengan Nanase itu, aku mengetahui dilema Asuka ketika kami bertemu. Aku tahu itu bukan sesuatu yang bisa diputuskan semudah itu, tapi ketika aku mengamati wajah Asuka saat sesi bicara ketika topik itu muncul, aku mulai merasa harus menanyakannya lagi, kali ini lebih serius.
"Ada yang ingin kamu bicarakan denganku?"
Memang aku gak bisa berbuat banyak.
Pikirku, tapi kuurungkan niatku.
Lagipula, tidak ada yang bisa kulakukan untuk hal seperti itu.
"Gak ada."
Tanggapan Asuka singkat.
"Kalau aku berkonsultasi denganmu tentang hal itu, aku tahu aku akan bimbang."
"Kamu membuatnya terdengar seperti kamu sudah benar-benar memutuskan."
"...Mm-hmm."
Aku menghela napas panjang.
"Kalau kamu benar-benar ingin mengalihkan pembicaraanku, aku harap kamu belajar berbohong lebih baik."
"...Mm-hmm."
Aku menghela napas panjang lagi. Lalu aku berbicara dengan nada ringan dan bercanda.
"Kalau ada yang bisa kubantu, bisakah kita buat perjanjian yang terdengar penting? Kalau kamu mau kawin lari denganku kapan saja, sentuh saja telinga kirimu. Itu tandanya, kurang lebih begitu."
Asuka tampak terkejut sesaat, lalu mengangguk kecil.
"Kalau begitu, kamu mau ikut denganku?"
"Kurasa aku sudah menjawab pertanyaan itu."
Asuka menyandarkan kepalanya di lenganku.
Rasanya geli, dan juga membuatku frustrasi. Aku berpura-pura seolah tidak menyadarinya.
✶
Sesampainya di rumah, aku mandi dan menjatuhkan diri ke sofa. Aku terbangun oleh bunyi ding-dong yang khas. Saat melihat jam di ponselku, aku menyadari sudah pukul tujuh malam.
Rumahku tidak cukup mewah untuk memasang kamera bel pintu, jadi aku mengintip melalui lensa fish-eye dan melihat dua wajah familiar berdampingan, satu berseri-seri, satu lagi dengan alis sedikit berkerut.
Memutar bola mataku sedikit, aku membuka pintu.
"Selamat malam! Kami di sini untuk mengantar urusan rumah tangga untukmu!" Kicau Yuuko.
{ TLN : Maksud Yuuko di sini itu, tempat yang tepat bagi perempuan adalah di rumah, dan perannya sebagai istri adalah menciptakan tempat berlindung bagi suami dan anak-anaknya. Memasak, menjahit, merapikan tempat tidur, dan merawat bunga dianggap sebagai kegiatan yang secara alamiah feminin. }
"Ah, kami gak butuh itu, terima kasih.”
Aku mencoba menutup pintu di depan mereka, tapi ujung sepatu pantofel muncul, terjepit di celah pintu. Ini bukan pengantaran. Ini penjualan dari pintu ke pintu yang agresif.
"Sudah, sudah, jangan begitu. Kamu belum makan malam, kan? Aku akan membuatnya untukmu!"
"Aku gak mau makan malam yang cuma telur rebus, makasih..."
Aku terpaksa membuka pintu lagi, dan sekarang aku bisa melihat Yua berdiri di belakang Yuuko, tampak menyesal.
"Maaf sekali aku menerobos masuk. Yuuko sudah bertekad kami akan datang, kamu tahu."
Yua mengangkat kantong belanja supermarket yang dipegangnya dan menunjukkannya padaku. Sebatang daun bawang besar menyembul tanpa sengaja dari atasnya. Itu terlihat cocok untuk Yua, dan aku mendapati diriku tersenyum sendiri.
"Hmm, yah, kalau kamu di sini, Yua, setidaknya aku gak perlu khawatir dia akan membakar tempat ini."
"Kejam sekali! Apa maksudmu dengan itu?!"
Aku memanggil mereka berdua masuk, dan Yua mulai mengeluarkan belanjaannya.
Yua pernah ke rumahku sekali atau dua kali, jadi dia tahu jalannya. Dia tidak mungkin memeriksa stok bumbu dapurku sebelumnya, tapi dia berpikir untuk membeli beberapa lagi yang hampir habis, termasuk isi ulang. Keahlian Yua sebagai ibu rumah tangga memang patut diperhitungkan.
Di sisi lain, Yuuko menghilang ke kamar mandi sambil memegang kantong belanja kertas.
Hei, bagaimana dengan latihan ilmu rumah tanggamu? Setidaknya perhatikan instrukturmu saat dia bekerja.
Aku menyalakan sistem stereo Tivoli Audio-ku, menyinkronkannya ke ponselku dengan Bluetooth, lalu menyetel musikku secara acak. Lagu "Go to the Wild Side" dari Glim Spanky mulai diputar, dan tiba-tiba...
"Ta-daa!"
Yuuko membuka tirai yang mengarah ke ruang ganti kamar mandi.
Aku mohon padamu, dengan lagu intro yang luar biasa seperti itu, bisakah kamu memasak dengan alunan lagu "Main Street"?
Aku berbalik, memutar mataku sedikit, lalu aku kehilangan kata-kata.
Di atas seragamnya yang familiar, Yuuko mengenakan celemek yang dirancang agar terlihat seperti gaun biasa. Agak retro, mungkin begitulah. Bagian atasnya bermotif bunga yang sebagian besar berwarna biru, dan bagian pinggangnya dihiasi pita besar yang diikat erat seperti tali. Jika kalian menurunkan pandangan kalian melewati pita itu, kalian bisa melihat bahwa sisa celemeknya berwarna biru polos. Celemek itu tampak cantik di tubuhnya, dengan rambutnya yang diikat ekor kuda agar tidak menghalangi saat memasak. Pinggangnya yang ketat membuat payudaranya yang berukuran D-cup semakin menonjol dari biasanya.
Terus terang, Yuuko terlihat sangat imut. Dan juga seksi.
"Bagaimana menurutmu?"
Yuuko mendekatiku, tapi aku terlalu malu untuk memberinya pujian yang tulus, jadi aku menjawab dengan biasa.
"Kamu terlihat seperti istri baru yang langsung mengikuti kelas memasak. Tapi imut."
"Istri!!!"
"Itu bukan pujian."
"Untuk merayakannya, kenapa kamu gak berganti pakaian dengan yukata, Saku-kun?"
"Aku gak melihat ada hubungannya dengan gaya retro di sini?"
Pada suatu titik, Yua juga berganti pakaian dengan celemeknya sendiri.
Celemeknya merek Chums, merek yang cocok untuk kegiatan di luar ruangan. Terbuat dari denim dan memiliki beberapa saku besar, dengan logo Chums Booby Club berwarna merah.
Sepertinya celemek itu dipilih karena daya tahannya—sungguh Yua sekali. Namun, celemek itu memberinya kesan autentik yang membuatnya tampak seperti ibu rumah tangga sejati. Dan juga seksi.
"Coba tebak apa yang Yuuko lakukan sepulang sekolah? Dia langsung pergi membeli celemek itu." Yua tertawa kecil seolah benar-benar geli mendengarnya.
"Kamu sampai terpengaruh dengan ucapan Nanase, ya?"
Yuuko menggembungkan pipinya dengan kesal.
"Enggak. Kupikir sebaiknya aku belajar mengerjakan pekerjaan rumah, atau itu hanya akan mempersempit pilihanku untuk masa depanku."
"Sejenak, aku hampir terkesan melihatmu memikirkan semuanya dengan begitu serius. Tapi kenapa kamu harus melakukannya di rumahku?"
"Memangnya kenapa? Kalau aku mau belajar, aku akan belajar jauh lebih cepat kalau aku melakukannya untuk seseorang yang sangat kusukai, bukan hanya untuk ayahku."
"Jangan sampai ayahmu mendengarmu mengatakan itu. Kamu gak mau membuatnya menangis, kan?"
Aku tersenyum kecut, menatap Yua yang melipat kedua telapak tangannya di depan dadanya, terlihat menyesal untuk itu.
Yua pasti mencoba bernalar dengan Yuuko menggunakan segala macam logika. Aku benar-benar bisa membayangkannya.
Hmm, yah, memang agak mengejutkan, kuakui, tapi makan malam yang dimasak untukku oleh dua gadis cantik seperti ini—aku tidak bisa mengeluh untuk itu.
Aku menggelengkan kepalaku seolah berkata "tidak masalah sama sekali", berbicara kepada Yua sekarang.
"Jadi, apa menu malam ini?"
"Aku pikir kami akan mencoba sesuatu seperti semur daging dan kentang. Hidangan ini klasik dan gak terlalu sulit dibuat."
"Terdengar hebat. Omong-omong, di balik celemek itu, apa kamu—? Hei, hei, aku cuma bercanda! Potong sayurannya, jangan aku!"
✶
Clink, clink. Chop, chop. Bubble, bubble.
Apartemen ini dipenuhi irama memasak. Karena tidak ada kegiatan, aku pun bersantai di sofa dan mendengarkan bunyi-bunyian itu.
Waktu kecil dulu, dan aku diundang ke rumah teman, atau waktu aku menginap di rumah nenekku, aku selalu ingat momen-momen seperti ini.
Orang tuaku sendiri biasanya lembur di hari kerja, dan bahkan di akhir pekan, mereka tipe yang langsung masuk kerja kalau perlu. Jadi aku tidak punya kenangan makan malam keluarga. Sejak masuk SMA dan mulai hidup sendiri, aku hanya makan di minimarket, atau makan di luar, dan memasak makanan sederhana.
Mungkin itu sebabnya terkadang, dalam perjalanan pulang sekolah, aku mencium aroma kari saat berjalan di gang belakang, dan tiba-tiba aku merasa kesepian dan melankolis.
Aku mendapati diriku memikirkan betapa menyenangkannya, hanya duduk dan menunggu orang lain memasak makan malam. Mungkin Yua menyadari hal itu tentangku, dan itulah sebabnya dia sesekali datang dengan alasan untuk memasakkan makanan untukku.
"Yuuko, hati-hati! Jarimu!"
"Tenang aja! Aku bisa menghindarinya!"
Aku mendapati diriku memikirkan hal-hal dalam lamunanku seperti, Jika aku punya keluarga di masa depan yang jauh, apa rasanya akan seperti ini?
Apa aku akan bermalas-malasan di sofa seperti ini, minum bir atau apalah, mendengarkan musik dan membaca novel?
"Yuuko, jangan terlalu banyak mengupasnya! Nanti gak ada kentang yang tersisa!"
"Benarkah? Tapi aku sedang di zona mengupas!"
Apartemen ini awalnya adalah apartemen dua kamar tidur dengan satu dapur, tapi telah direnovasi paksa menjadi satu kamar tidur dengan dapur makan. Tidak ada yang mewah seperti meja dapur besar.
Aku mengangkat kepala, melihat mereka berdua berdiri di sana bekerja di salah satu sudut apartemen. Sulit bagiku untuk melihat gadis-gadis itu bercelemek dari depan, tapi sejujurnya, pandangan dari belakanglah yang benar-benar membuatku terharu. Tali celemek yang diikat erat memang menonjolkan bokong mereka dengan cara yang sangat seksi, tapi di saat yang sama, pemandangan itu terasa menenangkan.
"Yuuko, tunggu dulu! Satu sendok makan bukan berarti satu sendok makan penuh!"
"Okee!"
"Apa kamu yakin bisa menangani ini?!"
Aku mencoba mengabaikan kejadian itu dan menikmati suasana yang menyenangkan, tapi aku tidak bisa menahan keinginan untuk mengejek Yuuko.
Aku bangkit dari sofa dan menuju ke dapur, di mana aku menemukan celemek khusus Yuuko berlumuran berbagai macam bahan hingga benar-benar berantakan.
Tapi orang yang memakai celemek itu—dia tetap ceria seperti biasa.
"Saku-kun, memasak itu menyenangkan sekali!"
Aku sempat bertatapan dengan Yua, yang berdiri di samping Yuuko, menasihatinya sambil mencuci piring. Dia tampak lesu, jadi aku menepuk bahunya untuk menenangkan, dan saat itulah dia berbicara kepadaku dengan suara yang terdengar sangat lemah.
"Sudah.... hampir siap. Bisakah kamu menyiapkan mejanya, Saku-kun?"
"Aku akan mengerjakannya."
"Ah, bolehkah aku minta bantuan, Saku-kun? Bisakah kamu menyingsingkan lengan bajuku?"
"Tentu."
Aku berdiri di belakang Yua dan menggulung lengan bajunya.
"Hei! Ucchi! Itu licik sekali!"
"Sudahlah, Yuuko! Awasi terus pancinya! Pancinya!"
Aku meninggalkan dapur dan meletakkan tiga alas piring di atas meja, sebelum menyemprot beberapa tisu dapur dengan alkohol disinfektan dan mengelap meja. Akhirnya, aku menyiapkan sumpit dan cangkir dengan jumlah yang sama.
Awalnya aku tidak punya alas piring, dan sumpit serta cangkirku hanya cukup untuk satu orang, tapi berkat Yuuko dan Yua, tempat ini menjadi jauh lebih lengkap akhir-akhir ini. Kazuki dan Kaito terkadang mengeluarkan uang untuk belanjaan, tapi mereka berdua cenderung memikirkan detail-detail kecil ketika mereka punya waktu.
Aku membuka penanak nasi dan menuangkan nasi koshihikari Fukui yang masih panas ke dalam tiga mangkuk nasi, lalu meletakkannya di atas meja. Ngomong-ngomong, orang-orang Fukui tumbuh besar dengan keyakinan bahwa nasi ini hanya berasal dari Fukui, tapi sebenarnya koshihikari memiliki sejarah yang cukup beragam. Tapi begitu kalian membahasnya, hati-hati, karena akan memicu omelan yang membandingkan Fukui dan Prefektur Niigata. Jangan coba-coba di rumah, anak-anak.
Belakangan ini, tampaknya varietas beras ichihomare mulai meninggalkan koshihikari. Aku benar-benar harus mencobanya suatu hari nanti.
Sementara aku sibuk dengan hal ini, Yuuko dan Yua sepertinya juga sudah selesai. Hidangan utama, semur daging dan kentang, disajikan di meja, dan ada juga sup miso dan sesuatu yang tampak seperti lauk.
Yua melepas celemeknya, lalu duduk di meja dengan sedikit penyesalan di wajahnya.
"Maaf, Saku-kun. Hari ini kami gak bisa memasak banyak...."
Sepertinya Yua biasanya mengikuti formula satu sup, tiga lauk, jadi dia pasti merasa kurang variasi di meja. Aku tidak perlu bertanya kenapa; alasannya sudah jelas, dan lagipula, aku sangat senang makan malam dibuatkan untukku.
"Gak masalah kok, hidangannya kelihatannya lezat. Apa ini?"
Aku menunjuk satu hidangan yang tidak bisa kukenal.
"Aku punya sisa daun daikon dari yang kumasukkan ke sup miso, jadi aku menggorengnya dengan minyak wijen bersama cabai merah kering, ikan jako kecil, dan beberapa serpihan bonito, lalu membumbuinya dengan sedikit saus mentsuyu. Kupikir itu cocok dengan nasi putih."
"Sebuah penemuan yang hanya bisa datang dari seorang ibu rumah tangga veteran."
"Hei! Jaga ucapanmu!"
Yuuko menambahkan hidangan lain ke meja saat itu.
"Ini, Saku-kun. Habiskan!"
"Tentu, makasih. Kalau bisa, bisa kupas ini? Dan mungkin potong jadi dua? Itu akan membuatnya terlihat seperti makanan yang benar-benar kamu buat untuk makan malam, tahu?"
Yuuko baru saja merebus tiga butir telur.
Di samping kami, Yua tertawa geli.
"Yuuko benar-benar ingin menantang dirinya sendiri."
"Hehe. Ucchi yang memberitahuku cara membuatnya! Aku sudah jadi maestro telur rebus sekarang!"
Memang tidak mudah mengacaukan telur rebus.
Pikirku, tapi Yuuko tampak begitu bahagia, mengacungkan tanda peace-nya kepadaku, sehingga aku tidak tega merusak suasananya. Ngomong-ngomong, waktu pertama kali tinggal sendiri, aku juga membakar beberapa telur mata sapi.
"Aku gak sabar untuk mencobanya. Ayo kita makan sebelum dingin."
"Nee, Saku-kun, kamu mau makan malam? Mandi? Atau langsung ke...?"
"Aku bilang makan!!!"
✶
Semua yang Yuuko dan Yua masak dengan cita rasa yang lembut dan matang sempurna. Benar-benar lezat.
Kalau aku yang masak sendiri, aku cenderung terlalu banyak bumbu dan membuat masakan buatan sendiri yang sederhana, tapi masakan rumahan yang enak seperti ini benar-benar menenangkan jiwa.
Ada beberapa sayuran yang mungkin agak meragukan, tapi aku tahu Yuuko sudah berusaha keras. Aku tidak terlalu memperhatikannya dan membiarkan sumpitku masuk ke mode menyendok. Aku tidak yakin apa itu karena bimbingan Yua atau hanya keberuntungan, tapi telur rebus Yuuko benar-benar encer di tengahnya.
Ketika aku memberi mereka ulasan jujur tentang makanan buat mereka itu, mereka berdua tersenyum tipis, dan aku merasa sedikit bersalah karena tidak memberi mereka lebih banyak, padahal aku hanya orang yang membuatkan makanan untuk diriku sendiri.
"Yua-san, daun daikon ini enak sekali!"
"Mau porsi lagi?"
"Iya."
Aku mengulurkan mangkukku, dan isinya pun terisi kembali.
"Mau teh juga, Saku-kun?"
"Tentu."
Aku mengulurkan cangkirku, dan teh barley dingin langsung meminumnya.
"Pipimu."
"Mm."
Aku menoleh ke arah Yua, yang langsung mengambil butiran nasi yang menempel di wajahku sebelum memasukkannya ke mulutnya sendiri.
"Berhenti!!!"
Yuuko tiba-tiba berteriak.
"Ucchi! Itu curang banget! Kok bisa-bisanya kamu bertingkah seperti istri yang... gak tahu malu?! Kamu bahkan gak memberiku kesempatan!"
"Er... aku gak ngerti maksudmu."
Yua menggaruk pipinya, tampak bingung.
Hmm, aku mengerti perasaan Yuuko. Ada apa dengan toleransi Yua yang luar biasa itu? Meninggalkan diri, tubuh, dan jiwa, tanpa berpikir dua kali.
"Kamu benar-benar hebat, Ucchi. Aku gak hanya bicara tentang hari ini. Kamu bisa dengan mudah mulai hidup sendiri kapan saja."
"Entahlah. Kurasa aku bisa mengerjakan pekerjaan rumah, tapi aku yakin aku akan sangat kesepian jika tinggal sendirian, lama-lama."
"Hmm. Apa kamu pernah kesepian, Saku-kun?"
Yuuko mengalihkan pembicaraan kepadaku.
"Ya, aku kesepian. Sejujurnya, aku akan senang jika kalian bisa menginap malam ini. Kita bertiga dengan nyaman bersama, tidur berjajar..."
"Aku mau menginap!"
Yuuko bersorak.
"Aku gak mau menginap."
Kata Yua.
Tapi, terlepas dari semua candaan itu, mari pikirkan ini dengan serius.
"Setelah orang tuaku memutuskan bercerai, dan aku diberi kesempatan untuk mencoba hidup sendiri..."
Begitu aku membuka mulut dan mulai berbicara, ekspresi mereka berdua tidak terbaca. Tentunya, aku sudah menceritakan keadaan keluargaku kepada mereka berdua.
"Sejujurnya, yang kurasakan bukan rasa gugup, melainkan rasa lega, dan aku gak marah, hanya bersyukur. Kedua orang tuaku sepertinya gak pernah benar-benar melihatku, tapi setidaknya mereka berdua menghargai pendapatku."
Seperti yang kujelaskan kepada Nanase belum lama ini, orang tuaku sangat bertolak belakang. Namun, kedua orang tuaku memiliki filosofi pengasuhan anak yang sama, yaitu Berpikir dan putuskan sendiri. Tentu saja, filosofi itu sejalan dengan Bertanggung jawablah atas pilihanmu sendiri. Tapi aku suka bahwa mereka tidak hanya menolak apa yang aku inginkan tanpa mendengarkanku terlebih dahulu.
"Kalau dipikir-pikir, aku memutuskan cara hidup ini untuk diriku sendiri, jadi aku selalu merasa itu lebih menyenangkan daripada yang lain. Kedengarannya agak klise, mungkin, ketika mereka mengirimiku uang untuk hidup, tapi dengan seluruh gaya hidupku yang sepenuhnya berada dalam kendali dan tanggung jawabku sendiri.... aku gak bisa bilang aku membencinya."
Yuuko dan Yua sama-sama mendengarkan dengan ekspresi serius.
"Tetap saja, akan bohong kalau aku bilang aku gak pernah mengalami malam-malam sepi yang aneh itu. Makanya, aku senang sekali kalau kalian berdua datang berkunjung sesekali seperti ini."
Setelah itu, aku tersenyum.
Yuuko tampak agak bimbang.
"Begitu ya.... kamu tahu, sejujurnya, sampai aku mendengar apa yang semua orang katakan hari ini, aku gak pernah berpikir untuk meninggalkan prefektur atau tinggal sendirian. Ketika aku memikirkan bagaimana Kazuki-kun dan Yuzuki akhirnya akan meninggalkan Fukui, itu membuatku merasa sangat, sangat sedih."
Melanjutkan kuliah di prefektur atau meninggalkan prefektur sama sekali. Ya, pilihan itu akan berdampak besar pada dinamika kelompok kami.
Jika kami semua memilih Universitas Fukui, maka kami semua mungkin akan tetap bersama bahkan setelah lulus SMA. Tapi mereka yang meninggalkan Fukui akan pergi ke kota-kota baru dan mendapatkan teman serta rumah baru untuk diri mereka sendiri. Tidak diragukan lagi mereka hanya akan bertemu teman-teman kampung halaman mereka ketika mereka kembali ke prefektur untuk acara musiman seperti Obon dan Tahun Baru.
Jika Asuka pergi ke Tokyo, aku mungkin tidak akan punya kesempatan lagi untuk bertemu dengannya—atau bahkan alasan untuk itu. Bahkan, karena Asuka sudah berada di kelas yang berbeda di sekolah dan memiliki kelompok pertemanan yang sama sekali berbeda, hal itu menjadi dua kali lipat baginya.
Tidak diragukan lagi Yua juga berpikir serupa.
"Kita semua terhubung lewat ponsel dan media sosial, tapi kalau kamu atau Yuuko meninggalkan prefektur, Saku-kun, kita pasti sulit bertemu dan masak makan malam bersama seperti ini, benar?"
"Ucchi, jangan bahas itu, kumohon. Kamu buat aku depresi."
Suara Yuuko agak tercekat.
Yua mengulurkan tangan untuk membelai rambut Yuuko, menenangkannya, lalu melanjutkan.
"Tapi apa kalian tahu, kita sudah di usia di mana kita harus mulai memikirkan hal-hal ini, kan? Memikirkannya dengan serius, selagi kita masih bisa menghabiskan waktu bersama, seperti ini saja."
Aku berdeham, ingin agar percakapan ini tidak semakin kelam dan dingin.
"Baiklah, kurasa kita harus menginap malam ini dengan nyaman ber...."
"Kamu bisa tidur di lantai dapur, Saku-kun."
"Hei! Aku yang bisa kesepian di sini!"
✶
Hari sudah mulai larut, jadi aku mengantar mereka berdua pergi, lalu kembali ke apartemen. Aku masuk dengan suara gesekan kunci di lubangnya, menyadari bahwa suasana hangat itu telah lenyap seolah tidak pernah ada, dan apartemen itu diselimuti keheningan yang pekat.
—Ya, terkadang, aku memang merasa kesepian.
Tanpa menyalakan lampu di ruang tamu, aku menggunakan senter ponselku untuk menuju kamar tidur. Lalu kunyalakan lampu meja berbentuk bulan sabit di meja kecil di samping tempat tidurku dengan sekali bunyi klik.
Cahaya hangat itu menyebar ke seluruh kamarku yang dingin, dan aku merasa lega saat berguling ke tempat tidur.
Menatap langit-langit dengan malas, aku memikirkan Asuka.
Rasanya aneh, dia bimbang akan masa depannya. Ragu-ragu akan masa depan memang wajar bagi seorang murid SMA, tentunya, tapi itu membebani pikiranku, penolakan Asuka yang keras kepala untuk membahas alasannya.
Asuka pernah bilang dia ragu-ragu antara Tokyo dan Fukui. Dia juga bilang pada dasarnya dia sudah bulat hatinya, tapi kalau dia bahas itu sama aku, dia mungkin bakal goyah.
Asuka selalu memancarkan aura bebas seperti, "Aku cuma menjalani hidup dengan caraku sendiri, persis di mana aku seharusnya berada, dan satu-satunya petunjuk yang perlu kuikuti adalah caraku sendiri." Kelemahannya itu sama sekali bukan dirinya.
Tapi.
Pikirku. Mungkin akulah yang telah menempatkannya dalam peran seperti itu dan memaksakannya.
Suatu kali, aku bilang padanya dia seperti gadis hantu di mataku.
Dan apa katanya? Kalau kami lebih dekat lagi, kami takkan bisa terus memainkan peran kami, dia berperan sebagai gadis yang lebih tua dan aku sebagai adik kecil yang menggemaskan.
"Lagipula, kamu memang gadis SMA biasa, kan?"
"Jelas dong."
Bagaimana jika, bagaimana jika.
Percakapan tidak jelas, berputar-putar di kepalaku. Pikiranku mulai kabur saat aku merasa diriku melayang ke dunia mimpi.
Apa aku memaksakan fantasi sepihakku pada Asuka?
Aku benar-benar ingin percaya bahwa itu tidak benar.
Akan sangat menyenangkan jika aku bisa dengan lancar meraup dan menyampaikan kepadanya semua hal menakjubkan tentangnya, semua hal keren tentangnya, dan kecantikannya yang tidak tertandingi, yang bahkan tidak disadarinya sendiri.
—Persis seperti seorang gadis muda bergaun putih yang pernah mengatakan bahwa aku bebas.
✶
Beberapa hari kemudian, akhirnya kami punya waktu makan siang dengan langit cerah. Setelah selesai melahap makan siang, aku pergi ke lapangan bisbol bersama Haru.
Haru mengajakku bermain tangkap bola dengannya, karena dia punya sarung tangan bisbol baru. Kubilang mengajak, tapi ini Haru yang sedang kita bicarakan di sini, jadi itu lebih seperti permintaan. Yap, begitulah Haru.
Sudah hampir setahun sejak aku berhenti olahraga klub.
Aku berpikir aku harus bermain bisbol cepat atau lambat, hanya untuk bersenang-senang. Mungkin Haru sedang berbuat baik padaku dengan memberiku kesempatan ini.
"Chitose! Aku gak tahu bola bisbol SMA sepadat dan seberat ini. Mengetahui betapa kerasnya bola-bola ini bisa terlempar, benar-benar membuatku bersemangat! Awas bola mautku, sekarang!"
....Ya, lagipula aku hanya terlalu banyak berpikir. Haru hanya ingin menambah hobi fisik lain ke dalam kegiatannya, melepaskan sebagian amarahnya. Aku memasang sarung tangan Mizuno Pro-ku di tangan kiriku. Aku tidak melewatkan perawatannya. Lalu aku memukulnya beberapa kali dengan tangan kananku. Semuanya langsung membuatku teringat kembali. Jeruk pahit yang masih cerah. Jaring yang diikat tali. Aroma kulitnya.
Aku menarik napas, menghirup aroma debu yang beterbangan di udara.
Saat itu tepat di tengah musim hujan, tapi sinar matahari begitu terik, menandakan datangnya musim panas setengah langkah lebih awal dari biasanya.
—Ah. Di sinilah aku, berdiri di lapangan bisbol.
Aku memberi isyarat pada Haru dengan tanganku. Haru tampak siap untuk melempar. Segunung bola melayang ke arahku, dan aku menangkap setiap bola dengan sarung tanganku dengan suara dentuman yang nyaring. Momen itu, sensasi akselerasi saat berlari mengejar bola terbang dan momen saat menangkap dan melemparnya kembali, sengatan kegembiraan saat mencuri dan meluncur ke base berikutnya, sensasi memukul bola penentu kemenangan dengan inti tongkat pemukul—semuanya langsung terasa, dan aku hampir menangis.
Mengucapkan terima kasih dalam hatiku, aku melemparkannya kembali pada Haru dengan lembut. Haru memang berbakat dalam olahraga. Dia menangkap bola dengan rapi menggunakan sarung tangan baru yang katanya dibelinya sendiri, tapi kemudian dia gagal menangkapnya. Bola itu menggelinding kembali kepadaku.
"Agh! Kukira aku menangkapmu tadi!"
"Haru-san, pinjamkan sarung tanganmu sebentar?"
"Gak, gak! Menyalahkan kesalahanku sendiri pada peralatanku? Aku tahu lebih baik, Chitose."
"Serahkan saja, dasar pemula."
Haru menyerahkan sarung tangannya yang berwarna merah cerah kepadaku.
Sepertinya dia membeli sarung tangan murah yang generik dari toko olahraga. Itu bukan jenis sarung tangan pengganti yang biasa digunakan tim bisbol profesional, tapi aku terkejut dia benar-benar mendapatkan sarung tangan yang cocok untuk latihan keras.
Sarung tangan Haru ini masih kaku, jadi aku mencoba menyentuhkan bagian ibu jari dan kelingking beberapa kali untuk melunakkannya. Sarung tangannya jadi sedikit lebih lentur, lalu aku membanting bola ke bagian telapak tangan beberapa kali agar lebih mudah ditangkap.
Setelah bentuk sarung tangannya ini memuaskan, aku mengembalikan sarung tangan itu kepada gadis itu.
"Ini, coba sekarang."
Haru membuka dan menutup sarung tangan yang baru saja kuberikan padanya.
"Rasanya lebih lentur dari sebelumnya sekarang!"
"Aku gak bisa membuatnya membuka dan menutup dengan mulus dalam waktu sesingkat itu, tapi kalau terus dipakai tanpa salah menekuk, akan segera terasa familiar. Saat disimpan, simpan bola di dalamnya, dan gunakan karet gelang untuk mengencangkannya kalau bisa. Aku akan membawakannya untukmu."
"Oooh, hadiah, khusus untuk Haru ini?"
"Itu cuma tali yang diikat pakai Velcro."
Aku berputar di belakang Haru sambil bicara.
"Akan kusentuh sebentar."
"Oh mouu! ♡"
"Bukan begitu. Kan kamu yang nyuruh aku perhatikan detailnya."
"Aku bercanda. Ayo."
Aku meletakkan tanganku di sarung tangan yang dipakai Haru dan memutarnya agar bagian dalamnya terlihat.
"Lihat cekungan ini, di mana bolanya? Biasanya, kamu harus coba tangkap di sana. Oke, kencangkan tangan kirimu, dan.... Hyah!"
Whap!!!
Aku membanting bola sekuat tenaga ke titik yang baru saja kutunjuk.
"Owwww!!!"
"Bagus, bagus, ingat rasa sakit itu."
"Kamu nggak perlu tiba-tiba ngeluarin banyak tenanga kepadaku!"
"Baiklah, ayo kita lanjutkan."
"Tapi itu masih sakit banget, tahu?!"
Aku melingkarkan lenganku di pinggangnya dari belakang dan menggenggam tangannya. Lagipula, bukan masalah kalau laki-laki menempelkan dadanya ke punggung gadis, kan?
Haru menegang sesaat, lalu langsung lemas. Aku berusaha mengabaikan sensasi panas tubuhnya sambil bicara.
"Yang dilakukan banyak gadis adalah melempar bola seperti sedang mendorongnya keluar, gak seperti lemparan tolak peluru. Jangan begitu. Putar badanmu seperti ini."
Aku membimbing tubuh Haru ke posisi yang benar.
"Tarik lenganmu yang berlawanan ke dalam secara terbalik saat kamu melempar."
Aku tetap dekat dengannya sampai akhir latihan lemparan lalu menjauh.
Haru menatapku, tampak sedikit malu; lalu, seolah tidak tahan lagi, dia mendengus.
Lalu Haru benar-benar tertawa—tertawa terbahak-bahak.
"Ahahaha, lucu banget. Kamu begitu proaktif hari ini."
"Aku gak ingat pernah mencoba menceramahimu sama sekali?"
"Yah, rasanya memang seperti itu. Kamu begitu bersemangat. Kamu sangat suka ini?"
"Aku gak ngerti. Aku hanya mencoba mengajarimu cara bermain yang benar."
Haru kecil menatapku dengan rasa ingin tahu.
"Yup, aku suka sisi dirimu yang itu. Sungguh."
"....Kamu sendiri sangat proaktif hari ini."
"Lebih baik kutekan saja, ya?"
Lalu Haru membanting bola yang dipegangnya ke sisi kiri dadaku.
Aku terbatuk menanggapi sanggahan cerdas yang sudah kusiapkan dan langsung meraih bola itu. Aku tertawa, dan tawa itu penuh emosi.
"Baiklah, waktunya latihan."
Kataku.
"Ayo!"
Haru berlari kecil mundur, mengambil jarak, dan aku melempar bola yang sedikit lebih cepat padanya.
Bola itu membentur sarung tangannya dengan suara yang menyenangkan.
Kali ini, posturnya sedikit lebih baik dari sebelumnya, dan bola kembali kepadaku sedikit lebih cepat.
Aku melempar bola itu lagi, hanya sedikit lebih cepat lagi. Haru menangkapnya dengan jelas dan senang lalu melemparkannya kembali.
Ini menyenangkan. Aku berharap hal ini bisa terus berlanjut.
Pikirku.
Pada lemparan kelima kami, Haru melempar bola terlalu keras, dan meskipun aku melompat sekuat tenaga, aku tidak bisa menangkapnya. Lemparannya benar-benar liar.
Aku mendarat dengan keras, dan aku baru saja berbalik untuk mengambil bola yang melenceng itu, ketika....
"—Yo, Saku."
Ada beberapa mantan rekan satu timku dari klub bisbol berdiri di sana. Orang di depan kelompok itu mengambil bola yang perlahan menggelinding ke arah kakinya. Lalu dengan sekali sentakan, dia melemparkannya ke arahku. Aku menangkapnya dari samping, dan setelah hening sejenak, aku tertawa.
"Yusuke.... maaf sudah mengotori lapangan bisbol. Kami akan memastikan untuk menyapu tanahnya dengan rapi setelahnya."
Yusuke Ezaki, pemukul nomor empat klub bisbol SMA Fuji yang hebat, tampak hampir tidak mendengarkan kata-kataku. Sebaliknya, dia mengerutkan keningnya. Entah kenapa, dia tampak sedih.
"Kau masih bermain bisbol?"
Aku menjawabnya, senyumku yang sembrono tidak pernah pudar.
"Kami hanya bermain. Kau memergokiku hendak mengerjai gadis pecinta olahraga ini."
Aku menoleh ke arah Haru dan melemparkan bola ke arahnya seolah-olah ingin melanjutkan sesi latihan kami, tapi bola itu justru melayang di atas kepalanya dan akhirnya menggelinding ke kejauhan.
Haru pasti menyadari sesuatu. Dia sama sekali mengabaikan bola itu dan berlari ke arahku.
"Chitose, siapa mereka?"
"Beberapa mantan rekan setim."
Yusuke mengabaikan nada santaiku dan melangkah maju. Wajah-wajah familiar yang berdiri di belakangnya memperhatikan dengan gugup.
"Saku.... kau yakin gak mau kembali?"
"Astaga, jelas gak. Sudah hampir setahun sejak aku berhenti, kau tahu. Aku yakin kemampuanku sudah benar-benar berkarat sekarang."
"Setahun berhenti gak cukup lama untuk membuatmu berkarat seperti itu."
"Ingat apa yang pernah kau katakan? Intuisi sensitif seorang pemukul bisa hilang dari jarinya jika dia membiarkan tiga hari saja tanpa menyentuh tongkat pemukulnya."
"Ya, tapi ketika aku melihat wajahmu tadi.... kau suka bisbol, kan?"
"—Kalian juga suka bisbol, kan?"
Aku membalikkan pertanyaan itu kembali ke arah mereka, lalu melumat bibirku. Aku tahu aku telah mengacau.
"Kami semua bisa mencoba bicara dengan pelatih kali ini. Gak akan berakhir seperti sebelumnya. Sekarang kami tahu bagaimana rasanya tanpamu, Saku; kami...."
"Hei, dengarkan ini!!!"
Aku baru saja mulai menggertakkan gigiku ketika Haru memotong perkataan Yusuke di tengah kalimatnya, suaranya tinggi dan lantang.
"Aku gak tahu apa yang terjadi, tapi sepertinya kalian yang tidak—atau gak bisa—menghentikan Chitose berhenti?"
Gadis kecil berkuncir kuda itu berdiri di depanku, seolah-olah dia mencoba melindungiku.
"Chitose berhenti bermain bisbol. Jelas ada sesuatu yang terjadi. Aku gak tahu apa kalian bagian dari masalah itu, atau kalian hanya menutup mata."
Haru menepukkan sarung tangannya ke dadanya.
"Tapi yang bisa kukatakan ini : Saat ini, aku sedang berlatih dengannya."
Secara naluriah, aku mengulurkan tangan untuk mencoba menyentuh bahu ramping Haru itu, tapi...
"Hei. Chitose."
Seseorang memanggil namaku dengan keras dan jelas dari belakang kami.
Aku menoleh dan melihat seseorang di sana bersiap untuk melempar, dan aku mundur dua, tiga langkah secara refleks. Bola itu meninggalkan tangannya dengan bunyi dentuman, lalu melesat menembus udara bagai anak panah, mengeluarkan suara mendesis. Bola itu melesat dengan kecepatan tinggi, tepat ke arah dadaku.
Twackkk.
Aku menangkapnya dengan sarung tanganku, sedikit menikmati sengatan di telapak tanganku dan bagaimana tembakan itu menggoyangkanku hingga aku terduduk.
"Lemparan yang bagus... Atomu."
Pelempar itu berjalan santai seolah-olah itu bukan apa-apa.
"Sepertinya kau kedatangan orang-orang menarik di sini. Izinkan aku bergabung."
Melihat penyusup ini membuat Yusuke mengerutkan keningnya sejenak, tapi sesaat kemudian dia menyadari sesuatu.
"Kau... Kau Uemura, dari SMP Youkou, kan?"
"Hmm, jadi bahkan orang-orang yang gak terdeteksi radarku pun mengenaliku begitu saja, hah?"
"Aku kenal hampir semua orang yang bermain bisbol SMP di kota asalku."
"Yah, kecuali Chitose yang sama sekali gak mengingatku."
Atomu mencibir merendahkan diri, lalu berubah serius.
"Omong-omong."
Lanjut Atomu.
"Apa yang kalian para pecundang lakukan di sini? Datang untuk menangis karena kehilangan pemain bintang kalian atau apa?"
Yusuke menyipitkan matanya kesal.
"Apa urusanmu?"
"Gak banyak. Aku hanya melihat Chitose di sini mencoba mengerjai seorang gadis dengan permainan tangkap bola yang biasa, jadi aku datang untuk mengomelinya."
Mereka berdua saling menatap dengan permusuhan dalam diam, sampai akhirnya Yusuke mendengus dan berbalik.
"Lain kali saja, Saku."
Tentunya, aku mengangkat bahuku, mengangkat tangan sebagai tanda perpisahan saat Yusuke berbalik dan mulai berjalan pergi.
Aku memperhatikan dan menunggu sampai Yusuke dan teman-temannya pergi, lalu aku bicara.
"Mau main tangkap bola, Atomu?"
Aku mengulurkan bola kepadanya, dan dia menerimanya, tapi setelah menatap tanganku sejenak, dia membantingnya kembali ke telapak tanganku.
"Kau pasti bercanda. Setidaknya ajari Aomi ini cara memegang bola, bung."
"...Akan kulakukan."
Kalau dipikir-pikir, aku menghabiskan banyak waktu untuk mengomel tentang postur yang benar dan tidak pernah sempat mengajari Haru cara memegang bola. Bahkan dari kejauhan, Atomu ini tahu apa yang sedang dilihatnya. Pantas saja. Lagipula, Atomu ini mantan pitcher.
"Dan kau. Sampai kapan kau akan terus seperti ini, hah? Apa kau gak tahu bagaimana caranya melepaskan."
"..."
Mungkin Atomu sudah kehilangan minat sekarang, atau mungkin dia punya alasan lain untuk datang. Bagaimanapun, hanya itu yang dikatakan Atomu. Setelah itu, dia berjalan meninggalkan lapangan tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.
"Ugh. Dia aneh sekali."
Aku memegang bola di antara jari tengah dan jari telunjukku, lalu mengulurkannya ke arah Haru.
"Ini cara memegang bola yang benar. Dan juga..."
Aku membanting bola ke dalam cup sarung tangannya.
"Makasih. Sudah menjadi rekanku dalam permainan tangkap bola."
Haru tersipu malu sejenak, lalu menyeringai.
"Aku berhasil melemparkan, kan?"
"Tepat di jantung, memang."
Bel berbunyi, menandakan berakhirnya jam makan siang. Untuk mengatasi perasaan canggung yang tiba-tiba muncul, kami mencurahkan seluruh perhatian untuk menyapu tanah dengan rapi, lalu kami berlari ke kelas.
✶
Sepulang sekolah hari itu, Tahun kedua, Kelas Lima menyelesaikan jam pelajaran di kelas dan mulai bersiap-siap untuk pergi ke klub masing-masing atau pulang. Aku memasukkan buku pelajaran dan kotak pensilku ke dalam tas Gregory-ku sambil mengobrol dengan anggota Tim Chitose lainnya.
Yuuko sudah mengemasi barang-barangnya dan sekarang berbicara dengan penuh semangat.
"Nee, Saku-kun. Ada rencana sepulang sekolah hari ini?"
"Gak ada. Memangnya kenapa?"
"Kupikir aku akan datang ke tempatmu dan memasak makan malam lagi."
"Berawal dari layanan rumah tangga dan berubah menjadi layanan antar istri yang agresif, ya?"
"Istri!!!"
"Itu bukan pujian!"
Nanase datang, tas olahraga sudah tersampir di bahunya, dalam perjalanan keluar untuk latihan klub.
"Chitose, kalau kamu gak punya rencana lain, kenapa gak datang dan nonton latihan kami? Misaki Sensei bilang akan memperbolehkanmu datang kapan saja."
"Gak mungkin. Misaki Sensei membuatku takut."
"Dia mau kamu bertanggung jawab."
"Apa maksudnya?"
"Ingat apa yang kamu lakukan padaku hari itu, hmm?"
"Jangan bicara seperti itu! Kupikir ada kesalahpahaman besar yang terjadi, tahu!"
Sejak insiden penguntit itu terbongkar, aku dan Nanase kembali menjadi Chitose dan Nanase yang sebelumnya. Teman-teman sekelas kami, yang jelas-jelas menyadari kedekatan kami yang sementara, semuanya tampak menganggapnya sebagai topik tabu, tumor yang tidak seharusnya diungkit-ungkit.
Ngomong-ngomong, situs gosip dunia bawah sekolah dipenuhi dengan postingan-postingan pilihan tentang topik itu. Semuanya mengatakan hal-hal seperti : Chitose, si Playboy Kelas Lima itu, telah menghamilinya dan membuatnya seperti yang lain!
....Cih.
Saat kami semua mengobrol, pintu kelas terbuka, dan...
"Hei, teman. Mau kencan dengan kakak kelasmu ini?!"
Asuka berlari masuk, suaranya cukup keras untuk membangunkan orang mati.
Secara refleks, aku melompat berdiri, mataku melirik ke arah dua gadis lainnya.
Ah! Senyum yang indah, nona-nona! Tapi tolong, jangan lupa untuk melibatkan mata juga! Kalian benar-benar membuatku takut!
Asuka datang melayang, seolah-olah dia tidak berbobot.
"Jadi. Mau kencan?"
Asuka berjongkok di depan mejaku, meletakkan dagunya di punggung tangannya dan berkedip dengan nakal ke arahku.
"Dan kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini?"
"Sudah kubilang, kan? Aku benci harus membuat rencana sebelumnya."
"Memang, tapi kamu juga bilang sesuatu tentang bagaimana kita harus menghindari kencan dengan cara apapun."
"Itu sudah lama sekali. Aku sudah lupa semua itu sekarang."
"Dan itu harus hari ini?"
"Aku gak pernah punya rencana setelah malam ini."
"Apa itu seharusnya Casablanca?"
Percakapan ini mengingatkanku pada sesuatu yang pernah kulihat di film lama. Sesaat kemudian, Asuka berdiri.
"Jadi, Hiiragi, Nanase, bolehkah aku meminjamnya?"
"Itu..."
Ekspresi Yuuko berubah; dia tampak sangat bimbang.
Yuuko baru saja bertemu Asuka, saat sesi rencana masa depan, dan Asuka memang merasa lebih tua dari kami. Sulit bagi Yuuko untuk bersikap seperti biasanya di hadapannya. Lagipula, Yuuko seharusnya pergi latihan klub sekarang, jadi dia bahkan tidak bisa menemukan alasan yang masuk akal untuk menghentikan kencan kami.
Namun, Nanase adalah pelanggan yang tenang. Dia melambaikan tangan dengan santai.
"Silakan. Silakan ambil sendiri barang tuaku ini."
"Hei! Siapa yang kamu sebut barang tua itu? Dan aku gak ingat pernah memberimu izin untuk menganggapku seperti barang!"
"...Aku gak bermaksud menyinggung."
"Lalu, ada apa dengan jeda itu tepat sebelum kamu mengatakan itu?!"
Tepat saat itu, sebuah tangan meremas tanganku—namun suara Asuka terdengar riang dan ceria, seolah ingin mencegah siapapun yang terlalu banyak berpikir.
"Baiklah, sudah cukup. Ayo. Kamu milikku sekarang."
Dan Asuka menarik lenganku.
Aku bangkit dari mejaku, dan dengan riang,
"Kami pergi!"
Asuka mulai berlari.
" "Hei! Kami gak bilang kamu boleh membawanya!" "
Kami meninggalkan Yuuko dan Nanase yang mengeluh di belakang kami sambil melesat keluar kelas dan melesat ke lorong. Para murid yang pergi menoleh untuk melihat keributan apa yang terjadi. Para guru di sekitar mulai berbicara bersamaan, mengajukan protes, tapi kami mengabaikan mereka semua dan kembali berlari.
Entah kenapa, semuanya terasa sangat lucu, dan kami berdua tertawa terbahak-bahak saat berlari.
✶
Aku tidak tahu ke mana kami akan pergi, jadi aku mampir ke ruang klub basket putra dan meminjam kunci sepeda tua milik Kaito sebelum meninggalkan sekolah. Aku hanya mendorong sepeda itu untuk saat ini sementara kami berdua berjalan menyusuri rute tepi sungai yang sama, yang sudah kukenal.
"Jadi, lelucon macam apa ini?"
Tanyaku.
Asuka, yang berjalan agak jauh di depan, berputar dengan gembira.
"Tentu saja, ini Kencan Seragam Sekolah yang terkenal itu."
"Bukan itu maksudku."
"Dengar..."
Asuka mundur sedikit, hingga kami berjalan berdampingan.
"Begitu kamu jadi murid tahun ketiga, kamu mulai lebih memikirkan jalan ke depan, tahu? Waktu aku lihat kalian di kelas, aku mulai memikirkan semuanya. Aku bahkan lebih memikirkannya lagi dalam perjalanan pulang. Ini satu-satunya waktu kita semua bisa jadi murid SMA bersama. Sepuluh tahun dari sekarang, kita boleh berharap sesuka hati, tapi kita nggak akan pernah bisa kembali ke masa ini."
"Itulah kenapa kamu mau kencan pakai seragam sekolah?"
Asuka menggaruk pipinya, tampak sedikit malu.
"Maksudku, kita cuma ketemu secara kebetulan di jalan setapak sungai ini. Kita ngobrol dan berpisah, dan hanya itu saja. Kita bahkan gak tahu nomor telepon atau ID LINE satu sama lain. Hubungan seperti itu memang puitis dan romantis, tapi kita gak bisa menyimpan kenangan itu di album foto. Aku gak mau melihat ke belakang dan menyesali kesempatan yang hilang di masa mudaku. Batas waktunya ketat banget. Itu yang kupikirkan."
Itu hanya terasa sentimental murahan bagiku.
Ambil contoh sepuluh murid SMA mana pun. Mungkin setidaknya delapan atau sembilan dari mereka akan memiliki momen di mana mereka memikirkan hal yang sama.
Namun Asuka akan segera meninggalkan tempat ini. Aku masih punya lebih banyak waktu. Kecepatan waktu berlalu mungkin sangat berbeda untuk masing-masing dari kami.
Bagiku, ini hanyalah hari biasa. Tapi bagi Asuka, ini adalah salah satu dari sekian banyak hari yang semakin berkurang.
"Itu mengejutkanku. Kupikir akulah yang akan berakhir tertawa terbahak-bahak dan mengatakan sesuatu seperti itu."
"Ya, aku juga berpikir begitu. Aku mungkin seharusnya gak pergi ke sesi diskusi kelasmu, tapi aku penasaran. Jika aku gak pernah menemukan apapun, aku bisa saja terus menjadi gadis misteriusmu sampai aku menghilang tanpa jejak."
Suaranya diwarnai kelemahan dan kesepian.
"....Asuka Senpai, kamu benar-benar gadis misterius yang lebih tua dariku yang kukagumi."
Aku mencoba berbicara dengan penuh penekanan. Maksudku, sungguh, ini sesuatu yang seharusnya kukatakan. Saat itu, aku berusaha tegar, tapi aku sangat lemah. Aku masih lemah. Di sinilah aku lagi, membiarkan gadis ini menjadi dewasa.
"Maksudku, pikirkan bagaimana perasaanmu saat melihatku dan Okuno bercanda bersama. Melihatmu begitu akrab dengan Hiiragi dan Nanase, aku pun merasakan hal yang sama."
Aku teringat sentuhan tangan Asuka di tanganku, tepat sebelumnya.
"Sejujurnya, aku gak bisa tidur nyenyak tadi malam setelah percakapan itu. Aku gak tahu kenapa. Aku berguling-guling di tempat tidur, seperti saat kamu menggelindingkan kaleng permen Sakuma Drops yang hampir kosong untuk melihat berapa banyak yang tersisa. Begitu akhirnya aku mengungkapkan perasaanku, jawabannya langsung keluar."
Wajah Asuka meringis mendengar itu, lalu senyum tulus muncul di wajahnya.
"Aku menyadarinya, ah, mouu. Asuka Nishino ini hanya gadis SMA biasa, dan aku ingin merasakan masa muda... bersamamu."
Jantungku berdebar kencang saat menatap ekspresi wajahnya itu. Aku belum pernah melihat ekpresi itu darinya sebelumnya. Bibirku bergerak membentuk semacam respons yang tidak memuaskan.
"Seperti kalau kita cuma teman sekolah biasa yang beda kelas."
"Kamu gak suka yang biasa?"
"Enggak, cuma agak susah ngebayanginnya."
"Tapi, kalau memang begitu kenyataannya, bukankah ini saatnya kita coba? Apa kita gak punya alasan untuk dicoba?"
Aku merilekskan bahu dan tersenyum.
"Oh, aku paham. Kamu ternyata lebih suka aku daripada yang kukira, Asuka Senpai."
"Oh, kamu gak sadar?"
Lanjut Asuka, nadanya main-main dan menggoda.
"Aku benar-benar menyukaimu sejak awal."
Kehampaan terbentuk dalam waktu, hanya sesaat.
Angin ringan bertiup, seolah-olah bertiup langsung menuju hari esok. Seekor kucing liar melesat melintasi jalan setapak di depan kami. Dari suatu tempat yang jauh, seekor gagak berkoak-koak. Sungai bergemericik dan berbuih.
Kami saling memandang. Dan saling memandang. Dan saling memandang.
Asuka menolak untuk berpaling. Begitu juga aku.
Sampai titik ini, kami telah menarik garis yang sangat jelas di pasir dalam hal hubungan kami.
Ah, akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa aku terpaksa menariknya, setidaknya. Jadi aku tahu ini bukan benar-benar pernyataan cinta. Ini adalah cara Asuka untuk mengakhiri permainan kami yang aneh dan tidak biasa ini. Perpisahannya yang lembut.
Aku tidak punya alasan untuk mengatakan tidak. Aku tidak perlu diguling-gulingkan seperti kaleng permen untuk jatuh langsung ke tangannya. Kami berdua berada di tahun terakhir SMA yang bisa kami habiskan bersama. Tahu-tahu, kami akan menjadi orang asing. Kami bahkan tidak akan bisa berpapasan di jalan.
Maka aku pun menjawab dengan dialog paling klise yang bisa kalian bayangkan.
"Kalau gitu, untuk saat ini, mau melakukan sesuatu denganku seperti yang biasa dilakukan murid SMA?"
"Tentu!"
Kami berdua berbagi senyum khas murid SMA, mungkin yang pertama sejak kami bertemu. Asuka menarik dasinya hingga terlepas, seolah entah bagaimana dia merasa lega.
✶
Di Jalan Raya Nasional 8, di jalan yang sama dengan mal Lpa, ada arcade dan kafe internet yang letaknya cukup berdekatan, tempat Kazuki, Kaito, dan aku sering nongkrong. Dengan Asuka duduk di belakangku, aku mengayuh sepeda kami berdua ke arah kafe internet.
Aku bilang itu kafe internet, tapi sebenarnya ada berbagai macam hal di dalamnya, seperti ruang karaoke, dart, biliar, dan semacamnya.
Awalnya aku menyarankan agar kami berpencar, menyewa bilik terpisah, dan membaca manga atau semacamnya, tapi…
"Satu-satunya yang boleh dipisahkan saat kencan itu adalah es loli Papico atau Chupet—kalau musim panas!"
....Asuka langsung menolakku.
Berusaha sedikit menahan diri, aku mencoba memilih bilik yang memiliki sofa besar untuk dua orang, tapi Asuka menoleh ke petugas dan, tanpa ragu, memesan bilik dengan sofa ganda untuk dua orang yang bisa tiduran sepenuhnya.
Begitu kami sudah duduk di sofa panjang yang benar-benar mirip tempat tidur sungguhan, aku mencoba menempel di dinding. Tapi aku tidak sanggup lagi saat menjelaskan fitur-fitur kafe internet ini dan mendapati diriku mencondongkan tubuhku. Aku tidak bisa bernapas, aroma lavender milik Asuka memenuhi ruang sempit tempat kami berada, dan aku tahu aku tidak bisa bertahan satu jam penuh di sini tanpa mengumumkan kekalahanku.
Kami pergi untuk melaporkan niat kami kepada petugas sebelum kami menuju ke ruangan tempat papan dart dan meja biliar dipasang. Lalu akhirnya aku bisa bernapas lagi. Tapi ternyata di sana juga sempit, dan kami hanya berduaan.
"Cih, yang benar saja."
Saat aku berbicara pada diri sendiri, Asuka berhenti membelai tongkat biliar yang panjang dan sempit itu dan berbalik menatapku.
"Kukira kamu akan lebih santai dari ini, tahu."
Lalu Asuka menyeringai dewasa padaku, seolah-olah beberapa detik terakhir tidak pernah terjadi. Di ruangan yang remang-remang dan tidak langsung terang, senyum itu tampak sangat cocok untuknya.
Aku menghela napas, mengaduk-aduk bola-bola berwarna cerah di permukaan meja yang dilapisi kain felt biru.
"Aku sedang berkencan dengan gadis yang lebih tua yang kuidolakan—dan tanpa pemberitahuan sedetik pun. Kalau kamu kenal laki-laki yang tidak akan sedikit gelisah dalam situasi seperti itu, aku ingin tahu siapa dia."
"Tapi kamu pasti sudah terbiasa dengan ini, kan? Maksudku, berada di tempat sedekat itu dengan para gadis."
"Aku gak terbiasa berada di tempat sedekat itu denganmu."
"Apa nyaman? Atau menjengkelkan? Atau kamu hanya bingung karena gak yakin harus berbuat apa sekarang?"
"Sekarang, itu bukan pertanyaan yang bijaksana. Itu seperti bertanya pada bayi yang baru lahir, 'Jadi, apa pendapatmu tentang dunia luar?'"
Asuka tertawa kecil, sambil melepaskan tongkat biliar dari tempatnya. Namun, karena antusiasmenya, dia menariknya terlalu keras. Dia segera membungkuk dan mengambil tongkat biliar yang jatuh, lalu berbalik ke arahku dengan ekspresi seperti "Kamu lihat itu?" di wajahnya, tertawa kecil dan menggaruk pipinya.
"Nee. Apa kamu sudah menyadarinya?"
Tanya Asuka, malu-malu.
"Gak ada gadis di luar sana yang gak akan sedikit gelisah saat kencan pertama dengan laki-laki yang lebih muda yang menarik yang dia kenal."
Asuka bilang dia belum pernah bermain biliar sebelumnya, jadi aku mengajarinya aturan permainan bola sembilan.
Singkatnya : kalian menyusun bola bertanda satu sampai sembilan, dan siapapun yang memasukkan bola sembilan lebih dulu menang. Intinya, kalian harus memukul bola isyarat terlebih dahulu dan mengenai angka terkecil di meja, dan terus begitu sampai ada yang memasukkan angka sembilan. Permainannya sangat sederhana.
Tapi sejujurnya, aku tidak tahu cara lain untuk bermain biliar.
Aku meletakkan bola nomor satu di atas dan meletakkan bola sembilan di tengah, lalu meletakkan bola-bola lainnya di sekelilingnya membentuk wajik. Kalian harus memukul bola pertama—itu namanya break shot—lalu kalian hamburkan bola-bola lainnya, dan begitulah permainannya dimulai.
Selagi aku masih menjelaskan, Asuka mulai berlatih dengan bola putih, tapi dia sangat buruk dalam hal itu sampai-sampai aku tidak bisa menahan tawaku.
"Ini bukan anggar. Kamu gak akan berhasil kalau melakukannya dengan satu tangan."
Asuka cemberut menanggapinya.
"Ini pertama kalinya aku dayang ke tempat seperti ini, ingat?"
"Itu gak biasa untuk murid SMA Fukui, kan? Belum pernah ke tempat seperti ini? Biasanya selalu ada yang menyarankan untuk mampir ke sini, setahuku."
"Yah, di rumahku...."
Asuka menyandarkan pantatnya di meja biliar dan menatap langit-langit, seolah mengenang sesuatu.
"Rumahku cukup ketat. Ibuku guru SMP, dan ayahku guru SMA. Mereka berdua sangat ketat. Aku gak diizinkan membeli makanan dari warung kaki lima di festival, dan aku gak diizinkan menginap di rumah temanku. Gak diizinkan pergi ke tempat yang gak sepenuhnya aman untuk anak-anak."
Sejujurnya, pengakuan ini mengejutkanku.
Bagiku, Asuka seperti teladan kebebasan, dan meskipun sepertinya dia bukan tipe orang yang terang-terangan menentang orang tuanya, aku tentunya tidak pernah membayangkan dia tumbuh di bawah aturan seketat itu.
Tentu saja, ada perbedaan besar antara bagaimana orang tua yang berbeda memberikan batasan pada anak-anak mereka. Orang tuaku, sekarang, mereka cukup longgar, karena mereka membiarkanku tinggal sendiri. Tapi beberapa orang tua mengunci anak-anak mereka, memberi anak-anak mereka jam malam ketat pukul sembilan malam ketika mereka tidak latihan klub atau les privat.
Kurasa aku selalu berasumsi orang tua Asuka lebih seperti orang tuaku.
Aku tidak yakin bagaimana harus menanggapinya sekarang.
Mungkin dia tidak pernah menyebutkannya sebelumnya karena topiknya memang belum pernah muncul. Mungkin dia hanya ingin mengatakannya sekarang, saat ini juga.
Setelah ragu sejenak, aku akhirnya menjawab dengan cukup enteng.
"Maksudmu, kamu belum pernah merasakan nikmatnya memakan marumaru yaki, atau semangkuk besar yakisoba, yang dimasak oleh lelaki tua di kios festival, lalu meneguknya dengan sebotol Ramune? Astaga, kamu baru setengah menikmati hidup."
"Seperti yang kamu lakukan sebelumnya, dengan Nanase?"
Aku memalingkan wajahku, sedikit terkena serangan mental, lalu Asuka melanjutkan dengan berkata :
"Tapi..."
"Sebenarnya : aku pernah diajak ke sana, hanya sekali. Dulu sekali."
"Oleh orang tuamu?"
"....Apa kamu mau dengar?"
Asuka tersenyum lebar padaku. Lalu dia melompat dari meja biliar dan mengambil tongkat biliar.
"Karena itu, aku mau kamu ajari aku cara-cara buruk untuk bersenang-senang."
"Ini kan cuma biliar."
"Tapi ini pengalaman pertamaku."
"Kamu yakin mau menyerahkan pengalaman pertamamu yang berharga untuk orang sepertiku, dasar gadis nakal?"
"Itu harus kamu."
Aku tidak nyangka akan jawaban itu, dan aku tidak menemukan balasan untuk itu.
"Maksudmu....?"
Asuka menyeringai nakal.
"Soalnya, kalau ternyata kenangannya gak indah, aku bisa abaikan dan lupakan saja, kan? Kayak digigit anjing."
"Baiklah, baiklah. Balik ke sana. Aku bakal ngajarin kamu ini terus sampai kamu gak sanggup lagi."
Kalau aku bermain melawan Yuuko, atau Yua, atau Nanase, atau Haru, aku bisa saja menganggap ini sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dan membuat lelucon kotor. Tapi aku tidak pernah menyangka akan bercanda seperti murid SMA pada umumnya dengan gadis ini.
Tapi lucunya. Sosok Asuka dalam pikiranku tidak pernah hancur dan jatuh.
Aku mengembuskan napas yang kutahan dan membuka kunci stik biliarku sendiri.
"Pertama, coba pegang dengan tangan kirimu."
Aku menunjukkan padanya cara membuat bridge dasar dan menstabilkan stik biliar dengan tangannya.
Asuka menggerakkan jari-jarinya seperti yang kutunjukkan.
"...Seperti ini?"
"Kamu gak sedang membuat rubah bayangan, di sini. Buat cincin dari jari telunjukmu dan turunkan jari kelingkingmu."
Ah, aku merasa malu menyentuh tangannya lagi. Namun, aku mendapati diriku mengulurkan tangan dan menggenggam tangannya.
"Bukan! Seperti ini, bukan seperti itu! Lalu kamu rentangkan tangan kirimu dan letakkan di atas meja. Letakkan stik biliar di samping jari telunjukmu, lalu dengan tangan kanan, pegang erat-erat...."
Aku merasakan rambut Asuka yang lembut dan berkilau mengusap hidungku seperti tetesan air hujan. Lehernya yang ramping memancarkan aroma feminin, dan aku melompat mundur, kaget.
Geh, hampir saja. Aku tanpa sengaja mulai memanipulasinya ke posisi seperti saat aku mengajari Haru cara bermain bola. Apa yang kupikirkan?
Dihadapkan dengan beratnya tindakanku sendiri, aku mendapati diriku secara mental memutar ulang pemandangan lehernya yang telanjang di depanku, rambut pendek di sana, telinganya yang kecil, tonjolan kecil di tulang belakangnya.
"Oke, jadi... sekarang apa?"
Asuka berbalik, stik biliar di tangan, dan kupikir pipinya tampak sedikit merah muda. Namun, aku tidak bisa menatapnya langsung, karena menoleh ke samping.
"Sekarang.... kamu bidik bagian tengah bola biliar dan tusukkan stik ke depan dengan tangan kananmu."
Asuka mengangguk di sudut pandanganku, lalu menghadap meja, tampak berkonsentrasi penuh.
"Seperti ini?"
Aku menoleh ke belakang dan mendapati dia sedang bersandar tepat di atas meja. Bokongnya yang kecil namun montok dan bulat mencuat keluar, dan roknya, yang bahkan tidak sependek itu, kini beberapa inci lebih pendek di bagian belakang.
Aku bisa melihat pahanya, dan ternyata terlihat lembut untuk tipe gadis androgini seperti Asuka. Paha itu begitu mempesona, begitu muda dan bersemangat, dan meskipun Asuka adalah kakak kelas yang kukagumi, dia tetaplah seorang gadis. Aku tidak bisa mengabaikan fakta itu.
Aku melirik sekeliling untuk memeriksa apa ada orang lain yang memperhatikan, tapi kami tetaplah satu-satunya di sana.
"Y-Ya, seperti itu."
Aku tergagap menjawab, berputar mengelilingi meja sehingga aku menghadap Asuka.
Seandainya Asuka adalah gadis lain, gadis yang pernah kulihat tapi tidak kukenal namanya.... atau bahkan jika dia Yuuko atau Nanase, aku pasti sudah merasa beruntung sekarang. Tapi aku tidak sanggup menatapnya dengan cara yang sensual seperti itu.
Dengan bunyi clunk, Asuka memukul bola putih itu dengan buruk, membuat bola itu terpental ke sisi meja yang empuk dan menggelinding liar.
Aku meraih bola itu dan mengembalikannya.
"Bagus, bagus. Jauh lebih baik dari sebelumnya."
"Kurasa aku sudah mulai terbiasa. Lihat ini."
Asuka meletakkan kembali bola putih itu dan menyiapkan bolanya.
Saat itulah bagian depan kemejanya terbuka lebar, dan mataku terpaku oleh pemandangan kain putih, pita biru kehijauan di bagian depan.
Aku merasa tubuhku mati rasa, dari tubuh bagian bawah hingga punggung bagian tengah. Aku segera memalingkan wajahku, tapi bayangan sensual itu masih terlukis jelas di otakku.
"Asuka Senpai! Dasimu. Kencangkan dasimu, oke?"
"Hmm?"
Asuka terdengar tidak menyadari apa-apa, dan hening sejenak yang berlangsung mungkin tiga detik sebelum aku bisa merasakannya berputar cepat, membelakangiku. Akhirnya aman, aku membiarkan diriku melihat ke arahnya sekali lagi.
Sambil memainkan dasinya dengan cepat, Asuka berbicara dari balik bahunya.
"...Kamu melihatnya?"
"Aku berusaha sekuat tenaga untuk gak melihatnya."
"Seberapa banyak yang kamu lihat?"
"Cukup untuk menebak kamu suka warna biru toska."
"...Ack!"
Asuka menutupi wajahnya secara dramatis dan berlutut, bersembunyi di balik penutup meja biliar.
Responsnya begitu konyol, sekaligus menggemaskan, hingga aku tidak bisa menahan tawa.
"Mouu! Sekarang aku gak akan bisa jadi pengantin yang suci lagi."
Aku bisa mendengarnya mengerang pelan.
"Mau aku maju dan bertanggung jawab?"
"...Maksudmu melakukan ritual seppuku?"
"Bisakah kamu tenang sedikit?"
Dengan tangan mencengkeram tepi meja, Asuka mendongak, tapi matanya masih tertunduk.
"Baiklah kalau begitu; biarkan aku mendengarmu bernyanyi."
Kata Asuka.
"Dan buatlah nyanyian itu indah. Seolah kamu menyapa untuk pertama kalinya, dengan pengetahuan bahwa suatu hari nanti, kita harus mengucapkan selamat tinggal."
"Itu kesepakatan yang cukup mudah. Aku akan bernyanyi. Seolah aku menyapa untuk pertama kalinya, dengan pengetahuan bahwa suatu hari nanti, semuanya akan berakhir."
Aku tahu dia tidak sedang mempermainkanku saat ini, tapi aku tetap menanggapi dengan sok tahu.
Dengan bunyi clunk, Asuka memukul bola putih dengan liar, mengenai bola nomor satu dan membuat semua bola menggelinding di sekitar meja. Bola nomor sembilan jatuh dengan rapi ke dalam lubang.
✶
Memasukkan bola sembilan dengan pukulan break adalah keberuntungan yang sangat besar bagi pemula, tapi Asuka membiarkannya begitu saja, dan kami bermain tiga game setelahnya.
Pada akhirnya, aku menang satu game dan kalah tiga kali. Apa-apaan ini? Bagaimana aku bisa kalah telak seperti itu?
"Ini gak masuk akal."
Kataku.
Asuka tertawa menanggapi saat kami berdiri di depan bar minuman ringan.
"Kenapa? Kenapa bisa? Meskipun aku memasukkan lebih banyak bola secara umum, kamu selalu berhasil memasukkan bola sembilan?"
Bahkan jika aku memasukkan semua bola dari satu hingga tujuh, Asuka akan mengenai bola delapan dan memantulkannya ke bola sembilan, dan keduanya akan berputar ke dalam lubang terdekat. Setelah aku menyebarkan bola-bola dengan pukulan break yang tenang, Asuka akan meletakkan tongkat biliarnya ke arah bola dua dan memasukkan bola sembilan.
Aku terus kalah dengan cara seperti itu, dan kami berakhir dalam semacam pertandingan maut yang tidak matang, sampai aku berhasil meraih satu kemenangan di game terakhir. Asuka mengisi gelasnya dengan soda melon, dengan ekspresi biasa di wajahnya.
"Yah, siapapun yang berhasil memasukkan bola sembilan lebih dulu menang, kan?"
"Aku tahu itu, tapi... maksudku, itu benar, tapi... kamu lebih terkejut daripada siapapun setiap kali kamu melakukannya!"
"Sudah, sudah. Itu bukan cara bicara yang jantan, anak muda."
"Hnnnng! Apa kamu baru saja menepuk pundakku?!"
Aku meminum es kopiku sambil kami berdua menuju ruang karaoke.
Ruangan itu memiliki sofa yang berjajar di tiga dinding, dan Asuka duduk tepat di sebelahku tanpa ragu. Sesuai instruksi, aku menyanyikan beberapa lagu, dan meskipun aku terus mendesaknya untuk menyanyikan sesuatu, dia tidak berusaha mengambil mikrofon.
Asuka mengutak-atik layar sentuh (aku harus menunjukkan cara kerjanya), jelas-jelas menikmatinya.
"Aku mau kamu menyanyikan yang ini selanjutnya. 'Guild'."
"Lagu yang kamu katakan mengingatkanmu padaku, kan?"
"Lebih tepatnya, itu mengingatkanku pada dirimu dulu."
Dulu? Mungkin maksudnya saat aku baru saja berhenti bermain bisbol dan merasa sangat sedih. Yang dimaksudnya musim gugur yang lalu... saat pertama kali aku bertemu dengannya.
"Apa kamu masih ingat?"
"Bagaimana mungkin aku lupa?"
Maksudku, jika aku tidak pernah bertemu Asuka, mungkin aku masih menjadi sosok yang hampa sekarang.
—Menyaksikan sesuatu yang telah kucurahkan sepenuh hati dan jiwaku sejak SD runtuh dan jatuh di sela-sela jariku—hari-hari ketika aku merasa begitu tidak berdaya dan kesal terhadap lingkungan yang menyebabkan hal itu terjadi, orang-orang yang terlibat, dan yang terpenting, diriku sendiri karena menerima kekalahan.
Asuka yang kutemui di senja senja di tepi sungai itu—bagiku, dia secantik bulan di kejauhan yang selalu ingin kugapai. Kalau aku hanya menuliskan fakta, yang sebenarnya dia lakukan hanyalah bergabung dengan sekelompok anak-anak kecil yang bercanda terlalu jauh dan menjauhkan mereka dari apa yang tampak seperti mengeroyok salah satu dari mereka sendiri. Itu saja.
Tapi meski begitu, bagiku, saat itu, Asuka bersinar begitu terang hingga hampir menyakitkan untuk melihatnya. Dia mengabaikan tatapan orang lain, tipu daya mereka, kelemahan mereka, kesalahan mereka. Asuka berjalan di jalannya sendiri, percaya bahwa itu adalah jalan yang tepat untuknya.
Asuka tidak berbalut baju zirah yang kuat, berpura-pura seperti seseorang yang bisa kusebutkan. Dia baik-baik saja menjadi dirinya sendiri, seperti angin yang bertiup bebas, seperti kucing liar yang berjalan dengan angkuh di jalan utama, terus maju tanpa pernah melihat kompas.
Seandainya aku bisa lebih seperti itu. Maka hal ini tidak akan pernah terjadi padaku.
Jadi setelah itu, aku selalu mencari Asuka. Dalam perjalanan ke dan dari sekolah. Selama hari sekolah. Dan setelah kelas bubar juga. Setiap kali aku melihatnya, aku akan memanggilnya dan menghampirinya. Dan ketika waktu memungkinkan, aku akan mencoba mencari alasan untuk mengobrol dengannya. Karena aku ingin mengobrol dengannya.
Sejujurnya, kurasa itu pertama kalinya aku berusaha keras mendekati orang lain seperti itu. Sebelumnya, aku lebih suka menghampiri orang-orang sesuka hati dan meninggalkan mereka begitu saja.
Mungkin Asuka agak terganggu pada awalnya, dibayangi oleh orang yang lebih muda seperti itu. Dia tidak terlalu menyambutku, mungkin karena dia terbiasa denganku seiring waktu, sampai akhirnya aku menjadi bagian tidak terduga dari harinya.
Lalu seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa tertolong oleh wawasannya dan kefasihannya dalam bertutur kata.
Kami akan melakukan percakapan nyata, seperti ini :
"Asuka Senpai. Kalau kamu harus bertingkah payah sesekali agar bisa menjalani hidup yang umumnya keren... apa yang harus kamu lakukan?"
"Kurasa itu tergantung konsep keren masing-masing individu. Sesuatu yang menurutmu payah mungkin gak bagi orang lain."
"Jadi, menurutmu kucing liar yang menjilat nenek tua untuk mendapatkan makanan berpikir dirinya payah? Lagipula, kucing itu bertingkah seperti hewan peliharaan."
"Enggak. Kucing itu hanya melakukan apa yang harus dia lakukan untuk bertahan hidup sebagai kucing liar."
"Jadi, kamu harus berhenti menjadi dirimu sendiri, agar bisa terus menjadi.... dirimu sendiri?"
"Kamu akan mengerti pada akhirnya. Aku percaya padamu."
Dan seperti ini :
"Asuka Senpai. Kalau kamu tahu kamu akan dikhianati pada akhirnya, bukankah kamu setuju lebih baik gak mempercayai siapapun dari awal?"
"Kurasa hidupmu akan terasa kurang berwarna jika hanya memikirkan imbal hasil investasi. Kalau begitu, ngapain repot-repot belajar kalau ilmunya nggak akan berguna di masa depan? Ngapain repot-repot pacaran kalau cuma mau putus? Ngapain repot-repot berjuang kalau nggak bakal menang?"
"Jadi, dengan kata lain, kalau kamu gak bakal hidup indah, mendingan mati aja?"
"Cara mengungkapkannya kayak gitu lebih cocok buatmu."
Dan Asuka akan memberiku catatan kecil, seperti ini :
Hei teman,
Aku percaya kata-kata punya kekuatan.
Begitu juga dengan musik. Musik yang bisa meresap ke jiwamu, saat kamu merasa lelah secara mental.
Kuharap ini bisa membantumu menemukan kedamaian untuk mengisi kekosongan di dalam dirimu.
Asuka
Dan bersama catatan itu, ada sebuah album. Yggdrasil, oleh Bump of Chicken.
Aku pulang dan memutarnya di stereo portabelku. Dan aku menangis, air mataku mengalir deras. Musik dan liriknya—tentunya indah, tapi yang paling menyentuh hatiku adalah kehangatan kata-kata Asuka, yang dipilih dan disampaikan khusus untukku.
Mengenang masa itu, aku mengetuk lagu lain ke unit kendali jarak jauh yang dipegang Asuka. Bukan lagu yang dimintanya sama sekali : "Bye Bye Thank You."
Lagu itu tentang meninggalkan kampung halaman dan menuju kota besar yang selalu dirindukan.
Sejauh apapun kamu berkelana, akan selalu ada tempat untuk kembali. Aku akan memikirkanmu, di bawah langit yang kita bagi bersama.
Dan aku berdoa agar perasaanku dapat sampai kepadanya, melalui kata-kata yang telah dia tunjukkan kepadaku.
✶
Ketika kami meninggalkan kafe internet itu, tirai malam mulai turun, hampir membelah langit menjadi dua. Bulan sabit yang gelisah menampakkan wajahnya. Kami terlalu asyik bersenang-senang sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat.
Aku menyarankan agar kami bersepeda berdua, tapi Asuka bilang dia ingin jalan kaki sebentar. Aku mendorong sepeda itu sambil melewati taman kecil dan sawah, berjalan di sepanjang salah satu gorong-gorong kecil yang biasa terlihat di mana-mana di Fukui.
"Jadi, berapa poin yang kudapat untuk kencan pertama?"
Di sampingku, Asuka tertawa kecil.
"Mari kupikirkan. Sembilan puluh poin, teman juniorku."
"Aku berharap seratus. Mungkin bahkan seratus dua puluh."
"Kamu kehilangan poin karena menggangguku dengan lagu terakhir itu. Dan kenakalanmu."
Asuka menjulurkan lidahnya padaku dengan menggemaskan, lalu raut wajahnya yang agak serius.
"Nee, bolehkah aku menanyakan sesuatu yang biasanya gak kutanyakan?"
Aku mengangguk kecil, mengisyaratkannya untuk melanjutkan.
"Kamu punya mimpi?"
"Menjadi raja harem dari para gadis cantik dan menguasai dunia."
"Mouu! Serius dikit!"
"Sampai tahun lalu, kurasa mimpiku adalah menjadi pemain bisbol liga utama."
Aku bisa mendengarnya menarik napas, agak tajam.
"...Maaf, seharusnya aku gak nanya itu."
"Jangan terdengar begitu sedih. Kalau bukan karenamu, aku bahkan gak akan bisa membicarakan masa lalu seperti ini. Kurasa mimpiku adalah bisa menemukan mimpi baru untuk diriku sendiri, mungkin."
Sesuatu memberitahuku bahwa Asuka ingin bicara sekarang, jadi aku mengangkat bahuku dan mengalihkan pertanyaan itu padanya.
"Bagaimana denganmu, Asuka Senpai? Bolehkah aku bertanya?"
Asuka mengangguk tegas, seolah-olah dia telah menungguku mengatakan itu.
"Aku ingin melakukan pekerjaan yang melibatkan kata-kata. Membawa kata-kata kepada orang-orang."
"Seperti penulis novel?"
Kali ini, Asuka menggelengkan kepalanya.
"Hmm, waktu masih muda, aku sempat memikirkannya, tapi bukan itu yang ingin kulakukan. Aku lebih suka menganggap diriku sebagai pembaca, jadi aku ingin terlibat dalam penerbitan buku sambil tetap setia pada hal itu. Jadi aku berpikir untuk terjun ke dunia penerbitan sastra."
Penerbitan.
Aku mengulang-ulang kata itu.
Aku samar-samar menyadari apa yang dimaksud. Berurusan dengan novel dan seniman manga, mengurus naskah mereka, lalu akhirnya memoles dan mengeditnya.
Aku tahu Asuka menyukai novel, jadi itu bukan kejutan besar bagiku, tapi kupikir pencinta buku seperti itu akan berpikir untuk menulis novel sendiri terlebih dahulu.
Asuka melanjutkan, seolah menebak apa yang kupikirkan.
"Sejak kecil, aku telah membenamkan diri dalam cerita dan kata-kata yang menyusunnya. Cerita-cerita itu telah memberiku begitu banyak kegembiraan, sekaligus kesedihan. Membuatku lebih berani, menyemangatiku, menopangku, menyelamatkanku. Meskipun aku sendiri gak bisa menjadi pahlawan, setidaknya aku bisa merasakan bagaimana rasanya berada dekat dengan mereka."
"Kurasa aku ngerti maksudmu."
"Jadi aku ingin membantu mengarang cerita-cerita itu dan menyampaikannya kepada orang-orang."
Asuka berhenti sejenak, menggaruk pipinya karena malu.
"Mungkin ini terdengar agak.... biasa?"
Aku menggelengkan kepalaku perlahan, penuh penekanan.
"Kedengarannya sempurna untukmu. Kurasa kamu mungkin cocok untuk peran seperti itu."
Dan aku bersungguh-sungguh untuk itu. Lagipula, aku diselamatkan oleh kata-kata yang dibawa gadis ini kepadaku.
"Tapi kamu tahu, ini bukan tentang menemukan satu novel yang menyelamatkan hidupmu atau bertemu editor yang mengubah hidupmu."
Aku dalam diam mengisyaratkannya untuk melanjutkan, dan Asuka menunduk canggung.
"Dengan kata lain, kurasa sesederhana itu—aku ingin bekerja di penerbitan karena aku suka buku. Tapi aku suka membaca, bukan menulis. Itulah kenapa aku ingin menjadi editor. Aku memang ingin menjadi editor, tapi di saat yang sama, aku merasa cukup santai dalam hal itu."
Suara Asuka semakin pelan. Aku tahu ada sesuatu yang dia pendam di sini.
Mungkin kalian perlu punya alasan yang lebih besar dan meyakinkan di balik impian hidup kalian untuk membahasnya.
Aku bertanya-tanya, berapa banyak orang yang memulai SMA dengan impian masa depan yang jelas. Memiliki impian saat masih sangat muda itu wajar.
Aku ingin jadi Kamen Rider saat besar nanti. Aku ingin jadi atlet olahraga profesional. Aku ingin jadi seniman manga. Aku ingin jadi astronot. Aku ingin jadi penyanyi pop.
Tidak akan ada yang mengangkat alis atau menertawakan kalian kalau kalian bicara soal mimpi konyol seperti itu. Tapi saat kalian seusia ini, membicarakan impian kalian untuk masa depan berarti pekerjaan kalian di masa depan. Atau gaya hidup yang ingin kalian jalani. Kita berhenti membicarakannya dengan istilah-istilah muluk seperti itu.
Rasanya agak sepi kalau kalian membicarakan impian kalian.
Sejujurnya, dulu waktu aku bilang ke orang-orang kalau aku akan main basket di liga utama suatu hari nanti, aku sering ditanggapi dengan tatapan mengejek atau senyum frustrasi. Beberapa orang lain menatapku dengan hangat dan berkata, "Kau sudah terlalu tua untuk pernyataan kekanak-kanakan seperti itu..."
Menjadi editor—itu memang tidak jauh berbeda dengan kenyataan seperti menjadi pemain bisbol profesional, tapi juga bukan pekerjaan yang bisa dilakukan sembarang orang yang ingin melakukannya.
Jadi, tidak diragukan lagi Asuka merasa sedikit ragu.
Mungkin dia merasa perlu menyiapkan dasar yang kuat untuk membicarakan mimpinya di usia ini. Sesuatu yang dramatis dan teatrikal, sesuatu yang meyakinkan.
Aku bisa mengerti perasaannya saat itu.
Jadi aku memilih kata-kataku dengan hati-hati.
"Kalau aku, aku suka bisbol, itulah kenapa aku ingin menjadi pemain profesional. Jadi, kalau kamu ingin terlibat dengan buku karena kamu suka membaca, ya, kurasa itu alasan yang cukup bagus untuk mengejarnya."
Ekspresi Asuka kembali tenang, seolah-olah dia merasa lega.
"Begitu ya... terima kasih. Sejujurnya, aku gak terlalu yakin. Kupikir perasaanku tentang buku mungkin hanya sebatas hobi. Aku gak yakin itu bisa dijadikan profesi."
Aku menatapnya, lalu mengutarakan pikiran lain yang sedang kupikirkan.
"Jadi, kamu sedang mempertimbangkan untuk pindah ke Tokyo; apa itu karena kamu harus berada di sana untuk mengejar karier di dunia penerbitan?"
"...Ya."
Asuka mengangguk tegas, lalu melanjutkan.
"Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku belum memiliki banyak pengalaman yang orang lain anggap remeh. Tapi kurasa aku punya gambaran yang cukup bagus tentang bagaimana rasanya menginap di rumah teman, nongkrong di tempat-tempat seperti kafe internet itu, dan pergi kencan pertama."
"Karena kamu sudah membaca semua hal itu di buku."
"Benar. Tapi kamu tahu, benar-benar mengalaminya—jauh lebih menyenangkan, seru, dan mengasyikkan daripada hanya membacanya. Aku sudah menemukannya, pasti. Itu membuatku mulai berpikir betapa pentingnya bagi penulis novel dan editor untuk benar-benar mengalami berbagai hal dalam hidup secara langsung."
"Ada dunia di luar sana yang tidak bisa dialami di kota pedesaan, kah."
"Karena itu, Tokyo. Aku tahu kedengarannya agak sederhana. Tapi masih banyak yang belum kuketahui. Kupikir aku bisa mulai dari sana."
Kurasa itu langkah awal yang sangat cerdas untuk meraih mimpi seperti miliknya.
Jika kalian ingin menyampaikan kata-kata dan cerita kepada orang lain, kalian perlu memercayai sentimen di baliknya, bobotnya, nilainya, kebaikan dan kekuatan kalian sendiri. Kalian perlu memahami frustrasi yang sesungguhnya untuk menyentuh hati mereka yang frustrasi. Seperti bagaimana seseorang yang tahu cara menggenggam bola tahu cara terbaik untuk melemparnya jauh, jauh sekali.
Asuka terkikik malu-malu.
"Hehe, itu yang ingin kukatakan. Tapi sebenarnya Tokyo adalah tempat semua perguruan tinggi media terbaik berada. Itulah alasan pragmatisnya. Jika aku ingin bekerja di penerbit besar suatu hari nanti, aku harus pindah ke Tokyo juga."
Asuka benar. Fukui punya koran lokal dan majalah kota, tapi kalau mau mengedit novel, kami harus pergi ke Tokyo untuk mencari pekerjaan, meskipun awalnya kuliah di Universitas Fukui. Jadi, mungkin lebih masuk akal untuk langsung kuliah di Tokyo.
Intinya, memutuskan antara Fukui dan Tokyo sama saja dengan memutuskan apakah akan melanjutkan dan mengejar karier di dunia penerbitan atau menyerah sepenuhnya.
Asuka bergumam pelan.
"Ingat waktu aku bilang aku suka kota ini... dan juga membencinya?"
"Ya."
Asuka merujuk pada bulan lalu, ketika kami bertemu di toko buku dekat stasiun.
"Fukui itu tempat yang hangat. Kamu kenal semua tetanggamu. Kamu pergi ke supermarket, dan ibu temanmu ada di sana dan menyapamu. Dan di mana pun anak-anak bermain-main dan melakukan sesuatu yang berbahaya, kamu akan menemukan orang tua yang keras kepala memarahi mereka."
"Waktu aku SD, ada seorang kakek tua yang cuek dan selalu mengawasi kami di jalan menuju sekolah. Kami semua kenal dia. Suatu kali, aku sedang jalan kaki pulang sambil ngemil roti sisa bekal sekolah, dan dia langsung bilang, 'Hei, nak! Jaga sopan santunmu!' Wah, dia benar-benar memarahiku."
"Ya, seperti itulah."
Asuka tertawa kecil.
"Rasanya... kota ini begitu terikat erat dengan masa lalunya sendiri."
"Kamu tahu, stasiun Fukui akhirnya memasang gerbang tiket otomatis."
"Hmph! Aku gak sedang membicarakan hal-hal dangkal seperti itu!"
Asuka menepuk bahuku.
"Lebih seperti rasa kelanjutan, oke? Seperti, orang tua dan kakek-nenek kita, mereka semua menjalani kehidupan yang sama, di tempat yang sama."
Kurasa aku sudah cukup paham apa maksudnya. Rumahku penuh dengan orang-orang yang agak aneh, agak berbeda dari biasanya, tapi aku punya kesan yang sama, tinggal di sini.
Asuka melanjutkan.
"Waktu mengalir lebih lambat di sini... kurasa itu ungkapan klise, tapi kamu tahu, ada konsep tepat waktu dan penundaan waktu, kan? Apa sebutannya ya...? Keseimbangan kerja dan kehidupan. Tapi orang Fukui sepertinya menjalani hidup mereka dengan mengikuti arus saja. Pekerjaan, kehidupan rumah, hari kerja, akhir pekan, setiap hari sama saja."
"Umumnya, memang. Orang-orang di sini gak terlalu kaku. Baik secara positif maupun negatif, orang-orang di sini seperti, 'cukup'. Kayaknya, lumayan santai."
Tapi bukan berarti orang Fukui tidak pernah berusaha sebaik mungkin, atau bermalas-malasan, atau semacamnya. Semua orang bekerja keras dan menjalani kehidupan yang layak.
Tapi orang kota yang kami lihat di TV dan film, dan baca di buku, menurutku mereka selalu merasa terlalu sibuk.
Aku penasaran, apa mereka pernah berjalan-jalan di tepi sungai saat senja sambil mendengarkan musik? Pernahkah mereka mencium aroma rumah orang lain saat berjalan pulang melewati gang-gang belakang? Bisakah mereka mengetahui perubahan musim dari aroma udara malam?
"Tapi kamu tahu...."
Lanjut Asuka.
"Aku memang mencintai kota ini, dan membencinya, karena alasan-alasan itu. Aku bisa dengan mudah membayangkan seperti apa jadinya jika aku tinggal di sini selamanya. Lulus dari SMA Fuji, gunakan stempel persetujuan itu untuk masuk Universitas Fukui. Melamar pekerjaan di tempat-tempat seperti balai kota, stasiun TV lokal, surat kabar, bank.... lalu jadi istri seseorang. Orang yang namanya bahkan belum kukenal."
Aku merasakan dadaku sesak, tapi aku berusaha menyembunyikannya sambil menundukkan kepalaku, mendorongnya untuk melanjutkan.
"Punya dua atau tiga anak. Ambil cuti hamil, jadi ibu rumah tangga Fukui dengan bantuan orang tua, kerabat, dan tetangga. Itu sangat biasa. Tapi bagiku, rasanya aku menjalani hidup yang unik."
"Kurasa ada kebahagiaan yang bisa ditemukan dalam hidup seperti itu."
Aku memberikan jawaban yang monoton, sesuatu yang sangat dangkal.
"Ya, tentu saja. Aku gak bermaksud menyangkalnya. Aku menghormati orang-orang yang memilih jalan itu. Tapi... tapi... jika aku melakukan itu, itu berarti aku gak pernah menyimpang dari jalur yang biasa. Mungkin terdengar mengerikan, tapi membayangkan masa depanku yang begitu tenggelam dalam kehidupan pedesaan.... membuatku takut."
Aku menduga inilah yang ada di sisi sebaliknya, pilihan kedua dari impian penerbitan Asuka.
Menjalani hidup mengirimkan mimpi kepada orang-orang yang namanya tidak pernah kalian ketahui, atau menjalani hidup yang dihabiskan untuk menghargai orang-orang terdekat. Tentunya, ada banyak orang yang berhasil melakukan keduanya secara bersamaan.
Asuka bisa memilih Fukui sekarang, dan kemudian dia akan punya waktu empat tahun ekstra untuk memikirkannya di waktu luangnya. Dia masih punya pilihan cadangan itu.
Jadi, bukan masalah baik dia bisa melakukannya secara realistis atau tidak. Jika dia memilih untuk tetap di Fukui saat ini, mungkin hasrat yang mendorongnya untuk mengejar mimpinya akan lenyap, memudar di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Kurasa itulah yang dia takutkan.
Ketika aku berbicara selanjutnya, aku ingin memastikan apa yang sudah kurasakan.
"Jadi, ketika kamu bilang kamu sudah hampir memutuskan sebelumnya, kamu sedang membicarakan tentang memilih Tokyo?"
"Kurasa... kurasa aku ingin membiarkan jawabanku untuk pertanyaan itu sedikit lebih lama."
"Begitu."
Asuka melompat ke belakang sepeda, mencegah pertanyaan lebih lanjut. Dia duduk di rak sepeda—lalu, seolah-olah untuk memperhitungkan jarak di antara kami dengan hati-hati, dia melingkarkan lengannya di pinggangku.
Aku menyentuh jari-jari mungil yang saling bertautan tepat di bawah perutku, lalu aku menginjak pedal.
"Mungkin suatu hari nanti aku akan mulai bicara tentang impianku menjadi penulis novel."
"Dan kalau begitu, editormu adalah... aku?"
"Siapa yang tahu."
"Aku pergi ke Tokyo, dan jaraknya terlalu jauh, jadi kita jarang bertemu. Lalu suatu hari aku menemukan novel yang kamu tulis dengan nama pena yang sama sekali berbeda. Aku gak tahu itu kamu, tapi ceritamu begitu menakjubkan hingga membuatku menangis, dan aku mendesak penulisnya untuk bertemu membahas penerbitan. Lalu kamu muncul."
"Terdengar seperti dongeng."
"Terkadang dongeng bisa jadi kenyataan. Terkadang lebih cepat dari yang kamu duga."
Aku menyadari malam telah menyelimuti kami. Tidak banyak lampu jalan. Jalanan sepi seperti di pedesaan. Tidak ada mobil lain, tidak ada orang lain.
Dengan jari kakiku, aku mendorong tuas ke lampu dinamo sepeda yang terpasang di roda depan, dan tiba-tiba perjalanan terasa lebih berat. Dengan suara berderit murahan, lampu menyala, hanya menerangi beberapa langkah di depan kami.
Kurasa.... Kurasa masa depan kami juga akan terbentang seperti ini. Sedikit demi sedikit, mencari jalan maju menembus kegelapan.
"Asuka Senpai."
"Ya?"
Aku menarik napas lalu berbicara lagi.
"Kalau kamu jadi ke Tokyo, mari kita pastikan untuk melihat semua hal yang hanya bisa kita lihat di sini dulu. Mari kita berbincang-bincang yang hanya bisa kita lakukan di sini. Mari kita tumpahkan air mata yang hanya bisa kita tumpahkan di sini. Dengan begitu, meskipun kita akhirnya berjauhan, kita akan selalu punya tempat ini di hati kita untuk kembali."
"...Ya!"
Aku mengayuh pedal sekuat tenaga, dan Asuka berpegangan erat di punggungku.
Seolah-olah kami berdua bisa mengayuh sepeda kami ke langit dan terbang jauh ke bulan.