CHAPTER FOUR
Angin Masa Depan
Angin Masa Depan
Tempat ini, tepat di sini, adalah kota tempatku, Asuka Nishino, lahir, dan tinggal hingga kelas lima SD. Secara teknis, tempat ini berada di Kota Fukui, tapi berada di pinggiran kota. Jika kalian berjalan kaki sedikit, kalian bisa sampai ke Kota Sakai di dekatnya. Kota ini memang bukan tempat paling pedesaan di Prefektur Fukui, tapi dikelilingi oleh hamparan sawah.
Tidak banyak yang bisa dilakukan di sini. Tidak banyak sama sekali.
Untuk wisata akhir pekan, ada pusat perbelanjaan bernama Ami, yang tidak sebanding dengan Lpa. Kegiatan favoritku adalah mengunjungi toko buku di pusat kota atau pergi ke toko buku Miyawaki di dekatnya dan membeli buku-buku terbaru.
Jadi, aku lahir di kota kecil seperti ini, dari dua guru yang ketat. Wajar saja, aku gadis yang tertutup dan membosankan. Aku cukup pandai belajar, tidak pandai olahraga, dan aku bukanlah tipe orang yang suka menjadi pusat perhatian di kelas. Meski begitu, bukan berarti aku super murung dan tidak pernah mengobrol dengan siapapun. Aku punya teman. Kurasa akan lebih tepat jika aku menggambarkan diriku sebagai orang yang benar-benar biasa saja.
Tidak ada anak seusiaku yang tinggal di dekat sini, dan aku tidak diizinkan pergi terlalu jauh untuk bermain. Setelah sekolah usai, aku langsung pulang dan asyik membaca buku, dan aku tidak pernah bosan dengan itu.
Teman-teman sekelasku berkumpul di rumah masing-masing sepulang sekolah untuk bermain, jadi mungkin mereka pikir aku agak acuh tak acuh. Tapi aku merasa yang kubutuhkan hanyalah cerita-ceritaku.
Para tokoh utama dalam novel-novelku begitu lugas, begitu bersemangat, begitu baik, dan inspiratif. Mereka mengejar impian mereka dan terbang bebas ke dunia.
Seandainya aku bisa seperti itu, pikirku berulang kali.
Tapi meskipun aku mengagumi para anak laki-laki dan para gadis dalam cerita-ceritaku, aku mampu membedakan dengan jelas mana yang nyata dan mana yang fiksi. Lagipula, orang tuaku selalu bilang, "Kamu tidak boleh begini, kamu tidak boleh begitu", dan aku tidak akan pernah bisa mendapatkan apapun sesukaku.
Kalau aku mau pergi ke festival, kalau aku mau menginap di rumah teman, kalau aku mau pergi ke tempat baru sendirian—semua itu tidak akan jadi kenyataan tanpa izin orang tuaku. Aku dibesarkan dengan keyakinan bahwa selama aku melakukan semua yang orang tuaku katakan, aku akan tumbuh menjadi orang dewasa yang baik. Bahkan sekarang, aku tidak merasa mereka selalu salah.
Tapi di musim panas tahun keempatku di sekolah dasar, aku bertemu seorang anak laki-laki. Dia lebih muda dariku, tapi luar biasa lugas, penuh semangat, baik, dan inspiratif.
"Lama gak ketemu, Saku-kun."
"K-Kamu..."
Aku mengatakannya. Akhirnya aku mengatakannya. Kata-kata yang kutahan sejak September tahun lalu, saat aku bertemu dengannya. Aku menatap wajah orang yang berdiri di sampingku. Dia selalu bersikap tenang, tapi sekarang tampak sangat terkejut, matanya melebar, mulutnya menganga.
Apa beberapa kata itu cukup untuk membuatnya mengingat itu?
Akan sedikit mengejutkan—tidak, kejutan besar—jika ingatan itu tidak ada di sudut pikirannya, setelah semua kesulitan datang jauh-jauh ke sini.
"Ada apa, Saku-kun?"
Aku menatap wajahnya yang terkejut dan memberinya godaan lagi.
Dia tidak melontarkan lelucon. Sebaliknya, dia tampak berusaha keras untuk mengingat kembali sebuah ingatan dari benaknya atau mencoba menyusun situasi ke dalam semacam urutan logis.
Yah, itu masuk akal. Bagimu, aku hanya gadis yang setahun di atasmu. Aku gak akan pernah memanggilmu Saku-kun, hanya Chitose, kan? Tapi sebelum aku memanggilmu Chitose, aku memanggilmu Saku-kun, tahu?
"Uh, tunggu dulu..."
Dia meletakkan tangannya di dahinya saat berbicara.
"Apa... Apa kamu dan aku pernah bertemu sebelumnya? Mungkin waktu kita masih kecil?"
"Yup."
"Mungkin rambutmu panjang waktu itu? Sampai pertengahan punggung?"
"Yup."
"Dan mungkin kepribadianmu agak pemalu?"
"Yuo."
"Kita main bareng waktu liburan musim panas?"
"Yup. Benar sekali."
"Kenapa kamu gak bilang dari tadi?!"
Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku tertawa terbahak-bahak.
Memang, penampilan dan sikapku sudah banyak berubah sejak saat itu. Kalau dipikir-pikir, aku yakin aku belum pernah memberitahunya namaku.
Waktu itu, dia selalu memanggilku "teman."
"Ingatkah kamu? Waktu itu, kita bukan Asuka dan Chitose. Kita 'teman' dan Saku."
"Oh, ayolah...?"
"Sudah kubilang, kan? Beberapa dongeng memang nyata. Dan lebih dekat dari yang kamu kira."
Chitose... Saku-kun menggaruk kepalanya, mengacak-acak rambutnya.
Aku meraih tangannya yang berdiri di sana dengan bingung, dan kami meninggalkan stasiun desa kecil itu. Aku menarik napas dalam-dalam, dan aku bisa mencium aroma sawah yang familiar. Aku bisa mencium aroma tempat mereka membakar tanaman. Tidak diragukan lagi orang-orang kota besar akan bilang baunya busuk, tapi bagiku, itu aroma yang menenangkan, aroma masa kecilku.
"Selama ini, kupikir dia gadis yang jauh lebih muda dariku."
Kata Saku sambil berjalan di sampingku.
"Baru di musim panas kedua aku benar-benar menyadari kalau aku juga yang lebih tua. Saat aku bertanya kapan ulang tahunmu. Tapi terlalu canggung untuk mengatakannya saat itu, jadi aku membiarkannya saja."
Di sekolah dasar, anak perempuan cenderung lebih cepat dewasa daripada anak laki-laki, yang menurutku merupakan salah satu penyebabnya. Tapi itu juga karena kesan pertama yang kudapatkan darinya—bahwa dia anak laki-laki yang lebih tua dan bisa diandalkan. Sebagai perbandingan, aku adalah gadis yang terlalu protektif dan tidak tahu apa-apa tentang dunia. Mudah untuk melihat bagaimana kami membuat kesalahan itu.
"Tempat ini mengingatkanku pada masa lalu. Aku sangat sibuk dengan bisbol setelah lulus sekolah dasar sampai-sampai belum pernah ke sini lagi."
Saku melihat sekeliling saat kami berjalan.
"Sekarang aku ingat; ada kuil kecil di seberang jalan itu, kan? Aku pernah ke sana bersamamu, kan?"
Tentu, aku ingat. Itu salah satu kenangan terindahku.
"Jadi kamu membawaku ke sini untuk membuatku terkesan, hmm?"
"Itu salah satu niatku. Tapi yang satunya lagi untuk memastikan di mana semua ini bermula, kurasa."
"Di mana semua ini bermula?"
"Maukah kamu mendengarkan ceritaku kali ini?"
Saku mengangguk, jadi aku mulai bercerita perlahan.
✶
Saat itu musim panas di tahun keempat sekolah dasar. Ada seorang nenek yang tinggal sendirian, dan dia tinggal di dekat sana, dan kudengar ada seorang anak laki-laki yang mengunjunginya. Nenek itu sangat ramah dan biasa memberiku permen. Dulu, dia pernah bilang, "Kalau anak itu datang berkunjung, bersikaplah baik dan bermainlah dengannya, ya?"
Jadi, seperti yang dijanjikan, aku harus mampir dan mengajak anak laki-laki itu bermain. Tapi sejujurnya, jantungku berdebar kencang membayangkannya. Aku belum pernah berduaan dengan laki-laki sebelumnya, dan aku tidak tahu seperti apa anak laki-laki itu nanti.
Tidak ada jaminan anak laki-laki itu akan sebaik neneknya yang baik hati itu, dan rupanya anak laki-laki itu tinggal di kota. Mungkin anak laki-laki itu akan mengejekku karena aku gadis desa. Jadi, aku mengenakan gaunku yang paling dewasa dan topi jeramiku, lalu pergi menemuinya.
Aku mempertimbangkan baju zirahku itu untuk melindungi hatiku jika diperlukan. Lalu aku bertemu seorang anak laki-laki yang wajahnya secantik anak perempuan. Kulitnya agak kecokelatan karena terbakar matahari, dan lengannya yang keluar dari tank top-nya tampak berotot, sangat berbeda denganku. Saat anak laki-laki itu tersenyum, gigi putihnya tampak berkilau.
"Hei, teman. Kamu tinggal di sekitar sini, ya?"
Kata anak laki-laki itu sambil menatapku.
"Y-Ya. Gak jauh."
Sikap anak laki-laki itu yang tidak kenal takut membuatku sedikit mundur.
Di sekolah, ada banyak anak laki-laki yang ceria dan ramah, tapi aku juga merasa mereka agak kasar, dan aku tidak menyukai mereka karenanya.
"Jadi, maukah kamu mengajakku berkeliling?"
Tapi anak laki-laki ini, dia memiliki cara bicara dan sikap yang santai.
"Tentu, tapi gak banyak yang bisa dilihat. Di sini hanya sawah."
"Jangan khawatir. Ayo pergi!"
Dan anak laki-laki itu menggenggam tanganku erat-erat.
"Aku Saku. Saku Chitose."
"Saku-kun...."
Tangannya jauh lebih hangat daripada tanganku, saat aku mencoba menyebut namanya di lidahku.
Bergandengan tangan, kami berjalan pergi. Dan ya, aku merasa sedikit malu.
Maksudku, di sini cuma ada rumah-rumah tua, selokan-selokan yang meluap, kuil kecil, taman, dan sisanya cuma sawah. Aku yakin dia akan kecewa. Aku menatapnya dengan cemas, tapi...
"Tempat ini kayaknya seru banget! Pasti ada ratusan alap-alap air, telur katak, dan udang karang! Dan gak ada mobil sama sekali, jadi kamu bisa pergi ke mana aja!"
Wajahnya berseri-seri.
Selama dua hari berikutnya, kami bermain bersama, dan ternyata dia jenius sekali dalam membuat hal-hal sehari-hari menjadi menyenangkan. Kami berburu udang karang dan tonggeret, mengoleskan madu di pohon besar di kuil untuk menarik kumbang badak, dan melompat dari ayunan di taman.
Biasanya aku cuma berdiri di belakang, bertepuk tangan, dan memekik saat dia melakukan semua itu, tapi sungguh menakjubkan bagaimana dia membuat kotaku yang membosankan itu jadi seperti harta karun. Aku segera terbiasa dengannya, dan aku mengikutinya dari pagi hingga sore, sambil memanggil namanya, "Saku-kun, Saku-kun."
Lalu hari ketiga tiba. Hari Saku seharusnya pulang.
Aku sangat sedih dan sengsara, dan aku merajuk sejak bangun tidur.
"Begitu kamu pulang, hidupku akan membosankan lagi."
"Membosankan?"
"Ya. Pergi sekolah, pulang, berkeliaran gak jelas."
Saku menatapku, lalu tampak berpikir keras.
"Ke mana tempat terjauh yang pernah kamu kunjungi?"
"Aku gak diizinin pergi terlalu jauh. Hanya sejauh yang pernah kuajak kamu berkeliling, kurasa."
"Kalau begitu, ayo kita berpetualang. Ke tempat yang belum pernah kamu lihat sebelumnya."
"Tapi ayahku akan marah..."
Saku-kun meraih tanganku dan menggenggamnya erat sementara aku ragu-ragu.
"Lupakan ayahmu. Apa yang mau kamu lakuin?"
"Aku... Aku mau pergi."
"Kalau begitu kita harus."
Setelah itu, Saku mengemas tasnya berisi bola-bola nasi buatan neneknya untuk makan siang dan mengambil termos airnya, lalu dia meraih tanganku, dan kami pun berangkat. Dia juga belum pernah seperti ini, tapi dia sama sekali tidak menunjukkan rasa takut atau ragu.
Awalnya, jantungku berdebar kencang membayangkan melakukan kesalahan, tapi ketika aku melihat senyum Saku-kun, semua rasa gugupku lenyap begitu saja.
Kami melewati daerah yang kukenal dan mengikuti jalan di tepi sungai, terus lurus terus. Itu benar-benar jalan pedesaan tanpa apa-apa. Ke mana pun kalian memandang, yang ada hanyalah hamparan sawah hijau, dengan bukit-bukit dan rumah-rumah di kejauhan yang bertebaran di cakrawala.
Tapi bagiku, semuanya terasa segar dan baru.
Saku-kun benar-benar jenius dalam membuat segalanya menyenangkan. Dia bisa menemukan segala macam hal menarik di lingkungan yang paling biasa-biasa saja.
"Hei, teman, bangunan kecil apa itu?"
"Kurasa itu untuk merawat sungai dan sebagainya?"
"Membosankan sekali. Hei, kamu lihat selang tebal itu? Itu mengarah ke rumah kappa."
"Kappa?"
"Mereka udah ada di sini sejak lama, tapi akhir-akhir ini, pasti kaget kalau ketemu satu, kan? Jadi mereka tinggal di rumah-rumah kecil yang dibuatkan petinggi Fukui untuk mereka. Lalu, untuk memastikan gak ada yang melihat mereka, mereka masuk ke sungai melalui selang-selang itu."
"Apa? Itu hebat!"
Kami berdua tertawa saat Saku-kun terus bercerita seperti itu.
Setelah air sungai surut, kami menyusuri jalan sempit yang membelah sawah.
Kami terus berhenti dan melihat ke dalam parit, lalu kejar-kejaran, dan terus melaju, meskipun tidak punya tujuan tertentu.
Lalu, tanpa kusadari, semuanya menjadi gelap di sekitar kami.
"Uh-oh, kita harus pulang sekarang."
Saku-kun menatapku.
"Jadi, apa kamu melihat sesuatu yang baru? Gak terlalu membosankan, ya?"
Aku mengangguk.
"Hehe."
Saku-kun tersenyum, disinari matahari terbenam, dan bagiku dia tampak seperti perwujudan kebebasan.
Aku selalu melakukan persis seperti yang dikatakan orang tuaku, hidup tenang di duniaku sendiri. Ini adalah petualangan pertama yang benar-benar kujalani. Tapi bagi Saku-kun, itu hanya sekadar jalan-jalan, sesuatu yang dia putuskan secara impulsif.
Maka kami pun berbalik kembali ke jalan yang kami lalui.
Ladang-ladang rimbun dengan tanaman musim panas, dan jalannya begitu lurus, dan kabel-kabel listrik membentang di atas, dan permukaan sungai berkilauan, dan semuanya berwarna merah diterpa sinar matahari terbenam.
Aku bisa mendengar jangkrik bernyanyi dari tempat yang jauh, dan aku bisa mendengar katak-katak bersuara cukup keras untuk menenggelamkan suara jangkrik.
Sambil berjalan, kami makan bola-bola nasi. Bola-bola nasi itu berisi acar prem di dalamnya, yang biasanya tidak kusuka, tapi entah kenapa hari itu rasa asam-manisnya terasa lezat. Kami berhenti sejenak untuk meneguk teh jelai. Langit sudah gelap di sekeliling kami, bulan purnama menggantung di langit, dan bintang-bintang berkilauan bagai permen konpeito yang bertebaran.
Ini pertama kalinya aku keluar selarut ini hanya dengan seorang anak lain, dan rasanya aneh, tapi dengan Saku-kun yang menggenggam tanganku, aku sama sekali tidak takut. Sesampainya di rumah, ayahku benar-benar membentakku, tapi aku sama sekali tidak merasa sedih.
Alasan aku tidak bisa berhenti menangis adalah karena kereta yang membawa Saku pergi jauh, hingga aku tidak bisa melihatnya lagi.
Berkali-kali, aku berharap musim panas berikutnya segera tiba.
✶
Saat itu liburan musim panas di tahun kelima sekolah dasarku.
Aku mengenakan gaun putih bersih yang kuminta dari Ibu dan Ayah belikan untukku dan menunggu Saku-kun dengan penuh semangat. Dia sudah mulai bermain bisbol, dan lebih tinggi dari tahun lalu, dan dia tampak lebih seperti anak laki-laki.
Tapi dia tidak berubah di dalamnya, dan kami berlarian dan bermain bersama. Itu terjadi ketika kami sedang berjalan di sepanjang tanggul kecil yang mengapit parit drainase. Saku-kun berjalan sedikit di depanku, dan aku berlari di belakangnya, ingin memberinya kejutan.
Tapi saat aku berlari, tanah basah mulai bergeser dari bawahku. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh ke sungai dengan cipratan yang sangat besar. Untungnya aku tidak terluka, tapi gaun putih yang kubeli hanya untuk kutunjukkan pada Saku-kun benar-benar rusak. Aku merasakan mataku terbakar oleh kesedihan dan rasa malu.
Enggak. Aku gak boleh nangis di depan Saku-kun.
Enggak saat kami bersenang-senang. Enggak saat liburan musim panas.
Aku menggertakkan gigiku dan mengerutkan wajahku, tapi itu belum cukup. Air mata menggenang dan tumpah seperti keran bocor.
Enggak, enggak, enggak.
Aku gak mau Saku-kun melihat wajahku berantakan seperti ini.
Hentikan, hentikan, hentikan.
—Saat itu juga.
Terdengar suara cipratan, cipratan yang lebih keras daripada yang baru saja kubuat. Saku-kun melompat ke sungai.
"Hei, apa yang kamu lakuin dengan bersenang-senang tanpaku? Biar aku ikut juga."
Dengan senyum geli, Saku-kun mulai mencipratkan air kepadaku.
Airnya agak berbau amis, tapi saat mengenai wajahku, air mataku pun terhapus.
Lalu aku tersadar.
Ah. Air mataku berhenti.
Rasanya aneh. Aku benar-benar lupa kalau aku hampir menangis beberapa detik yang lalu, dan aku malah mengejar Saku-kun.
"Hei! Berhenti! Ini gaun favoritku!"
"Kamu gak perlu pakai gaun. Tahun depan pakai celana pendek, kaos, dan sandal pantai aja."
"Hmph! Mouu! Dasar Saku-kun!"
Kami main air kotor, dan tidak lama kemudian aku benar-benar lupa soal gaunku. Aku terlalu sibuk main air dan tersedak tawa.
✶
Saat itu liburan musim panas di tahun keenam sekolah dasarku.
Saku-kun bilang dia sibuk latihan bisbol, jadi dia hanya bisa menginap semalam.
Tapi malam itu ada festival di kuil kecil. Kalau kami bisa pergi bersama, itu akan jadi kenangan yang sangat istimewa. Aku sudah mencoba bertanya kepada Ibu dan Ayah tentang hal itu malam sebelumnya, tapi mereka bilang aku tidak mungkin pergi kalau hanya kami berdua. Kukatakan pada mereka kalau anak-anak lain dari sekolah akan pergi tanpa orang tua mereka, dan orang tuaku hanya bilang, "Keluarga lain punya aturan sendiri, dan ini aturan kami."
Ayah bilang kami boleh pergi kalau dia ikut, tapi aku tidak mau. Aku mau hanya kami berdua saja. Kuceritakan hal itu pada Saku-kun sambil makan semangka, saat memakai celana pendek, kaus, dan sandal pantai.
"Guru-guru di sekolah bilang begitu. Itu karena ibu dan ayahmu sama-sama guru."
"Kamu gak mau pergi, Saku-kun?"
"Jelas aku akan pergi. Apa kamu aku menjemputmu malam ini? Akan kujelasin kalau gak akan ada bahaya."
"Kurasa itu gak akan berhasil. Aku akan coba bicara dengan mereka lagi, tapi..."
Melihatku begitu tidak berdaya, Saku-kun tampak berpikir keras.
Lalu dia tampak mendapat ide luar biasa.
"Ayo kita coba! Coba bicara dengan ayahmu sekali lagi begitu sampai di rumah. Lalu aku akan menjemputmu setelah gelap. Jika mereka mengizinkanmu, kita akan siap."
"Dan bagaimana jika mereka gak ngizinin aku?"
"Kita akan buat perjanjian. Kalau kamu mau berhenti, aku akan pulang saja. Tapi jika kamu masih benar-benar ingin pergi, sentuh telinga kirimu. Itu tandanya."
"Lalu?"
"Lalu aku akan membawamu keluar secara diam-diam."
Jantungku berdebar kencang.
Aku mencoba bertanya lagi pada ayahku, tapi tentunya, jawabannya tidak berubah. Ketika Saku-kun datang ke rumah kami, ayahku bersikap ramah kepadanya, tapi ayahku menjelaskan bahwa tidak mungkin kami berdua pergi ke festival bersama-sama, hanya kami berdua saja.
Jadi aku berkata,
"Maaf, Saku-kun."
Dan aku menyelipkan rambutku ke belakang telinga kiriku.
"Baiklah, aku ngerti. Kalau gitu, sampai jumpa tahun depan. Aku akan berangkat pagi-pagi sekali."
Lalu, dengan wajah kecewa, Saku-kun melambaikan tangan dan pergi.
Tunggu... gimana dengan perjanjian kita itu? Apa dia gak menyadarinya? Aku menyentuh telinga kiriku. Itu tandanya. Dia bilang akan membawaku keluar secara diam-diam! Dia bohong!
Pikirku.
Aku mengurung diri di kamar dan membenamkan wajahku di bantal, dipenuhi amarah, kesedihan, dan frustrasi. Aku tidak bisa menahan air mataku. Air mataku mengalir deras dan meresap ke bantalku.
Malam ini adalah satu-satunya kesempatan kami sampai tahun depan!
Seharusnya aku setuju saja untuk membiarkan Ibu dan Ayah ikut dengan kami.
Aku melepaskan kepalan tanganku. Seharusnya kami tidak repot-repot membuat rencana sejak awal, kalau dia tidak mau menepatinya. Saat aku berbaring di sana, pikiranku berkecamuk, aku mendengar suara aneh.
Clack. Clack. Clack. Clack.
Setengah tertidur, aku duduk dan melihat sekeliling.
Saku-kun ada di luar jendela, melambai padaku.
"Heeh? Apa? Ini—ini kan lantai dua?"
Aku membuka jendela dengan bingung dan melihat Saku-kun menekan jari ke bibirnya dan menyeringai.
"Ssst. Ngapain tiduran? Kukira kita mau ke festival?"
Aku menjulurkan kepala sedikit dan melihat ke bawah, ternyata dia sedang berdiri di atas semacam tangga darurat.
"Aku memakai tangga yang Ba-chan punya di rumahnya."
Lalu Saku-kun terkekeh.
Setetes air mata jatuh di pipiku. Aku tidak tahu apa itu karena lega atau hanya karena bahagia.
"Ada apa? Kamu benar-benar cengeng, ya. Kamu memasang wajah kaya gitu tahun lalu saat kamu jatuh ke sungai."
Dengan jari yang canggung, Saku-kun menghapus air mataku.
"Oh... sepatuku..."
Tangga kami berderit berisik, jadi kalau aku turun untuk mengambilnya, ayahku pasti akan mendengarnya.
"Hehe. Aku juga membawa yang lain juga."
Lalu Saku-kun mengeluarkan sepasang sandal pantai dari saku celana pendeknya dan menyerahkannya kepadaku. Tidak ada seorang pun di lingkungan ini yang repot-repot mengunci pintu depan mereka, jadi kalau perlu, kami bisa menyelinap kembali dan mengambilnya. Tapi kalau aku ketahuan, aku tahu kami akan mendapat masalah besar, jadi aku senang melihat sandal itu.
Saku-kun benar-benar seperti pangeran dari dongeng.
Menuruni tangga itu cukup menakutkan, tapi...
"Gak apa-apa. Aku akan turun dulu dan menahan tangannya untukmu."
Kata Saku.
Untuk berjaga-jaga, aku menulis catatan yang menyatakan permintaan maaf. Aku pergi ke festival bersama Saku-kun. Aku akan pulang sebelum larut malam dan menaruhnya di mejaku.
Lalu perlahan, saat aku turun, Saku-kun berkata,
"Aku senang kamu pakai celana pendek tahun ini. Kalau gak, aku bisa lihat celana dalammu."
"Hmph! Dasar nakal!"
Setelah itu, kami mulai berlari, dan tidak sampai lima menit kemudian, kami tiba di kuil di seberang stasiun. Di tengah perjalanan, aku sadar kami tidak punya uang, tapi ternyata nenek Saku-kun memberinya seribu yen dan bilang kami harus makan sesuatu yang enak bersama.
Festivalnya memang kecil, dan tidak banyak kios di sana.
Tapi kegembiraan melakukan apa yang ayahku bilang tidak boleh kulakukan membuat jantungku berdebar kencang, dan juga menyenangkan berada di sana tanpa pengawasan orang tuaku untuk pertama kalinya. Semuanya terasa seperti sihir.
Kami berdua berkeliling festival, melihat-lihat.
Tapi yang paling membuat jantungku berdebar kencang adalah bersama Saku-kun, yang telah menyelinapkanku keluar, seperti yang dijanjikannya. Kami makan yakisoba dan marumaru yaki bersama, lalu kami mengakhirinya dengan Ramune.
"Aku selalu kasihan pada kelereng yang tenggelam di botol Ramune."
Kata Saku sambil berpikir.
"Kelereng itu selalu sendirian."
Aku berkedip berulang kali saat mendengarnya.
"Itu terdengar aneh. Bagiku, kelereng itu tampak mengambang bahagia. Seperti bulan, begitu indah, dicintai semua orang. Seperti kamu, Saku-kun."
"Bulan... begitu ya."
Hanya itu yang Saku-kun katakan. Lalu dia mengacak rambutku dengan penuh kasih. Aku meliriknya. Dia sedang menatap bulan sungguhan, yang mengambang di langit malam. Tatapannya jauh lebih serius dari biasanya. Dan entah kenapa sedih.
Dia tampak begitu dewasa saat itu hingga membuat jantungku berdebar kencang, tapi aku juga merasa sedih. Dadaku terasa sesak. Aku ingin menangis padanya agar tidak pergi dan pergi jauh, tapi aku mengurungkan itu.
"Jika kamu merasa kesepian dan sedih, Saku-kun, aku bisa menjadi pengantinmu."
"Itu kalau kamu bisa mengatasi sifat cengengmu itu."
Aku menatapnya sambil tersenyum hangat, dan aku berharap bisa seperti dia. Saku-kun itu begitu keren, begitu diberkahi kemampuan atletik, dan dia punya pikiran yang tajam. Tentunya, aku menyukai semua aspek itu darinya. Tapi kekuatan batinnya yang lembutlah yang membuat Saku-kun selalu maju, apapun situasinya.
Itu adalah api dalam dirinya. Cara dia menunjukkan sisi kota yang belum pernah kulihat, meskipun itu membuat ayahku marah. Itu adalah cara dia menghentikan air mataku di sungai berlumpur, cara dia membangun semua kenangan berharga ini bersamaku. Cara dia memutuskan sendiri apa yang penting. Itulah yang benar-benar membuatnya berkilauan di mataku.
Bisakah aku seperti dia? Aku sangat ingin seperti dia.
Seperti pahlawan dari sebuah cerita, seperti bulan yang mengambang di langit malam, keyakinan diri itu....
✶