CHAPTER TWO
Hari-Hari Baik dan Hari-Hari Biasa
Hari-Hari Baik dan Hari-Hari Biasa
Baru dua puluh empat jam sejak Yuzuki dan aku pertama kali memulai kisah cinta palsu ini, namun sekolah sudah dibanjiri rumor tentang kami. Situs gosip yang biasa dipenuhi dengan berbagai macam postingan yang menghina.
Tentu saja aku mendapat banyak kebencian, namun itu bukan hal yang aneh bagi orang brengsek yang sangat menyebalkan ini. Postingan tentang Yuzuki lah yang benar-benar hebat.
Pelacur itu.
Dia akan berpacaran dengan siapa saja.
Kudengar dia menduakan si brengsek itu dengan seorang mahasiswa.
Terdengar cukup pedas, bukan?
Tidak diragukan lagi Yuzuki telah menempatkan dirinya di garis tembak. Namun luapan kebencian itu agak ekstrem, dan itu membuatku dingin di dalam. Jelas, orang-orang telah memutuskan untuk memasukkan Yuzuki ke dalam kategori "sasaran yang cocok untuk dikritik secara brutal", bersama denganku. Sekarang kami tampaknya telah menjadi unit khusus, kami berdua sama-sama siap untuk kebencian secara online itu.
Namun bahkan jika itu adalah forum anonim, siapa yang bisa mengatakan hal-hal buruk seperti itu tentang orang lain? Apa mereka tidak malu? Jelas, beberapa orang benar-benar marah. Namun, yang lain hanya ikut-ikutan dan menggunakan ini sebagai alasan untuk saling mengejek. Itu semua wajar saja, namun aku masih sedikit tercengang karenanya.
Pokoknya, lanjut saja...
Pengungkapan semacam ini berhasil memenuhi tujuan awal kami dengan sempurna. Minat orang-orang sudah benar-benar tergugah. Jadi, tidak perlu lagi berakting hari ini. Sebagai gantinya, kami memutuskan bahwa para gadis dan laki-laki akan berpisah saat makan siang dan melakukan kegiatan kami sendiri.
Kazuki, Kaito, dan aku bergegas membeli makanan untuk makan siang segera setelah kelas selesai. Setelah masing-masing mengambil beberapa roti lapis, kami bergegas ke pusat kebugaran. Duduk di tepi panggung, kami melahap makan siang kami, lalu kami mulai melakukan lemparan bebas kompetitif dengan bola basket yang dibawa Kaito.
Kami sudah punya banyak kesempatan untuk makan siang sebagai satu kelompok sejak tahun kedua dimulai, namun sudah lama sejak kami bertiga nongkrong bersama. Kami juga mengundang Kenta, namun dia berkata : "Kau bilang kau ingin aku bermain basket denganmu setelah makan? Apa kau mencoba membunuhku?" dan membuat kami menyerah. Yuuko dan gadis-gadis lainnya menyeret Kenta pergi bersama mereka setelah itu, baguslah untuk dia. Hmm, aku bertanya-tanya apa si Kenta itu sudah merencanakannya.
Whoosh.
Aku melempar bola dengan cukup bagus, jika bisa kubilang begitu, dan memasukkannya ke dalam ring basket.
Aku pergi dan mengambil bola, lalu mengopernya ke Kaito, yang berdiri di belakang garis tiga poin. Karena dia adalah pemain bintang klub basket, kami berdua tidak akan punya kesempatan tanpa kerugian. Kazuki dan aku sama-sama melepaskan tembakan dari garis lemparan bebas, membiarkan Kaito melepaskan tembakannya dari garis tiga poin. Itu adalah sesuatu yang sudah kami sepakati sejak lama.
Thunk, thunk, thunk.
Kaito mengambil bola dariku dan menggiringnya dengan ahli di kakinya. Kaito tidak memiliki ketangkasan seperti Haru dalam menggiring bola, namun dia memiliki kekuatan.
"Jadi, ada apa, Saku?"
Kaito menekuk lututnya dan fokus untuk mendapatkan waktu yang tepat saat dia berbicara.
"Ada apa dengan ada apa ini?"
"Ada apa denganmu dan Yuzuki-san, pastinya. Hup!"
Kaito melompat ke udara, seluruh tubuhnya setinggi enam kaki dalam bentuk yang sempurna, lurus seperti batang pohon besar. Bola terlepas dari tangannya dan hampir seperti tersedot ke dalam jaring. Tembakannya bahkan hampir tidak mengeluarkan suara.
Kaito mengoper bola ke Kazuki dan menghampiriku.
"Apa maksudmu, ada apa denganku dan Yuzuki-san?"
"Apa kau berencana untuk benar-benar berpacaran dengannya? Itulah yang... kutanyakan!"
Kaito menendang pantatku dengan keras saat dia berbicara.
Hati-hati, dasar otak otot! Itu benar-benar sakit tahu.
"Apa maksudnya... itu?"
Aku menendangnya balik dengan sekuat tenaga.
"Astaga, Saku!"
Kaito berteriak, memegang pahanya sambil melanjutkan.
"Maksudku, kalian berdua pasangan yang serasi. Kau juga akan cocok dengan Yuuko-san, tapi itu gak penting. Yang ingin kukatakan adalah, kau pasangan yang serasi untuk Yuzuki-san."
Kazuki angkat bicara dari garis lemparan bebas, tempat dia memegang bola.
"Seperti yang Haru-san katakan kemarin, kau dan Yuzuki-san sebenarnya agak mirip. Seperti kalian berdua membangun dinding yang gak bisa ditembus tapi transparan di sekeliling kalian."
Kazuki melepaskan tembakannya, menggunakan papan pantul untuk memantulkan bola dan masuk ke ring basket.
Kazuki berjalan mendekat setelah mengambil bola. Dia memutarnya dengan ujung jarinya. Kaito juga mengangkat jarinya dan mengambil bola yang masih berputar dari Kazuki. Dengan tangannya yang bebas, Kaito meraihnya dan membuat bola itu berputar lebih cepat.
"Benar. Bahkan saat aku melihat Yuzuki-san mengobrol dengan teman-temannya selama pertandingan basket, rasanya seperti.... dia selalu punya ekspresi yang sama. Selalu sama, entah mereka menang atau kalah. Dia hanya tampak benar-benar santai saat bersama Haru-san."
Tidak diragukan lagi Kaito telah menghabiskan sebagian besar waktu bersama Yuzuki, karena dia juga anggota klub basket. Namun aku tidak pernah menyadari dia begitu… jeli.
Omong-omong, aku sendiri sudah lama punya kesan yang sama tentang Yuzuki.
Kaito adalah orang yang banyak bergaul. Dia suka bermain-main dengan teman-temannya, namun dia sebenarnya tipe yang cukup serius. Ketika aku menyeret Kenta kembali ke sekolah, Kaito menerima Kenta begitu saja tanpa niat yang diperhitungkan dan mementingkan diri sendiri seperti yang diam-diam kumiliki seperti Kazuki.
"Tapi akhir-akhir ini, ketika Yuzuki-san bersamamu, Saku, Yuzuki-san tampak jauh lebih santai."
Aku teringat kembali percakapan kami saat berjalan pulang tadi malam. Ketika kami mulai membahas pertandingan akhir pekan mendatang, Yuzuki memasang wajah datarnya yang biasa. Atau begitulah yang kupikirkan. Namun mungkin Yuzuki terlihat sedikit lebih santai dari biasanya?
Aku merebut bola dari Kaito dan mulai berlari ke arah ring basket. Kaito mengejarku, mengejarku dengan cepat. Aku melakukan lay-up dan berusaha memasukkan bola. Kaito menghalangiku, dan aku menyambar bola yang melenceng. Kemudian aku mulai menggiring bola, memperbaiki posisiku.
"Apa kau sanggup menanganinya jika dia dan aku benar-benar berakhir berpacaran?"
"Menangani apa?"
"Aku bertanya apa kau sebenarnya gak benar-benar tergila-gila pada Yuzuki-san, dan... Hyuh!"
Aku berpura-pura ke satu sisi, lalu maju ke depan. Kaito berputar dan mendekatiku, menghalangi jalanku menuju ring basket.
"Ya, benar. Yuzuki-san hanya seorang teman. Yang ingin kukatakan itu : Jika ada cara agar kau bisa membantunya, maka aku ingin kau melakukannya... Hyah!"
Kaito menyerangku, bermaksud mencuri bola. Aku melangkah mundur cepat, menghindarinya.
"Kau ini memangnya siapa, ayahnya? Aku akan mengingat perkataanmu. Jangan datang menyerangku jika dia dan aku benar-benar berpacaran.... Hyugh!"
"Jika aku benar-benar menyerangmu, itu untuk menghukummu karena membuatnya menangis.... Hyah!"
"Akan kuingat itu. Tetap saja, selama aku punya akal sehat, otak otot sepertimu gak akan pernah meninjuku.... Hup!"
Aku mengoper bola di belakangku tanpa menoleh.
Kazuki menunggu di garis tiga poin dan menangkapnya.
"Hei! Itu gak adil!"
Kaito bergegas menghalanginya, namun terlambat.
Tembakan indah lainnya, memantul rapi di papan pantul. Kazuki dan aku saling tos.
"Lihat, sudah kubilang. Dasar otak otot."
Aku menoleh untuk menyeringai ke arah Kaito, yang tampak menyesal. Kazuki meletakkan tangannya di bahuku.
"Tapi kau otak otot juga, Saku."
"Apa maksudnya?"
"Lagipula kau tidak akan mendengarkan nasihatku, tapi menurutku kau harus mempertimbangkan untuk membuat pilihan tegas dan melepaskan pilihan lain. Itu keterampilan hidup yang baik."
Aku menepis tangan Kazuki—dan nasihatnya.
Aku tahu apa yang dia maksud di sini.
Namun bagiku, di tahap kehidupanku saat ini.... itu masih jauh di luar jangkauanku.
Seperti kapsul waktu yang kalian janjikan akan kalian gali suatu hari nanti, namun kemudian kalian lupakan, aku merasa hari itu takkan pernah datang.
✶
Setelah pulang sekolah, semua anggota Tim Chitose menuju Perpustakaan Prefektur Fukui.
Perpustakaan itu agak jauh dari sekolah, jadi baik Yuzuki maupun aku memastikan untuk datang ke sekolah dengan sepeda hari ini. Perpustakaan itu adalah tempat belajar yang dituju tidak hanya oleh murid SMA Fukui, namun juga oleh semua murid SMA di Kota Fukui. Tempat ini sangat disukai oleh kelompok belajar pra-ujian seperti kami dan murid tahun ketiga yang belajar keras untuk ujian masuk perguruan tinggi.
Perpustakaan itu terletak tidak jauh dari "jalan utama" Fukui, yaitu Jalan Raya Nasional 8, sebuah bangunan raksasa yang bergaya di sebidang tanah yang rapi yang dikelilingi oleh sawah. Dari jendela kaca besar di bangunan utama, kalian dapat melihat rumput dan pepohonan yang dirawat dan dipangkas dengan cermat di sekelilingnya. Ini adalah tempat yang menenangkan dan menyegarkan untuk membaca atau belajar, menurut pendapat siapapun.
Bagian dalam perpustakaan dilengkapi dengan meja belajar untuk satu orang, meja besar yang dapat menampung banyak orang, dan bahkan kursi yang nyaman untuk membaca. Ada tempat yang cocok untuk semua orang. Semua anggota kelompokku memilih meja untuk satu orang yang terletak dengan jarak tertentu dari meja di depan dan di samping, agar bisa fokus belajar. Namun, Yuzuki dan aku berhasil mendapatkan meja kosong.
Tentu saja, kami melakukan ini untuk memastikan semua orang di perpustakaan itu tahu bahwa kami berdua berpacaran.
Kami berdua mempertimbangkan untuk duduk bersebelahan, namun itu tampak agak aneh bagi pengamat luar, dan itu membuat kami tidak punya banyak ruang untuk meletakkan buku pelajaran dan lembar belajar kami. Akhirnya, kami memutuskan untuk duduk di sisi meja yang berseberangan. Ini akan terlihat lebih alami daripada duduk berdekatan.
Aku melihat ke meja untuk satu orang. Yuuko melotot ke punggung Yuzuki, dan saat aku melihatnya, dia menarik kelopak matanya ke bawah dan menjulurkan lidahnya sebagai tanda jijik. Yuuko bilang akan bergabung dengan kami berdua di meja saat kami semua memilih tempat duduk, namun Yua meyakinkannya sebaliknya, dan akhirnya, Yuuko setuju untuk berkompromi dan dengan enggan duduk di meja terdekat yang hanya bisa ditempati satu orang.
Saat itu Yuuko menatapku, dia mengedipkan matanya dengan nakal dan memberiku ciumannya yang ditiupkan. Aku berpura-pura membalasnya.
Setelah itu, aku melihat sekeliling perpustakaan, mengamati sekeliling kami.
Aku melihat sekitar 30 persen murid yang ada berasal dari SMA Fuji. 30 persen lainnya tampak seperti berasal dari SMA Takashima, dan 40 persen sisanya adalah murid dari berbagai SMA. Tidak ada yang aneh dari semua itu.
Aku melirik Yuzuki, yang sudah mengeluarkan pensil dan pulpennya dan mulai belajar. Dia biasanya menyelipkan rambutnya di belakang satu telinga pada satu waktu, namun sekarang kedua sisi rambutnya diselipkan rapat di belakang telinganya. Wajahnya yang tegas dan cantik terlihat jelas untuk pertama kalinya. Dia tampak fokus mengerjakan ujian praktik, pensil mekaniknya menggores halaman secara berirama.
Aku melamun selama beberapa detik lagi, fokus pada suara-suara di perpustakaan.
Scratch, scratch.
Rustle, rustle.
Clatter, clatter.
Langkah, langkah.
Membalik, membalik.
Thunk, thunk.
Acak, acak.
Suara teredam.
Semua orang di sini berusaha menjaga agar jumlah kebisingan yang mereka buat seminimal mungkin. Aku selalu menyukai perpustakaan.
Aroma buku-buku tua, halaman-halaman yang dibalik berirama, suara derit teredam staf perpustakaan yang mendorong troli-troli berat. Semua ini digabungkan membuat waktu terasa berjalan sedikit lebih lambat dari biasanya.
Ketika kalian keluar dari perpustakaan, rasanya seperti kalian telah mendapatkan kembali sebagian waktu yang seharusnya kalian habiskan. Namun kebanyakan orang hanya melanjutkan hari mereka setelah itu, tidak pernah menyadarinya.
Hidup ini diselingi dengan fenomena-fenomena kecil yang aneh seperti itu. Dan aku menyukainya seperti itu.
"....Saku-kun? Sa-ku-kun."
Saat aku asyik dengan pikiranku sendiri, tidak mampu memaksakan diri untuk mulai belajar, aku mendengar suara kecil memanggil namaku.
Aku mendongak dan melihat Yua berdiri di sampingku. Dia memakai kacamata dengan bingkai biru tua.
"Maaf. Aku melamun."
Aku merendahkan suaraku, memastikan tidak ada orang di sekitar.
"Ah, gak apa-apa. Maaf mengganggumu saat kamu sedang berpikir. Apa kamu punya kertas? Kalau ada, boleh aku minta?"
"Ya, aku punya."
Aku mengeluarkan beberapa lembar dan menyerahkannya pada Yua.
"Kamu pakai kacamata hari ini, ya?"
Yua mengalihkan pandangan, seolah-olah dia tiba-tiba merasa malu.
"....Ya. Lebih nyaman memakainya saat aku berkonsentrasi belajar. Kurasa kacamata ini terlihat aneh, bukan?"
"Gak, gak. Aku tidak pernah menganggap kacamatamu aneh. Kacamatamu terlihat sangat alami di matamu. Kacamata itu mengingatkanku pada tahun lalu. Agak mengingatkanku pada masa lalu."
"Tolong, jangan mencoba mengingat tahun lalu terlalu keras...."
Yuzuki, yang tampaknya mendengarkan, bergabung dalam percakapan kami.
"Kamu dulunya memakai kacamata? Jadi, kamu adalah gadis berkacamata di kelasmu?"
Yua tertawa canggung.
"Aku gak tahu tentang maksud gadis berkacamata ini; kurasa aku tidak pernah benar-benar memikirkannya. Kacamata atau lensa kontak, maksudku. Aku gak pernah benar-benar peduli dengan hal-hal itu."
"Hee, itu agak mengejutkan. Kamu agak menjaga hal-hal tetap biasa, Ucchi, tapi aku tetap punya kesan bahwa kamu adalah seseorang yang sangat peduli dengan penampilannya."
"Hmm, aku gak yakin tentang itu. Kamu dan Yuuko sama-sama sangat cantik, dan aku, um, adalah aku. Tapi, yah, kurasa banyak hal telah terjadi sejak tahun pertama kami...."
Yua tampaknya mengalami kesulitan dengan ini. Aku memutuskan untuk membantunya.
"Aku sebenarnya meminta Yua-san untuk mempertimbangkan lensa kontak. Aku bilang padanya bahwa kiasan 'si cantik tertutup yang membuat semua orang tercengang saat akhirnya melepas kacamatanya' sudah basi. Sekarang orang-orang ingin melihat 'si cantik biasa yang mengubahnya dan menambahkan dimensi baru yang imut saat memakai kembali kacamatanya'. Dan aku melihat Yua-san sebagai yang terakhir."
Yuzuki mengangkat alisnya seolah menangkap sesuatu yang tidak terucap. Dia langsung menjawabnya.
"Jadi itu yang kamu suka, ya? Hmm, aku akan mencatatnya di dalam hati."
"Tapi itu harus gak terduga. Gak diperhitungkan. Kamu akan berkata : 'Jadi, apa jantungmu berdebar kencang saat itu, atau bagaimana?' dan semuanya akan runtuh begitu saja. Itu akan terlalu transparan."
"Aku benar-benar berpikir kamu harus mempertimbangkan kembali untuk menaikkan ego gadis lain di depan pacarmu, kan?"
"Yuzuki, pesonamu bagaikan pola geometris yang diperhitungkan dengan cermat agar enak dilihat. Tapi, Yua-san lebih seperti kastanye manis yang baru dikupas, sedikit mentah dan belum diolah. Lagipula, kalian berdua seharusnya tidak perlu bersaing satu sama lain."
"....Um, bolehkah aku kembali ke tempat dudukku sekarang?"
Dan dengan kata-kata terakhir dari Yua itu, kami menghentikan semua obrolan, dan semua orang mulai belajar dengan serius.
✶
"....Yuzuki."
Setelah Yua kembali ke mejanya, kami belajar selama sekitar satu jam.
Sekarang aku mencondongkan tubuh ke depan, membisikkan nama Yuzuki. Begitu aku mendapatkan perhatiannya, aku diam-diam menyerahkan selembar kertas lepas dengan catatan yang telah kutulis di atasnya.
Beberapa orang dari SMA Yan ada di sini.
Yuzuki melihat isi catatan itu. Bahunya langsung menegang, dan dia mengembuskan napas dalam-dalam. Dia mengambil waktu sejenak untuk menenangkan diri dan mengembalikan wajahnya ke ekspresi datarnya seperti biasanya. Kemudian dia mencoret-coret sesuatu di kertas itu dan mengembalikannya kepadaku.
Di mana?
Ponselnya tampak tersimpan di dalam tasnya, itulah sebabnya aku menggunakan cara klasik dengan catatan kertas dan pena. Aku berharap dia membacanya dan kemudian membalasnya melalui aplikasi LINE, namun tidak berhasil.
Biasanya, Yuzuki cukup tajam untuk merasakan sesuatu seperti itu, namun dia jelas sedikit terguncang sekarang. Saling melempar catatan seperti ini bisa jadi ketahuan, jadi aku menggunakan mataku untuk menunjukkan ke Yuzuki di mana orang-orang itu berada. Yuzuki tampaknya mengerti. Perlahan, dia menoleh ke belakang. Lalu dia menatapku seolah berkata, "Mereka?"
Aku tersenyum pada Yuzuki, berharap itu akan terlihat seperti kami hanya mengobrol biasa, dan mengangguk sedikit. Lalu, masih menghadap Yuzuki, aku menoleh ke belakang untuk memeriksa apa yang sedang terjadi sekarang.
Orang-orang dari SMA Yan itu berada di belakang Yuzuki namun tidak di dalam perpustakaan itu sendiri. Mereka berada di luar di taman yang terlihat melalui jendela perpustakaan. Ada tiga dari mereka, dan sekilas saja, mereka tidak tampak seperti tipe orang yang akan sering mengunjungi perpustakaan untuk belajar. Mereka menatap ke dalam tanpa sedikit pun rasa malu. Dan mereka juga tidak melakukannya dari kejauhan. Mereka tepat menempel di kaca, menyeringai. Para murid yang duduk di meja satu orang di dekat jendela tampak tidak nyaman.
Saat aku memperhatikan, menjadi jelas bahwa orang-orang itu sedang mencari seseorang. Mereka berjalan mondar-mandir di jalan setapak di luar jendela, sampai salah satu dari mereka mengalihkan pandangannya ke arah ini. Orang itu berhenti, mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan layarnya kepada dua orang lainnya. Mereka mengangguk, dan yang pertama menunjuk melalui kaca, tepat ke mejaku.
Senyum mereka yang seperti hiu tiba-tiba melebar.
Sekarang, apa maksud semua ini?
"Yuzuki, bisakah kamu menjelaskan soal ini kepadaku?"
Aku mengambil buku pelajaran matematika sambil berbicara.
"Tentu."
Yuzuki berdiri dan berjalan di belakangku. Dia meletakkan tangannya di bahuku dan mengintip buku pelajaran di atas meja.
Dilihat dari jauh, kami tampak seperti pasangan muda yang sedang jatuh cinta, belajar bersama.
Aku mencondongkan tubuh untuk berbisik di telinga kanan Yuzuki, di balik tirai rambut halus yang terurai di depannya.
"Jangan melakukan kontak mata. Bersikaplah sealami mungkin."
Yuzuki berkedut sesaat. Kemudian dia menepuk punggungku pelan dengan nada seperti "Hmph! Bakka!"
"Apa kamu melihat mereka?"
Aku berbisik pada Yuzuki lagi, masih memainkan peran sebagai anak SMA yang sedang dimabuk cinta yang mendengarkan dengan sabar saat pacarnya menjelaskan soal matematika. Anak-anak dari SMA Yan tidak mungkin bisa memahami apa yang kami bicarakan dari luar sana, jadi tidak perlu berbisik-bisik di luar aturan etiket perpustakaan yang biasa.
"Aku melihatnya sekilas. Aku tidak bisa sepenuhnya yakin, tapi kurasa aku gak mengenal satu pun dari mereka."
"Tundukkan wajahmu. Sepertinya ini saatnya pemotretan."
Salah satu dari tiga orang itu mengangkat ponselnya ke arah kami. Dari jarak sejauh ini, dan melalui kaca jendela yang tebal, dia tidak mungkin bisa mendapatkan foto yang jelas. Tetap saja, jika mereka menginginkan foto yang bisa diambil, mereka tidak akan pernah mendapatkannya.
"Bagaimanapun juga, jelas mereka mengincar salah satu dari kita berdua."
Setelah aku mengatakan ini, Yuzuki mencondongkan tubuhnya untuk berbisik di telingaku, seperti yang kulakukan padanya beberapa saat sebelumnya. Rasa napasnya yang manis di daun telingaku mengirimkan sengatan listrik ke tulang belakangku.
"Mungkin mereka di sini untuk membalas dendam padamu karena telah mencuri pacar seseorang di masa lalu?"
Aku lega karena Yuzuki tampaknya telah mendapatkan kembali sebagian keberaniannya yang biasa.
Aku tidak mengira itu mungkin, berdasarkan seringai mengejek di wajah para murid SMA Yan. Namun sekali lagi, Yuzuki mungkin juga tahu itu.
"Apa kamu akan baik-baik saja untuk sementara waktu? Kamu bisa pergi dan duduk bersama Yua-san dan yang lainnya, tapi itu hanya akan membuatmu lebih dekat ke kaca dan membuat orang-orang bodoh itu senang."
"Kurasa aku baik-baik saja... tapi apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku hanya akan berjalan-jalan. Mencari udara segar."
"Apa? Tunggu..."
Aku bangkit dari meja dan berjalan pergi, mengabaikan Yuzuki, yang mencoba menghentikanku dengan menarik bahuku.
Aku membeli sekaleng kopi dari mesin penjual otomatis di dekat pintu masuk dan melangkah keluar. Udara beraroma rumput hijau segar.
Hari pada bulan Mei di luar sana sangat cerah.
✶
Aku berjalan-jalan di sekeliling perpustakaan sampai tiga orang dari SMA Yan itu terlihat. Aku berhenti sekitar tiga puluh kaki dari mereka dan membuka tutup kaleng kopiku.
Yuuko dan Yua, yang duduk di dekat jendela, menatapku dengan ekspresi khawatir yang sama. Aku menatap mereka dengan tatapan "Ini baik-baik saja" dan meminum kopiku sambil menatap rumput yang terawat rapi.
Taman yang dirawat dengan sangat baik, namun tidak ada seorang pun di sana kecuali aku dan tiga orang preman itu.
Clunk, clunk, clunk.
Clunk, scuff, clunk.
Tepat pada saat itu, aku mulai mendengar suara sepatu kulit yang berdenting saat mereka mendekati dek kayu yang menempel di dinding perpustakaan. Salah satu dari mereka tampaknya telah menghancurkan bagian belakang sepatunya dan memakainya seperti sandal. Suara langkah kakinya terdengar tidak seimbang. Suara gesekan dan benturan sepatu berhenti di dekatnya dan digantikan oleh sebuah suara.
"Hei, bung."
Siapa yang tahu kalau mereka sedang berbicara padaku? Aku pura-pura tidak memperhatikan.
"Jangan abaikan kami. Aku bilang Hei!"
Seseorang memegang bahuku saat itu, jadi aku tidak punya pilihan selain menoleh ke arah suara itu.
Orang yang berdiri di depanku tampak seperti ayam jantan raksasa. Seperti ayam jantan dari kartun. Sisi kepalanya dicukur, dan ada sejumput rambut merah terang yang mencuat di tengah seperti sisir. Dia mengenakan baju olahraga putih, bukan seragam sekolah. Dia juga agak bungkuk, dengan postur tubuh yang buruk, tapi dia mencondongkan wajahnya ke arahku.
Menurutku dia tampak cukup lucu dari luar, namun dari dekat seperti ini, penampilannya benar-benar memukau.
Siapapun nama aslinya, aku memutuskan untuk menamai pria ini Si Aneh Dengan Jambul Ayam. Dan dia jelas lebih seperti gangster yankii daripada anak nakal sekolah biasa. Sebut saja dia yankii untuk mudahnya. Yang lainnya juga jelas yankii, namun tidak ada hal lain yang benar-benar menonjol dari mereka.
"Maaf, kau bukan tipe orang yang biasanya kuajak bergaul. Aku tidak yakin kau berbicara denganku."
Cara bicara dan sikapku secara umum seperti murid SMA Fuji, dan itu tampaknya membuat Si Aneh Dengan Jambul Ayam dari SMA Yan berhenti sejenak. Dia menyipitkan matanya sejenak, lalu mengangkat bahu sedikit dan melepaskan bahuku.
"Kau orang yang baru saja duduk di meja di sana bersama Yuzuki Nanase, kan?"
Hah, jadi mereka memang mengincar Yuzuki. Itu cukup jelas, mengingat semua hal, namun tetap saja. Yah, jika mereka menginginkanku, mereka tidak akan repot-repot mengambil foto.
"Ya. Aku pacarnya."
Itu saja yang kukatakan untuk saat ini. Jika mereka kebetulan datang ke perpustakaan untuk membaca buku, dan kebetulan melihat seorang gadis cantik dan tertarik pada gadis itu, maka mereka pasti akan mundur setelah mengetahui bahwa gadis itu punya pacar.
Namun fakta bahwa mereka tahu nama lengkap Yuzuki telah membuat kemungkinan itu menjadi nol.
"Jadi, kau itu Saku Chitose, kan?"
Tanggapan Si Aneh Dengan Jambul Ayam ini tidak terduga. Dia seharusnya tidak tahu nama kami berdua. Namun tampaknya, dia tahu nama kami.
Apa yang terjadi, dan mengapa orang ini tahu nama lengkap kami berdua? Dan apa yang dia maksud dengan "Jadi...?" itu. Kata-kata itu menyiratkan pemikiran dan perencanaan ke depan.
"Itu aku, Saku Chitose dari SMA Fuji. Apa yang kau mau?"
Menanggapi itu, Si Aneh Dengan Jambul Ayam melingkarkan lengannya di bahuku, seperti sahabat karib. Hidungku diserbu aroma merek parfum terkenal, jenis yang disukai pemula dalam dunia parfum.
"Apa yang aku mau? Bagaimana kalau berkenalan? Dengan Yuzuki Nanase."
Napasnya berbau asap, seperti napas Kura.
"Aku baru saja bilang dia pacarku, bukan?"
Menanggapi itu, orang itu mengencangkan lengannya di bahuku, hampir mencekikku. Pipinya yang dipenuhi janggut menusuk kulitku, dan bahkan cuaca yang cerah hari ini tidak dapat membuat situasi ini lebih baik.
"Aku mendengarnya, bung, aku mendengarnya. Tapi kau terkenal sebagai playboy itu, bukan?"
"Hmm. Aku gak bisa menyangkalnya."
"Jadi... Yuzuki Nanase. Dia tipe yang membiarkan laki-laki langsung mendekatinya, ya?"
Hah. Sungguh menarik, apa yang dikatakan orang ini sekarang.
Dicap sebagai playboy punya keuntungan tersendiri, dan salah satu keuntungan terbesarnya adalah orang-orang cenderung menjauhi kalian. Namun di sisi lain, terkadang label tersebut menarik serangga pemakan bangkai yang datang berbondong-bondong mencari sisa-sisa makanan.
Mari kita selidiki lebih lanjut, oke?
Aku mengubah nada suaraku dan mulai bersikap ramah.
"Oh, hanya itu? Jangan menakut-nakuti aku, bung. Aku hampir saja mengompol. Maksudku, di sinilah aku, dikelilingi oleh sekelompok orang dari SMA Yan. Dari mana kau mendengar gosip lezat ini?"
Perubahan karakterku hanya untuk meyakinkan mereka bahwa aku adalah murid teladan yang lemah lembut yang sedikit takut pada mereka. Tapi apa itu berhasil?
Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu juga mengubah sikapnya, dan menjadi agak angkuh dan sombong.
"Maaf, maaf. Kau itu memang murid SMA Fuji ya, jadi kau tidak terbiasa dengan cara kami melakukan sesuatu. Dari siapa aku mendengarnya? Tentu saja dari bosku. Dia mengarahkan pandangannya pada Yuzuki Nanase. Dia menyuruh kami untuk mencari tahu tentangnya. Kami hanya perlu ID LINE-nya; itu saja, bung."
Kalau begitu, aku setengah benar, setengah salah. Aku berhasil membuat mereka terbuka padaku, namun tidak menemukan informasi yang benar-benar berguna di sini.
"Hah. Bosmu, apa dia tipe yang menakutkan?"
"Menakutkan sekali, bung. Dia bisa meninjumu tanpa ragu-ragu. Dan dia punya kelemahan pada gadis-gadis cantik dan mudah seperti milikmu. Kau berencana untuk mencampakkannya dalam waktu dekat, kan? Jadi serahkan saja dia kepada kami; gimana?”
Ini bukan yang kusebut menguntit. Penguntit macam apa yang mengirim orang seperti ini untuk melakukan pekerjaan kotor mereka?
"Wah, kedengarannya tangguh, bung. Jadi kau telah mengikuti perintah bosmu dan membuntuti Yuzuki selama beberapa minggu terakhir?"
"....Apa katamu?"
Suara Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu menjadi rendah dan mengancam.
Pengakuan sederhana dari orang itu akan menyelesaikan seluruh masalah, atau begitulah yang kupikirkan, namun harus kuakui bahwa aku tidak benar-benar tahu banyak tentang aturan tidak tertulis tentang perilaku Yankii.
Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu semakin erat melingkarkan lengannya di leherku.
"Aku gak mengikuti perintah. Ini tugas, bung, tugas. Berikan saja ID LINE-nya. Teruslah menjadi pacarnya jika kau mau; bos kami tidak keberatan dengan hal semacam itu. Fetisisme terhadap orang yang suka selingkuh, tahu? Ayo, bung, mari berjabat tangan."
Dia melepaskan leherku dan meraih tanganku, meremasnya dengan tangannya seolah mencoba memamerkan kekuatannya. Tidak diragukan lagi komentarku tentang dia yang mengikuti perintah menyakiti harga dirinya sebagai Yankii. Ini sama sekali tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Memanipulasi preman ini ternyata lebih sulit dari yang kukira.
Aku menghela napas sedikit dan bergumam pelan.
"Jabat tangan ala Amerika, ya? Baiklah."
Lalu aku meremukkan tangan Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu dengan tanganku.
"Oww! Sialan, bung!"
Aku mengabaikan teriakan kesakitannya dan melotot ke arahnya.
"Apa? Kau tidak tahu etika berjabat tangan? Kau harus menatap mata lawan bicaramu dan meremasnya dengan benar dan erat.... lalu kau berjabat tangan."
Aku menarik lengannya, menariknya ke depan dari bahunya.
"Gack!" Dia berdeguk kaget, kehilangan keseimbangan. Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu melayang, mendarat keras di tangan dan lututnya.
"....Sial, itu menyakitkan. Apa kau mau mati, bung?!"
"Maaf, kau jauh lebih lemah dari yang kukira. Kedengarannya seperti kau menghina pacarku tercinta tadi, jadi aku akhirnya mengerahkan terlalu banyak tenaga, lihat."
Dasar tolol. Jangan remehkan kekuatan genggaman seseorang yang menghabiskan setiap hari sejak sekolah dasar mengayunkan tongkat bisbol.
Saat itulah Yankii B dan Yankii C mulai melangkah maju.
Sejauh ini semuanya berjalan sesuai rencana. Aku tidak tahu dari mana mereka mendengar rumor yang sama sekali tidak berdasar itu, namun jika mereka hanya menargetkan Yuzuki sebagai cara untuk menghabiskan waktu dan sudah keterlaluan, maka mendorongku sedikit saja seharusnya sudah cukup untuk memuaskan mereka. Jika kemarahan bos mereka terfokus kembali padaku, maka mereka akan lepas dari tanggung jawab.
Jika aku menghalangi mereka, mereka mungkin akan terpaku padaku dan itu tidak akan bagus, namun kebijakan terbaik adalah melawan mereka dengan cara yang jelas dan lugas. Satu-satunya hal yang membuatku khawatir adalah anggota Tim Chitose, atau tim basket putri, atau bahkan murid SMA Fuji lainnya mungkin akan terlibat dalam hal ini. Itu akan memperumit keadaan.
Jika aku memulai perkelahian sekarang, maka para yankii ini akan fokus padaku, daripada mengejar yang lain. Bagaimanapun juga, aku adalah pacar Yuzuki, jadi mereka punya dua pilihan. Berkelahi dengan Saku Chitose, yang secara terbuka mengincar mereka, atau mengabaikanku dan mendekati Yuzuki secara langsung. Jalan yang mereka ambil adalah salah satu dari dua pilihan itu; Aku yakin akan hal itu.
Sekarang, mari kita lihat apa yang diputuskan orang-orang ini.
Saat Yankii B (atau Yankii C?) mencengkeram bagian depan bajuku, aku mendengar suara yang familiar.
"Hei! Apa yang kalian kira sedang kalian lakukan?!"
Aku menoleh dan melihat Kaito dan Kazuki berlari ke arah sini.
....Lupakan saja. Kazuki sebenarnya berjalan santai. Dasar ular.
{ TLN : Ketika seseorang memanggil orang lain dengan sebutan "ular", itu merupakan sebuah penghinaan yang menyiratkan bahwa mereka adalah orang yang suka menipu, pengkhianat, atau manipulatif. }
Ukuran tubuh Kaito yang besar tampaknya memiliki semacam pengaruh pada para yankii itu, dan sekarang peluangnya seimbang, tiga lawan tiga. Tangan yang mencengkeram bagian depan bajuku tiba-tiba terlepas, melepaskanku.
Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu sudah berdiri saat itu dan menatap kami dengan pandangan berbisa. Namun kemudian dia tampak menghela napas, seolah-olah semua angin telah hilang dari layarnya.
"Ah, ini buang-buang waktu. Kita sudah selesai di sini. Tapi aku akan menceritakan semua tentangmu kepada bosku."
Oh, fiuh. Jika dia mengatakan sesuatu yang klise seperti "Lebih baik kau berhati-hati!" Aku tidak akan bisa menahan tawaku.
Si Aneh Dengan Jambul Ayam dan rekan-rekannya baru saja berbalik untuk pergi ketika aku berbicara ke arah punggung mereka.
"Entahlah apa yang kalian dengar, tapi Yuzuki Nanase bukanlah gadis seperti itu. Dia dan aku benar-benar berpacaran, jadi aku lebih suka jika kalian menjauh darinya."
Aku cukup yakin mereka mendengarku, namun ketiga yankii itu tidak berkata apa-apa dan melanjutkan perjalanan mereka.
Begitu mereka tak terlihat, Kaito angkat bicara.
"Apa-apaan itu, Saku? Itu sama sekali gak seperti kau."
"Dasar bodoh. Semuanya berjalan sesuai rencanaku. Lagipula, kau datang ke sini hanya karena ada kesempatan untuk menghajar orang, kan?"
"Yah, tentu saja. Kenapa aku tidak turun tangan, sementara temanku sepertinya akan dipukuli?"
"Aku gak dipukuli! Dan kau, Kazuki! Kau seharusnya jadi pengendali impuls Kaito."
Kazuki akhirnya menghampiri dan menyeringai.
"Maaf, maaf. Saat orang ini melihatmu dicekik, dia langsung turun tangan. Aku gak sempat menghentikannya. Sebenarnya, Kenta ragu-ragu untuk ikut dengan kami, tapi kubilang padanya untuk diam saja dan biarkan kami yang mengurusnya."
"Ah, aku senang mendengarnya. Tapi, seriusan, kalian gak perlu repot-repot turun tangan."
Aku membayangkan Kenta berkeringat dingin saat akan datang untuk membantuku, dan aku merasakan sedikit keteganganku berkurang.
Kaito melanjutkan, alisnya berkerut seolah-olah dia masih belum mengerti.
"Saku, orang-orang itu dari SMA Yan, kan? Apa mereka yang berada di balik semua ini? Maksudku, si penguntit yang dibicarakan Yuzuki-san itu?"
"Hmm, kurasa mereka adalah kandidat yang paling mungkin saat ini."
Kazuki berbicara selanjutnya.
"Aku kenal seorang dari SMP-ku yang melanjutkan ke SMA Yan. Akal sehat gak akan bekerja dengan orang-orang seperti ini, jadi kau harus benar-benar berhati-hati. Mereka melakukan hal-hal gila hanya untuk bersenang-senang, seperti menjatuhkan meja dari lantai dua gedung sekolah dan memaksa semua anak muda untuk mencukur kepala mereka dengan gunting rambut. Mereka gak terkendali."
"Eww. Sekarang aku gak perlu memotong rambutku pendek untuk klub bisbol, aku gak ingin gunting rambut berada di dekat kepalaku."
Kaito menyeringai.
"Lupakan tentang itu. Bahkan dalam situasi seperti itu, kau tetap Saku Chitose, bukan? Gak bisakah kau bereaksi seperti manusia normal dan menunjukkan sedikit rasa takut? Kau baru saja dikelilingi oleh tiga yankii SMA Yan, tahu?"
"Apa kau bercanda? Aku sangat takut sampai-sampai ingin mengompol."
Itu benar, sebenarnya. Dan itu adalah reaksi yang normal dalam situasi seperti itu.
Aku sangat percaya pada kemampuan atletikku, namun aku selalu mencoba menghadapi perselisihan dengan kepala dingin dan tenang. Namun, begitu kekerasan terjadi, sudah menjadi sifat manusia untuk menjadi marah. Sejujurnya, jika Kaito dan Kazuki tidak muncul saat itu, jika ketiga yankii itu menyerangku sekaligus.... aku pasti akan kalah, tidak diragukan lagi.
"Tapi aku harus mempertimbangkan reputasiku sebagai laki-laki. Bagaimana jika Yuzuki melihatku gemetar seperti daun di luar sana? Aku harus membuat pilihan. Dan sepertinya hanya ada satu jawaban yang benar."
"Dasar tukang pamer."
"Dasar kau ini."
Kaito merangkul bahuku. Dia bersikap kasar, seperti Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu. Namun tidak sama dengan yankii itu, Kaito tidak ada niat jahat.
"Pokoknya, hubungi kami kapan pun kau membutuhkan kami. Sejujurnya, aku juga takut, tapi aku gak bisa hanya berdiam diri dan gak melakukan apa-apa. Aku lebih baik membuat kekacauan daripada melakukan itu."
Kazuki meninju perutku dengan ringan dan jenaka.
"Benar yang dia dibilang itu. Kalau kami melihat tanda darurat, kami akan berlari ke sini."
"Aku gak lupa cara kalian datang ke sini tadi, tahu."
Kami semua saling tersenyum lebar.
✶
Tidak ada yang ingin belajar lagi hari itu, jadi kami memutuskan untuk pulang.
Untuk berjaga-jaga, kami memutuskan bahwa Yuzuki, Kazuki, Kaito, dan aku akan pergi terlebih dahulu, dan yang lainnya akan menunggu beberapa saat sebelum pulang sendiri-sendiri.
Orang-orang SMA Yan itu mungkin masih berkeliaran di suatu tempat. Tidak diragukan lagi mereka bisa menemukan hal-hal ini dengan sedikit menggali, namun kami harus melakukan apapun yang kami bisa untuk sementara waktu agar mereka tidak menyadari bahwa Yuuko dan yang lainnya adalah bagian dari kelompok kami.
Setelah berjalan beberapa saat dan memeriksa untuk memastikan Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu dan teman-temannya tidak ada di sekitar, Kazuki dan Kaito berpisah dari kami dan berjalan sendiri-sendiri.
Awalnya aku ingin menahan diri untuk tidak memberitahu Yuzuki apa yang sebenarnya terjadi, namun dia tampaknya sudah mengetahuinya. Menyimpan detail darinya mungkin bukanlah rencana yang bagus, terutama saat aku membutuhkannya untuk lebih waspada sekarang daripada sebelumnya.
Kami membeli minuman dari mesin penjual otomatis dan kembali menyusuri jalan setapak di tepi sungai, sementara aku menjelaskan detailnya kepadanya.
"Jadi itulah yang terjadi. Mungkin itu akhir dari semuanya, tapi untuk sementara, kamu harus tetap dekat denganku. Kamu juga bisa menggunakan Kaito dan Kazuki sebagai pengawal, tapi mereka punya latihan klub."
Langit yang berangsur-angsur gelap terpantul di permukaan air yang bergelombang lembut.
Aku melepas blazerku dan menggulung lengan bajuku, melempar kerikil ke sungai dengan lemparan menyamping. Aku berhasil memantulkan salah satunya dua kali, namun kemudian tenggelam dengan bunyi plop kecil yang menyedihkan.
Seekor ikan muncul di suatu tempat dengan bunyi plop lain, seolah terkejut oleh kerikil itu.
"Dulu aku pandai melempar batu. Aku pernah berhasil melemparnya lima kali, ketika aku masih di sekolah dasar."
Aku duduk di tanah di samping Yuzuki, yang mencengkeram lengan bajuku.
"....Maaf. Maafkan aku, Saku."
Suaranya bergetar.
Aku pura-pura tidak memperhatikan, melanjutkan dengan santai.
"Ayolah. Apa kamu masih terpaku pada apa yang Yua-san katakan kemarin? Mimpiku selalu seperti ini, 'Jangan sentuh gadisku', kamu tahu? Itu situasi yang diimpikan setiap anak laki-laki."
Yuzuki menggelengkan kepalanya, seolah-olah dia tidak mendengarkan. Tangan yang mencengkeram lengan bajuku perlahan bergerak turun ke tanganku, yang kemudian dipegangnya erat-erat.
"Maaf. Aku minta maaf karena membuatmu harus melakukan itu, Saku."
Itu sama sekali bukan sikap Yuzuki yang biasanya. Bukannya aku tidak bisa menebak mengapa dia bersikap seperti ini. Ingin menghentikan gemetarnya sebisa mungkin, aku meremas tangan rampingnya kembali.
"Aku ingin melakukannya."
Seolah-olah berpegang teguh pada harapan tertentu, atau seolah-olah sedang berdoa, Yuzuki menggenggam tanganku dengan kedua tangannya dan menempelkannya ke dahinya.
"Tapi, Saku. Kamu hampir dipukuli."
"Itu terdengar seperti aku akan membiarkan diriku dipukuli oleh beberapa yankii bodoh. Itu sudah cukup sekarang; jadi tolong tenanglah sebentar. Kembalilah saat kamu siap menjadi Yuzuki Nanase lagi."
Aku menutupi tangan kananku dengan blazer dan wajah Yuzuki secara bersamaan.
Aku tidak bisa membiarkan dia kehilangan sifat Yuzuki-nya hanya karena hal seperti ini.
Tidak peduli apapun skenarionya. Dia tidak bisa kehilangan dirinya sendiri hanya karena masalah konyol yang penuh dengan niat jahat.
Itulah sebabnya, saat ini, aku telah menjadi sesuatu yang mirip dengan patung Buddha Jizo kecil yang mungkin kalian temui di jalan setapak pegunungan yang terpencil.
Kalian tidak yakin apa patung itu benar-benar memiliki berkah ilahi untuk diberikan kepada kalian, namun kalian tetap harus berdoa kepadanya dan melepaskan beban kalian di hadapannya.
Lagipula, setelah kalian selesai berdoa, kalian harus melanjutkan perjalanan di jalan setapak pegunungan itu dengan kedua kaki kalian sendiri.
Kami tetap seperti itu selama sekitar sepuluh menit.
Kemudian Yuzuki menjulurkan kepalanya dari balik blazerku, tersenyum seperti anak kecil yang bangun di pagi pertama liburan musim panas.
Dia melepaskan tanganku dan meregangkan tubuh.
"Aku mau makan katsudon."
"...Maaf?"
"Katsudon. Dari Eropa-Ken, restoran katsudon terbaik di Fukui!"
"Apa kamu berubah menjadi Haru saat berada di bawah sana atau semacamnya?"
"Oh, ayolah. Setiap penduduk Prefektur Fukui yang baik hati pasti ingin makan katsudon di saat seperti ini, bukan?"
Yuzuki memberiku senyum manis yang tampaknya sedikit dibuat-buat. Sepertinya dia akan baik-baik saja, setidaknya untuk hari ini.
"Baiklah kalau begitu. Aku juga lapar, setelah semua kegembiraan ini. Aku akan pergi makan denganmu. Maksudmu tempat di dekat East Park, kan? Kamu yang traktir, tentunya."
"Kamu hanya perlu berbagi kehangatan dari seorang gadis muda yang cantik. Tentunya itu semua kompensasi yang kamu butuhkan, kan?"
"Sebaliknya, sebenarnya, katsudon mungkin bukan kompensasi yang cukup.... kamu mungkin harus menambahkan udang goreng sebagai pelengkap dan mungkin juga rabaan payudara sebagai pelengkap...."
"Dasar mesum!"
Yuzuki berdiri.
"Tapi kam tahu, kamu itu berbeda, Saku. Kamu menghadapi orang-orang itu, meski mereka benar-benar menakutkan."
"Mereka memang menakutkan, jadi kamu harus mencoba mengingat ini, Yuzuki. Jika kamu menendang seorang laki-laki tepat di selangkangan, kamu hanya membutuhkan sekitar empat puluh persen dari kekuatan tendanganmu yang biasa untuk melumpuhkannya sepenuhnya. Tapi itu ada risikonya. Jangan sampai bidikanmu meleset."
"Benarkah? Apa itu bekerja padamu?"
"Tidak, tidak; kamu tidak perlu mengujinya padaku. Hei, hentikan itu. Aku gak bercanda di sini."
"Begitu, begitu...."
Yuzuki membungkuk dan mengambil blazerku, menepuk-nepuk debu darinya.
"Akan kucoba ingat. Oke, saatnya hadiahmu!"
Dia mengulurkan blazer agar aku bisa memasukkan lenganku.
"Setelah aku memasang badanku untukmu, ini saja ucapan terima kasih yang kudapatkan...."
Aku memasukkan lenganku ke dalam blazer sementara Yuzuki mengangkatnya, lalu dia meletakkan tangannya di bahuku dan bersandar padaku. Aku merasakan kelembutannya di punggungku.
Dan aku merasakan napasnya yang hangat di telingaku.
"Kamu benar-benar keren. Terima kasih."
Hanya itu yang Yuzuki katakan sebelum dia menjauh.
....Hmm. Kurasa semua kerja keras itu sepadan.
"Ayo kita melangkah maju!"
Yuzuki melangkah maju, punggungnya yang tegak dan berwibawa tampak entah bagaimana cantik.
Andai saja semua orang bisa hidup seperti itu. Mungkin akan lebih sedikit anak-anak yang kesepian di dunia ini.
Sulit bagi siapapun untuk hidup kuat di dunia ini. Jadi melihat Yuzuki berusaha sekuat tenaga seperti ini—menurutku itu indah.
✶