CHAPTER FOUR
Angin Masa Depan
Angin Masa Depan
Tempat ini, tepat di sini, adalah kota tempatku, Asuka Nishino, lahir, dan tinggal hingga kelas lima SD. Secara teknis, tempat ini berada di Kota Fukui, tapi berada di pinggiran kota. Jika kalian berjalan kaki sedikit, kalian bisa sampai ke Kota Sakai di dekatnya. Kota ini memang bukan tempat paling pedesaan di Prefektur Fukui, tapi dikelilingi oleh hamparan sawah.
Tidak banyak yang bisa dilakukan di sini. Tidak banyak sama sekali.
Untuk wisata akhir pekan, ada pusat perbelanjaan bernama Ami, yang tidak sebanding dengan Lpa. Kegiatan favoritku adalah mengunjungi toko buku di pusat kota atau pergi ke toko buku Miyawaki di dekatnya dan membeli buku-buku terbaru.
Jadi, aku lahir di kota kecil seperti ini, dari dua guru yang ketat. Wajar saja, aku gadis yang tertutup dan membosankan. Aku cukup pandai belajar, tidak pandai olahraga, dan aku bukanlah tipe orang yang suka menjadi pusat perhatian di kelas. Meski begitu, bukan berarti aku super murung dan tidak pernah mengobrol dengan siapapun. Aku punya teman. Kurasa akan lebih tepat jika aku menggambarkan diriku sebagai orang yang benar-benar biasa saja.
Tidak ada anak seusiaku yang tinggal di dekat sini, dan aku tidak diizinkan pergi terlalu jauh untuk bermain. Setelah sekolah usai, aku langsung pulang dan asyik membaca buku, dan aku tidak pernah bosan dengan itu.
Teman-teman sekelasku berkumpul di rumah masing-masing sepulang sekolah untuk bermain, jadi mungkin mereka pikir aku agak acuh tak acuh. Tapi aku merasa yang kubutuhkan hanyalah cerita-ceritaku.
Para tokoh utama dalam novel-novelku begitu lugas, begitu bersemangat, begitu baik, dan inspiratif. Mereka mengejar impian mereka dan terbang bebas ke dunia.
Seandainya aku bisa seperti itu, pikirku berulang kali.
Tapi meskipun aku mengagumi para anak laki-laki dan para gadis dalam cerita-ceritaku, aku mampu membedakan dengan jelas mana yang nyata dan mana yang fiksi. Lagipula, orang tuaku selalu bilang, "Kamu tidak boleh begini, kamu tidak boleh begitu", dan aku tidak akan pernah bisa mendapatkan apapun sesukaku.
Kalau aku mau pergi ke festival, kalau aku mau menginap di rumah teman, kalau aku mau pergi ke tempat baru sendirian—semua itu tidak akan jadi kenyataan tanpa izin orang tuaku. Aku dibesarkan dengan keyakinan bahwa selama aku melakukan semua yang orang tuaku katakan, aku akan tumbuh menjadi orang dewasa yang baik. Bahkan sekarang, aku tidak merasa mereka selalu salah.
Tapi di musim panas tahun keempatku di sekolah dasar, aku bertemu seorang anak laki-laki. Dia lebih muda dariku, tapi luar biasa lugas, penuh semangat, baik, dan inspiratif.
"Lama gak ketemu, Saku-kun."
"K-Kamu..."
Aku mengatakannya. Akhirnya aku mengatakannya. Kata-kata yang kutahan sejak September tahun lalu, saat aku bertemu dengannya. Aku menatap wajah orang yang berdiri di sampingku. Dia selalu bersikap tenang, tapi sekarang tampak sangat terkejut, matanya melebar, mulutnya menganga.
Apa beberapa kata itu cukup untuk membuatnya mengingat itu?
Akan sedikit mengejutkan—tidak, kejutan besar—jika ingatan itu tidak ada di sudut pikirannya, setelah semua kesulitan datang jauh-jauh ke sini.
"Ada apa, Saku-kun?"
Aku menatap wajahnya yang terkejut dan memberinya godaan lagi.
Dia tidak melontarkan lelucon. Sebaliknya, dia tampak berusaha keras untuk mengingat kembali sebuah ingatan dari benaknya atau mencoba menyusun situasi ke dalam semacam urutan logis.
Yah, itu masuk akal. Bagimu, aku hanya gadis yang setahun di atasmu. Aku gak akan pernah memanggilmu Saku-kun, hanya Chitose, kan? Tapi sebelum aku memanggilmu Chitose, aku memanggilmu Saku-kun, tahu?
"Uh, tunggu dulu..."
Dia meletakkan tangannya di dahinya saat berbicara.
"Apa... Apa kamu dan aku pernah bertemu sebelumnya? Mungkin waktu kita masih kecil?"
"Yup."
"Mungkin rambutmu panjang waktu itu? Sampai pertengahan punggung?"
"Yup."
"Dan mungkin kepribadianmu agak pemalu?"
"Yuo."
"Kita main bareng waktu liburan musim panas?"
"Yup. Benar sekali."
"Kenapa kamu gak bilang dari tadi?!"
Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku tertawa terbahak-bahak.
Memang, penampilan dan sikapku sudah banyak berubah sejak saat itu. Kalau dipikir-pikir, aku yakin aku belum pernah memberitahunya namaku.
Waktu itu, dia selalu memanggilku "teman."
"Ingatkah kamu? Waktu itu, kita bukan Asuka dan Chitose. Kita 'teman' dan Saku."
"Oh, ayolah...?"
"Sudah kubilang, kan? Beberapa dongeng memang nyata. Dan lebih dekat dari yang kamu kira."
Chitose... Saku-kun menggaruk kepalanya, mengacak-acak rambutnya.
Aku meraih tangannya yang berdiri di sana dengan bingung, dan kami meninggalkan stasiun desa kecil itu. Aku menarik napas dalam-dalam, dan aku bisa mencium aroma sawah yang familiar. Aku bisa mencium aroma tempat mereka membakar tanaman. Tidak diragukan lagi orang-orang kota besar akan bilang baunya busuk, tapi bagiku, itu aroma yang menenangkan, aroma masa kecilku.
"Selama ini, kupikir dia gadis yang jauh lebih muda dariku."
Kata Saku sambil berjalan di sampingku.
"Baru di musim panas kedua aku benar-benar menyadari kalau aku juga yang lebih tua. Saat aku bertanya kapan ulang tahunmu. Tapi terlalu canggung untuk mengatakannya saat itu, jadi aku membiarkannya saja."
Di sekolah dasar, anak perempuan cenderung lebih cepat dewasa daripada anak laki-laki, yang menurutku merupakan salah satu penyebabnya. Tapi itu juga karena kesan pertama yang kudapatkan darinya—bahwa dia anak laki-laki yang lebih tua dan bisa diandalkan. Sebagai perbandingan, aku adalah gadis yang terlalu protektif dan tidak tahu apa-apa tentang dunia. Mudah untuk melihat bagaimana kami membuat kesalahan itu.
"Tempat ini mengingatkanku pada masa lalu. Aku sangat sibuk dengan bisbol setelah lulus sekolah dasar sampai-sampai belum pernah ke sini lagi."
Saku melihat sekeliling saat kami berjalan.
"Sekarang aku ingat; ada kuil kecil di seberang jalan itu, kan? Aku pernah ke sana bersamamu, kan?"
Tentu, aku ingat. Itu salah satu kenangan terindahku.
"Jadi kamu membawaku ke sini untuk membuatku terkesan, hmm?"
"Itu salah satu niatku. Tapi yang satunya lagi untuk memastikan di mana semua ini bermula, kurasa."
"Di mana semua ini bermula?"
"Maukah kamu mendengarkan ceritaku kali ini?"
Saku mengangguk, jadi aku mulai bercerita perlahan.
✶
Saat itu musim panas di tahun keempat sekolah dasar. Ada seorang nenek yang tinggal sendirian, dan dia tinggal di dekat sana, dan kudengar ada seorang anak laki-laki yang mengunjunginya. Nenek itu sangat ramah dan biasa memberiku permen. Dulu, dia pernah bilang, "Kalau anak itu datang berkunjung, bersikaplah baik dan bermainlah dengannya, ya?"
Jadi, seperti yang dijanjikan, aku harus mampir dan mengajak anak laki-laki itu bermain. Tapi sejujurnya, jantungku berdebar kencang membayangkannya. Aku belum pernah berduaan dengan laki-laki sebelumnya, dan aku tidak tahu seperti apa anak laki-laki itu nanti.
Tidak ada jaminan anak laki-laki itu akan sebaik neneknya yang baik hati itu, dan rupanya anak laki-laki itu tinggal di kota. Mungkin anak laki-laki itu akan mengejekku karena aku gadis desa. Jadi, aku mengenakan gaunku yang paling dewasa dan topi jeramiku, lalu pergi menemuinya.
Aku mempertimbangkan baju zirahku itu untuk melindungi hatiku jika diperlukan. Lalu aku bertemu seorang anak laki-laki yang wajahnya secantik anak perempuan. Kulitnya agak kecokelatan karena terbakar matahari, dan lengannya yang keluar dari tank top-nya tampak berotot, sangat berbeda denganku. Saat anak laki-laki itu tersenyum, gigi putihnya tampak berkilau.
"Hei, teman. Kamu tinggal di sekitar sini, ya?"
Kata anak laki-laki itu sambil menatapku.
"Y-Ya. Gak jauh."
Sikap anak laki-laki itu yang tidak kenal takut membuatku sedikit mundur.
Di sekolah, ada banyak anak laki-laki yang ceria dan ramah, tapi aku juga merasa mereka agak kasar, dan aku tidak menyukai mereka karenanya.
"Jadi, maukah kamu mengajakku berkeliling?"
Tapi anak laki-laki ini, dia memiliki cara bicara dan sikap yang santai.
"Tentu, tapi gak banyak yang bisa dilihat. Di sini hanya sawah."
"Jangan khawatir. Ayo pergi!"
Dan anak laki-laki itu menggenggam tanganku erat-erat.
"Aku Saku. Saku Chitose."
"Saku-kun...."
Tangannya jauh lebih hangat daripada tanganku, saat aku mencoba menyebut namanya di lidahku.
Bergandengan tangan, kami berjalan pergi. Dan ya, aku merasa sedikit malu.
Maksudku, di sini cuma ada rumah-rumah tua, selokan-selokan yang meluap, kuil kecil, taman, dan sisanya cuma sawah. Aku yakin dia akan kecewa. Aku menatapnya dengan cemas, tapi...
"Tempat ini kayaknya seru banget! Pasti ada ratusan alap-alap air, telur katak, dan udang karang! Dan gak ada mobil sama sekali, jadi kamu bisa pergi ke mana aja!"
Wajahnya berseri-seri.
Selama dua hari berikutnya, kami bermain bersama, dan ternyata dia jenius sekali dalam membuat hal-hal sehari-hari menjadi menyenangkan. Kami berburu udang karang dan tonggeret, mengoleskan madu di pohon besar di kuil untuk menarik kumbang badak, dan melompat dari ayunan di taman.
Biasanya aku cuma berdiri di belakang, bertepuk tangan, dan memekik saat dia melakukan semua itu, tapi sungguh menakjubkan bagaimana dia membuat kotaku yang membosankan itu jadi seperti harta karun. Aku segera terbiasa dengannya, dan aku mengikutinya dari pagi hingga sore, sambil memanggil namanya, "Saku-kun, Saku-kun."
Lalu hari ketiga tiba. Hari Saku seharusnya pulang.
Aku sangat sedih dan sengsara, dan aku merajuk sejak bangun tidur.
"Begitu kamu pulang, hidupku akan membosankan lagi."
"Membosankan?"
"Ya. Pergi sekolah, pulang, berkeliaran gak jelas."
Saku menatapku, lalu tampak berpikir keras.
"Ke mana tempat terjauh yang pernah kamu kunjungi?"
"Aku gak diizinin pergi terlalu jauh. Hanya sejauh yang pernah kuajak kamu berkeliling, kurasa."
"Kalau begitu, ayo kita berpetualang. Ke tempat yang belum pernah kamu lihat sebelumnya."
"Tapi ayahku akan marah..."
Saku-kun meraih tanganku dan menggenggamnya erat sementara aku ragu-ragu.
"Lupakan ayahmu. Apa yang mau kamu lakuin?"
"Aku... Aku mau pergi."
"Kalau begitu kita harus."
Setelah itu, Saku mengemas tasnya berisi bola-bola nasi buatan neneknya untuk makan siang dan mengambil termos airnya, lalu dia meraih tanganku, dan kami pun berangkat. Dia juga belum pernah seperti ini, tapi dia sama sekali tidak menunjukkan rasa takut atau ragu.
Awalnya, jantungku berdebar kencang membayangkan melakukan kesalahan, tapi ketika aku melihat senyum Saku-kun, semua rasa gugupku lenyap begitu saja.
Kami melewati daerah yang kukenal dan mengikuti jalan di tepi sungai, terus lurus terus. Itu benar-benar jalan pedesaan tanpa apa-apa. Ke mana pun kalian memandang, yang ada hanyalah hamparan sawah hijau, dengan bukit-bukit dan rumah-rumah di kejauhan yang bertebaran di cakrawala.
Tapi bagiku, semuanya terasa segar dan baru.
Saku-kun benar-benar jenius dalam membuat segalanya menyenangkan. Dia bisa menemukan segala macam hal menarik di lingkungan yang paling biasa-biasa saja.
"Hei, teman, bangunan kecil apa itu?"
"Kurasa itu untuk merawat sungai dan sebagainya?"
"Membosankan sekali. Hei, kamu lihat selang tebal itu? Itu mengarah ke rumah kappa."
"Kappa?"
"Mereka udah ada di sini sejak lama, tapi akhir-akhir ini, pasti kaget kalau ketemu satu, kan? Jadi mereka tinggal di rumah-rumah kecil yang dibuatkan petinggi Fukui untuk mereka. Lalu, untuk memastikan gak ada yang melihat mereka, mereka masuk ke sungai melalui selang-selang itu."
"Apa? Itu hebat!"
Kami berdua tertawa saat Saku-kun terus bercerita seperti itu.
Setelah air sungai surut, kami menyusuri jalan sempit yang membelah sawah.
Kami terus berhenti dan melihat ke dalam parit, lalu kejar-kejaran, dan terus melaju, meskipun tidak punya tujuan tertentu.
Lalu, tanpa kusadari, semuanya menjadi gelap di sekitar kami.
"Uh-oh, kita harus pulang sekarang."
Saku-kun menatapku.
"Jadi, apa kamu melihat sesuatu yang baru? Gak terlalu membosankan, ya?"
Aku mengangguk.
"Hehe."
Saku-kun tersenyum, disinari matahari terbenam, dan bagiku dia tampak seperti perwujudan kebebasan.
Aku selalu melakukan persis seperti yang dikatakan orang tuaku, hidup tenang di duniaku sendiri. Ini adalah petualangan pertama yang benar-benar kujalani. Tapi bagi Saku-kun, itu hanya sekadar jalan-jalan, sesuatu yang dia putuskan secara impulsif.
Maka kami pun berbalik kembali ke jalan yang kami lalui.
Ladang-ladang rimbun dengan tanaman musim panas, dan jalannya begitu lurus, dan kabel-kabel listrik membentang di atas, dan permukaan sungai berkilauan, dan semuanya berwarna merah diterpa sinar matahari terbenam.
Aku bisa mendengar jangkrik bernyanyi dari tempat yang jauh, dan aku bisa mendengar katak-katak bersuara cukup keras untuk menenggelamkan suara jangkrik.
Sambil berjalan, kami makan bola-bola nasi. Bola-bola nasi itu berisi acar prem di dalamnya, yang biasanya tidak kusuka, tapi entah kenapa hari itu rasa asam-manisnya terasa lezat. Kami berhenti sejenak untuk meneguk teh jelai. Langit sudah gelap di sekeliling kami, bulan purnama menggantung di langit, dan bintang-bintang berkilauan bagai permen konpeito yang bertebaran.
Ini pertama kalinya aku keluar selarut ini hanya dengan seorang anak lain, dan rasanya aneh, tapi dengan Saku-kun yang menggenggam tanganku, aku sama sekali tidak takut. Sesampainya di rumah, ayahku benar-benar membentakku, tapi aku sama sekali tidak merasa sedih.
Alasan aku tidak bisa berhenti menangis adalah karena kereta yang membawa Saku pergi jauh, hingga aku tidak bisa melihatnya lagi.
Berkali-kali, aku berharap musim panas berikutnya segera tiba.
✶
Saat itu liburan musim panas di tahun kelima sekolah dasarku.
Aku mengenakan gaun putih bersih yang kuminta dari Ibu dan Ayah belikan untukku dan menunggu Saku-kun dengan penuh semangat. Dia sudah mulai bermain bisbol, dan lebih tinggi dari tahun lalu, dan dia tampak lebih seperti anak laki-laki.
Tapi dia tidak berubah di dalamnya, dan kami berlarian dan bermain bersama. Itu terjadi ketika kami sedang berjalan di sepanjang tanggul kecil yang mengapit parit drainase. Saku-kun berjalan sedikit di depanku, dan aku berlari di belakangnya, ingin memberinya kejutan.
Tapi saat aku berlari, tanah basah mulai bergeser dari bawahku. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh ke sungai dengan cipratan yang sangat besar. Untungnya aku tidak terluka, tapi gaun putih yang kubeli hanya untuk kutunjukkan pada Saku-kun benar-benar rusak. Aku merasakan mataku terbakar oleh kesedihan dan rasa malu.
Enggak. Aku gak boleh nangis di depan Saku-kun.
Enggak saat kami bersenang-senang. Enggak saat liburan musim panas.
Aku menggertakkan gigiku dan mengerutkan wajahku, tapi itu belum cukup. Air mata menggenang dan tumpah seperti keran bocor.
Enggak, enggak, enggak.
Aku gak mau Saku-kun melihat wajahku berantakan seperti ini.
Hentikan, hentikan, hentikan.
—Saat itu juga.
Terdengar suara cipratan, cipratan yang lebih keras daripada yang baru saja kubuat. Saku-kun melompat ke sungai.
"Hei, apa yang kamu lakuin dengan bersenang-senang tanpaku? Biar aku ikut juga."
Dengan senyum geli, Saku-kun mulai mencipratkan air kepadaku.
Airnya agak berbau amis, tapi saat mengenai wajahku, air mataku pun terhapus.
Lalu aku tersadar.
Ah. Air mataku berhenti.
Rasanya aneh. Aku benar-benar lupa kalau aku hampir menangis beberapa detik yang lalu, dan aku malah mengejar Saku-kun.
"Hei! Berhenti! Ini gaun favoritku!"
"Kamu gak perlu pakai gaun. Tahun depan pakai celana pendek, kaos, dan sandal pantai aja."
"Hmph! Mouu! Dasar Saku-kun!"
Kami main air kotor, dan tidak lama kemudian aku benar-benar lupa soal gaunku. Aku terlalu sibuk main air dan tersedak tawa.
✶
Saat itu liburan musim panas di tahun keenam sekolah dasarku.
Saku-kun bilang dia sibuk latihan bisbol, jadi dia hanya bisa menginap semalam.
Tapi malam itu ada festival di kuil kecil. Kalau kami bisa pergi bersama, itu akan jadi kenangan yang sangat istimewa. Aku sudah mencoba bertanya kepada Ibu dan Ayah tentang hal itu malam sebelumnya, tapi mereka bilang aku tidak mungkin pergi kalau hanya kami berdua. Kukatakan pada mereka kalau anak-anak lain dari sekolah akan pergi tanpa orang tua mereka, dan orang tuaku hanya bilang, "Keluarga lain punya aturan sendiri, dan ini aturan kami."
Ayah bilang kami boleh pergi kalau dia ikut, tapi aku tidak mau. Aku mau hanya kami berdua saja. Kuceritakan hal itu pada Saku-kun sambil makan semangka, saat memakai celana pendek, kaus, dan sandal pantai.
"Guru-guru di sekolah bilang begitu. Itu karena ibu dan ayahmu sama-sama guru."
"Kamu gak mau pergi, Saku-kun?"
"Jelas aku akan pergi. Apa kamu aku menjemputmu malam ini? Akan kujelasin kalau gak akan ada bahaya."
"Kurasa itu gak akan berhasil. Aku akan coba bicara dengan mereka lagi, tapi..."
Melihatku begitu tidak berdaya, Saku-kun tampak berpikir keras.
Lalu dia tampak mendapat ide luar biasa.
"Ayo kita coba! Coba bicara dengan ayahmu sekali lagi begitu sampai di rumah. Lalu aku akan menjemputmu setelah gelap. Jika mereka mengizinkanmu, kita akan siap."
"Dan bagaimana jika mereka gak ngizinin aku?"
"Kita akan buat perjanjian. Kalau kamu mau berhenti, aku akan pulang saja. Tapi jika kamu masih benar-benar ingin pergi, sentuh telinga kirimu. Itu tandanya."
"Lalu?"
"Lalu aku akan membawamu keluar secara diam-diam."
Jantungku berdebar kencang.
Aku mencoba bertanya lagi pada ayahku, tapi tentunya, jawabannya tidak berubah. Ketika Saku-kun datang ke rumah kami, ayahku bersikap ramah kepadanya, tapi ayahku menjelaskan bahwa tidak mungkin kami berdua pergi ke festival bersama-sama, hanya kami berdua saja.
Jadi aku berkata,
"Maaf, Saku-kun."
Dan aku menyelipkan rambutku ke belakang telinga kiriku.
"Baiklah, aku ngerti. Kalau gitu, sampai jumpa tahun depan. Aku akan berangkat pagi-pagi sekali."
Lalu, dengan wajah kecewa, Saku-kun melambaikan tangan dan pergi.
Tunggu... gimana dengan perjanjian kita itu? Apa dia gak menyadarinya? Aku menyentuh telinga kiriku. Itu tandanya. Dia bilang akan membawaku keluar secara diam-diam! Dia bohong!
Pikirku.
Aku mengurung diri di kamar dan membenamkan wajahku di bantal, dipenuhi amarah, kesedihan, dan frustrasi. Aku tidak bisa menahan air mataku. Air mataku mengalir deras dan meresap ke bantalku.
Malam ini adalah satu-satunya kesempatan kami sampai tahun depan!
Seharusnya aku setuju saja untuk membiarkan Ibu dan Ayah ikut dengan kami.
Aku melepaskan kepalan tanganku. Seharusnya kami tidak repot-repot membuat rencana sejak awal, kalau dia tidak mau menepatinya. Saat aku berbaring di sana, pikiranku berkecamuk, aku mendengar suara aneh.
Clack. Clack. Clack. Clack.
Setengah tertidur, aku duduk dan melihat sekeliling.
Saku-kun ada di luar jendela, melambai padaku.
"Heeh? Apa? Ini—ini kan lantai dua?"
Aku membuka jendela dengan bingung dan melihat Saku-kun menekan jari ke bibirnya dan menyeringai.
"Ssst. Ngapain tiduran? Kukira kita mau ke festival?"
Aku menjulurkan kepala sedikit dan melihat ke bawah, ternyata dia sedang berdiri di atas semacam tangga darurat.
"Aku memakai tangga yang Ba-chan punya di rumahnya."
Lalu Saku-kun terkekeh.
Setetes air mata jatuh di pipiku. Aku tidak tahu apa itu karena lega atau hanya karena bahagia.
"Ada apa? Kamu benar-benar cengeng, ya. Kamu memasang wajah kaya gitu tahun lalu saat kamu jatuh ke sungai."
Dengan jari yang canggung, Saku-kun menghapus air mataku.
"Oh... sepatuku..."
Tangga kami berderit berisik, jadi kalau aku turun untuk mengambilnya, ayahku pasti akan mendengarnya.
"Hehe. Aku juga membawa yang lain juga."
Lalu Saku-kun mengeluarkan sepasang sandal pantai dari saku celana pendeknya dan menyerahkannya kepadaku. Tidak ada seorang pun di lingkungan ini yang repot-repot mengunci pintu depan mereka, jadi kalau perlu, kami bisa menyelinap kembali dan mengambilnya. Tapi kalau aku ketahuan, aku tahu kami akan mendapat masalah besar, jadi aku senang melihat sandal itu.
Saku-kun benar-benar seperti pangeran dari dongeng.
Menuruni tangga itu cukup menakutkan, tapi...
"Gak apa-apa. Aku akan turun dulu dan menahan tangannya untukmu."
Kata Saku.
Untuk berjaga-jaga, aku menulis catatan yang menyatakan permintaan maaf. Aku pergi ke festival bersama Saku-kun. Aku akan pulang sebelum larut malam dan menaruhnya di mejaku.
Lalu perlahan, saat aku turun, Saku-kun berkata,
"Aku senang kamu pakai celana pendek tahun ini. Kalau gak, aku bisa lihat celana dalammu."
"Hmph! Dasar nakal!"
Setelah itu, kami mulai berlari, dan tidak sampai lima menit kemudian, kami tiba di kuil di seberang stasiun. Di tengah perjalanan, aku sadar kami tidak punya uang, tapi ternyata nenek Saku-kun memberinya seribu yen dan bilang kami harus makan sesuatu yang enak bersama.
Festivalnya memang kecil, dan tidak banyak kios di sana.
Tapi kegembiraan melakukan apa yang ayahku bilang tidak boleh kulakukan membuat jantungku berdebar kencang, dan juga menyenangkan berada di sana tanpa pengawasan orang tuaku untuk pertama kalinya. Semuanya terasa seperti sihir.
Kami berdua berkeliling festival, melihat-lihat.
Tapi yang paling membuat jantungku berdebar kencang adalah bersama Saku-kun, yang telah menyelinapkanku keluar, seperti yang dijanjikannya. Kami makan yakisoba dan marumaru yaki bersama, lalu kami mengakhirinya dengan Ramune.
"Aku selalu kasihan pada kelereng yang tenggelam di botol Ramune."
Kata Saku sambil berpikir.
"Kelereng itu selalu sendirian."
Aku berkedip berulang kali saat mendengarnya.
"Itu terdengar aneh. Bagiku, kelereng itu tampak mengambang bahagia. Seperti bulan, begitu indah, dicintai semua orang. Seperti kamu, Saku-kun."
"Bulan... begitu ya."
Hanya itu yang Saku-kun katakan. Lalu dia mengacak rambutku dengan penuh kasih. Aku meliriknya. Dia sedang menatap bulan sungguhan, yang mengambang di langit malam. Tatapannya jauh lebih serius dari biasanya. Dan entah kenapa sedih.
Dia tampak begitu dewasa saat itu hingga membuat jantungku berdebar kencang, tapi aku juga merasa sedih. Dadaku terasa sesak. Aku ingin menangis padanya agar tidak pergi dan pergi jauh, tapi aku mengurungkan itu.
"Jika kamu merasa kesepian dan sedih, Saku-kun, aku bisa menjadi pengantinmu."
"Itu kalau kamu bisa mengatasi sifat cengengmu itu."
Aku menatapnya sambil tersenyum hangat, dan aku berharap bisa seperti dia. Saku-kun itu begitu keren, begitu diberkahi kemampuan atletik, dan dia punya pikiran yang tajam. Tentunya, aku menyukai semua aspek itu darinya. Tapi kekuatan batinnya yang lembutlah yang membuat Saku-kun selalu maju, apapun situasinya.
Itu adalah api dalam dirinya. Cara dia menunjukkan sisi kota yang belum pernah kulihat, meskipun itu membuat ayahku marah. Itu adalah cara dia menghentikan air mataku di sungai berlumpur, cara dia membangun semua kenangan berharga ini bersamaku. Cara dia memutuskan sendiri apa yang penting. Itulah yang benar-benar membuatnya berkilauan di mataku.
Bisakah aku seperti dia? Aku sangat ingin seperti dia.
Seperti pahlawan dari sebuah cerita, seperti bulan yang mengambang di langit malam, keyakinan diri itu....
✶
"Dan itulah kisah cinta pertamaku di musim panas yang lampau, yang berakhir hanya tujuh hari."
Saat kami berjalan di jalan yang sama seperti dulu, aku menceritakan padanya kisah yang selama ini kupendam. Kalau diutarakan, kedengarannya seperti kesalahpahaman yang biasa terjadi pada gadis mana pun, dan aku merasa sedikit malu.
...Tidak.
Tidak banyak laki-laki yang mau memanjat jendela lantai dua untuk membawa gadis mana pun menyelinap keluar. Setelah itu, ayahku datang mencariku, dan kami berdua terlibat masalah besar.
Saat berjalan di sampingku, Saku-kun tampak malu pada awalnya, tapi di tengah ceritaku, matanya mulai menyipit, seolah-olah sedang menatap sesuatu yang jauh, dan dia mendengarkan dengan saksama. Tapi dia tidak menjawab, dan sekarang aku merasa canggung.
"Kita gak pernah ketemu lagi setelah musim panas itu, karena aku pindah. Aku gak tahu alamatmu, dan aku gak cukup berani untuk menanyakannya pada nenekmu."
Sebagai hasilnya, Saku-kun tidak pernah melihat potongan rambut pendek baruku, yang kubuat di akhir musim panas itu karena kupikir dia mungkin suka gaya rambut yang lebih berani.
Sekarang dia terkekeh, teringat sesuatu.
"Yah, kudengar dari oba-san kalau kamu jatuh cinta pada seseorang yang keren, jago olahraga, dan pintar."
"Tapi itu kamu. Aku malu kasih tahu nenekmu siapa orangnya, jadi aku sengaja gak menjelaskannya."
"Hee. Jadi kamu memang menyukaiku waktu itu, ya, Asuka Senpai?"
"Apaa?!"
Teriakku.
"Gimana mungkin kamu gak tahu? Aku ngikutin kamu ke mana-mana waktu itu. Seorang gadis polos yang jelas-jelas sedang jatuh cinta."
"Ah ya, memang terlihat kaya gitu. Itu sebabnya aku gak menyadarinya saat pertama kali masuk SMA dan kita pertama kali bertemu. Tapi tahukah kamu...."
Saku menggaruk pipinya.
"Ingatkah saat itu, kamu selalu bilang betapa irinya kamu padaku, pada kebebasanku? Kata-kata itu sungguh menguatkanku. Kata-kata itu membuatku terus bertahan ketika segala sesuatu mulai menimpaku secara bersamaan. Kesadaran bahwa ada seorang gadis di luar sana yang melihat sisi diriku yang tersembunyi di balik permukaan."
Aku juga terkejut ketika kami membahas berbagai hal malam itu di Tokyo. Anak laki-laki yang tampak seperti perwujudan kebebasan di mataku itu ternyata menghadapi begitu banyak hal secara rahasia. Di saat yang sama, aku menyadari kembali betapa menakjubkannya hal itu, dan semuanya terasa begitu jelas bagiku.
Kenapa aku dan Saku-kun bertemu lagi di SMA seperti ini?
"Dengar, Asuka Senpai."
Kata Saku-kun.
"Sudah berapa lama kamu menyadari ini?"
Yah, itu gampang aja.
"Sejak September tahun lalu, saat kita bertemu di tepi sungai."
Mata Saku-kun melebar dengan lebar, dan dia menghela napas.
"Karena kamu kecewa?"
Sekarang aku tahu apa maksudnya dengan kata-kata itu.
"Singkatnya, meskipun aku benci bilangnya, bukan berarti aku jatuh cinta padamu selama itu. Aku bahkan gak pernah menyadari kamu satu SMA denganku, satu angkatan di bawahku."
"Hmm, masuk akal."
"Tapi selalu ada dorongan kuat di hatiku—aku ingin seperti anak laki-laki dari masa kecilku. Supaya jika kita bertemu lagi, aku bisa menjadi tipe gadis yang cukup baik untuk anak laki-laki sepertimu."
Aku terbatuk.
"Saat aku keluar dari sungai dan melihatmu, aku langsung tahu itu kamu. Kamu jauh lebih keren daripada ingatanku tentangmu, tapi aku sangat yakin itu. Aku ragu-ragu, apa aku harus memberitahumu atau menunggu untuk melihat apa kamu akan nemuin jawabannya sendiri."
Saku-kun tertawa malu-malu.
"Tapi kamu orang yang jauh lebih kompleks daripada anak laki-laki dari ingatanku. Kamu itu seperti, 'Kenapa kamu ngelakuin hal kaya gitu?' Tapi yang kulakukan hanyalah meniru apa yang kamu lakukan waktu itu, ingat?"
Itu salah satu kenangan masa kecilku yang paling jelas.
Gaun putih yang berlumuran lumpur sungai dan senyum itu.
"Jadi kupikir... mungkin sesuatu terjadi pada Saku-kun, dan sekarang dia terkunci di dalam kepalanya sendiri seperti aku dulu. Kupikir, jika begitu, aku harus membimbingmu sekarang."
Aku mengesampingkan perasaanku sendiri. Untuk anak laki-laki yang menunjukkan caraku menjalani hidupku sendiri. Aku memutuskan untuk menjadi teman perempuan yang lebih tua sebaik mungkin. Aku memutuskan bahwa kami akan menjadi "Asuka Senpai" dan "temannya".
Lalu, suatu hari, ketika "Saku-kun" kembali...
"Asuka Senpai yang kamu kagumi itu sebenarnya hanyalah bayangan cermin dari Saku-kun yang kukagumi."
Kupikir aku akan memberitahunya begitu saja.
"Tapi kamu tahu...."
Lanjutku.
"Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa kamu memang Saku-kun selama ini. Pahlawan yang sama yang begitu lugas, begitu bersemangat, begitu baik hati, bagaikan cahaya di kegelapan, terbang bebas ke dunia dengan kemauanmu sendiri."
Aku selalu berpikir, setelah aku memastikannya, barulah aku akan memberitahunya begitu saja.
Saku menatapku dengan tatapan lembut.
"Terima kasih, Asuka Senpai."
Aku menggelengkan kepalaku.
Ada satu hal lagi yang harus kukatakan padanya.
"Kamu tahu, gambaranmu tentangku itu benar-benar seperti bayangan. Aku ingin menjadi sepertimu, menjalani hidup dengan caraku sendiri, menjadi kuat—tapi aku hanyalah gadis biasa yang serius, yang gak mampu melawan keinginan ayahnya sendiri. Kamu mengikuti versi diriku yang masih kucoba untuk menjadi lebih baik."
Aku selalu merasa sangat menyesal karena versi diriku yang kamu kira kamu lihat ternyata palsu. Kamulah yang keren. Dan seperti yang kuduga, diriku yang sebenarnya mulai menunjukkan dirinya ketika aku harus mengambil sikap dan membuat pilihan.
Sekeras apapun aku mencoba meniru Saku-kun, yang kubutuhkan hanyalah penolakan dari orang tuaku agar aku goyah dan mulai menyerah pada impianku sendiri.
Pada akhirnya, Saku-kun lah yang menyelamatkanku sekali lagi.
Itulah mengapa aku ingin memastikan di mana semua ini bermula.
Hal yang kurindukan, hari itu.
Seberapa besar keinginanku untuk menjadi dewasa. Berdiri di sampingnya dan menegakkan kepalaku. Agar gambaran yang kamu miliki tentangku bisa lebih dari sekadar ilusi.
Saku-kun menghela napas.
"Asuka Senpai."
Katanya dengan suara kecil.
Apa Saku-kun kecewa? Bertanya-tanya mengapa aku membahas ini sekarang?
Tapi saat ini, kurasa aku tidak peduli jika dia menganggapnya seperti itu. Yang harus kulakukan hanyalah memulai dari awal. Melangkah lebih jauh. Agar suatu hari nanti aku bisa mengejar contoh yang masih begitu, begitu jauh di depanku.
Asuka yang kamu bayangkan akan terus maju, sesulit apapun keadaannya; sekalah apapun dia tampak kalah, dia akan mengertakkan giginya dan terus maju.
Saku-kun terdiam beberapa saat, seolah memilih kata-katanya dengan hati-hati sebelum berbicara.
"Kamu ternyata cukup romantis, ya? Gadis dengan hati yang murni! Sangat antusias terhadap sesuatu, dan sebagainya?"
....Heeh?
"Aw sial, beban menjadi lebih bebas dari siapapun dan sepenuhnya terbelenggu di saat yang bersamaan. Dengar, ini bukan manga shoujo, dan kamu gak bisa mengubah seluruh hidup dan kepribadianmu hanya dengan tujuh hari bermain dengan seorang anak selama liburan musim panas sekolah dasar."
Saku-kun menggaruk kepalanya, seolah frustrasi, dan menghela napas berat.
"Tentu, mungkin itu bisa menjadi semacam katalis. Tapi hanya itu aja. Kamu adalah dirimu yang sekarang, Asuka Senpai, karena kamu berjuang buat tujuanmu sendiri."
"Tapi... aku selalu berpikir aku ingin menjadi lebih sepertimu."
"Semua orang memulainya seperti itu. Mereka ingin menjadi seperti pahlawan yang mereka baca di novel atau manga, atau seperti super sentai yang mereka tonton di TV. Atau—hmm, mungkin mereka ingin melakukan pekerjaan yang mengharuskan membawakan buku kepada orang-orang. Tapi berapa banyak orang yang berhasil mempertahankan keinginan itu dan benar-benar mewujudkannya?"
Saku-kun menepukkan tangannya di bahuku.
"Seperti yang kamu bilang malam itu di Tokyo. 'Kamu menolak menjadikan masa lalumu sebuah cerita', kan?"
Tangannya mengencang.
"Kalau begitu, gak perlu mencoret dirimu yang sekarang dengan mengarang cerita, kan? Entah kamu dan aku bertemu atau gak, kamu tetaplah kamu, Asuka Senpai."
Tatapan begitu hangat, begitu penuh kebaikan.
"Kamu bisa membuat anak-anak tersenyum saat mereka berlumuran lumpur tanpa perlu khawatir siapa yang melihat. Kamu punya impianmu sendiri, dan kata-kata sangat berharga bagimu, dan kamu selalu memberikan nasihat terbaik. Kamu menyelamatkanku saat aku membutuhkan seseorang, kamu menegaskan siapa diriku saat ini, kamu agak tomboy tapi tetap feminin, kamu ceroboh, tahi lalat berbentuk tetesan air mata yang kamu miliki sangat seksi, tahi lalat kecil di dadamu lebih seksi lagi, dan akhir-akhir ini aku mulai memandangmu dengan cara yang lebih seksual. Ada banyak hal lainnya, tapi...."
Dia menyeringai, seperti Saku-kun, anak laki-laki di masa laluku.
"Dan kamu menginspirasiku apa adanya dirimu sekarang, seperti angin yang berhembus menuju hari esok. Itu kisah yang cukup sederhana, kan?"
Aku merasakan jantungku berdebar kencang di dadaku.
Kamu benar-benar.... Saku-kun, kamu itu benar-benar....
...Selalu menarikku dan membawaku ke tempat-tempat yang gak kukenal.
Mencengkeram ujung rokku, aku menatapnya. Aku menarik napas dan mengembuskannya, memberinya senyum tulus khas Asuka Nishino.
"Hee. Kayanya kamu jauh lebih menyukaiku daripada yang kukira, Saku-kun!"
"Oh, kamu gak tahu?"
Saku-kun menangkap apa yang kumaksud, dan tertawa.
"Aku memang menyukaimu sejak awal."
Aku tertawa malu dan menggaruk pipiku.
"Besok ada pertemuan orang tua-guru. Aku akan pergi seperti diriku sekarang, seperti Asuka yang sekarang. Dan aku akan menghadapi masa depanku."
Kisah cinta pertama yang kuhargai... berakhir di sini.
Masa lalu yang kukejar dan kuidealkan... berakhir di sini.
"Asuka Senpai?"
"Hmm?"
"Mau mengunjungi nenekku bersama kapan-kapan?"
"Tentu."
Baiklah. Saatnya untuk memulai. Kisah nyata Asuka Nishino.
✶
Keesokan harinya, setelah jam pelajaran terakhir, Saku-kun datang ke kelasku.
"Ini. Anggap saja ini jimat keberuntungan."
Saku-kun memasukkan sesuatu ke dalam saku tasku.
Aku mengintip untuk melihat isinya, dan...
"Kenapa kamu memberiku ponsel?"
Aku terkejut.
"Hmm, kurasa itu satu-satunya barangku yang selalu kusimpan di dekatku."
Saku-kun tampak sangat manis, menggaruk kepalanya dengan malu-malu, dan itu membuat hatiku terasa ringan.
"Makasih. Manisnya."
"Berikan semua yang kamu punya. Ayahmu memang sulit ditaklukkan."
"Aku tahu itu lebih dari siapapun."
Ketika aku memasuki ruang kelas kosong yang ditunjukkan Kura-san, aku menemukan sebuah meja dengan dua set kursi yang saling berhadapan.
Ayahku dan Kura-san sudah duduk.
Seolah-olah mereka berdua tahu ini bukan pertemuan orang tua-guru, melainkan pertemuan anak-orang tua. Aku merasa bersalah karena merepotkan Kura-san, tapi aku ingin menghadapi masa depanku dengan baik sebagai murid SMA tahun ketiga, dalam suasana pertemuan orang tua-guru yang terbuka.
"Uh, kalau begitu..."
Kura-san mulai bicara lebih dulu, dengan gayanya yang biasa.
"Apa yang ingin kau lakukan, Nishino?"
Aku memejamkan mata sejenak, lalu menguatkan diri, menatap ayahku.
"Aku ingin pergi ke Tokyo. Menjadi editor sastra."
Aku menyebutkan nama universitas yang pernah aku dan Saku-kun kunjungi. Aku sudah beberapa kali mengutarakan keinginanku, tapi aku tidak pernah dianggap serius.
Kura-san membolak-balik beberapa lembar kertas yang dia miliki.
"Hmm, dengan nilai-nilai seperti ini, seharusnya kau tidak akan kesulitan."
Tapi ayahku menggelengkan kepalanya dengan pelan.
"Aku akan mengulanginya lagi, tapi pertama-tama, Tokyo terlalu berbahaya untuk dituju gadis muda sepertimu. Apalagi gadis yang terlindungi sepertimu."
Dan memangnya karena siapa yang membesarkanku kaya gitu?
Tapi aku tidak dapat apa-apa kalau mengatakan itu.
Aku memang gadis yang terlindungi, tapi itu karena ayahku sangat menyayangiku, menjagaku dari segala sumber masalah agar aku bisa hidup tanpa rasa khawatir.
"Ayah terus bilang Tokyo itu berbahaya, tapi ayah sendiri belum pernah tinggal di Tokyo, kan? Kurasa tidak adil menolak sesuatu hanya berdasarkan apa yang ayah dengar."
"Jika setiap orang desa punya kesan Tokyo itu berbahaya, pasti banyak orang yang pernah mengalami masalah di sana. Di Fukui, jumlah kejahatan serius bisa dihitung dengan satu tangan : pembunuhan, perampokan, pembakaran, pemerkosaan. Dalam rentang waktu yang sama di Tokyo, jumlahnya mencapai ratusan. Keamanannya tidak tertandingi."
Ayahku baru saja melancarkan serangan fatal. Aku teringat kejadian di Kabukicho. Apa jadinya kalau Saku-kun tidak ada di sana?
Tapi....
"Logika seperti itu tidak adil."
Kataku.
"Oke, jadi memang benar tempat itu lebih berbahaya daripada Fukui. Aku benar-benar merasakannya hanya dalam satu perjalanan semalam. Tapi kupikir kita bisa belajar tempat dan orang mana yang harus dihindari. Lagipula, Ayah dan Ibu membesarkanku untuk berpikir jernih, kan?"
Ayahku selalu benar dalam perkataannya, sejak aku kecil. Aku tahu itu, jadi aku melakukan apa yang ayahku katakan dan tidak pernah menentangnya. Itulah mengapa aku merasa yakin bisa pergi ke Tokyo sendiri dan tetap di jalan yang benar.
Tapi di saat yang sama, aku tahu apa yang benar dan apa yang salah terbuka untuk ditafsirkan. Seperti bagaimana gaun kotor bisa menjadi kenangan berharga.
"Ada hal-hal jahat di dunia yang tidak peduli apa kau berpikir jernih atau tidak."
"Tapi di Fukui juga sama. Tidak ada jaminan aku tidak akan menjadi salah satu dari segelintir kasus itu. Sekalipun ada lebih banyak pelaku kejahatan kekerasan di Tokyo, di Fukui, target orang-orang jahat seperti itu lebih sedikit."
Ayahku mengganti topik.
"Sudah kubilang, ayah tidak akan membiayaimu kalau kamu pergi ke Tokyo. Jadi, apa yang akan kamu lakukan? Kamu butuh biaya kuliah dan biaya hidup mandiri. Kalaupun kami setuju untuk membantumu, itu akan sangat membebani kami."
"Aku tentunya akan senang menerima bantuan apapun. Tapi kampus yang ingin aku tuju menawarkan pinjaman mahasiswa yang sangat besar. Dan beberapa beasiswa bahkan tidak perlu dilunasi. Dengan nilai-nilaiku, seharusnya aku punya peluang yang sama besarnya dengan orang lain untuk mendapatkannya."
Aku menatap Kura-san, berharap ada bantuan.
"Seharusnya begitu."
Kata Kura-san.
"Nilai ujianmu selalu masuk sepuluh besar sejak tahun pertama. Dan sejak kau masuk tahun ketiga, kau selalu masuk lima besar. Termasuk perilaku, kau salah satu murid terbaik kami."
Aku kembali menatap ayahku.
"Aku juga mencari pekerjaan paruh waktu di Tokyo. Jika aku bekerja di pusat panggilan di kota, aku bisa bekerja selama tiga minggu di sela-sela masa kuliah dan mendapatkan penghasilan minimal seratus lima puluh ribu yen sebulan. Dengan uang beasiswa itu, aku rasa aku seharusnya bisa bertahan hidup."
Aku bukan Saku-kun.
Aku tidak bisa mengubah pikiran orang dengan auraku yang memikat, jadi aku harus melakukan riset dan mendapatkan hasilnya.
Ayahku mendengus dan meletakkan tangannya di dagu.
"Baiklah, itu cukup lumayan. Tapi ada satu hal lagi. Kesampingkan dulu soal keinginanmu jadi editor... kenapa harus Tokyo?"
"Ada dua alasan nyata. Berdasarkan data sebelumnya, universitas yang ingin kumasuki memang fokus pada media. Banyak lulusan yang diterima di perusahaan tempatku ingin bekerja. Dan universitasnya punya banyak klub sosial yang berhubungan dengan seni. Dan karena aku ingin jadi editor fiksi sastra, aku harus benar-benar mencari kerja di Tokyo. Jadi, sebaiknya aku membiasakan diri dengan kota itu selagi masih kuliah."
Setelah jeda sejenak, aku melanjutkan.
"Alasan lainnya, kalau aku tinggal di sini, banyak sekali yang tidak pernah bisa kulihat. Tokyo memang menakutkan, tapi ada kehangatan yang bisa ditemukan di bawah permukaan, dan udara yang berkabut membuat Fukui terasa lebih segar. Aku ingin melihat hal-hal yang belum kulihat, merasakan hal-hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya."
Ayahku menghela napasnya.
"Ayah mengerti kau sudah banyak memikirkan hal ini. Tapi kembali ke inti permasalahan—kenapa kau harus jadi editor? Kalau kau ingin sekali menyampaikan kata-kata pada orang lain, kau bisa jadi guru bahasa jepang atau bahkan pustakawan."
Ini pertanyaan yang membuatku buntu terakhir kali.
Tapi gak apa. Itu gak akan membuatku bingung lagi.
Saku-kun membantuku menemukan jawabannya.
"Keduanya pekerjaan bagus, menurutku. Tapi bagiku, aku ingin membantu menyampaikan cerita-cerita yang belum sepenuhnya menjadi cerita pada orang lain. Membantu merangkai kata-kata yang tepat. Itulah yang kusadari."
"Kau terlalu samar. Ayah tidak mengerti."
"Dari buku-buku yang sudah kubaca sejauh ini, kata-katanya adalah hal-hal yang digali mati-matian dari jiwa seseorang dalam upaya untuk berbagi visinya dengan orang lain. Jika ada dunia di luar sana yang hanya bisa kutemukan dan wujudkan, maka aku merasa harus melakukannya."
Aku teringat adegan yang kulihat di Tokyo.
Persis seperti latar belakang Saku-kun, yang dia anggap bodoh dan membosankan, dan persis seperti versi diriku yang telah kutinggalkan sebagai fatamorgana, yang Saku-kun tolak untuk tidak ada.
Ada begitu banyak cerita di luar sana yang tidak pernah terungkap.
Tapi kata-kata yang kudapatkan terasa dingin.
"Motivasi yang biasa saja. Jika kau mengumpulkan seratus orang yang ingin menjadi editor dan penulis, setidaknya sembilan puluh lima dari mereka akan memiliki motivasi yang sama. Kau harus bersaing dengan lima sisanya, mereka yang hidupnya diselamatkan oleh buku tertentu atau diubah total oleh editor tertentu. Orang-orang dengan tujuan yang nyata."
Ayahku membetulkan letak kacamatanya.
"Kau ingin bergabung dengan perusahaan penerbitan besar, ditugaskan di departemen fiksi, dan menulis buku yang sukses besar. Kau tahu betapa sulitnya semua itu, kan?"
"....Ya."
"Siapapun bisa bermimpi. Murid-muridku—aku sudah lupa berapa banyak—berkata padaku bahwa mereka ingin menjadi penyanyi, aktor, atau novelis. Kebanyakan hanya kuliah lalu menjadi karyawan biasa. Begitulah adanya."
Ayah menyipitkan mata dan mengetuk meja dengan jarinya.
"Hal buruknya adalah ketika mereka sebenarnya setengah serius. Tapi satu-satunya orang yang bisa mewujudkan impian mereka adalah mereka yang memiliki perpaduan yang tepat antara kemampuan dan keberuntungan. Kau mungkin berpikir kau salah satu dari mereka, kau mungkin berpikir kau keren karena mengejar impianmu, tapi kau sengaja menutup mata terhadap kenyataan. Baru setelah kau gagal, dan kau telah menghabiskan semua harapan, kau melihat sekelilingmu dan menyadari kebenaran."
Ayahku mengalihkan pandangannya yang gelap ke jendela dan memandang keluar.
Gerimis terus berlanjut sejak pagi, menyebabkan lubang-lubang di lapangan kerikil terisi air hujan.
"Murid-murid lain, teman-temanmu yang kemudian bekerja di pekerjaan biasa—kau mungkin berpikir mereka payah, tapi mereka memiliki pernikahan yang baik dan rumah tangga yang bahagia. Dan kau akan melihat mereka dan menyadari kau telah terabaikan. Dan...."
Ayahku mengetuk meja lagi.
"Kau, Asuka—gadis yang selalu mendengarkan dengan saksama perkataan orang tuanya dan melakukan hal yang benar—aku rasa kau tidak punya kemampuan untuk menjadi salah satu yang istimewa. Bangunlah. Hadapi kenyataan."
"...."
Itu adalah hal terburuk yang bisa ayahku katakan. Yang paling menyakitkan. Karena sampai kemarin, begitulah aku memandang diriku sendiri. Hanya seorang gadis biasa yang membosankan, yang mengagumi seorang anak laki-laki istimewa dan mencoba menirunya. Seorang yang palsu.
"Meski begitu...."
Aku meninggikan suaraku.
Ayahku menatapku dengan penuh minat. Anak laki-laki yang sangat kukagumi berkata bahwa diriku yang sekarang telah menyelamatkannya. Dia berkata bahwa dia mengagumi gadis itu. Dia telah melalui begitu banyak pengalaman yang menyedihkan, dan dia menganggapnya remeh dan tidak penting, tapi dia tetap menghadapi cita-citanya dan menggapainya.
"Aku tidak akan pernah tahu kecuali aku mencoba. Aku tidak ingin menyerah di tengah jalan. Jika suatu saat aku terbentur tembok, dan aku tahu aku tidak bisa melangkah lebih jauh, tapi itu tidak masalah. Tapi aku ingin memutuskannya sendiri. Aku tidak akan pernah menerima bahwa semuanya sudah berakhir sampai aku membenturkan tanganku yang berdarah ke tembok itu."
Aku mencengkeram kain rokku.
"Ini adalah kisah Asuka Nishino!!!"
"Lalu, apa kau siap memutuskan semua ikatan keluarga?"
"...Heeh?"
Apa... yang baru saja ayahku katakan?
"Apa aku kurang jelas? Kalau kau sekeras kepala ini, sebagai orang tua, kami akan memutus hubunganmu secara finansial. Dan kau tidak akan pernah datang lagi ke rumah kami."
"Tapi..."
"Bukannya aku bersikap tidak masuk akal. Aku sudah menunjukkan padamu bagaimana kau bisa hidup bahagia, dan aku sudah menunjukkan padamu bagaimana melanjutkan jalanmmu ini akan membuatmu tidak bahagia. Tapi kalau kau masih bersikeras melakukan apa yang kau mau, setidaknya jangan biarkan aku merasakan sakitnya melihat putriku menghancurkan hidupnya sendiri."
Kata-kata ayahku begitu dingin, nadanya acuh tak acuh seperti biasanya.
Aku menatap Kura-san dengan putus asa, meminta bantuan, tapi dia meletakkan tangannya di dagunya dengan sedih.
Mengejar mimpiku? Meninggalkan keluargaku?
Aku gak bisa membuat pilihan itu.
Ah, tidak.
Hanya ada satu pilihan. Keluargaku.
Ibu dan ayah telah membesarkanku dengan segala yang mereka miliki.
Meskipun pendapat kami tentang hal ini sangat berbeda, rasanya aku tidak akan pernah bisa membenci mereka.
Ini gak adil.
Tapi jika ayah sampai rela melakukan sejauh ini untuk menghentikanku, maka... apa yang kuusulkan pasti sangat nekat.
Aku melepaskan kepalan tanganku.
Aku tahu perasaan ini. Perasaan menyerah. Rasanya seperti ini, di hari musim panas yang dulu, ketika aku bilang akan menyerah untuk pergi ke festival.
Apa benar begitu?
Aku mencengkeram kain rokku lagi.
Berpikir, Asuka Nishino.
Tidak adakah cara lain? Tangga untuk bersandar di jendelaku?
Jika aku menyerah sekarang, gak akan ada yang berubah dalam hidupku.
"Cepat putuskan. Kita tidak punya waktu seharian."
Kata ayahku.
Jika aku lari hari ini, aku tidak akan pernah mendapat kesempatan seperti ini lagi.
Aku ingin lebih banyak waktu.
Aku merasa ada jawaban lain di sini.
"Iwanami-san. Karena sepertinya Asuka tidak keberatan lagi, tidak akan ada perubahan dalam pilihan pendaftaran kuliahnya."
Tunggu. Aku hanya butuh sedikit waktu lagi.
Aku memejamkan mata rapat-rapat.
Aku gak ingin ini berakhir.
Saat itu juga...
"—Tunggu sebentar!!!"
Pintu kelas terbuka dengan suara gemuruh seperti guntur.
Ah. Aku gak ingin bergantung padamu lagi.
Tapi aku tahu kamu akan datang pada akhirnya.
Maaf sudah membuatmu khawatir.
"...Saku-kun..."
✶
Aku menatap Saku-kun, ponsel di satu tangannya, bahunya terangkat sementara dia terengah-engah, dan aku tahu apa yang terjadi. Mungkin, ponsel yang Saku-kun selipkan ke dalam tasku adalah ponsel yang dipinjamnya dari seseorang, dan dia menyetelnya ke mode speaker agar dia bisa mendengarkan percakapan kami.
Itu melanggar aturan, dalam hal apapun, tahu.
Pikirku. Tapi impulsivitasnya itu memang ciri khas Saku-kun.
{ TLN : Impulsivitas itu kecenderungan untuk bertindak berdasarkan keinginan dan desakan tanpa cukup memikirkan, merencanakan, atau mempertimbangkan akibat negatifnya. }
Ayahku menghela napas, dan Kura-san memelototinya.
"Cukup sikap lancangnya, Chitose. Ingat apa yang kukatakan? Kau tidak berhak ikut campur dalam percakapan ini."
"Haa!"
Menanggapi itu terdengar tawa pendek dan tajam.
"Aku punya hak! Aku punya hak sebagai murid yang sangat mengaguminya!"
Sudut bibir Kura-san mulai berkedut, sedikit saja.
"Aku mengerti. Baiklah, kalau begitu, lanjutkan saja."
Ayahku menjawab dengan jijik di wajahnya.
"Astaga. Apa kau tidak bisa mengendalikan murid-muridmu? ...Cukup sandiwaranya. Duduklah, Chitose. Tidak diragukan lagi kau akan mengabaikanku jika aku menyuruhmu pergi."
"Terima kasih."
Lalu Saku-kun duduk di sampingku.
Tapi.
Pikirku.
Sejujurnya, ini bukan masalah yang bisa Saku-kun selesaikan.
Jika usaha seorang anak perempuan dari ayahnya tidak berhasil, apapun yang dikatakan seseorang yang bahkan bukan keluarga pun tidak akan berpengaruh. Aku tidak bisa membayangkan ayahku akan berubah pikiran. Tapi di sinilah Saku-kun. Mungkin dia punya ide cemerlang untuk melewati kebuntuan ini.
Saku-kun meletakkan kedua tangannya di atas meja dan menarik napas dalam-dalam.
"Kumohon! Kumohon biarkan Asuka Senpai pergi ke Tokyo!"
Lalu Saku-kun menempelkan dahinya di meja, membungkuk kepada ayahku.
Ayahku dan aku telah menunggu apa yang akan Saku-kun katakan, tapi sekarang kami berdua menatapnya dengan kaget. Sementara itu, Kura-san tampak berusaha keras untuk tidak tertawa.
"Aku tidak akan menjelaskan detailnya, tapi yang perlu kau tahu adalah aku mendengarkan seluruh percakapan itu. Maaf. Dan meskipun kupikir kau terlalu kasar di akhir, aku menghargai apa yang kau katakan, Nishino-san."
"Jadi, untuk apa kau datang ke sini?"
"Sudah kubilang? Itu permintaan yang tidak masuk akal. Untuk alasan egoisku sendiri."
Alasan egois.
Pikirku. Sesuatu sepertinya terlintas di benakku.
Saku-kun melanjutkan.
"Aku tahu aku tidak berhak bicara dalam situasi ini. Tapi aku ingin Asuka Senpai mengejar mimpinya."
Saku-kun masih menempelkan dahinya di meja.
"Apa Asuka Senpai butuh alasan yang begitu kuat? Bukankah itu cukup baginya untuk melakukan apa yang dia inginkan? Tidak ada jaminan dia akan gagal! Tidakkah kau akan membiarkannya mengejar mimpinya?"
Itulah logika seorang anak-anak. Mengabaikan semua yang ayahku katakan dan terus memaksakan kehendaknya sendiri. Melihatnya menundukkan kepala di atas meja, mengatakan hal-hal itu.... rasanya tidak cocok dengan Saku-kun yang kukenal.
Aku teringat percakapan kami dulu.
"Jadi, menurutmu kucing liar yang menjilat nenek tua demi makanan itu pikir dia payah? Lagipula, dia kan cuma hewan peliharaan."
"Enggak. Kucing itu hanya melakukan apa yang harus dia lakukan untuk bertahan hidup sebagai kucing liar."
Lihat, aku tahu kamu akan mengingatnya.
"Kami masih mencari tahu. Aku tahu, saat dewasa nanti, kami harus merelakan banyak hal, berkompromi. Tapi bukan berarti kami harus meninggalkan mimpi kami! Mimpi itu lebih berat untuk dipegang. Akan lebih melegakan kalau kami bisa melepaskannya. Dengan begitu, kami tidak akan terluka. Kami tidak perlu bertengkar."
Itulah kata-kata yang hanya bisa diucapkan oleh Saku-kun.
"Tapi kami harus memutuskan sendiri kapan harus mengakhiri mimpi kami. Kalau tidak, ketika kami melihat orang-orang yang berusaha sebaik mungkin, mengertakkan gigi mereka, dan sungguh-sungguh berusaha... kami hanya akan merasa tertinggal, sendirian di dunia ini... sama seperti aku—"
Kepala Saku-kun tiba-tiba terangkat.
"Aku masih ingin menemukan masa depanku sendiri. Orang dewasa selalu melihat ke belakang, tapi kami masih punya masa depan di depan kami. Kami harus mengejarnya. Aku ingin percaya bahwa aku bisa mencapai bulan, suatu hari nanti."
Kata-katanya, sentimennya, hasratnya, semuanya mengalir ke dalam diriku.
Ah, dia memang jauh berada di depanku.
Makasih, Saku-kun.
Sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan.
Ayahku bicara, suaranya setenang biasanya.
"Sudah selesai meyakinkanku? Biarkan aku bertanya satu pertanyaan lagi. Maukah kau bertanggung jawab saat Asuka menghadapi mimpinya yang hancur? Maukah kau mendukungnya?"
Saku-kun menggertakkan giginya.
"Ya, tentu saja. Kalau kau belum siap percaya pada putrimu, mungkin aku yang akan mempercayainya!"
"Kalian berdua, tolong diam!!!"
Aku membanting tanganku ke meja, tidak bisa menahan luapan emosiku.
"Aku lebih baik mati daripada menerima lamaran seperti itu! Kalau—kalau kamu mau melamarku, kembalilah dan coba lagi sepuluh tahun lagi, oke?"
Aku memberi Saku-kun seringai lebar, dan dia balas menatapku dengan mulut ternganga seolah semua api dari beberapa detik yang lalu telah padam.
Saku-kun tampak sangat manis. Aku ingin sekali menggodanya sedikit lagi, menatapnya sedikit lagi, tapi aku malah mengumpulkan semua tekadku—dan semua apiku sendiri—dan menatap ayahku.
"Aku sudah memutuskannya. Aku akan menjadi editor."
Sejujurnya, hanya itu yang kubutuhkan.
"Aku mengerti sudut pandang ayah. Tapi aku tidak peduli. Aku akan melakukannya karena aku ingin, karena itulah yang aku mau. Aku akan mengejar mimpiku, mengejarnya dengan berani, dan mengerahkan segenap tenagaku. Dan jika aku terbentur tembok yang tidak teratasi, aku akan meruntuhkannya dan terus maju."
Benar, seperti seseorang.
Aku sudah memutuskan bahwa itulah caraku ingin hidup.
Aku ingin membuat keputusan penting untuk diriku sendiri.
"Meskipun mungkin kekanak-kanakan, ada satu kebenaran yang tidak dapat disangkal. Ada banyak hal yang terlibat di dalamnya—bakat, keberuntungan, kerja keras—tapi satu hal yang dimiliki semua orang yang mewujudkan impian mereka adalah mereka tidak menyerah sampai akhir yang pahit."
Sama seperti kekaguman yang kumiliki dari gadis kecil itu, yang kusimpan di hatiku selama bertahun-tahun, membentukku menjadi diriku yang sekarang.
Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, lalu mengembuskannya.
"Itu tidak sulit. Aku akan berpura-pura sampai berhasil. Kurasa itulah kuncinya. Seperti banyak orang yang mimpinya gagal, ada juga orang yang mewujudkan mimpinya."
"Asuka...."
Kata ayahku dengan pelan, terkejut.
"Itu namaku. Nama berharga yang ayah dan ibu berikan untukku. Aku ingin menjalaninya dan menjadi angin yang berhembus menuju hari esok."
Aku memberi ayahku senyuman cerah, dipenuhi dengan semua emosi dan gairah yang kurasakan.
"Tapi kalau ayah masih bersikeras menolak...."
Aku mengangkat rahangku tinggi-tinggi, mengalihkan pandangan darinya.
"....maka aku akan menghabiskan seluruh hidupku untuk meyakinkan ayah sampai ayah menerima keinginanku."
….
"Bwah-ha-ha-ha!"
Ayahku lah yang memecah keheningan, tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
Saku-kun dan Kura-san juga ikut tertawa, dan aku merasa tersipu malu.
"Asuka, apa kau masih anak-anak?!"
"Tidak, tidak, itu hebat. Dia menyentuhmu, kan, Nisshi?"
Ayahku terus tertawa setelah mereka berdua mengatakan itu, seolah tidak bisa berhenti.
"Gack! Ah, aku tidak pernah menyangka akan tiba hari di mana aku mendengar putriku sendiri berbicara seperti itu!"
"Hei! Kalian semua jahat sekali!"
Akhirnya, ayahku berhenti tertawa, dan dia menarik napasnya.
"Kurasa aku kalah, Asuka."
Suara ayahku dipenuhi kehangatan yang mendalam.
"Aku harus melihat seberapa jauh kau akan melangkah tanpa menyerah. Seberapa keras aku harus bersikap."
Ayahku membetulkan kacamatanya, memijat alisnya.
"Sebagai guru, aku melihat banyak murid membicarakan impian mereka. Sembilan puluh lima persen di antaranya gagal, tapi yah, sekitar lima persen berhasil. Dari yang gagal, banyak yang tidak mau bertanggung jawab. Mereka ingin aku menekan mereka. Itu tidak berhasil, dan akhirnya mereka gagal."
"Ayah...."
"Sayangnya, dunia ini, negara ini, tidak ramah kepada orang-orang yang mengejar impian mereka. Tekanan sosial semakin memburuk, semakin sering kita membicarakannya. Orang-orang bersikap baik, mengatakan semua hal yang benar, menawarkan logika dangkal, tapi sementara itu, mereka terus mengatakan kita tidak bisa melakukannya."
Ayahku mengeluarkan sapu tangannya dan membersihkan kacamatanya sebelum memakainya kembali.
"Dan itu buruk, karena kau tidak salah. Tidak benar bahwa semua pemimpi itu naif. Bahkan jika orang-orang yang mengatakan hal-hal ini hanya mengatakannya karena mereka merasa malu, mereka tidak bisa hidup seperti itu."
Ayahku memandang ke luar jendela, ekspresinya muram.
"Beberapa murid pernah patah hati. Mereka masih muda, penuh percaya diri dan kemampuan saat lulus, tapi tanpa disadari, mereka menjadi dewasa yang hanya mengangkat bahu mereka dan hidup tenang."
"Jadi, ayah sedang memainkan peran masyarakat?"
Ayahku menggelengkan kepalanya karena malu.
"Aku agak kesal. Seharusnya aku tidak mengatakan bagian tentang memutuskan hubungan dengan keluarga itu. Aku menyamakanmu dengan semua murid yang pernah kulihat selama aku hidup. Harus kuakui, melihatmu dipengaruhi oleh orang lain yang bukan aku—itu benar-benar menyentuhku."
Ayahku menggaruk pipinya, tampak malu, sambil melanjutkan.
"Memalukan untuk mengakuinya, tapi aku orang dewasa yang membosankan. Aku tidak pernah membuat pilihan sampai aku merencanakan setiap kemungkinan. Tapi sebenarnya, ayahmu yang dulu sebenarnya ingin menjadi musisi rock."
Aku mendengar dua orang menelan rasa gugup mereka, mati-matian berusaha untuk tidak bereaksi. Tapi aku tidak bisa menahan senyum. Aku memikirkan tumpukan CD dan gitar-gitar berdebu yang kami miliki di rumah. Ayahku memberi Kura-san tusukan cepat di perut sebelum melanjutkan, wajahnya memerah.
"Tapi ada saatnya harus menghadapi kenyataan. Jadi aku menyerah. Saat membesarkanmu, Asuka, aku memutuskan untuk hanya mengajarimu apa yang aku yakini dengan benar, sebagai ayahmu. Jika aku bisa membesarkanmu untuk hidup bahagia, maka aku bisa berbagi kebahagiaan yang sama."
Aku belum pernah mendengar semua ini sebelumnya. Aku selalu berpikir ayahku sangat yakin dengan hal-hal yang diajarkannya kepadaku.
"Jadi aku khawatir. Membayangkan Asuka-ku, gadis yang kubesarkan dengan sangat hati-hati, akan segera pergi keluar sendirian di tengah masyarakat, mengejar mimpinya."
Ayahku menatapku lurus kepadaku. “
"Seperti kata Chitose, keinginan untuk mengejar mimpi sudah cukup menjadi alasan yang kuat untuk melakukannya. Satu kesamaan yang dimiliki semua muridku yang sukses adalah mereka pantang menyerah. Apapun yang dikatakan orang, mereka percaya pada diri sendiri dan memiliki tekad yang kuat. Dan semangat untuk mempertahankan keinginan awal itu. Selama mereka memilikinya, bahkan murid yang paling buruk pun bisa bangkit menjadi guru yang hebat... benar, Kura?"
Kura-san mengembuskan napas panjang, tampak malu.
"Aku bukan yang terburuk. Ada satu atau dua yang lebih buruk dariku."
Ayahku tersenyum, menyodorkan lembar nilai yang ada di hadapan Kura-san.
"Kau telah tumbuh menjadi orang dewasa yang baik bahkan sebelum ayah menyadarinya. Asuka, hiduplah sesuai keinginanmu sendiri."
Aku menahan air mata yang tiba-tiba hampir meluap, dan....
"...Ya."
Aku menundukkan kepala saat mengatakannya. Isyarat itu dipenuhi dengan rasa terima kasih selama delapan belas tahun.
"Dan kau, Chitose."
"....Ya?"
"Kau tidak berubah sedikit pun sejak saat itu."
Rahang Saku-kun perlahan terbuka.
"Kau... mengingatku?"
"Bagaimana mungkin seorang ayah melupakan anak laki-laki yang membawa kabur putrinya bukan hanya sekali, tapi dua kali? Dan perjalanan singkat ke Tokyo itu sudah yang ketiga kalinya."
"Er... haha."
"Aku memberimu mungkin enam puluh poin untuk pertemuan orang tua-guru pertama dan caramu mengelak yang cerdik di telepon, tapi apa yang kau katakan sebelumnya, ekspresi emosimu yang blak-blakan, itu menyentuhku. Kau juga membuat pilihan yang cerdas dengan tidak pernah memanggilku 'Ayahnya Asuka'. Kita sebut saja sembilan puluh poin."
Setelah sedikit bercanda itu...
"Terima kasih."
Kata ayahku sambil menundukkan kepalanya.
"Terima kasih sudah percaya pada putriku—dan mendukungnya."
Saku-kun mendengarkan dengan serius, lalu mulai menyeringai.
Uh-oh. Itulah raut wajah Saku-kun sesaat sebelum dia melontarkan lelucon bodoh.
"Aku tidak melakukan apa-apa. Asuka yang kau lihat di hadapanmu, Nishino-san, adalah Asuka yang sama yang kau besarkan dengan nilai-nilai luhur. Yang kulakukan... hanyalah mengajarinya untuk sedikit bersenang-senang."
"Hmm? Kau harus menceritakan semuanya padaku. Secara detail."
Ayahku tiba-tiba terdengar serius lagi, tapi Saku-kun mulai bersiul, menatap ke kejauhan.
Ayahku memutar matanya dan terkekeh.
"Ketidakmampuanmu untuk bersikap serius di saat-saat serius mengingatkanku pada seseorang di masa mudanya. Benar, Kura? Tch, guru yang nakal sedang mengajar murid yang nakal."
"Ada batasnya, kan?"
"Ya. Nah, karena kau tidak ada urusan penting lagi, ayo minum bersamaku setelah ini."
"Kau menyebalkan sekali kalau minum, Nisshi. Kau cuma bisa membanggakan putrimu."
"Apa aku salah? Banyak sekali yang bisa dibanggakan darinya."
"Baiklah, baiklah."
Mereka menarik kursi mereka dengan suara berisik dan berdiri.
Saat mereka keluar ruangan, ayahku menoleh ke belakang.
"Chitose, mampirlah kalau kau mau."
Sudut mulut Chitose berkedut.
"Tidak, tidak. Kau itu menakutkan, Ayahnya Asuka Senpai."
"Untuk ironinya, kau dapat seratus poin."
Pintu tertutup, dan hanya aku dan Saku-kun yang tersisa di kelas.
✶
Dan akhirnya diputuskan. Aku akan pergi ke Tokyo.
Rasanya seperti beban berat baru saja terangkat dariku.
Jadi beginilah rasanya ketika seluruh masa depan kalian diputuskan. Kupikir rasanya akan lebih... dramatis.
Di sampingku, Saku-kun berdiri. Lalu, dengan senyum ramah yang tidak henti-hentinya...
"Selamat, Asuka Senpai."
...dia mengulurkan tangannya padaku.
Aku menggenggamnya dan berdiri, lantai terasa seperti awan di bawahku.
Apa ini ketakutan? Kecemasan? Atau alam mimpi?
"Wujudkan mimpimu di Tokyo."
Mengapa itu terdengar seperti perpisahan?
Perasaan ini hanyalah kesedihan biasa.
Dalam sekejap, aku merasakan beban itu semua menerpaku. Hari-hari yang kuhabiskan di kota ini, saat-saat yang kuhabiskan bersama anak laki-laki di depanku sekarang.
Sekarang jalanku telah diputuskan, dan itu berarti ada begitu banyak hal yang harus kulepaskan. Ini adalah persimpangan hidupku. Aku tidak akan pernah lagi menjalani kehidupan yang damai dan sederhana di kota yang hangat dan ramah ini, mengobrol dengan Ibu dan Ayah, tidak akan pernah berubah.
Aku akan menjadi mahasiswa. Takkan lagi aku bisa mampir untuk menemui Kura-san. Takkan lagi aku bisa menunggu Saku-kun, yang saat itu sudah menjadi murid tahun ketiga, di tepi sungai. Takkan lagi aku bisa mengajaknya kencan dadakan.
Aku juga tahu bahwa aku takkan pernah berakhir menjadi istri Saku-kun.
Dadaku terasa sesak dan sakit. Inilah yang kuputuskan untuk diriku sendiri. Aku tidak menyesal. Tidak bisa.
Aku akan mengejar mimpiku, menegakkan kepalaku tinggi-tinggi di kota yang tidak kukenal.
Tapi. Tapi. Tapi.
Terima kasih, Ayah. Terima kasih, Ibu. Terima kasih telah membesarkanku. Terima kasih telah memberiku semua yang kubutuhkan untuk berdiri sendiri di kota yang tidak kukenal.
Terima kasih, Kura-san. Terima kasih telah setia menemani murid bermasalah ini sampai akhir. Terima kasih telah melihat bagaimana aku merasa terkekang.
Terima kasih, Saku-kun. Terima kasih telah menunjukkanku cara untuk bebas. Terima kasih telah menyelinap pergi selama ini. Terima kasih telah percaya padaku, mendukungku, menyelamatkanku. Terima kasih telah begitu tenang, sampai akhir. Terima kasih...
Sebelum aku tahu apa yang kulakukan, aku telah meraihnya, berpegangan erat seolah-olah aku sedang berpegangan pada sesuatu yang lain.
Saku-kun mungkin terlalu terkejut untuk menahan diri.
Kami berdua kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai.
Saku berada di bawah, dan dia mendorong dirinya dengan siku, menatapku.
"Asuka Senpai, wajahmu."
Lalu dia tersenyum lembut.
Air mata yang tidak bisa kutahan lagi mengalir deras dan menetes.
Air mata itu jatuh di pipi anak laki-laki itu, seperti tetesan hujan bulan Juni.
Aku yakin wajahku berantakan.
"Masih cengeng ya."
Jari Saku-kun menyentuh pipiku dengan lembut. Sikapnya yang ramah, kata-katanya yang hangat, tidak satu pun berubah. Tidak lama sejak hari-hari musim panas yang berharga itu yang begitu kuhargai.
Perjalanan pulang, saat kami berpegangan tangan. Gaun putih yang berlumuran lumpur. Kelereng di dalam botol Ramune yang kita periksa di festival. Malam di Tokyo saat kami tidur berdampingan. Dan momen ini sekarang. Aku ingin menggenggam momen-momen ini selamanya. Agar momen-momen ini menerangi jalan ke depan.
"Gak apa-apa."
Kata Saku-kun, menyemangatiku.
Bagiku, tidak ada yang lebih besar, lebih indah, lebih cerah, atau lebih ramah...
Bagiku, dia... dia itu...
"Kamu... bulanku!!"
Di tengah hujan deras yang mengguyur kami, aku mengatakan itu.
"Bukan. Bulan yang bersinar begitu indah saat aku terjebak di dalam botol yang tidak bisa dibuka... itu kamu, Asuka Senpai."
Tidak, tidak, tidak.
Terlalu sulit untuk terus menopang diriku sendiri. Aku ambruk, membenamkan kepalaku di dada Saku-kun yang kokoh. Aku ingin mengucapkan terima kasih dengan lebih halus, tapi aku hanya bisa menemukan kata-kata biasa dalam keputusasaanku untuk menyampaikan perasaan ini padanya.
"Aku akan berusaha sebaik mungkin. Aku akan mewujudkan mimpiku, di Tokyo. Aku akan membuktikan bahwa cahayamu lah yang menerangi jalanku."
Saku-kun membelai rambutku dengan lembut.
"Lakukanlah. Kamu pasti bisa. Jangan pernah menyerah."
"U-Uwaaaaah!!!"
Aku lupa di mana kami berada. Aku lupa bahwa ini adalah bagian di mana aku seharusnya bahagia. Sebaliknya, aku hanya menangis tersedu-sedu.
Setelah aku mulai berlari, aku gak ingin menoleh ke belakang. Aku gak ingin tersesat. Aku gak ingin bersandar pada siapapun selain pada kamu.
Jadi, kutinggalkan saja semua itu di sini... persediaan air mataku seumur hidup.
✶
Setelah Asuka akhirnya tenang, aku dan dia meninggalkan sekolah.
Hujan yang suram telah berhenti, dan awan-awan mulai menghilang. Jalan setapak di tepi sungai tampak sepi saat kami melewati genangan lumpur, dan udara terasa segar dan jernih.
Di langit senja, bulan stroberi merah bulan Juni tampak mengambang, persis seperti namanya. Dan gadis yang berjalan di sampingku juga memiliki mata dan lubang hidung berbingkai merah.
"Asuka Senpai, kamu benar-benar mirip bulan itu."
"Jangan rusak momen emosional yang baru aja kita lalui."
"Terkadang kita butuh lelucon klise dalam hidup."
Kami berdua tertawa.
Aku tahu kenapa Asuka mulai menangis.
Maksudku, aku hampir hancur. Kurasa aku belum pernah merasa sesedih ini, sepedih ini, tentang kemungkinan berpisah dari siapapun sebelumnya.
Bahkan ketika aku harus mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman setelah lulus SD, kami tetap bisa bertemu lagi. Ketika aku berpisah dari orang tuaku dan mulai hidup sendiri... rasanya tidak seperti berpisah dengan mereka. Kami masih keluarga.
Ah, benar juga.
Perasaan ini seperti ketika aku meninggalkan rumah Oba-san di akhir setiap liburan musim panas. Kesedihan karena tahu aku tidak akan bertemu lagi dengan cinta pertamaku selama setahun penuh.
Bisakah kami benar-benar bertemu lagi tahun depan? Dan ketika kami bertemu, akankah musim panas kami bersama akan sama ajaibnya?
Ketika kami bertemu lagi, akankah dia tetap gadis yang kukenal? Aku terus-menerus memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini.
Jarak antara kami saat kecil... kami harus berurusan dengan mobil dan kereta api agar bisa bersama. Rasanya seperti jarak antara Tokyo dan Fukui bagi anak SMA.
Asuka sudah mulai berlari menuju masa depannya.
Hari ini adalah akhir dari segalanya. Setelah ini, dia tidak akan menoleh ke belakang. Dia akan terus maju, semakin jauh, menjadi Asuka yang tidak kukenal. Di suatu kota yang jauh, di bawah langit yang jauh, diselimuti malam yang jauh.
Aku masih bingung ke mana aku akan pergi, ke arah mana aku harus menghadap ke depan.
"Hanya sembilan bulan lagi, ya."
Saat aku menggumamkan itu, aku merasakan Asuka menyenggol bahuku.
"Hei, ingat janji yang kita buat?"
Kata Asuka.
"Jangan kabur bareng lagi. Jika ya, kita benar-benar akan dipanggil polisi."
Aku mendengar tawa kecil.
"Bukan itu. Janji yang seperti, Kalau kamu ke Tokyo, mari kita pastikan untuk melihat semua hal yang hanya bisa kita lihat di sini dulu. Mari kita berbincang-bincang yang hanya bisa kita lakukan di sini. Mari kita meneteskan air mata yang hanya bisa kita teteskan di sini. Dengan begitu, meskipun kita akhirnya berjauhan, kita akan selalu punya tempat ini di hati kita untuk kembali."
"Jangan mengutipku. Itu sangat memalukan."
Asuka melompat di depanku lalu berputar balik.
"Ada satu hal yang sangat ingin kulakukan sebelum lulus."
Sambil menyeringai, Asuka menunjuk tepat di antara kedua mataku.
"Kali ini... kali ini sungguhan... aku akan menjadi cahaya yang begitu terang sehingga kamu ingin mengejarku. Aku akan menjadi Asuka Nishino yang ingin menjadi sepertimu. Asuka Nishino yang kamu inginkan."
Di sana-sini, bulan-bulan yang tidak terhitung jumlahnya terpantul di genangan air dan di permukaan sungai. Mana yang nyata? Mana yang hanya bayangan? Mungkin kami bisa memutuskan sendiri. Seperti kelereng yang tenggelam ke dasar botol Ramune bisa terlihat seperti bulan bagi seseorang.
Hembusan angin bertiup melewati kami, berhembus menuju hari esok, membawa serta masa depan yang belum kami lihat. Ketika bunga sakura berikutnya bermekaran, bagaimana kami akan menghadapi perpisahan terakhir kami?