CHAPTER TWO
Hari-Hari Baik dan Hari-Hari Biasa
Hari-Hari Baik dan Hari-Hari Biasa
Baru dua puluh empat jam sejak Yuzuki dan aku pertama kali memulai kisah cinta palsu ini, namun sekolah sudah dibanjiri rumor tentang kami. Situs gosip yang biasa dipenuhi dengan berbagai macam postingan yang menghina.
Tentu saja aku mendapat banyak kebencian, namun itu bukan hal yang aneh bagi orang brengsek yang sangat menyebalkan ini. Postingan tentang Yuzuki lah yang benar-benar hebat.
Pelacur itu.
Dia akan berpacaran dengan siapa saja.
Kudengar dia menduakan si brengsek itu dengan seorang mahasiswa.
Terdengar cukup pedas, bukan?
Tidak diragukan lagi Yuzuki telah menempatkan dirinya di garis tembak. Namun luapan kebencian itu agak ekstrem, dan itu membuatku dingin di dalam. Jelas, orang-orang telah memutuskan untuk memasukkan Yuzuki ke dalam kategori "sasaran yang cocok untuk dikritik secara brutal", bersama denganku. Sekarang kami tampaknya telah menjadi unit khusus, kami berdua sama-sama siap untuk kebencian secara online itu.
Namun bahkan jika itu adalah forum anonim, siapa yang bisa mengatakan hal-hal buruk seperti itu tentang orang lain? Apa mereka tidak malu? Jelas, beberapa orang benar-benar marah. Namun, yang lain hanya ikut-ikutan dan menggunakan ini sebagai alasan untuk saling mengejek. Itu semua wajar saja, namun aku masih sedikit tercengang karenanya.
Pokoknya, lanjut saja...
Pengungkapan semacam ini berhasil memenuhi tujuan awal kami dengan sempurna. Minat orang-orang sudah benar-benar tergugah. Jadi, tidak perlu lagi berakting hari ini. Sebagai gantinya, kami memutuskan bahwa para gadis dan laki-laki akan berpisah saat makan siang dan melakukan kegiatan kami sendiri.
Kazuki, Kaito, dan aku bergegas membeli makanan untuk makan siang segera setelah kelas selesai. Setelah masing-masing mengambil beberapa roti lapis, kami bergegas ke pusat kebugaran. Duduk di tepi panggung, kami melahap makan siang kami, lalu kami mulai melakukan lemparan bebas kompetitif dengan bola basket yang dibawa Kaito.
Kami sudah punya banyak kesempatan untuk makan siang sebagai satu kelompok sejak tahun kedua dimulai, namun sudah lama sejak kami bertiga nongkrong bersama. Kami juga mengundang Kenta, namun dia berkata : "Kau bilang kau ingin aku bermain basket denganmu setelah makan? Apa kau mencoba membunuhku?" dan membuat kami menyerah. Yuuko dan gadis-gadis lainnya menyeret Kenta pergi bersama mereka setelah itu, baguslah untuk dia. Hmm, aku bertanya-tanya apa si Kenta itu sudah merencanakannya.
Whoosh.
Aku melempar bola dengan cukup bagus, jika bisa kubilang begitu, dan memasukkannya ke dalam ring basket.
Aku pergi dan mengambil bola, lalu mengopernya ke Kaito, yang berdiri di belakang garis tiga poin. Karena dia adalah pemain bintang klub basket, kami berdua tidak akan punya kesempatan tanpa kerugian. Kazuki dan aku sama-sama melepaskan tembakan dari garis lemparan bebas, membiarkan Kaito melepaskan tembakannya dari garis tiga poin. Itu adalah sesuatu yang sudah kami sepakati sejak lama.
Thunk, thunk, thunk.
Kaito mengambil bola dariku dan menggiringnya dengan ahli di kakinya. Kaito tidak memiliki ketangkasan seperti Haru dalam menggiring bola, namun dia memiliki kekuatan.
"Jadi, ada apa, Saku?"
Kaito menekuk lututnya dan fokus untuk mendapatkan waktu yang tepat saat dia berbicara.
"Ada apa dengan ada apa ini?"
"Ada apa denganmu dan Yuzuki-san, pastinya. Hup!"
Kaito melompat ke udara, seluruh tubuhnya setinggi enam kaki dalam bentuk yang sempurna, lurus seperti batang pohon besar. Bola terlepas dari tangannya dan hampir seperti tersedot ke dalam jaring. Tembakannya bahkan hampir tidak mengeluarkan suara.
Kaito mengoper bola ke Kazuki dan menghampiriku.
"Apa maksudmu, ada apa denganku dan Yuzuki-san?"
"Apa kau berencana untuk benar-benar berpacaran dengannya? Itulah yang... kutanyakan!"
Kaito menendang pantatku dengan keras saat dia berbicara.
Hati-hati, dasar otak otot! Itu benar-benar sakit tahu.
"Apa maksudnya... itu?"
Aku menendangnya balik dengan sekuat tenaga.
"Astaga, Saku!"
Kaito berteriak, memegang pahanya sambil melanjutkan.
"Maksudku, kalian berdua pasangan yang serasi. Kau juga akan cocok dengan Yuuko-san, tapi itu gak penting. Yang ingin kukatakan adalah, kau pasangan yang serasi untuk Yuzuki-san."
Kazuki angkat bicara dari garis lemparan bebas, tempat dia memegang bola.
"Seperti yang Haru-san katakan kemarin, kau dan Yuzuki-san sebenarnya agak mirip. Seperti kalian berdua membangun dinding yang gak bisa ditembus tapi transparan di sekeliling kalian."
Kazuki melepaskan tembakannya, menggunakan papan pantul untuk memantulkan bola dan masuk ke ring basket.
Kazuki berjalan mendekat setelah mengambil bola. Dia memutarnya dengan ujung jarinya. Kaito juga mengangkat jarinya dan mengambil bola yang masih berputar dari Kazuki. Dengan tangannya yang bebas, Kaito meraihnya dan membuat bola itu berputar lebih cepat.
"Benar. Bahkan saat aku melihat Yuzuki-san mengobrol dengan teman-temannya selama pertandingan basket, rasanya seperti.... dia selalu punya ekspresi yang sama. Selalu sama, entah mereka menang atau kalah. Dia hanya tampak benar-benar santai saat bersama Haru-san."
Tidak diragukan lagi Kaito telah menghabiskan sebagian besar waktu bersama Yuzuki, karena dia juga anggota klub basket. Namun aku tidak pernah menyadari dia begitu… jeli.
Omong-omong, aku sendiri sudah lama punya kesan yang sama tentang Yuzuki.
Kaito adalah orang yang banyak bergaul. Dia suka bermain-main dengan teman-temannya, namun dia sebenarnya tipe yang cukup serius. Ketika aku menyeret Kenta kembali ke sekolah, Kaito menerima Kenta begitu saja tanpa niat yang diperhitungkan dan mementingkan diri sendiri seperti yang diam-diam kumiliki seperti Kazuki.
"Tapi akhir-akhir ini, ketika Yuzuki-san bersamamu, Saku, Yuzuki-san tampak jauh lebih santai."
Aku teringat kembali percakapan kami saat berjalan pulang tadi malam. Ketika kami mulai membahas pertandingan akhir pekan mendatang, Yuzuki memasang wajah datarnya yang biasa. Atau begitulah yang kupikirkan. Namun mungkin Yuzuki terlihat sedikit lebih santai dari biasanya?
Aku merebut bola dari Kaito dan mulai berlari ke arah ring basket. Kaito mengejarku, mengejarku dengan cepat. Aku melakukan lay-up dan berusaha memasukkan bola. Kaito menghalangiku, dan aku menyambar bola yang melenceng. Kemudian aku mulai menggiring bola, memperbaiki posisiku.
"Apa kau sanggup menanganinya jika dia dan aku benar-benar berakhir berpacaran?"
"Menangani apa?"
"Aku bertanya apa kau sebenarnya gak benar-benar tergila-gila pada Yuzuki-san, dan... Hyuh!"
Aku berpura-pura ke satu sisi, lalu maju ke depan. Kaito berputar dan mendekatiku, menghalangi jalanku menuju ring basket.
"Ya, benar. Yuzuki-san hanya seorang teman. Yang ingin kukatakan itu : Jika ada cara agar kau bisa membantunya, maka aku ingin kau melakukannya... Hyah!"
Kaito menyerangku, bermaksud mencuri bola. Aku melangkah mundur cepat, menghindarinya.
"Kau ini memangnya siapa, ayahnya? Aku akan mengingat perkataanmu. Jangan datang menyerangku jika dia dan aku benar-benar berpacaran.... Hyugh!"
"Jika aku benar-benar menyerangmu, itu untuk menghukummu karena membuatnya menangis.... Hyah!"
"Akan kuingat itu. Tetap saja, selama aku punya akal sehat, otak otot sepertimu gak akan pernah meninjuku.... Hup!"
Aku mengoper bola di belakangku tanpa menoleh.
Kazuki menunggu di garis tiga poin dan menangkapnya.
"Hei! Itu gak adil!"
Kaito bergegas menghalanginya, namun terlambat.
Tembakan indah lainnya, memantul rapi di papan pantul. Kazuki dan aku saling tos.
"Lihat, sudah kubilang. Dasar otak otot."
Aku menoleh untuk menyeringai ke arah Kaito, yang tampak menyesal. Kazuki meletakkan tangannya di bahuku.
"Tapi kau otak otot juga, Saku."
"Apa maksudnya?"
"Lagipula kau tidak akan mendengarkan nasihatku, tapi menurutku kau harus mempertimbangkan untuk membuat pilihan tegas dan melepaskan pilihan lain. Itu keterampilan hidup yang baik."
Aku menepis tangan Kazuki—dan nasihatnya.
Aku tahu apa yang dia maksud di sini.
Namun bagiku, di tahap kehidupanku saat ini.... itu masih jauh di luar jangkauanku.
Seperti kapsul waktu yang kalian janjikan akan kalian gali suatu hari nanti, namun kemudian kalian lupakan, aku merasa hari itu takkan pernah datang.
✶
Setelah pulang sekolah, semua anggota Tim Chitose menuju Perpustakaan Prefektur Fukui.
Perpustakaan itu agak jauh dari sekolah, jadi baik Yuzuki maupun aku memastikan untuk datang ke sekolah dengan sepeda hari ini. Perpustakaan itu adalah tempat belajar yang dituju tidak hanya oleh murid SMA Fukui, namun juga oleh semua murid SMA di Kota Fukui. Tempat ini sangat disukai oleh kelompok belajar pra-ujian seperti kami dan murid tahun ketiga yang belajar keras untuk ujian masuk perguruan tinggi.
Perpustakaan itu terletak tidak jauh dari "jalan utama" Fukui, yaitu Jalan Raya Nasional 8, sebuah bangunan raksasa yang bergaya di sebidang tanah yang rapi yang dikelilingi oleh sawah. Dari jendela kaca besar di bangunan utama, kalian dapat melihat rumput dan pepohonan yang dirawat dan dipangkas dengan cermat di sekelilingnya. Ini adalah tempat yang menenangkan dan menyegarkan untuk membaca atau belajar, menurut pendapat siapapun.
Bagian dalam perpustakaan dilengkapi dengan meja belajar untuk satu orang, meja besar yang dapat menampung banyak orang, dan bahkan kursi yang nyaman untuk membaca. Ada tempat yang cocok untuk semua orang. Semua anggota kelompokku memilih meja untuk satu orang yang terletak dengan jarak tertentu dari meja di depan dan di samping, agar bisa fokus belajar. Namun, Yuzuki dan aku berhasil mendapatkan meja kosong.
Tentu saja, kami melakukan ini untuk memastikan semua orang di perpustakaan itu tahu bahwa kami berdua berpacaran.
Kami berdua mempertimbangkan untuk duduk bersebelahan, namun itu tampak agak aneh bagi pengamat luar, dan itu membuat kami tidak punya banyak ruang untuk meletakkan buku pelajaran dan lembar belajar kami. Akhirnya, kami memutuskan untuk duduk di sisi meja yang berseberangan. Ini akan terlihat lebih alami daripada duduk berdekatan.
Aku melihat ke meja untuk satu orang. Yuuko melotot ke punggung Yuzuki, dan saat aku melihatnya, dia menarik kelopak matanya ke bawah dan menjulurkan lidahnya sebagai tanda jijik. Yuuko bilang akan bergabung dengan kami berdua di meja saat kami semua memilih tempat duduk, namun Yua meyakinkannya sebaliknya, dan akhirnya, Yuuko setuju untuk berkompromi dan dengan enggan duduk di meja terdekat yang hanya bisa ditempati satu orang.
Saat itu Yuuko menatapku, dia mengedipkan matanya dengan nakal dan memberiku ciumannya yang ditiupkan. Aku berpura-pura membalasnya.
Setelah itu, aku melihat sekeliling perpustakaan, mengamati sekeliling kami.
Aku melihat sekitar 30 persen murid yang ada berasal dari SMA Fuji. 30 persen lainnya tampak seperti berasal dari SMA Takashima, dan 40 persen sisanya adalah murid dari berbagai SMA. Tidak ada yang aneh dari semua itu.
Aku melirik Yuzuki, yang sudah mengeluarkan pensil dan pulpennya dan mulai belajar. Dia biasanya menyelipkan rambutnya di belakang satu telinga pada satu waktu, namun sekarang kedua sisi rambutnya diselipkan rapat di belakang telinganya. Wajahnya yang tegas dan cantik terlihat jelas untuk pertama kalinya. Dia tampak fokus mengerjakan ujian praktik, pensil mekaniknya menggores halaman secara berirama.
Aku melamun selama beberapa detik lagi, fokus pada suara-suara di perpustakaan.
Scratch, scratch.
Rustle, rustle.
Clatter, clatter.
Langkah, langkah.
Membalik, membalik.
Thunk, thunk.
Acak, acak.
Suara teredam.
Semua orang di sini berusaha menjaga agar jumlah kebisingan yang mereka buat seminimal mungkin. Aku selalu menyukai perpustakaan.
Aroma buku-buku tua, halaman-halaman yang dibalik berirama, suara derit teredam staf perpustakaan yang mendorong troli-troli berat. Semua ini digabungkan membuat waktu terasa berjalan sedikit lebih lambat dari biasanya.
Ketika kalian keluar dari perpustakaan, rasanya seperti kalian telah mendapatkan kembali sebagian waktu yang seharusnya kalian habiskan. Namun kebanyakan orang hanya melanjutkan hari mereka setelah itu, tidak pernah menyadarinya.
Hidup ini diselingi dengan fenomena-fenomena kecil yang aneh seperti itu. Dan aku menyukainya seperti itu.
"....Saku-kun? Sa-ku-kun."
Saat aku asyik dengan pikiranku sendiri, tidak mampu memaksakan diri untuk mulai belajar, aku mendengar suara kecil memanggil namaku.
Aku mendongak dan melihat Yua berdiri di sampingku. Dia memakai kacamata dengan bingkai biru tua.
"Maaf. Aku melamun."
Aku merendahkan suaraku, memastikan tidak ada orang di sekitar.
"Ah, gak apa-apa. Maaf mengganggumu saat kamu sedang berpikir. Apa kamu punya kertas? Kalau ada, boleh aku minta?"
"Ya, aku punya."
Aku mengeluarkan beberapa lembar dan menyerahkannya pada Yua.
"Kamu pakai kacamata hari ini, ya?"
Yua mengalihkan pandangan, seolah-olah dia tiba-tiba merasa malu.
"....Ya. Lebih nyaman memakainya saat aku berkonsentrasi belajar. Kurasa kacamata ini terlihat aneh, bukan?"
"Gak, gak. Aku tidak pernah menganggap kacamatamu aneh. Kacamatamu terlihat sangat alami di matamu. Kacamata itu mengingatkanku pada tahun lalu. Agak mengingatkanku pada masa lalu."
"Tolong, jangan mencoba mengingat tahun lalu terlalu keras...."
Yuzuki, yang tampaknya mendengarkan, bergabung dalam percakapan kami.
"Kamu dulunya memakai kacamata? Jadi, kamu adalah gadis berkacamata di kelasmu?"
Yua tertawa canggung.
"Aku gak tahu tentang maksud gadis berkacamata ini; kurasa aku tidak pernah benar-benar memikirkannya. Kacamata atau lensa kontak, maksudku. Aku gak pernah benar-benar peduli dengan hal-hal itu."
"Hee, itu agak mengejutkan. Kamu agak menjaga hal-hal tetap biasa, Ucchi, tapi aku tetap punya kesan bahwa kamu adalah seseorang yang sangat peduli dengan penampilannya."
"Hmm, aku gak yakin tentang itu. Kamu dan Yuuko sama-sama sangat cantik, dan aku, um, adalah aku. Tapi, yah, kurasa banyak hal telah terjadi sejak tahun pertama kami...."
Yua tampaknya mengalami kesulitan dengan ini. Aku memutuskan untuk membantunya.
"Aku sebenarnya meminta Yua-san untuk mempertimbangkan lensa kontak. Aku bilang padanya bahwa kiasan 'si cantik tertutup yang membuat semua orang tercengang saat akhirnya melepas kacamatanya' sudah basi. Sekarang orang-orang ingin melihat 'si cantik biasa yang mengubahnya dan menambahkan dimensi baru yang imut saat memakai kembali kacamatanya'. Dan aku melihat Yua-san sebagai yang terakhir."
Yuzuki mengangkat alisnya seolah menangkap sesuatu yang tidak terucap. Dia langsung menjawabnya.
"Jadi itu yang kamu suka, ya? Hmm, aku akan mencatatnya di dalam hati."
"Tapi itu harus gak terduga. Gak diperhitungkan. Kamu akan berkata : 'Jadi, apa jantungmu berdebar kencang saat itu, atau bagaimana?' dan semuanya akan runtuh begitu saja. Itu akan terlalu transparan."
"Aku benar-benar berpikir kamu harus mempertimbangkan kembali untuk menaikkan ego gadis lain di depan pacarmu, kan?"
"Yuzuki, pesonamu bagaikan pola geometris yang diperhitungkan dengan cermat agar enak dilihat. Tapi, Yua-san lebih seperti kastanye manis yang baru dikupas, sedikit mentah dan belum diolah. Lagipula, kalian berdua seharusnya tidak perlu bersaing satu sama lain."
"....Um, bolehkah aku kembali ke tempat dudukku sekarang?"
Dan dengan kata-kata terakhir dari Yua itu, kami menghentikan semua obrolan, dan semua orang mulai belajar dengan serius.
✶
"....Yuzuki."
Setelah Yua kembali ke mejanya, kami belajar selama sekitar satu jam.
Sekarang aku mencondongkan tubuh ke depan, membisikkan nama Yuzuki. Begitu aku mendapatkan perhatiannya, aku diam-diam menyerahkan selembar kertas lepas dengan catatan yang telah kutulis di atasnya.
Beberapa orang dari SMA Yan ada di sini.
Yuzuki melihat isi catatan itu. Bahunya langsung menegang, dan dia mengembuskan napas dalam-dalam. Dia mengambil waktu sejenak untuk menenangkan diri dan mengembalikan wajahnya ke ekspresi datarnya seperti biasanya. Kemudian dia mencoret-coret sesuatu di kertas itu dan mengembalikannya kepadaku.
Di mana?
Ponselnya tampak tersimpan di dalam tasnya, itulah sebabnya aku menggunakan cara klasik dengan catatan kertas dan pena. Aku berharap dia membacanya dan kemudian membalasnya melalui aplikasi LINE, namun tidak berhasil.
Biasanya, Yuzuki cukup tajam untuk merasakan sesuatu seperti itu, namun dia jelas sedikit terguncang sekarang. Saling melempar catatan seperti ini bisa jadi ketahuan, jadi aku menggunakan mataku untuk menunjukkan ke Yuzuki di mana orang-orang itu berada. Yuzuki tampaknya mengerti. Perlahan, dia menoleh ke belakang. Lalu dia menatapku seolah berkata, "Mereka?"
Aku tersenyum pada Yuzuki, berharap itu akan terlihat seperti kami hanya mengobrol biasa, dan mengangguk sedikit. Lalu, masih menghadap Yuzuki, aku menoleh ke belakang untuk memeriksa apa yang sedang terjadi sekarang.
Orang-orang dari SMA Yan itu berada di belakang Yuzuki namun tidak di dalam perpustakaan itu sendiri. Mereka berada di luar di taman yang terlihat melalui jendela perpustakaan. Ada tiga dari mereka, dan sekilas saja, mereka tidak tampak seperti tipe orang yang akan sering mengunjungi perpustakaan untuk belajar. Mereka menatap ke dalam tanpa sedikit pun rasa malu. Dan mereka juga tidak melakukannya dari kejauhan. Mereka tepat menempel di kaca, menyeringai. Para murid yang duduk di meja satu orang di dekat jendela tampak tidak nyaman.
Saat aku memperhatikan, menjadi jelas bahwa orang-orang itu sedang mencari seseorang. Mereka berjalan mondar-mandir di jalan setapak di luar jendela, sampai salah satu dari mereka mengalihkan pandangannya ke arah ini. Orang itu berhenti, mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan layarnya kepada dua orang lainnya. Mereka mengangguk, dan yang pertama menunjuk melalui kaca, tepat ke mejaku.
Senyum mereka yang seperti hiu tiba-tiba melebar.
Sekarang, apa maksud semua ini?
"Yuzuki, bisakah kamu menjelaskan soal ini kepadaku?"
Aku mengambil buku pelajaran matematika sambil berbicara.
"Tentu."
Yuzuki berdiri dan berjalan di belakangku. Dia meletakkan tangannya di bahuku dan mengintip buku pelajaran di atas meja.
Dilihat dari jauh, kami tampak seperti pasangan muda yang sedang jatuh cinta, belajar bersama.
Aku mencondongkan tubuh untuk berbisik di telinga kanan Yuzuki, di balik tirai rambut halus yang terurai di depannya.
"Jangan melakukan kontak mata. Bersikaplah sealami mungkin."
Yuzuki berkedut sesaat. Kemudian dia menepuk punggungku pelan dengan nada seperti "Hmph! Bakka!"
"Apa kamu melihat mereka?"
Aku berbisik pada Yuzuki lagi, masih memainkan peran sebagai anak SMA yang sedang dimabuk cinta yang mendengarkan dengan sabar saat pacarnya menjelaskan soal matematika. Anak-anak dari SMA Yan tidak mungkin bisa memahami apa yang kami bicarakan dari luar sana, jadi tidak perlu berbisik-bisik di luar aturan etiket perpustakaan yang biasa.
"Aku melihatnya sekilas. Aku tidak bisa sepenuhnya yakin, tapi kurasa aku gak mengenal satu pun dari mereka."
"Tundukkan wajahmu. Sepertinya ini saatnya pemotretan."
Salah satu dari tiga orang itu mengangkat ponselnya ke arah kami. Dari jarak sejauh ini, dan melalui kaca jendela yang tebal, dia tidak mungkin bisa mendapatkan foto yang jelas. Tetap saja, jika mereka menginginkan foto yang bisa diambil, mereka tidak akan pernah mendapatkannya.
"Bagaimanapun juga, jelas mereka mengincar salah satu dari kita berdua."
Setelah aku mengatakan ini, Yuzuki mencondongkan tubuhnya untuk berbisik di telingaku, seperti yang kulakukan padanya beberapa saat sebelumnya. Rasa napasnya yang manis di daun telingaku mengirimkan sengatan listrik ke tulang belakangku.
"Mungkin mereka di sini untuk membalas dendam padamu karena telah mencuri pacar seseorang di masa lalu?"
Aku lega karena Yuzuki tampaknya telah mendapatkan kembali sebagian keberaniannya yang biasa.
Aku tidak mengira itu mungkin, berdasarkan seringai mengejek di wajah para murid SMA Yan. Namun sekali lagi, Yuzuki mungkin juga tahu itu.
"Apa kamu akan baik-baik saja untuk sementara waktu? Kamu bisa pergi dan duduk bersama Yua-san dan yang lainnya, tapi itu hanya akan membuatmu lebih dekat ke kaca dan membuat orang-orang bodoh itu senang."
"Kurasa aku baik-baik saja... tapi apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku hanya akan berjalan-jalan. Mencari udara segar."
"Apa? Tunggu..."
Aku bangkit dari meja dan berjalan pergi, mengabaikan Yuzuki, yang mencoba menghentikanku dengan menarik bahuku.
Aku membeli sekaleng kopi dari mesin penjual otomatis di dekat pintu masuk dan melangkah keluar. Udara beraroma rumput hijau segar.
Hari pada bulan Mei di luar sana sangat cerah.
✶
Aku berjalan-jalan di sekeliling perpustakaan sampai tiga orang dari SMA Yan itu terlihat. Aku berhenti sekitar tiga puluh kaki dari mereka dan membuka tutup kaleng kopiku.
Yuuko dan Yua, yang duduk di dekat jendela, menatapku dengan ekspresi khawatir yang sama. Aku menatap mereka dengan tatapan "Ini baik-baik saja" dan meminum kopiku sambil menatap rumput yang terawat rapi.
Taman yang dirawat dengan sangat baik, namun tidak ada seorang pun di sana kecuali aku dan tiga orang preman itu.
Clunk, clunk, clunk.
Clunk, scuff, clunk.
Tepat pada saat itu, aku mulai mendengar suara sepatu kulit yang berdenting saat mereka mendekati dek kayu yang menempel di dinding perpustakaan. Salah satu dari mereka tampaknya telah menghancurkan bagian belakang sepatunya dan memakainya seperti sandal. Suara langkah kakinya terdengar tidak seimbang. Suara gesekan dan benturan sepatu berhenti di dekatnya dan digantikan oleh sebuah suara.
"Hei, bung."
Siapa yang tahu kalau mereka sedang berbicara padaku? Aku pura-pura tidak memperhatikan.
"Jangan abaikan kami. Aku bilang Hei!"
Seseorang memegang bahuku saat itu, jadi aku tidak punya pilihan selain menoleh ke arah suara itu.
Orang yang berdiri di depanku tampak seperti ayam jantan raksasa. Seperti ayam jantan dari kartun. Sisi kepalanya dicukur, dan ada sejumput rambut merah terang yang mencuat di tengah seperti sisir. Dia mengenakan baju olahraga putih, bukan seragam sekolah. Dia juga agak bungkuk, dengan postur tubuh yang buruk, tapi dia mencondongkan wajahnya ke arahku.
Menurutku dia tampak cukup lucu dari luar, namun dari dekat seperti ini, penampilannya benar-benar memukau.
Siapapun nama aslinya, aku memutuskan untuk menamai orang ini Si Aneh Dengan Jambul Ayam. Dan dia jelas lebih seperti gangster yankii daripada anak nakal sekolah biasa. Sebut saja dia yankii untuk mudahnya. Yang lainnya juga jelas yankii, namun tidak ada hal lain yang benar-benar menonjol dari mereka.
"Maaf, kau bukan tipe orang yang biasanya kuajak bergaul. Aku tidak yakin kau berbicara denganku."
Cara bicara dan sikapku secara umum seperti murid SMA Fuji, dan itu tampaknya membuat Si Aneh Dengan Jambul Ayam dari SMA Yan berhenti sejenak. Dia menyipitkan matanya sejenak, lalu mengangkat bahu sedikit dan melepaskan bahuku.
"Kau orang yang baru saja duduk di meja di sana bersama Yuzuki Nanase, kan?"
Hah, jadi mereka memang mengincar Yuzuki. Itu cukup jelas, mengingat semua hal, namun tetap saja. Yah, jika mereka menginginkanku, mereka tidak akan repot-repot mengambil foto.
"Ya. Aku pacarnya."
Itu saja yang kukatakan untuk saat ini. Jika mereka kebetulan datang ke perpustakaan untuk membaca buku, dan kebetulan melihat seorang gadis cantik dan tertarik pada gadis itu, maka mereka pasti akan mundur setelah mengetahui bahwa gadis itu punya pacar.
Namun fakta bahwa mereka tahu nama lengkap Yuzuki telah membuat kemungkinan itu menjadi nol.
"Jadi, kau itu Saku Chitose, kan?"
Tanggapan Si Aneh Dengan Jambul Ayam ini tidak terduga. Dia seharusnya tidak tahu nama kami berdua. Namun tampaknya, dia tahu nama kami.
Apa yang terjadi, dan mengapa orang ini tahu nama lengkap kami berdua? Dan apa yang dia maksud dengan "Jadi...?" itu. Kata-kata itu menyiratkan pemikiran dan perencanaan ke depan.
"Itu aku, Saku Chitose dari SMA Fuji. Apa yang kau mau?"
Menanggapi itu, Si Aneh Dengan Jambul Ayam melingkarkan lengannya di bahuku, seperti sahabat karib. Hidungku diserbu aroma merek parfum terkenal, jenis yang disukai pemula dalam dunia parfum.
"Apa yang aku mau? Bagaimana kalau berkenalan? Dengan Yuzuki Nanase."
Napasnya berbau asap, seperti napas Kura.
"Aku baru saja bilang dia pacarku, bukan?"
Menanggapi itu, orang itu mengencangkan lengannya di bahuku, hampir mencekikku. Pipinya yang dipenuhi janggut menusuk kulitku, dan bahkan cuaca yang cerah hari ini tidak dapat membuat situasi ini lebih baik.
"Aku mendengarnya, bung, aku mendengarnya. Tapi kau terkenal sebagai playboy itu, bukan?"
"Hmm. Aku gak bisa menyangkalnya."
"Jadi... Yuzuki Nanase. Dia tipe yang membiarkan laki-laki langsung mendekatinya, ya?"
Hah. Sungguh menarik, apa yang dikatakan orang ini sekarang.
Dicap sebagai playboy punya keuntungan tersendiri, dan salah satu keuntungan terbesarnya adalah orang-orang cenderung menjauhi kalian. Namun di sisi lain, terkadang label tersebut menarik serangga pemakan bangkai yang datang berbondong-bondong mencari sisa-sisa makanan.
Mari kita selidiki lebih lanjut, oke?
Aku mengubah nada suaraku dan mulai bersikap ramah.
"Oh, hanya itu? Jangan menakut-nakuti aku, bung. Aku hampir saja mengompol. Maksudku, di sinilah aku, dikelilingi oleh sekelompok orang dari SMA Yan. Dari mana kau mendengar gosip lezat ini?"
Perubahan karakterku hanya untuk meyakinkan mereka bahwa aku adalah murid teladan yang lemah lembut yang sedikit takut pada mereka. Tapi apa itu berhasil?
Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu juga mengubah sikapnya, dan menjadi agak angkuh dan sombong.
"Maaf, maaf. Kau itu memang murid SMA Fuji ya, jadi kau tidak terbiasa dengan cara kami melakukan sesuatu. Dari siapa aku mendengarnya? Tentu saja dari bosku. Dia mengarahkan pandangannya pada Yuzuki Nanase. Dia menyuruh kami untuk mencari tahu tentangnya. Kami hanya perlu ID LINE-nya; itu saja, bung."
Kalau begitu, aku setengah benar, setengah salah. Aku berhasil membuat mereka terbuka padaku, namun tidak menemukan informasi yang benar-benar berguna di sini.
"Hah. Bosmu, apa dia tipe yang menakutkan?"
"Menakutkan sekali, bung. Dia bisa meninjumu tanpa ragu-ragu. Dan dia punya kelemahan pada gadis-gadis cantik dan mudah seperti milikmu. Kau berencana untuk mencampakkannya dalam waktu dekat, kan? Jadi serahkan saja dia kepada kami; gimana?”
Ini bukan yang kusebut menguntit. Penguntit macam apa yang mengirim orang seperti ini untuk melakukan pekerjaan kotor mereka?
"Wah, kedengarannya tangguh, bung. Jadi kau telah mengikuti perintah bosmu dan membuntuti Yuzuki selama beberapa minggu terakhir?"
"....Apa katamu?"
Suara Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu menjadi rendah dan mengancam.
Pengakuan sederhana dari orang itu akan menyelesaikan seluruh masalah, atau begitulah yang kupikirkan, namun harus kuakui bahwa aku tidak benar-benar tahu banyak tentang aturan tidak tertulis tentang perilaku Yankii.
Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu semakin erat melingkarkan lengannya di leherku.
"Aku gak mengikuti perintah. Ini tugas, bung, tugas. Berikan saja ID LINE-nya. Teruslah menjadi pacarnya jika kau mau; bos kami tidak keberatan dengan hal semacam itu. Fetisisme terhadap orang yang suka selingkuh, tahu? Ayo, bung, mari berjabat tangan."
Dia melepaskan leherku dan meraih tanganku, meremasnya dengan tangannya seolah mencoba memamerkan kekuatannya. Tidak diragukan lagi komentarku tentang dia yang mengikuti perintah menyakiti harga dirinya sebagai Yankii. Ini sama sekali tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Memanipulasi preman ini ternyata lebih sulit dari yang kukira.
Aku menghela napas sedikit dan bergumam pelan.
"Jabat tangan ala Amerika, ya? Baiklah."
Lalu aku meremukkan tangan Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu dengan tanganku.
"Oww! Sialan, bung!"
Aku mengabaikan teriakan kesakitannya dan melotot ke arahnya.
"Apa? Kau tidak tahu etika berjabat tangan? Kau harus menatap mata lawan bicaramu dan meremasnya dengan benar dan erat.... lalu kau berjabat tangan."
Aku menarik lengannya, menariknya ke depan dari bahunya.
"Gack!" Dia berdeguk kaget, kehilangan keseimbangan. Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu melayang, mendarat keras di tangan dan lututnya.
"....Sial, itu menyakitkan. Apa kau mau mati, bung?!"
"Maaf, kau jauh lebih lemah dari yang kukira. Kedengarannya seperti kau menghina pacarku tercinta tadi, jadi aku akhirnya mengerahkan terlalu banyak tenaga, lihat."
Dasar tolol. Jangan remehkan kekuatan genggaman seseorang yang menghabiskan setiap hari sejak sekolah dasar mengayunkan tongkat bisbol.
Saat itulah Yankii B dan Yankii C mulai melangkah maju.
Sejauh ini semuanya berjalan sesuai rencana. Aku tidak tahu dari mana mereka mendengar rumor yang sama sekali tidak berdasar itu, namun jika mereka hanya menargetkan Yuzuki sebagai cara untuk menghabiskan waktu dan sudah keterlaluan, maka mendorongku sedikit saja seharusnya sudah cukup untuk memuaskan mereka. Jika kemarahan bos mereka terfokus kembali padaku, maka mereka akan lepas dari tanggung jawab.
Jika aku menghalangi mereka, mereka mungkin akan terpaku padaku dan itu tidak akan bagus, namun kebijakan terbaik adalah melawan mereka dengan cara yang jelas dan lugas. Satu-satunya hal yang membuatku khawatir adalah anggota Tim Chitose, atau tim basket putri, atau bahkan murid SMA Fuji lainnya mungkin akan terlibat dalam hal ini. Itu akan memperumit keadaan.
Jika aku memulai perkelahian sekarang, maka para yankii ini akan fokus padaku, daripada mengejar yang lain. Bagaimanapun juga, aku adalah pacar Yuzuki, jadi mereka punya dua pilihan. Berkelahi dengan Saku Chitose, yang secara terbuka mengincar mereka, atau mengabaikanku dan mendekati Yuzuki secara langsung. Jalan yang mereka ambil adalah salah satu dari dua pilihan itu; Aku yakin akan hal itu.
Sekarang, mari kita lihat apa yang diputuskan orang-orang ini.
Saat Yankii B (atau Yankii C?) mencengkeram bagian depan bajuku, aku mendengar suara yang familiar.
"Hei! Apa yang kalian kira sedang kalian lakukan?!"
Aku menoleh dan melihat Kaito dan Kazuki berlari ke arah sini.
....Lupakan saja. Kazuki sebenarnya berjalan santai. Dasar ular.
{ TLN : Ketika seseorang memanggil orang lain dengan sebutan "ular", itu merupakan sebuah penghinaan yang menyiratkan bahwa mereka adalah orang yang suka menipu, pengkhianat, atau manipulatif. }
Ukuran tubuh Kaito yang besar tampaknya memiliki semacam pengaruh pada para yankii itu, dan sekarang peluangnya seimbang, tiga lawan tiga. Tangan yang mencengkeram bagian depan bajuku tiba-tiba terlepas, melepaskanku.
Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu sudah berdiri saat itu dan menatap kami dengan pandangan berbisa. Namun kemudian dia tampak menghela napas, seolah-olah semua angin telah hilang dari layarnya.
"Ah, ini buang-buang waktu. Kita sudah selesai di sini. Tapi aku akan menceritakan semua tentangmu kepada bosku."
Oh, fiuh. Jika dia mengatakan sesuatu yang klise seperti "Lebih baik kau berhati-hati!" Aku tidak akan bisa menahan tawaku.
Si Aneh Dengan Jambul Ayam dan rekan-rekannya baru saja berbalik untuk pergi ketika aku berbicara ke arah punggung mereka.
"Entahlah apa yang kalian dengar, tapi Yuzuki Nanase bukanlah gadis seperti itu. Dia dan aku benar-benar berpacaran, jadi aku lebih suka jika kalian menjauh darinya."
Aku cukup yakin mereka mendengarku, namun ketiga yankii itu tidak berkata apa-apa dan melanjutkan perjalanan mereka.
Begitu mereka tak terlihat, Kaito angkat bicara.
"Apa-apaan itu, Saku? Itu sama sekali gak seperti kau."
"Dasar bodoh. Semuanya berjalan sesuai rencanaku. Lagipula, kau datang ke sini hanya karena ada kesempatan untuk menghajar orang, kan?"
"Yah, tentu saja. Kenapa aku tidak turun tangan, sementara temanku sepertinya akan dipukuli?"
"Aku gak dipukuli! Dan kau, Kazuki! Kau seharusnya jadi pengendali impuls Kaito."
Kazuki akhirnya menghampiri dan menyeringai.
"Maaf, maaf. Saat orang ini melihatmu dicekik, dia langsung turun tangan. Aku gak sempat menghentikannya. Sebenarnya, Kenta ragu-ragu untuk ikut dengan kami, tapi kubilang padanya untuk diam saja dan biarkan kami yang mengurusnya."
"Ah, aku senang mendengarnya. Tapi, seriusan, kalian gak perlu repot-repot turun tangan."
Aku membayangkan Kenta berkeringat dingin saat akan datang untuk membantuku, dan aku merasakan sedikit keteganganku berkurang.
Kaito melanjutkan, alisnya berkerut seolah-olah dia masih belum mengerti.
"Saku, orang-orang itu dari SMA Yan, kan? Apa mereka yang berada di balik semua ini? Maksudku, si penguntit yang dibicarakan Yuzuki-san itu?"
"Hmm, kurasa mereka adalah kandidat yang paling mungkin saat ini."
Kazuki berbicara selanjutnya.
"Aku kenal seorang dari SMP-ku yang melanjutkan ke SMA Yan. Akal sehat gak akan bekerja dengan orang-orang seperti ini, jadi kau harus benar-benar berhati-hati. Mereka melakukan hal-hal gila hanya untuk bersenang-senang, seperti menjatuhkan meja dari lantai dua gedung sekolah dan memaksa semua anak muda untuk mencukur kepala mereka dengan gunting rambut. Mereka gak terkendali."
"Eww. Sekarang aku gak perlu memotong rambutku pendek untuk klub bisbol, aku gak ingin gunting rambut berada di dekat kepalaku."
Kaito menyeringai.
"Lupakan tentang itu. Bahkan dalam situasi seperti itu, kau tetap Saku Chitose, bukan? Gak bisakah kau bereaksi seperti manusia normal dan menunjukkan sedikit rasa takut? Kau baru saja dikelilingi oleh tiga yankii SMA Yan, tahu?"
"Apa kau bercanda? Aku sangat takut sampai-sampai ingin mengompol."
Itu benar, sebenarnya. Dan itu adalah reaksi yang normal dalam situasi seperti itu.
Aku sangat percaya pada kemampuan atletikku, namun aku selalu mencoba menghadapi perselisihan dengan kepala dingin dan tenang. Namun, begitu kekerasan terjadi, sudah menjadi sifat manusia untuk menjadi marah. Sejujurnya, jika Kaito dan Kazuki tidak muncul saat itu, jika ketiga yankii itu menyerangku sekaligus.... aku pasti akan kalah, tidak diragukan lagi.
"Tapi aku harus mempertimbangkan reputasiku sebagai laki-laki. Bagaimana jika Yuzuki melihatku gemetar seperti daun di luar sana? Aku harus membuat pilihan. Dan sepertinya hanya ada satu jawaban yang benar."
"Dasar tukang pamer."
"Dasar kau ini."
Kaito merangkul bahuku. Dia bersikap kasar, seperti Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu. Namun tidak sama dengan yankii itu, Kaito tidak ada niat jahat.
"Pokoknya, hubungi kami kapan pun kau membutuhkan kami. Sejujurnya, aku juga takut, tapi aku gak bisa hanya berdiam diri dan gak melakukan apa-apa. Aku lebih baik membuat kekacauan daripada melakukan itu."
Kazuki meninju perutku dengan ringan dan jenaka.
"Benar yang dia dibilang itu. Kalau kami melihat tanda darurat, kami akan berlari ke sini."
"Aku gak lupa cara kalian datang ke sini tadi, tahu."
Kami semua saling tersenyum lebar.
✶
Tidak ada yang ingin belajar lagi hari itu, jadi kami memutuskan untuk pulang.
Untuk berjaga-jaga, kami memutuskan bahwa Yuzuki, Kazuki, Kaito, dan aku akan pergi terlebih dahulu, dan yang lainnya akan menunggu beberapa saat sebelum pulang sendiri-sendiri.
Orang-orang SMA Yan itu mungkin masih berkeliaran di suatu tempat. Tidak diragukan lagi mereka bisa menemukan hal-hal ini dengan sedikit menggali, namun kami harus melakukan apapun yang kami bisa untuk sementara waktu agar mereka tidak menyadari bahwa Yuuko dan yang lainnya adalah bagian dari kelompok kami.
Setelah berjalan beberapa saat dan memeriksa untuk memastikan Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu dan teman-temannya tidak ada di sekitar, Kazuki dan Kaito berpisah dari kami dan berjalan sendiri-sendiri.
Awalnya aku ingin menahan diri untuk tidak memberitahu Yuzuki apa yang sebenarnya terjadi, namun dia tampaknya sudah mengetahuinya. Menyimpan detail darinya mungkin bukanlah rencana yang bagus, terutama saat aku membutuhkannya untuk lebih waspada sekarang daripada sebelumnya.
Kami membeli minuman dari mesin penjual otomatis dan kembali menyusuri jalan setapak di tepi sungai, sementara aku menjelaskan detailnya kepadanya.
"Jadi itulah yang terjadi. Mungkin itu akhir dari semuanya, tapi untuk sementara, kamu harus tetap dekat denganku. Kamu juga bisa menggunakan Kaito dan Kazuki sebagai pengawal, tapi mereka punya latihan klub."
Langit yang berangsur-angsur gelap terpantul di permukaan air yang bergelombang lembut.
Aku melepas blazerku dan menggulung lengan bajuku, melempar kerikil ke sungai dengan lemparan menyamping. Aku berhasil memantulkan salah satunya dua kali, namun kemudian tenggelam dengan bunyi plop kecil yang menyedihkan.
Seekor ikan muncul di suatu tempat dengan bunyi plop lain, seolah terkejut oleh kerikil itu.
"Dulu aku pandai melempar batu. Aku pernah berhasil melemparnya lima kali, ketika aku masih di sekolah dasar."
Aku duduk di tanah di samping Yuzuki, yang mencengkeram lengan bajuku.
"....Maaf. Maafkan aku, Saku."
Suaranya bergetar.
Aku pura-pura tidak memperhatikan, melanjutkan dengan santai.
"Ayolah. Apa kamu masih terpaku pada apa yang Yua-san katakan kemarin? Mimpiku selalu seperti ini, 'Jangan sentuh gadisku', kamu tahu? Itu situasi yang diimpikan setiap anak laki-laki."
Yuzuki menggelengkan kepalanya, seolah-olah dia tidak mendengarkan. Tangan yang mencengkeram lengan bajuku perlahan bergerak turun ke tanganku, yang kemudian dipegangnya erat-erat.
"Maaf. Aku minta maaf karena membuatmu harus melakukan itu, Saku."
Itu sama sekali bukan sikap Yuzuki yang biasanya. Bukannya aku tidak bisa menebak mengapa dia bersikap seperti ini. Ingin menghentikan gemetarnya sebisa mungkin, aku meremas tangan rampingnya kembali.
"Aku ingin melakukannya."
Seolah-olah berpegang teguh pada harapan tertentu, atau seolah-olah sedang berdoa, Yuzuki menggenggam tanganku dengan kedua tangannya dan menempelkannya ke dahinya.
"Tapi, Saku. Kamu hampir dipukuli."
"Itu terdengar seperti aku akan membiarkan diriku dipukuli oleh beberapa yankii bodoh. Itu sudah cukup sekarang; jadi tolong tenanglah sebentar. Kembalilah saat kamu siap menjadi Yuzuki Nanase lagi."
Aku menutupi tangan kananku dengan blazer dan wajah Yuzuki secara bersamaan.
Aku tidak bisa membiarkan dia kehilangan sifat Yuzuki-nya hanya karena hal seperti ini.
Tidak peduli apapun skenarionya. Dia tidak bisa kehilangan dirinya sendiri hanya karena masalah konyol yang penuh dengan niat jahat.
Itulah sebabnya, saat ini, aku telah menjadi sesuatu yang mirip dengan patung Buddha Jizo kecil yang mungkin kalian temui di jalan setapak pegunungan yang terpencil.
Kalian tidak yakin apa patung itu benar-benar memiliki berkah ilahi untuk diberikan kepada kalian, namun kalian tetap harus berdoa kepadanya dan melepaskan beban kalian di hadapannya.
Lagipula, setelah kalian selesai berdoa, kalian harus melanjutkan perjalanan di jalan setapak pegunungan itu dengan kedua kaki kalian sendiri.
Kami tetap seperti itu selama sekitar sepuluh menit.
Kemudian Yuzuki menjulurkan kepalanya dari balik blazerku, tersenyum seperti anak kecil yang bangun di pagi pertama liburan musim panas.
Dia melepaskan tanganku dan meregangkan tubuh.
"Aku mau makan katsudon."
"...Maaf?"
"Katsudon. Dari Eropa-Ken, restoran katsudon terbaik di Fukui!"
"Apa kamu berubah menjadi Haru saat berada di bawah sana atau semacamnya?"
"Oh, ayolah. Setiap penduduk Prefektur Fukui yang baik hati pasti ingin makan katsudon di saat seperti ini, bukan?"
Yuzuki memberiku senyum manis yang tampaknya sedikit dibuat-buat. Sepertinya dia akan baik-baik saja, setidaknya untuk hari ini.
"Baiklah kalau begitu. Aku juga lapar, setelah semua kegembiraan ini. Aku akan pergi makan denganmu. Maksudmu tempat di dekat East Park, kan? Kamu yang traktir, tentunya."
"Kamu hanya perlu berbagi kehangatan dari seorang gadis muda yang cantik. Tentunya itu semua kompensasi yang kamu butuhkan, kan?"
"Sebaliknya, sebenarnya, katsudon mungkin bukan kompensasi yang cukup.... kamu mungkin harus menambahkan udang goreng sebagai pelengkap dan mungkin juga rabaan payudara sebagai pelengkap...."
"Dasar mesum!"
Yuzuki berdiri.
"Tapi kamu tahu, kamu itu berbeda, Saku. Kamu menghadapi orang-orang itu, meski mereka benar-benar menakutkan."
"Mereka memang menakutkan, jadi kamu harus mencoba mengingat ini, Yuzuki. Jika kamu menendang seorang laki-laki tepat di selangkangan, kamu hanya membutuhkan sekitar empat puluh persen dari kekuatan tendanganmu yang biasa untuk melumpuhkannya sepenuhnya. Tapi itu ada risikonya. Jangan sampai bidikanmu meleset."
"Benarkah? Apa itu bekerja padamu?"
"Tidak, tidak; kamu tidak perlu mengujinya padaku. Hei, hentikan itu. Aku gak bercanda di sini."
"Begitu, begitu...."
Yuzuki membungkuk dan mengambil blazerku, menepuk-nepuk debu darinya.
"Akan kucoba ingat. Oke, saatnya hadiahmu!"
Dia mengulurkan blazer agar aku bisa memasukkan lenganku.
"Setelah aku memasang badanku untukmu, ini saja ucapan terima kasih yang kudapatkan...."
Aku memasukkan lenganku ke dalam blazer sementara Yuzuki mengangkatnya, lalu dia meletakkan tangannya di bahuku dan bersandar padaku. Aku merasakan kelembutannya di punggungku.
Dan aku merasakan napasnya yang hangat di telingaku.
"Kamu benar-benar keren. Terima kasih."
Hanya itu yang Yuzuki katakan sebelum dia menjauh.
....Hmm. Kurasa semua kerja keras itu sepadan.
"Ayo kita melangkah maju!"
Yuzuki melangkah maju, punggungnya yang tegak dan berwibawa tampak entah bagaimana cantik.
Andai saja semua orang bisa hidup seperti itu. Mungkin akan lebih sedikit anak-anak yang kesepian di dunia ini.
Sulit bagi siapapun untuk hidup kuat di dunia ini. Jadi melihat Yuzuki berusaha sekuat tenaga seperti ini—menurutku itu indah.
✶
"Hahhh."
Saat itu jam makan siang sehari setelah pertemuanku dengan anak-anak SMA Yan. Aku menghela napas dramatis dan terduduk lemas di kursiku di kafetaria.
"Ada apa, Raja? Kenapa menghela napas panjang?"
Kenta duduk di sampingku, sedang memakan mie.
"Maksudku...."
Aku menatap wajah Kenta.
"Hahhh...."
"Baik, baik, aku ngerti. Kau berpikir, Kenapa aku harus makan siang berduaan saja dengan orang ini, kan? Sialan, Raja."
Kenta sudah cocok dengan Tim Chitose dan mengambil peran sebagai tukang ejek bagi anak laki-laki.
Aku mengangguk, mata Kenta menjadi sendu, dan dia mengangkat bahunya.
"Ah, baiklah, baiklah. Kalau kau terus ngotot menatapku seperti itu. Semua teman kita sedang makan siang dengan teman-teman klub sekolah mereka, karena mereka tidak bisa bertemu sepulang sekolah selama masa ujian. Satu-satunya yang tidak punya kegiatan lain hanyalah kau dan aku."
"Setidaknya panggil diri kita sebagai serigala penyendiri; buatlah agar terdengar keren! Kau menggambarkan kita seperti pecundang yang menyedihkan dan gak punya teman!"
"Yah, kita memang menyedihkan dan tidak punya teman. Terima saja. Berhentilah melawannya."
"Bisakah kau berhenti terdengar begitu.... tercerahkan secara spiritual? Itu agak keren. Aku sama sekali gak menyukainya."
Semuanya menjadi tidak beres sejak kemarin.
Aku menghabiskan semangkuk ramenku hingga ke kuahnya, lalu sebuah pikiran muncul di benakku.
"Kenta, kau lihat apa yang terjadi kemarin?"
"Tentu saja. Bahkan di balik jendela, kupikir aku akan terkena serangan jantung, aku sangat takut. Kami punya orang-orang menakutkan seperti itu di SMP-ku. Untungnya, aku pada dasarnya tidak terlihat, jadi mereka sama sekali tidak menyadari kehadiranku."
"Menurutmu, apa orang-orang seperti itu akan menguntit seseorang?"
Aku sebenarnya sudah berbicara langsung dengan orang-orang SMA Yan kemarin, dan aku ragu. Namun, aku masih belum memberitahu Kenta seluk-beluk pembicaraan kami, dan aku ingin sekali mendengar pendapatnya yang tidak bias dari sudut pandang seorang pengamat.
"Hmm, penguntit punya reputasi menggunakan kekerasan terhadap orang yang mereka kuntit, tapi bagaimana jika fetish mereka lebih seperti.... mencari tahu hal-hal tentangnya atau semacamnya?"
Fetish? Aku tidak menyangka akan mendengar kata itu. Aku tetap diam dan mengangguk, mengisyaratkan Kenta untuk melanjutkan.
"Aku hanya mengatakan bahwa itu mungkin saja. Seseorang dengan fetish menguntit, mereka senang mengintai. Itu hanya membuat mereka lebih bersemangat. Atau mungkin mereka mencari sensasi mengamati target mereka, melihat rasa takut menguasai targetnya saat target mereka itu menyadari bahwa dia sedang diikuti."
"Sungguh menakjubkan cara kerja pikiranmu, Kenta. Aku gak akan pernah memikirkan sesuatu yang menyeramkan dan menjijikkan seperti itu."
Kenta mengeluarkan "heh" kecil dan mendorong pangkal kacamatanya ke atas.
"Aku dengan tegas menyangkal bahwa aku ini penikmat semua bentuk novel ringan, anime, dan novel visual yang mungkin ada."
"Aku tentunya berharap kau gak mengekspos dirimu pada konten R-18 apapun, Kenta."
"Ahem! Ahem!"
Tetap saja, ini adalah cara berpikir yang menarik. Orang-orang sepertiku, kami fokus pada memprioritaskan hasil akhir.
Jika tujuan akhir penguntit itu adalah untuk berpacaran dengan Yuzuki, atau setidaknya menjalin hubungan fisik dengannya, maka ada banyak cara lain yang lebih efektif untuk melakukannya. Orang yang waras akan memilih salah satu dari kedua itu terlebih dahulu, bukan?
Ambil contohnya dari orang-orang SMA Yan itu. Aku tidak benar-benar ingin membayangkannya, namun jika mereka bertekad untuk mengancam dan menindas Yuzuki agar berpacaran dengan salah satu dari mereka sebagai pilihan terakhir, maka tentu saja tidak perlu pendekatan berbelit-belit ini.
Namun jika tindakan menguntit itu sendiri adalah fetish, maka itu akan menjadi cerita yang berbeda.
Kenta meneguk air, menenangkan diri, dan melanjutkan.
"Mengumpulkan informasi tentang orang yang kau kuntit—itu hal mendasar. Sederhananya, itu mungkin melibatkan pencarian kelemahan untuk dieksploitasi. Cari tahu sesuatu yang dia sembunyikan dari semua orang dan gunakan itu untuk keuntunganmu. Itu pilihan yang tidak terlalu bermasalah daripada menggunakan kekerasan fisik."
"Kenta.... kau mulai membuatku takut, kawan. Selama ini, kau hanya berpura-pura menjadi temanku, kan? Secara rahasia, kau mencari bukti yang akan mengungkapku sebagai playboy brengsek, bukan?"
"Gak ada yang butuh bukti lebih lanjut tentang itu."
Terlepas dari semua bercandaan, ini sebenarnya adalah topik yang cukup serius.
Mungkin aku membiarkan kata penguntit menyesatkanku, tentang tujuan akhir subjek yang tidak diketahui itu dan langkah-langkah yang mereka ambil. Mungkin kami semua mengawasi Yuzuki ke mana pun dia pergi tidak akan cukup untuk membuatnya tetap aman.
Saat aku memikirkannya, sebuah nampan mendarat di meja di sebelah kananku. Itu adalah meja yang dimaksudkan untuk menampung delapan orang, dan hanya Kenta dan aku yang duduk di sana, bersebelahan. Jadi, tidak aneh sama sekali jika murid lain memanfaatkan ruang kosong itu. Meski begitu, ada enam kursi kosong lain yang bisa dipilih orang itu—mengapa orang itu harus duduk di sebelahku?
Aku hendak kembali ke alur pikiranku ketika orang di sebelahku mulai berbicara.
"Kau Chitose, benar?"
Sepertinya, orang ini menginginkan sesuatu dariku, itulah sebabnya dia duduk begitu dekat sejak awal.
Aku menoleh dan melihat seorang pemuda yang tampak rapi dan bersih duduk di sana. Wajahnya lumayan. Kemejanya tidak kusut sedikit pun, dan dia mengenakan seragam sekolahnya sesuai dengan semua aturan. Bahkan rambutnya halus dan berkilau, dan dia memiliki senyum yang cerah dan menarik.
Jika aku harus mengkategorikannya, aku akan menempatkannya dalam kategori yang sama dengan Kazuki.
"Ah, maaf telah mendekatimu tiba-tiba seperti ini."
"Gak apa-apa, sungguh.... apa kita saling kenal?"
Dia tampak seperti salah satu anak yang keren, dan kupikir aku ingat pernah melihatnya di sekitar sini. Namun aku juga cukup yakin kami belum pernah benar-benar berbicara.
"Gak. Aku tahu banyak tentangmu, Chitose, tapi sayangnya kita belum pernah punya kesempatan untuk berbicara sampai sekarang. Ah, bolehkah aku memanggilmu Saku?"
Dia tersenyum hangat padaku.
"Tentu, jika kau mau. Dan kau....?"
"Namaku Tomoya Naruse, dari Kelas Tujuh. Panggil saja Tomoya, Saku."
Dia tampak seperti tipe laki-laki yang disukai banyak gadis. Ah, tipe yang tidak kusukai.
"Tomoya. Baiklah kalau gitu."
Kenta menganggukkan kepalanya untuk menyapa dan berkata, "Yo?" dengan suara pelan. Kenta sudah terbiasa dengan teman-teman sekelasnya di Kelas Lima, namun dia masih terlalu baru dalam hal ini untuk bersikap santai saat bertemu orang baru, rupanya. Tomoya menatap Kenta sejenak, lalu kembali menatapku.
"Aku mendengar rumor tentang itu. Kau membawa otaku yang mengurung diri keluar dari kamarnya dan meyakinkannya untuk kembali ke sekolah, kan? Itu hal yang menginspirasi. Sungguh."
Kenta tampaknya mau membiarkannya berlalu, jadi aku memutuskan untuk langsung ke intinya.
"....Jadi, ada apa? Aku harap kau tidak di sini untuk mengaku punya perasaan padaku."
"Uh, yah, tentang itu. Bukannya aku di sini untuk mengaku perasaanku, tepatnya... um, maaf, Kenta, apa kau keberatan pindah ke meja lain sebentar?"
Ini jelas sesuatu yang tidak ingin didengarnya dari orang lain.
"T-Tentu."
Kata Kenta, dengan patuh bangkit dari tempat duduknya.
"Tomoya—maaf, tapi Kenta dan aku sedang makan siang bersama. Kentai ini orang yang berhati-hati dengan kata-katanya, jadi aku jamin dia tidak akan mengulangi apapun yang kau katakan. Jika kau masih tidak ingin dia mendengarnya, maka pilihlah waktu lain untuk berbicara. Oke?"
Tomoya tampak sedikit terkejut sejenak namun segera mengangguk.
"Oh, baiklah." Katanya.
"Itu cukup kasar dariku. Aku benar-benar minta maaf, Kenta."
"Gak... apa-apa! Aku bisa kembali ke kelas sendiri."
"Duduklah, bung."
Kataku pada Kenta.
"....Jadi, apa yang kau inginkan?"
Wajah Tomoya tiba-tiba menjadi sangat serius, dan nada suaranya merendah.
"Oke, jadi... aku tahu tidak sopan mendekatimu dan menanyakan ini, tapi... apa kau dan Yuzuki Nanase-san benar-benar berpacaran?"
Ah, pikirku.
Tentu saja, orang-orang seperti ini akan mulai bermunculan.
Seorang laki-laki dengan penampilan seperti Tomoya dan tingkat popularitas yang diduga adalah tipe orang yang secara alami akan tertarik pada seorang gadis seperti Yuzuki. Tomoya tahu aku telah mendahuluinya, namun dia ingin mendengarnya langsung dariku, hanya untuk mengetahui apa dia masih punya kesempatan.
Aku merasa sedikit bersalah tentang ini, namun aku harus mengutamakan kontrak yang dibuat antara Yuzuki dan diriku di atas segalanya.
"Ya, kami benar-benar berpacaran. Kupikir sudah waktunya untuk melupakan masa-masaku sebagai playboy brengsek yang sangat menyebalkan."
Bahu Tomoya merosot, tampak sangat sedih, namun dia terus berbicara.
"Aku tahu gak sopan bagiku untuk menanyakan ini, dan aku gak peduli jika kau memukulku karena salah paham, tapi ini semua bukan hanya tipuan besar, bukan?"
"Apa menurutmu Yuzuki dan aku gak cocok?"
Pemuda itu menggelengkan kepalanya dengan keras.
"Bukan itu. Sebenarnya, kalian sangat cocok. Terlalu cocok. Tapi dari apa yang aku tahu tentang Nanase-san, dia, bagaimana ya bilangnya.... bukan tipe yang akan mencari pacar dengan santai...."
Hmm, yah, orang ini gak salah dalam pengamatannya.
"Biar aku pastikan kita punya pandangan yang sama di sini... jadi kau punya perasaan untuk Yuzuki, kan?"
"....Sejak hari upacara penerimaan murid baru."
Tomoya berhenti sejenak, melihat ke bawah ke meja, sebelum mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan menatap lurus ke mataku.
"Aku jatuh cinta padanya pada pandangan pertama, saat pertama kali melihatnya. Dan aku tergila-gila padanya sejak saat itu. Kurasa dia juga melirikku, setidaknya sedikit. Dan perasaanku... itu nyata. Jadi kupikir kalau masih ada kemungkinan sekecil apapun, aku ingin tahu... maaf; aku tahu ini benar-benar menyeramkan."
Aku melirik Kenta, yang menatapku dengan ekspresi yang seolah berkata, "Wah!"
Hmm, apa yang harus kulakukan?
Aku membuat kontrak dengan Yuzuki. Aku tahu aku harus menghormati ketentuannya. Dan mengatakan yang sebenarnya kepada Tomoya tidak akan benar-benar membantunya untuk berpacaran dengan Yuzuki. Meski begitu, saat berhadapan dengan pemuda yang sedang dilanda asmara ini, aku mulai merasa tidak bisa begitu saja membuang perasaannya yang berharga ke tempat sampah, hanya demi pragmatisme.
{ TLN : Pragmatisme itu kualitas penanganan suatu masalah dengan cara yang masuk akal dan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya ada, daripada mengikuti teori, ide, atau aturan yang sudah baku. }
Aku ragu-ragu sejenak, namun akhirnya sisi baik dan naifku menang.
"Tomoya, apa kau tipe orang yang bisa menyimpan rahasia? Apa kau siap menerima beberapa informasi jika kau berjanji untuk gak membocorkannya atau menggunakannya untuk tujuan jahat? Percayalah, aku gak bercanda tentang ini. Aku tipe orang yang akan membalas dua kali lipat dari yang kudapat, tahu."
Tomoya menjawab dengan napas terengah-engah.
"Aku gak akan pernah membocorkan rahasia. Aku tahu itu kedengarannya gak masuk akal setelah aku mengungkapkan perasaanku tentang Yuzuki kepadamu, Saku, tapi perasaan itu benar-benar tulus. Aku gak akan pernah mempermalukan siapapun dengan cara seperti itu."
Aku menghela napas.
"Baiklah. Kalau begitu, kau harus bersumpah untuk merahasiakannya. Masalahnya, ada sesuatu yang terjadi, dan untuk mengatasinya, Yuzuki dan aku berpura-pura berpacaran untuk sementara waktu. Tapi, jangan minta aku menjelaskan situasinya. Aku gak bisa mengungkapkannya sampai ada perkembangan tertentu yang terjadi. Apa itu cukup baik untukmu?"
Wajah Tomoya tiba-tiba menjadi cerah.
"Tentu! Jadi begitu.... hanya itu saja...."
Tomoya mengepalkan tinjunya tanpa suara di bawah meja beberapa kali.
"Sebenarnya, aku ingin bertanya satu hal lagi padamu, jika gak terlalu berlebihan.”
"Wajahmu sangat jujur untuk seseorang yang sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan. Kau ini siapa, saudara Kenta yang telah lama hilang atau semacamnya?"
Aku menatap Kenta dengan tatapan seperti "Hmm?", yang memalingkan wajahnya ke samping dan mulai bersiul dengan nada yang tidak tepat.
Tomoya tertawa kecil.
"Aku gak bisa mengatakan bahwa aku senang bisa sekelas dengan Kenta. Omong-omong, Saku. Jika kau akan berpura-pura berpacaran dengan Nanase-san mulai sekarang, bolehkah aku mengajukan satu permintaan?"
"Berani sekali kau, Muka-Dua! Perlu kau ketahui, jika menyangkut siapa yang kudukung, Yuzuki Nanase akan selalu lebih unggul darimu. Aku bahkan belum pernah bicara denganmu sebelumnya. Kau pikir aku akan memberimu informasi, seperti tipe laki-laki seperti apa yang disukainya? Minggir dari sini. Itu namanya bermain curang."
Yah, lagipula aku gak tahu hal-hal seperti itu.
"Aku punya firasat kau akan mengatakan itu, Saku. Kalau begitu, bisakah kau setidaknya memberitahuku apa yang kau dan Nanase-san bicarakan setiap hari—dan hal-hal umum seperti itu? Dengan begitu aku bisa memikirkan sendiri informasi yang kutemukan. Gak ada salahnya membicarakan hal-hal itu dengan teman, kan?"
Hmm, baiklah. Itu mungkin bisa diterima.
Aku bisa saja menolak untuk menyebutkan apapun yang tidak ingin kukatakan padanya.
Hei, tunggu sebentar. Orang ini benar-benar memanipulasiku, bukan?
"Satu hal lagi."
Kata Tomoya.
"Kau belum selesai? Kau seperti saluran belanja TV yang terus-terusan menayangkan aksesori 'gratis!'"
"Oh, berkata begitu. Kau sangat populer di kalangan gadis-gadis, kan, Saku? Jadi kupikir, selain Nanase-san, mungkin kau bisa memberiku beberapa tip dan saran. Seperti 'jadilah mentor cintaku."
Tunggu dulu! Aku gak daftar untuk mengambil peran "guru yang bijak" untuk kedua kalinya.
Aku melirik Kenta tajam, namun dia terus bersiul sumbang dan bahkan mulai membersihkan termos tempat sup ayamnya dengan sapu tangannya.
Ada apa denganmu, bung?
Aku menatap Tomoya, yang sedang menatapku dengan mata berbinar. Dengan enggan, aku mengangguk.
"Dengar. Memang, aku populer di kalangan gadis. Aku menikmati lebih banyak perhatian gadis daripada yang bisa diharapkan Kenta di sini dalam seratus kehidupan. Tapi, aku gak tahu teknik percintaan apapun. Aku hanya menjalani hidupku, dan para gadis mencintaiku karenanya."
"Kalau begitu, ajari aku cara hidup seperti itu. Dengan begitu, gadis-gadis juga akan mencintaiku karenanya. Itu rahasiamu untuk menarik perhatian semua gadis, kan?"
Tomoya terus tersenyum lebar dan polos.
"Ini hanya teori, tapi kau gak menggunakan istilah 'mentor cinta' ini sebagai cara untuk mengalahkan rival terbesarmu, kan? Kau gak berharap ini akan mencegahku untuk benar-benar mengejar Yuzuki.... kan?"
"Apa? Gak, gak."
"Jangan naif, bodoh. Gak ada yang tahu bagaimana dan mengapa orang saling jatuh cinta. Aku gak peduli jika aku memberimu nasihat tentang gadis; aku akan tetap berpacaran dengan Yuzuki sepanjang waktu, dan jika kami saling jatuh cinta, maka kami akan benar-benar berpacaran. Seperti yang kukatakan, Yuzuki lebih berarti bagiku daripada orang yang bahkan belum pernah kutemui sebelumnya."
"Itu sangat disayangkan. Tapi baiklah. Pesan diterima, keras dan jelas."
Sebenarnya aku sedang mengalami krisis hati nurani di sini, jadi bagi Tomoya untuk mengabaikan semuanya begitu saja.... sungguh membuatku kesal, karena alasan yang berbeda dari alasanku kesal pada Kenta, yang pada dasarnya telah meninggalkanku untuk membusuk.
"....Baiklah, baiklah, kurasa kau menang. Tapi dengar, ini waktu yang sibuk sekarang. Yang bisa kulakukan hanyalah memberimu nasihat yang paling mendasar, oke?"
Tomoya menyeringai dan mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku meraihnya dan menjabatnya dengan kuat.
✶
Setelah kami bertukar ID LINE, Tomoya pergi, dan Kenta serta aku mengembalikan nampan kami sebelum memutuskan untuk kembali ke kelas. Masih ada sekitar setengah jam waktu makan siang tersisa, namun karena kami sudah selesai makan, tidak ada alasan bagi kami untuk terus berada di kafetaria.
Saat kami berjalan menyusuri lorong yang menghubungkan bangunan sekolah, Kenta akhirnya angkat bicara.
"Apa itu bijaksana, Raja? Lagipula, kau punya kontrak dengan Nanase-san, dan banyak hal lain yang harus kau lakukan sekarang, selain itu...."
"Khawatir padaku? Itu namanya pertumbuhan pribadi, Kenta."
Kataku dengan bercanda, dan Kenta menatapku tajam.
"Selain itu... dibandingkan dengan situasiku, kau benar-benar bersikap jujur padanya, bukan? Apa yang terjadi dengan semua dirimu yang menimbang untung dan rugi, menjawab dengan tegas tidak, menunggu orang lain itu benar-benar tercengang, lalu akhirnya mengatakan kepadanya bahwa kau selalu berencana untuk membantunya selama ini?"
"Jangan bilang kau benar-benar cemburu pada orang random itu? Aku terpaksa melakukan semua tipu daya itu padamu, karena kau sangat menolak untuk mendapatkan bantuan apapun pada awalnya. Lagipula, aku memang punya motif tersembunyi."
Itu benar, aku baru saja menambah beban berat yang sudah harus kuhadapi, namun yang ini juga menyangkut Yuzuki. Jadi, aku tidak memulai misi sampingan yang sama sekali berbeda di sini atau semacamnya.
Dan juga, aku tidak yakin seberapa besar harapan Tomoya dariku, namun ini tidak seperti mengajari Kenta cara-cara menjadi anak-anak populer. Tidak ada "teknik" dalam hal mendapatkan seorang gadis. Jika motif Tomoya itu adalah "Tidak harus gadis tertentu, buat saja agar banyak gadis menganggapku keren!"....dengan kata lain, jika tujuannya adalah untuk menyebarkan jaring yang luas dan meningkatkan profilnya, maka tentu saja, aku bisa memberinya beberapa petunjuk di sana. Namun orang itu sudah cukup tampan dan memiliki kepribadian yang lumayan. Tentu saja dia sudah aman dalam hal itu.
Tapi Yuzuki Nanase yang orang itu inginkan.
Bagaimana aku bisa memberi orang itu petunjuk untuk mendapatkan seorang gadis yang bahkan orang sepertiku tidak berhasil mendapatkannya sendiri? Yah, mungkin dia sudah tahu itu.
Tujuan utama orang itu tampaknya adalah untuk mendekatiku, orang yang paling dekat dengan Yuzuki. Kemudian dia akan perlahan-lahan mengambil hati Yuzuki. Tetap saja, apa kata mereka? Setiap teman dari teman adalah temanku. Selain itu, itu adalah tugas yang sangat sesuai dengan kemampuanku. Paling tidak yang bisa kulakukan adalah mengajarinya apa yang tidak boleh dilakukan untuk memenangkan hati Yuzuki.
Aku menoleh ke sampingku, melihat Kenta mengetik di aplikasi LINE di ponselnya. Rupanya, dia tidak berencana untuk melanjutkan percakapan ini lebih jauh. Dia mungkin sedang bertukar pesan dengan anggota Tim Chitose lainnya. Sebelumnya, Kenta menghabiskan seluruh waktunya di situs-situs seperti 5chan dan situs gosip dunia bawah sekolah, jadi ini merupakan perkembangan yang nyata. Aku menyeringai sendiri, berpikir tentang betapa lucunya bahwa tidak lucu berjalan-jalan di sekolah dengan orang ini di sampingku.
"Ah, Raja? Apa kau keberatan menemaniku ke suatu tempat sebentar sebelum kita kembali ke kelas?"
"Oke, tapi ada apa?"
"Ah, aku baru saja lupa membawa sesuatu di ruang spesimen biologi."
"Tentu, tapi apa kita butuh sesuatu dari ruang spesimen biologi untuk kelas hari ini?"
"Ikut saja; jangan banyak tanya."
Entah mengapa, Kenta mulai mendorongku di belakangku.
"Sini, Raja, aku akan membukakan pintu untukmu."
"Apa? Kenapa kau begitu.... bersemangat?"
Kenta mendorong pintu ruang spesimen biologi dan mendorongku masuk. Aku terhuyung beberapa langkah ke dalam ruangan, lalu pintu dibanting di belakangku.
"Apa-apaan itu, Kenta? Apa yang kau lakukan?!"
Aku mengangkat kepalaku, cemberut, dan saat itulah aku melihat...
Dua iblis berdiri di sana menungguku.
Salah satunya adalah Yuuko, berdiri di sana dengan tangan di pinggul dan menyeringai lebar. Yang satunya lagi Yua, dengan ekspresi cinta dan pengertian di wajahnya. Entah kenapa, dia sedang memegang segitiga raksasa yang biasa digunakan dalam matematika di papan tulis.
Aku langsung tahu bahwa aku telah dijebak, namun ketika aku berputar balik, aku melihat Kenta sedang melihat melalui jendela kaca pintu. Dia mengatupkan kedua telapak tangannya seolah-olah sedang berdoa—atau seolah-olah mencoba mengungkapkan belasungkawa.
"Dasar brengsek! Kau melemparku ke sarang singa!!!"
Kenta berbalik dan berlari secepat yang bisa dilakukan kakinya.
Dengan gugup, ragu-ragu, meringis, aku berbalik.
"Saaaku-kun.♡"
"Sa-ku-kun. ♪"
Kedua iblis itu menyeringai padaku.
""Duduklah sebentar!""
Sialan. Aku tamat. Hidupku, kuburan penyesalanku.
✶
"Jadi, Saku-kun, tidakkah kamu pikir kau perlu menjelaskan sesuatu?"
Yuuko menghampiriku sambil menyeringai.
Pada saat yang sama, Yua muncul di belakangku dan mengunci pintu.
"A-Apa maksud semua ini, hmm?"
Mataku bergerak cepat mengelak saat aku duduk di kursi terdekat.
"Hup!"
"Oww?!!!"
Aku merasa seperti ada yang menusukku dari belakang. Aku berbalik dan melihat Yua di sana, memegang segitiga itu seperti senjata.
"Siapa yang bilang kalau kamu diizinkan duduk di kursi itu, hmm?"
"....Eh?"
"Duduk seiza sekarang!!!"
(Terjemahan : Duduklah dalam posisi seiza.)
"Baik, Nyonya!"
Aku segera turun ke lantai dan duduk dengan kaki terlipat di bawahku dalam posisi seiza. Yua menjulang di atasku, menepuk segitiga itu ke telapak tangannya secara berirama sambil berdeham.
"Apa yang kukatakan padamu, Saku-kun? Kamu yakin tidak tahu apa maksudnya?"
"Er.... kamu bilang sesuatu tentang aku yang gak peduli jika aku menjadi sasaran, dan itu, uh, buruk."
"Mm-hmm, lalu?"
"Dan.... aku sangat, sangat minta maaf soal kemarin."
Aku menundukkan kepalaku hampir ke lantai. Aku juga bersungguh-sungguh.
Yuuko berjongkok di depanku.
"Saku-kun, pernahkah kamu berpikir bagaimana perasaan kami saat melihatmu kemarin? Kami semua yakin kamu akan dihajar oleh anak-anak SMA Yan itu. Kami benar-benar khawatir."
"Ah, soal itu. Aku sungguh minta maaf."
Yuuko dan Yua benar sekali.
Berdasarkan bagaimana kejadiannya, aku membuat pilihan yang tepat sejauh yang kulihat, dan aku masih berpegang teguh pada pilihan itu. Namun, aku tidak memasukkan faktor-faktor tertentu dalam perhitunganku. Kesejahteraanku sendiri adalah salah satu hal yang kuabaikan. Yang satunya lagi adalah teman-temanku dan perasaan mereka.
Suara Yuuko sedikit melembut, dan rambutnya yang halus terurai di bahunya.
"Dengar, Saku-kun. Bahkan orang bodoh sepertiku bisa menghargai bahwa ada beberapa hal yang gak bisa ditangani dengan orang-orang seperti itu hanya dengan membicarakannya. Dan aku tahu bahwa terkadang menghadapi kekerasan dengan kekerasan adalah cara terbaik untuk mencapai kesimpulan."
Yuuko berhenti sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam dan berteriak,
"NAMUN!!!" Sebelum melanjutkan, suaranya semakin kasar dan mengancam.
"Jika menyangkut situasi seperti itu, sebaiknya kamu melakukannya karena alasan yang besar! Seperti, 'Aku harus melindungi seseorang' atau 'Aku harus kembali hidup-hidup, apapun yang terjadi'. Kamu gak bisa bersikap angkuh tentang hal itu, hanya menerobos masuk dan bertindak seenaknya!"
Aku tidak akan menang dalam hal ini; itu sudah jelas.
Namun jelas, berdasarkan tindakan yang kuambil, bahwa aku melakukannya untuk melindungi Yuzuki, bukan? Namun, sepertinya bukan itu yang Yuuko maksud. Entah aku melakukannya karena aku sangat marah karena ingin melindungi Yuzuki atau aku melakukannya karena sepertinya itu adalah solusi yang paling optimal. Keduanya tampak saling terkait, namun ada jurang perbedaan di antara keduanya.
Mata Yuuko sebening danau murni yang belum ditemukan yang terletak di pegunungan. Dengan matanya, dia seolah melihat menembus diriku, hingga ke bagian terlemah dan terkecil dalam diriku.
Yua duduk di samping Yuuko.
"Kami harus melakukan intervensi ini secara pribadi, karena kami gak ingin Yuzuki merasa bersalah jika kami membicarakannya di depannya. Tapi, biarkan aku mengulanginya, oke? Kami semua ingin membantu Yuzuki sama seperti dirimu. Tapi sama sekali gak ada alasan bagimu untuk terluka karena ini."
Yua mengulurkan tangannya ke arah tenggorokanku. Dengan hati-hati, dia membelai bekas luka merah yang tertinggal di sana saat aku dicengkeram bagian depan bajuku kemarin.
"Tapi kalau ternyata itu satu-satunya pilihan, tolong bicarakan dulu dengan kami. Kami benci melihat sesuatu yang buruk terjadi padamu saat kami gak bisa membantu. Kalau kami bisa mempersiapkan diri, setidaknya, kami bisa mengatasi rasa sakit itu dengan lebih baik."
"....Baik. Aku janji."
Tanggapanku membuat Yua dan Yuuko tersenyum lebar, cantik. Rupanya, mereka akan melepaskanku begitu saja.
"Omong-omong, aku sudah bisa melihat dengan jelas kedua rok kalian sejak aku duduk, dan.... Gack! Maaf, Yua-san! Tolong, jangan pukul dibagian leher!"
"Dasar gak tahu malu!"
Kata Yua dengan nada marah, sebelum mengacungkan jari kelingkingnya ke arahku. Di sampingnya, Yuuko mengikuti dan mengaitkan jarinya dengan jari Yua.
"Saku-kun, buat janji dengan jari kelingkingmu. Kalau kamu berbohong lagi, kami akan menjadi musuh bebuyutanmu."
Diam-diam tapi sengaja, aku melingkarkan jari kelingkingku di jari mereka berdua.
✶
Sepulang sekolah, Yuzuki tampaknya punya rapat sederhana tentang pertandingan akhir pekan, jadi saat aku menunggunya, aku memutuskan untuk menghabiskan waktu. Dengan buku saku di saku belakangku, aku menuju ke atap.
Aku memutar kenop pintu dan terkejut karena pintunya sudah tidak terkunci.
Kupikir itu Kura, namun jika itu guru lain, akan merepotkan untuk mencari alasan. Tanpa suara, aku membuka pintu sedikit agar aku bisa mengintip.
"Mm-mm-mm, mmm-mmm. ♫"
Dari celah cahaya yang hanya memanjang beberapa inci, aku bisa mendengar suara, seseorang bernyanyi dengan nada serak dan singkat yang membuatku membayangkan gema dunia yang berubah menjadi puing-puing dan kehancuran.
Aku belum pernah mendengarnya bernyanyi sebelumnya.
Jika aku membuka pintu lebih jauh, aku akan mengganggunya. Jadi aku diam beberapa saat, mencondongkan telingaku mengikuti alunan melodi. Itu adalah lagu lama, "Guild", oleh Bump of Chicken. Aku memutarnya berulang-ulang tahun lalu, berkali-kali sampai aku muak.
Setelah dia selesai dengan syairnya, aku perlahan mendorong pintu hingga terbuka sepenuhnya. Suara pintu berderit membuatnya berhenti bernyanyi sama sekali, seperti yang aku prediksi.
"Bravo. Bagaimana kalau encore?"
{ TLN : Encore dalam lagu itu penampilan tambahan yang diberikan oleh para musisi atau penampil di akhir sebuah konser atau pertunjukan, biasanya sebagai respons terhadap permintaan penonton yang ingin lebih banyak lagi. }
Kakak kelas Asuka Nishino berdiri di atas tangki air di atap, tampak terkejut tidak seperti biasanya saat melihatku. Dia butuh waktu sejenak untuk menenangkan ekspresinya, namun dia tetap tidak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya. Dia menunduk, lalu akhirnya menatapku dengan tatapan tajam.
"Atap itu terlarang bagi semua murid yang gak berwenang."
Suara gadis itu terdengar tercekat.
Bertemu dengan Asuka lengah adalah hal yang langka. Aku tidak bisa menahan senyum. Aku mengeluarkan kunci atap dari saku dan mengangkatnya di depan wajahku.
"Apa kamu gak tahu? Aku ini Petugas Pembersih Atap cadangan."
"....Sialan si Kura-san itu. Dia sengaja merahasiakannya dariku, aku yakin...."
Aku menaiki tangga, sepatuku berdenting di setiap anak tangga. Dengan jengkel, Asuka duduk di tepi tangga dan memeluk lututnya ke dadanya. Aku mengeluarkan buku sakuku dari saku agar tidak tertekuk dan duduk di sampingnya.
"Sepertinya, Kura-san punya tradisi memberikan kunci ini kepada murid terpandai dan ternakal di kelasnya."
Aku tertawa kecil, dan Asuka tiba-tiba menoleh untuk menatapku, rahangnya menganga.
"Tunggu! Ini pertama kalinya aku mendengarnya! Saat giliranku—"
Asuka tiba-tiba terdiam seolah khawatir dia berbicara terlalu banyak. Aku mengangkat bahu dan mengganti topik pembicaraan.
Begitulah lelaki tua itu. Tidak diragukan lagi lelaki tua itu hanya mengatakan apapun yang ingin dia katakan saat itu juga.
"Suaramu bagus sekali, Asuka Senpai."
"Aku tahu kamu mencoba bersikap sopan tadi, tapi kamu terus saja membuatku kesal, tahu?" Asuka mendengus, membenamkan pipinya di celah kecil di antara lututnya yang cantik.
"Aku payah dalam bernyanyi. Selalu begitu."
Asuka berbicara seperti anak kecil yang merajuk di sini.
"Aku hanya berharap bisa mendengar lebih banyak. Aku suka lagu itu."
Aku mulai menyenandungkan lagu itu dengan volume yang hampir sama.
"Hahh, kamu payah."
Kata Asuka.
"Benarkah?"
"Kamu sebenarnya gak payah dalam bernyanyi. Ugh, aku benci itu."
"Kamu juga, Asuka Senpai."
"Hmph."
Asuka tidak terduga seperti hujan yang tiba-tiba turun.
"Lagu ini... sebenarnya, seluruh albumnya... kamu pernah pinjamkan padaku, benar? Apa kamu gak ingat?"
Akhirnya, Asuka berbalik untuk benar-benar menatapku.
Angin ringan bertiup dari atap dengan menyenangkan mengangkat rambut pendek Asuka dan membuatnya berkibar. Dia menyipitkan matanya, yang mengingatkanku pada kucing liar yang riang, dan bibirnya yang kecil membentuk bulan sabit. Tahi lalat kecil di bawah mata kirinya akan menjadi bintang pertama malam itu.
"Tentu saja aku ingat. Aku ingat betapa kamu menyukainya. Kamu menyeringai seperti kucing yang berkeliaran."
Kami berdua hanya memikirkan analogi kucing di kepala kami. Aku senang dengan hubungan mental yang jelas-jelas kami miliki. Itu menggelitikku, memang, namun itu juga membuatku merasa lucu di dalam. Selain itu, aku merasa aku lebih seperti anjing liar daripada kucing liar saat itu.
CD yang dipinjamkannya kepadaku hari itu disertai dengan catatan yang ditulisnya sendiri dengan tulisan tangan yang benar-benar tidak terlihat seperti milik seorang gadis SMA. Wah, CD itu benar-benar membantuku melewatinya.
Asuka menyingkirkan poninya dari matanya dengan jari kelingkingnya dan melanjutkan.
"Lagu ini terutama mengingatkanku padamu."
"...Sungguh?"
Aku merasa tidak seharusnya membahasnya lebih dalam, jadi aku mengganti topik pembicaraan.
"Asuka Senpai, bisakah kita melakukan hal yang biasa kita lakukan?"
"Waktu konsultasi dengan konselor bimbingan lagi, maksudmu?"
"Kamu bisa menyebutnya waktu pengakuan. Itu akan membuatnya terdengar sedikit lebih keren."
Lalu, seperti biasa, aku mulai menceritakan kejadian-kejadian terkini dalam hidupku.
Tentu saja, aku menceritakan semua yang terjadi padanya, dari Yuzuki dan aku membuat kontrak kencan palsu hingga pertengkaran kemarin. Asuka selalu bersikap netral, jadi aku tidak perlu khawatir tentang apa yang harus kukatakan padanya dan apa yang tidak boleh kukatakan padanya. Aku menceritakan semuanya padanya.
Begitu aku selesai, Asuka meraih dan mengambil buku saku yang kutaruh di sampingku, membolak-baliknya.
"The Box Man, karya Kobo Abe?"
"Bukan karena apa yang sedang terjadi. Aku hanya ingin membacanya secara acak."
Asuka menutup buku dan menggumamkan sesuatu.
"Kamu tahu apa yang begitu hebat tapi juga meragukan tentangmu, teman?"
Suaranya yang lembut seakan terbawa angin.
"Kamu hanya berasumsi kamu bisa menangani semuanya sendiri, jadi kamu akhirnya melakukan semuanya sendiri."
Aku membiarkan kata-kata Asuka meresap sejenak sebelum berbicara.
"Sebenarnya, Yuuko-san dan Yua-san mengatakan hal yang sama kepadaku hari ini. Tapi, mereka mengacu pada bagaimana aku gak peduli jika aku terluka selama aku bisa melindungi orang lain agar gak terluka."
Bahkan saat aku mengatakannya, aku menyadari bahwa aku terdengar seperti orang yang sangat payah, dan aku harus menyeringai kecut.
Asuka menyeringai kecut juga sepertiku.
"Caramu melakukannya, kamu bertindak seolah-olah kamu punya seseorang untuk diandalkan, tapi sebenarnya, itu hanya dirimu. Tapi, meskipun kamu bertindak seolah-olah itu hanya kamu, kenyataannya adalah kamu selalu punya seseorang."
Itu jelas cara yang meragukan, tentunya.
Aku hendak berbicara, namun Asuka mendahuluiku, berbicara lagi.
"Seperti lonceng angin, berdenting karena angin ringan yang bertiup padanya, di beranda pada hari musim panas."
Bagaimana aku bisa menerimanya?
Kesendirian, persahabatan. Kebaikan, kedinginan. Kekuatan, kelemahan. Kebahagiaan, kesedihan. Ada banyak ruang untuk interpretasi—namun tidak ada ruang untuk pilihan.
Persis seperti saat aku tidak punya pilihan.
Pintu berdenting di kait di bawah kami.
Sepertinya, sesi hari ini dengan konselor bimbingan harus dipersingkat.
"Sakuuu?"
Aku bisa mendengar suara Yuzuki. Berdiri, aku mengangkat tangan untuk memberi salam padanya. Di sampingku, Asuka juga berdiri, ekspresinya tenang.
"Maaf, apa kamu sedang sibuk?"
"Gak, kami baru saja akan menyelesaikannya."
Kami menuruni tangga, Asuka lebih dulu, diikuti olehku.
"Yuzuki, perkenalkan. Dia ini Asuka Nishino, murid Tahun Tiga. Asuka Senpai, ini Yuzuki Nanase, yang baru saja kuceritakan padamu."
Yuzuki membeku, wajahnya menyerupai seekor penguin yang tiba-tiba menemukan dirinya di Savannah, tanpa tahu bagaimana dia bisa sampai di sana. Sesaat kemudian, Yuzuki kembali membeku dan menoleh ke Asuka, mengangguk dengan sopan.
Kemudian, dengan ekspresi yang tidak terbaca seperti biasanya, Asuka berbicara kepada Yuzuki.
"Halo, Nanase-san. Aku sudah mendengarmu dari teman mudaku ini, tapi sepertinya kamu sedang dalam situasi yang cukup sulit. Kamu mungkin gak menginginkan simpati dari orang luar yang belum pernah kamu temui sebelumnya, tapi ini satu nasihat dariku : Jangan menutup matamu terhadap kebenaran."
"Apa maksudmu.... dengan itu?"
Kebingungan Yuzuki masuk akal. Aku juga tidak tahu apa maksudnya.
Asuka menatapku.
"Dari apa yang baru saja kudengar, Nanase-san adalah dirimu yang lain, teman."
Yuzuki dan aku bertukar pandang.
Itu benar. Yuzuki dan aku sama saja. Tapi aku yakin ada yang lebih dari apa yang baru saja Asuka katakan. Kata-katanya tampak penuh makna.
Tampaknya, hanya itu yang Asuka rencanakan untuk katakan sebelum dia berbalik dan mulai berjalan pergi.
"Uh, tunggu...."
Yuzuki memanggilnya.
"Apa hubungan antara kamu dan Saku, Nishino-san?"
Itu adalah hal yang wajar bagi seorang gadis normal untuk bertanya, namun itu juga sama sekali tidak seperti Yuzuki. Dia bisa saja bertanya padaku setelahnya jika dia ingin tahu itu. Aku jelas tidak bermaksud menyesatkannya jika dia bertanya.
"Kamu ingin jawabanku tentang itu?"
Suara Asuka terdengar dingin dan dewasa saat dia menjawab. Namun kemudian dia masuk ke mode berpikir mendalam dengan suara hmm yang terdengar kekanak-kanakan.
"Mari kita lihat. Hubungan apapun yang kamu bayangkan, itu sesuatu yang sedikit lebih abstrak dari itu—dan sedikit kurang nyata, seperti..."
Asuka kemudian mulai menyeringai, seperti anak kucing yang menguasai bentuk kenakalan baru.
"Lebih seperti seorang gadis dan teman laki-lakinya yang lebih muda, seorang yang seharusnya benar-benar mengembangkan rasa bahaya yang lebih kuat, mungkin?"
""Tunggu sebentar....!""
Namun setelah mengatakan apa yang ingin dirinya katakan, Asuka menghilang seperti angin yang bertiup ringan.
✶
"Sebenarnya apa hubungan kalian berdua?"
Uh-huh, ya, aku tahu kami akan berakhir seperti ini.
Aku sering lupa, karena Asuka selalu mengatakan hal-hal yang cerdas dan filosofis, namun dia itu orangnya agak liar. Berjiwa bebas. Aku jelas tidak punya harapan untuk mengendalikannya.
Dalam perjalanan pulang, Yuzuki tampak marah.
Rasanya seperti sedang berjalan-jalan di kota, lalu tiba-tiba seember air es disiramkan dari langit. Aku merasa Asuka berhasil membuatku jengkel, dan aku tidak terlalu senang karenanya.
"Asuka Senpai sudah memberitahumu. Hanya seorang gadis yang lebih tua dan teman laki-lakinya yang lebih muda."
"Dia membuatnya terdengar seperti lebih dari itu."
"Status hubungan : Rumit."
Yuzuki mengayunkan tas olahraganya dan memukulku dengan keras di pantatku. Itu rupanya sedikit membantu meringankan suasana hatinya, dan dia bergumam pelan.
"Aku hanya sedikit terkejut, itu saja."
"Tentang apa?"
"Tentang kamu yang memiliki seseorang seperti itu dalam hidupmu."
Yuzuki menatap mataku, seolah mencari konfirmasi akan sesuatu.
"Apa maksudmu dari 'seseorang seperti itu'?"
"Seseorang yang spesial untukmu. Seseorang yang menganggapmu juga spesial. Hubungan seperti itu."
"Ayolah. Aku lebih seperti penghilang kebosanan bagi Asuka Senpai, seseorang untuk menghabiskan waktu bersama."
Aku juga tidak bersikap rendah hati atau merendahkan diri. Itulah yang sebenarnya kurasakan.
"Kamu gak akan bersikap sok akrab di atap dengannya, memanggilnya Asuka Senpai, jika dia hanya gadis acak bagimu. Dan lagipula...."
Yuzuki berhenti sejenak dan menghela napas.
"Kamu pasti sudah menyadarinya, kan? Nishino-san memanggilku dengan nama belakangku, Nanase, tapi dia punya cara khusus untuk memanggilmu. Di tempat-tempat yang biasanya orang-orang memanggilmu 'Chitose-kun' atau bahkan 'dia', Nishino-san selalu memanggilmu sebagai temannya. Gak mungkin kamu gak istimewa baginya."
Sejujurnya, aku merasa itu meyakinkan.
Kalau dipikir-pikir, itu pertama kalinya aku berbicara dengan Asuka dengan kehadiran orang ketiga. Aku selalu berasumsi Asuka menghindari memanggil namaku adalah sesuatu yang dia lakukan untuk menjaga jarak di antara kami. Lagipula, dia kakak kelasku. Tapi mungkin itu ada maksud lain, yang berbeda bagi Asuka. Siapa yang tahu.
Aku cukup yakin itu tidak menunjukkan perasaan romantis kepadaku.
Setidaknya, tolong jangan biarkan itu berarti begitu.
Aku mengganti topik pembicaraan dan mulai menggoda Yuzuki.
"Merasa cemburu karena tiba-tiba muncul seorang rival? Kamu sedikit berubah menjadi sosok pacar, ya?"
"Mungkin begitu."
Kupikir Yuzuki akan membalasku dengan jawaban yang cerdas, seperti yang biasa dia lakukan, namun sebaliknya, suaranya terdengar agak lembut.
"Mungkin aku hanya memikirkan posisiku.... ya, begitulah. Aku merasa bahwa akulah satu-satunya yang mengenal Saku Chitose yang sebenarnya, satu-satunya orang yang bisa diajaknya mengobrol yang senada dengannya."
"Yah, itu memang benar. Gak ada seorang pun di sekitarku yang lebih mirip denganku daripada dirimu, Yuzuki."
"Kamu gak mengerti. Aku memberitahumu, dengan caraku sendiri, bahwa aku hanyalah seorang gadis seperti yang lainnya. Maksudku bukan dengan cara jatuh cinta padamu atau hal konyol seperti itu. Hanya saja aku bangga bahwa aku cukup istimewa untuk berdiri di samping seseorang yang seistimewa dirimu. Itu saja."
"Dengar, Nanase-san...."
Namun sebelum aku sempat selesai berbicara, Yuzuki menempelkan jarinya ke bibirku.
"Itu benar, Chitose. Aku Nanase. Kita berteman sebelum menjadi pacar. Aku mungkin gak akan menjadi seseorang yang spesial untukmu, aku tahu. Itu hanya perasaan dangkal yang kurasakan. Sebuah pukulan kecil bagi ego gadis yang mengira dirinya satu-satunya yang spesial."
Aku... gak tahu harus berkata apa.
Aku ingin menjernihkan suasana dengan lelucon ringan, namun aku bahkan tidak bisa melakukannya.
Karena, bagaimanapun juga, aku menyadari bahwa sebagian diriku berpikir dengan cara yang sama seperti Yuzuki.
Bagi Yuzuki, aku adalah seseorang yang spesial. Pada satu titik, tanpa menyadarinya, aku mulai menganggap diriku sebagai tipe orang yang bisa berdiri di samping gadis spesial seperti Yuzuki, berbagi segalanya dengannya, dan melindunginya.
Jika aku tahu ada orang yang lebih peduli di luar sana daripada aku untuk Yuzuki, yah... aku bisa memahaminya. Aku bisa memahaminya, namun sebagian diriku mungkin tidak akan senang karenanya. Kemudian ketidaksenangan itu akan mengarah pada jenis pemahaman yang berbeda.
"Kupikir kamu serigala penyendiri, Saku. Sama sepertiku."
"Kupikir kamu serigala penyendiri, Yuzuki. Sama sepertiku."
"Tak satu pun dari kita secerdas atau selogis yang kita yakini, ya?"
"Mungkin gak."
Yuzuki mengulurkan tangannya di depanku.
"Apa kamu mencoba menghalangiku atau semacamnya?"
"Uh, jika kamu gak bisa mengenali gerakan 'ayo berpegangan tangan', maka pasti ada bug serius dalam perangkat lunak pemrograman sosialmu."
"Membuatku kesulitan lagi?"
"Kupikir aku bisa menjadi seseorang yang spesial untukmu dengan cara itu."
"Tolong hentikan, sebelum itu menjadi kebiasaan."
"Oh, pah."
Kemudian kami terus berjalan, menjaga jarak laki-laki dan perempuan seperti biasa.
✶
Setelah berjalan sekitar dua puluh menit, kami tiba di rumah Yuzuki.
Yuzuki mengatakan kepadaku bahwa itu hanyalah rumah tangga biasa, namun kelihatannya rumah itu sendiri pasti telah dibangun dalam dekade terakhir. Rumah itu dicat putih dan tampak mewah, dan ada sebuah mobil terparkir di jalan masuk yang dibuat oleh pabrikan Jerman yang dapat dikenali oleh siapapun hanya dengan sekali pandang.
Aku membuka kunci sepeda gunungku, yang terparkir dan terbengkalai di sudut jalan masuk, dan memanggil Yuzuki, yang sedang memeriksa kotak surat.
"Kalau begitu, aku akan pulang sekarang."
"Baiklah. Terima kasih sudah—"
Yuzuki tiba-tiba berhenti membolak-balik tumpukan surat.
"Tunggu! Saku!"
Suaranya sedikit panik. Aku kembali turun dari sepeda gunungku.
"Apa.... apa ini?"
Yuzuki menyerahkan kepadaku sebuah amplop putih polos. Tidak ada cap pos atau alamat, dan bahkan tidak disegel. Kecuali jika ada kesalahan, seseorang harus memasukkannya langsung ke kotak surat rumah itu. Aku mengangkatnya ke arah cahaya matahari untuk mencoba melihat ke baliknya. Ada siluet persegi yang terlihat.
"Ini surat.... bukan, foto. Aku akan melihat isinya."
Ada sesuatu tentang putih bersih amplop itu yang membuatku merinding.
Rasanya seperti seseorang baru saja membeli amplop baru dan kemudian dengan hati-hati memasukkan isinya ke dalamnya. Aku membaliknya di tanganku, dan beberapa lembar kertas persegi jatuh. Itu memang tampak seperti foto.
Aku cepat-cepat melihat foto-foto itu, menjauhkannya dari jangkauan penglihatan Yuzuki. Wajah-wajah yang familier muncul ke arahku.
"Saku, perlihatkan padaku."
Aku bisa saja mencoba mengatakan padanya bahwa sebaiknya dia tidak melakukannya, namun dia tidak akan pernah mendengarkan.
Dalam diam, aku menyerahkan tiga foto itu padanya.
"Ini aku... dan kamu, Saku."
Satu foto kami berdua sedang belajar di perpustakaan. Satu foto kami berjalan ke sekolah di jalan setapak di tepi sungai. Namun, foto terakhir adalah masalah sebenarnya. Foto itu memperlihatkan Yuzuki dan aku sedang makan telur Benediktus di kafe dekat stasiun.
"Kurasa kamu benar selama ini, Yuzuki."
"....Ya."
Pada hari itu... pada waktu itu... kami adalah satu-satunya dua pelanggan di kafe itu. Berdasarkan pengaturan pengambilan gambar, foto itu pasti diambil dari luar. Aku benar-benar fokus pada percakapanku dengan Yuzuki saat itu, dan Yuzuki juga belum dalam kondisi waspada saat itu. Akan mudah bagi seseorang untuk mengambil foto kami secara diam-diam.
"Dua foto diambil kemarin. Perpustakaan penuh dengan murid, jadi kita gak akan pernah bisa mempersempitnya ke satu foto tertentu. Berdasarkan waktunya, para preman dari SMA Yan tampaknya sesuai untuk itu. Tapi, foto ini saja gak membuktikannya. Sama halnya dengan foto jalan setapak di tepi sungai. Kita terlalu longgar dalam hal ini. Ini jauh lebih buruk dari yang kukira."
Aku sudah terbiasa dengan orang-orang yang mengambil fotoku dengan ponsel dan mengunggahnya ke situs gosip dunia bawah sekolah dengan keterangan seperti : Ketahuan : Playboy brengsek yang menggoda Siapa Namanya dari Kelas Itu. Tapi ini.... benar-benar mengejutkan.
Menyadari bahwa seseorang sedang menatapku sementara aku tetap tidak menyadarinya—rasanya tidak enak. Aku yakin Yuzuki juga merasakannya. Tidak diragukan lagi dalam hidupnya yang singkat sejauh ini, dia sendiri telah menghadapi banyak perhatian dan kekaguman yang tidak diinginkan dari orang-orang yang bahkan tidak pernah dia sadari.
Namun tujuan dari foto-foto seperti ini adalah untuk memaksa kami melihat diri kami sendiri sebagaimana penyiksa kami melihat kami. Seseorang, siapapun orangnya, telah melihat kami hari itu di kafe persis seperti yang ditunjukkan foto ini.
Mentalitas di balik itu.... menjijikkan.
"Itu beberapa fotoku yang cukup bagus. Kamu benar-benar dapat merasakan cinta yang dimiliki fotografer terhadap model di sini."
Aku menyeringai, dan ekspresi kaku Yuzuki sedikit melunak.
"Itu terlalu dekat dengan rumah, bukan? Maksudku, kamu punya masalah yang lebih besar sekarang, Saku."
Sangat jelas apa yang Yuzuki itu maksud.
"Ah, sungguh sulit jadi laki-laki tampan. Aku gak kalah dalam permainan Hanetsuki dan harus mencoret wajahku dengan tinta sebagai hukuman."
{ TLN : Hanetsuki itu permainan tradisional Jepang yang mirip bulu tangkis, dimainkan tanpa jaring, menggunakan hagoita (raket kayu) dan kok (hane) yang terbuat dari biji dan bulu. Permainan ini sering dikaitkan dengan Tahun Baru dan dipercaya membawa keberuntungan. }
Di setiap foto, seseorang telah memotong wajahku dengan tanda X, menggunakan pemotong kertas atau pisau. Bagian tubuhku yang lain telah dicoret dengan spidol merah. Aku benar-benar telah mengalami pelecehan yang serius di sini. Di foto tepi sungai, ada juga sebuah pesan. Pesan itu berbunyi BREAK.UP.NOW. Mungkin mereka mencoba menyembunyikan tulisan tangan mereka; tulisan itu ditulis dengan huruf kapital yang tidak rata. Daripada menimbulkan rasa takut, pesan itu membuatku ingin tertawa terbahak-bahak.
"Hmm. Sepertinya semacam link yang meragukan, meskipun kurasa aku belum pernah melihat domain dot-now."
Yuzuki mendengus sambil tertawa.
"Kamu jago membuat lelucon konyol dalam situasi serius, ya kan?"
"Kamu membuatku tersanjung. Aku hampir tersipu."
Bagaimanapun, ini jelas pertama kalinya Yuzuki diserang secara terbuka dan langsung. Aku tahu dia pasti sudah memberitahuku jika hal seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Dia juga tidak akan terlihat sekesal dan seterkejut ini.
Dan kami bahkan tidak perlu memikirkannya. Alasan penyerangan itu sudah tertulis jelas bagi kami. Tampaknya, subjek tak dikenal kami tidak suka bahwa Yuzuki dan aku mulai berpacaran. Satu-satunya orang yang tahu itu semua palsu adalah anggota kelompok kami—dan sekarang Tomoya. Kebanyakan orang bahkan tidak akan berpikir untuk mempertanyakan keaslian hubungan kami.
Sekarang, apa ini alasan untuk merayakan atau alasan untuk menyesal?
Awalnya, salah satu tujuan kami adalah untuk memancing penguntit itu keluar. Agar subjek tak dikenal itu menjadi marah dan menyerang kami dengan jelas... yah, itu sesuai rencana.
Harapan Yuzuki adalah bahwa begitu penguntitnya melihat dirinya punya pacar, penguntit itu akan mundur dan menyerah. Itu akan menjadi akhir. Tapi jelas, penguntit itu tipe yang akan marah.
Grafiti mengerikan yang ditujukan pada ketiga Chitose di foto-foto itu adalah hal yang picik, seperti yang mungkin dilakukan anak-anak SMA Yan. Dan bahkan orang yang paling bodoh pun akan berpikir untuk menyamarkan tulisan tangan mereka.
"Yuzuki, apa kamu baik-baik saja?"
"Oh, terima kasih, White Knight. Kamu tahu, biasanya kamu akan memeriksa gadisnya dulu, kan?"
Ah. Benar juga.
"....Tentu saja aku gak baik-baik saja. Aku merasa mual. Tapi kurasa akan jauh lebih buruk bagiku jika aku menemukan foto-foto itu tanpamu di sini. Maksudku, dibenci, itu lebih cocok untukmu, kan, Saku?"
Yuzuki menyenggol bahuku dengan jenaka.
"Bagus, kamu masih bisa menyindir. Tapi, syukurlah itu bukan fotomu sedang berganti pakaian atau semacamnya."
"Kalau foto-foto seperti itu memang ada, apa yang akan kamu lakukan?"
"Jangan dilihat, Yuzuki! Aku akan.... menyita ini untuk dibuang nanti!"
"Pak polisi? Ya, ini orang yang kamu cari."
Kami berdua tertawa terbahak-bahak.
"Kesampingkan semua candaan itu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Tanyaku.
"Ada ide?"
"Jika aku mengorbankanmu, mungkin aku bisa lolos."
"Menarik. Ceritakan lebih banyak?"
"Kenta bercerita tentang anak laki-laki yang suka memakai gaun. Aku bisa mendandanimu dan membuat penguntit itu jatuh cinta padamu. Satu malam di ranjang bersama Chitose mungkin bisa melakukannya."
"Wow, sekarang ada arah yang bahkan gak pernah kuduga akan kamu tuju."
Kupikir Yuzuki mencoba berpura-pura baik-baik saja. Aku harus menyelesaikan situasi ini sebelum Yuzuki kehilangan kemampuannya untuk memasang wajah pemberani.
"Tapi sejujurnya, memasang kamera keamanan di luar rumah mungkin akan menjadi cara tercepat untuk mengakhiri ini."
Yuzuki menggelengkan kepalanya.
"Maaf. Melibatkanmu adalah satu hal, Saku, tapi aku benar-benar gak ingin menceritakan ini pada orang tuaku."
"Masuk akal, Roger."
Aku mengangguk mengerti.
Yuzuki tampak tenang, namun aku tidak mendesaknya lebih jauh. Seorang murid SMA yang tidak ingin menceritakannya pada orang tuanya... itu seperti penduduk Prefektur Fukui yang tidak ingin memakan telur di katsudonnya. Dengan kata lain, itu sangat normal. Hmm, mungkin aku perlu mencari analogi yang lebih baik.
Bagaimanapun, kami harus melanjutkan dengan cara bertahan saja.
Aku ingin membalasnya, namun jika kepingan yang sudah kita kumpulkan berserakan, kami akan kesulitan menyusun puzzlenya lagi dari awal.
Pada akhirnya, tidak ada dari kami yang punya ide bagus, dan matahari terbenam dengan cepat. Mobil Jerman yang kokoh itu berhenti dengan sempurna di jalan masuk di dekatnya, seolah-olah sedang mengawasi kami.
✶
Di rumah, aku mandi, merapikan diri, dan makan makanan sederhana, lalu menyadari seseorang meneleponku. Aku memeriksa ID penelepon—Tomoya Naruse. Aku mengetuk ikon ANSWER CALL.
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif...."
"Lelucon yang ketinggalan zaman. Lagipula, ini bukan panggilan telepon, ini fitur bicara di aplikasi LINE."
"Apa yang kau mau?"
"Apa maksudmu? Kupikir kita sudah membicarakannya saat makan siang, Mentor."
"Kau gak serius berencana meneleponku setiap hari, kan?"
"Ayolah, Saku. Kau selalu bersama Nanase-san atau teman sekelasmu yang lain. Apa pilihan yang kita miliki?"
Suaranya yang lembut membuatku kesal, namun dia ada benarnya.
Setidaknya dia mempertimbangkan hakku untuk menjalani hidup tanpa gangguan. Sulit untuk menyalahkannya dalam hal ini.
Aku memutuskan untuk menceritakan kepadanya apa yang terjadi hari ini. Aku tidak menyinggung tentang pertemuan dengan Asuka di atap, atau percakapan kami setelahnya, atau foto-foto itu, namun aku memberi Tomoya penjelasan dasar tentang hal-hal yang biasa.
"Hee, menarik. Jadi Nanase-san pun ternyata sangat biasa."
"Tentu saja. Apa menurutmu dia bisa bertransformasi setelah sekolah dan pergi melawan kekuatan jahat atau semacamnya?"
"Gak, aku hanya berpikir dia gak seperti itu. Seperti dia sangat sempurna, dan kau gak pernah mendengar rumor buruk tentangnya, gak seperti dirimu, Saku. Itu seperti dia bukan benar-benar berasal dari dunia ini...."
"Kenapa kau memasukkan sindiran kecil itu padaku? Dengar, jika kau ingin mengenal Yuzuki, kau harus membuang semua anggapanmu itu, karena kau salah besar."
"Apa maksudmu?"
Tomoya benar-benar terdengar terkejut.
"Biar aku bertanya sesuatu dulu. Kenapa kau jatuh cinta pada Yuzuki? Jika kau ingin aku membantumu dengan kehidupan cintamu, setidaknya kau harus memberitahuku alasannya. Kalau gak, gimana aku bisa membantumu?"
"Kau benar. Sejujurnya, pada awalnya aku tertarik padanya karena penampilannya. Dia sangat cantik sehingga aku gak bisa melupakannya. Setelah itu, aku selalu memperhatikannya, dan kurasa begitulah aku jatuh cinta padanya."
Aku mendengar suara berderak kecil, seperti dia sedang memasang earphone.
"Suatu hari sepulang sekolah, aku terjatuh. Itu seperti adegan dari manga, aku terkapar, dan isi tasku berserakan di mana-mana. Semua orang menertawakanku, hanya berjalan lewat, tahu? Lebih buruk lagi, hari sudah gelap, dan aku gak bisa mengumpulkan semua barangku."
"Tapi Yuzuki berhenti. Dia menyalakan lampu layar ponselnya hingga maksimal sehingga kalian berdua bisa melihat, lalu dia membantumu membereskan semuanya."
"Apa? Bagaimana kau tahu tentang itu?"
Itu jelas, berdasarkan konteks-mu itu.
"Itu bukan kebaikan yang kau kira. Itu adalah bentuk kebaikan, tapi dia melakukannya karena dia gak ingin menjadi seburuk anak-anak lain yang berjalan melewatimu dan menolak untuk membantu."
"Aku gak begitu mengerti apa yang kau katakan di sini."
"Aku gak mengatakan kalau gak ada kebaikan sama sekali dari pihaknya. Tentu saja, apa yang dia lakukan didasarkan pada kebaikan. Tapi jika kau benar-benar berpikir itu adalah kebaikan hati malaikat yang murni, baiklah. Kau gak akan pernah punya kesempatan untuk berpacaran dengan Yuzuki."
Tomoya terdiam di ujung panggilan teleponnya.
"Berhentilah melihat patung batu sempurna yang kau ukir dalam pikiranmu sendiri dan lihatlah gadis yang sebenarnya, Yuzuki, itu sendiri. Gadis yang kadang-kadang mengupil, yang terkena kotoran telinga, yang bau keringat setelah latihan klub, yang memproyeksikan citra dirinya yang sangat diperhitungkan kepada semua orang. Kau harus benar-benar memahami konsep itu terlebih dahulu."
"Nanase-san manusia, jadi semua hal itu gak perlu dikatakan lagi.... tapi gak enak untuk dipikirkan."
"Gak, gak, itu penting. Aku gak akan menyangkal bahwa sebagian besar hubungan dimulai sebagai semacam fatamorgana. Tapi, saat kalian semakin dekat, fatamorgana itu menghilang darimu. Dan kesan keliru yang kau miliki hanya akan menyakiti orang yang kau sayangi."
"Kau gak berbasa-basi di sini, kan?"
"Aku sudah melihat cerita lama yang sama berulang kali. Aku muak dengan itu."
Aku mulai bersemangat. Memikirkan kembali kejadian hari itu, kurasa aku membiarkan emosiku menguasai diriku. Namun, ini bukanlah jenis percakapan yang ingin kulakukan dengan orang yang baru kutemui hari ini.
"Maaf jika aku merusak suasana hatimu. Yang ingin kukatakan adalah, ini adalah inti dari apa yang bisa kukatakan kepadamu tentang hubungan. Kau ingin berhenti sekarang?"
"Tidak. Sebenarnya, aku senang kau mau terbuka padaku seperti ini. Aku ingin melanjutkannya, jika kau setuju."
"Ini kedengarannya murahan, tapi menurutku untuk benar-benar membuat seseorang terkesan, kau harus melakukannya dengan kejujuran dan semangat yang brutal. Kau harus beradu pendapat, dan jatuh dan terbakar, dan bangkit, dan melakukannya lagi. Itulah yang dimaksud dengan masa muda."
Wah, itu benar-benar murahan, pikirku.
"Jadi, jika kau benar-benar ingin berpacaran dengan Yuzuki, Tomoya, kau harus berbicara dengannya dan membangun hubungan. Dapatkan ID LINE-nya, mengobrollah dengannya sedikit setiap hari, cari tahu lebih banyak tentangnya. Kemudian, setelah kau mengenal sisi dirinya yang melampaui gambaran sempurna yang ada di kepalamu, jika kau masih merasa mencintainya, maka kau harus mengakui perasaanmu."
"Kedengarannya sangat hambar. Kupikir kau akan memberiku, seperti, beberapa kalimat yang licin untuk digunakan padanya atau semacamnya."
"Itu delusi lainnya. Kau gak hanya memiliki pemikiran yang sangat salah tentang Yuzuki, tapi kau juga berhalusinasi tentang versi Saku Chitose yang gak ada."
Ya, aku terlalu banyak bicara lagi. Semua hubungan palsu ini rupanya membuatku bersikap sentimental tentang subjek romansa. Tapi menurutku, sebaiknya aku mengatakan apa yang ingin kukatakan.
Terserah Tomoya untuk memutuskan tindakan apa yang akan diambilnya setelah itu. Dia bisa menangani tanggung jawab itu sendiri.
"Kurasa aku mulai mengerti maksudmu. Kau bilang aku masih belum mengenal Nanase-san sama sekali, kan?"
"Pada dasarnya. Tapi ingat ini : Keberuntungan berpihak pada yang berani. Jalan teraman gak selalu mengarah pada harta karun."
"Jadi, dengan kata lain, gak ada jalan pintas untuk mencintai. Terima kasih, kurasa ini dorongan yang kubutuhkan. Aku akan mencoba mempelajari lebih banyak tentangnya."
"Bagus, bagus. Baiklah, saatnya tidur."
"Ya. Sampai besok."
Setelah mengakhiri panggilan telepon itu, aku duduk di tepi tempat tidurku sebentar.
✶
Hari Kamis berlalu, diikuti Jumat, lalu Sabtu.
Selama dua hari terakhir, dua amplop baru ditemukan di kotak surat rumah Yuzuki, dan kotak pensil serta agenda hariannya entah bagaimana menghilang dari tasnya. Amplop kedua isinya hampir sama dengan yang pertama, namun foto-foto putaran ketiga menyertakan foto Yuzuki sebagai murid tahun pertama.
Aku sama sekali tidak senang dengan keadaannya.
Yuzuki bersikap sama seperti biasanya, namun kenyataan bahwa dia tampak begitu tidak peduli membuatku menyadari bahwa dia tidak seperti dirinya sendiri. Biasanya, ketika semuanya baik-baik saja dengannya, dia akan tertawa terbahak-bahak karena lelucon atau sarkasme terkecil, namun tidak sekarang. Jelas dia sedang terkuras emosinya.
Tomoya menelepon setiap malam, dan aku mencoba memberinya nasihat semampuku. Sama seperti Kenta, aku menyesal telah menyusahkan diri sendiri pada awalnya. Namun sebelum aku menyadarinya, aku mulai mengantisipasi panggilannya.
"Hmm, dia seharusnya menelepon sekitar waktu ini...."
Sungguh menyeramkan betapa cepatnya kami terbiasa dengan hal-hal seperti ini.
Sebenarnya aku mengundang Tomoya untuk melihat latihan basket putri hari ini, namun dia berkata, "Aku gak ingin dia mengira aku orang aneh jika aku tiba-tiba muncul di pertandingannya" dan menolaknya. Aku mengerti perasaan Tomoya itu, jadi aku tidak repot-repot mencoba meyakinkannya.
Pertandingan itu akan diadakan di sekolah kami, di Gym 1. Ketika aku masuk, tim SMA Fuji dan tim sekolah lain sudah melakukan pemanasan. Sambil memperhatikan situasi, aku menuju ke catwalk lantai dua. Awalnya aku mengira tidak akan banyak orang yang menonton hari ini, karena itu hanya latihan pertandingan, namun sekolah lain ternyata terkenal secara nasional, jadi sebenarnya ada banyak orang.
Baik Yuzuki maupun Haru tidak berusaha mengundang anggota Tim Chitose lainnya. Kedengarannya tidak terlalu bagus, namun faktanya sesuatu seperti pertandingan latihan klub bukanlah masalah besar bagi para pemain, bahkan jika lawan mereka adalah sekolah besar. Itu hanya acara rutin lainnya. Jika mereka berusaha keras untuk mengundang orang untuk menonton, orang-orang mungkin akan merasa berkewajiban untuk datang, bahkan selama musim ujian yang sibuk. Yuzuki dan Haru tidak akan pernah melakukan sesuatu yang egois seperti itu.
Dan meskipun begitu, aku diundang, bukan? Ada apa dengan itu, ya? Yah, keadaan khusus dan sebagainya. Aku bisa membiarkannya begitu saja.
"Yo! Saku!"
Itu Kaito, berdiri di sana dengan tubuh yang sangat tinggi seperti biasanya dan memanggilku tanpa basa-basi.
"Yo. Kau juga datang untuk menonton, ya?"
"Ini adalah tim putri peringkat nasional, tahu. Aku bisa belajar satu atau dua hal. Dan belajar lebih banyak gak akan membantu nilaiku saat ini."
"Orang-orang sepertimu lah yang seharusnya mulai belajar sekarang."
"Saku, apa kau gak tahu? Kalau kau sudah berusaha sekuat tenaga, kau harus menyerahkan sisanya pada takdir!"
"Apa kau sudah menjadi gak berguna lagi, bung?"
Aku melihat sekeliling lagi. Lalu aku melihat beberapa wajah yang tidak kuduga akan kulihat di sini. Dengan asumsi panggungnya ada di sisi atas gedung olahraga, kami berdiri di catwalk sisi kiri. Di seberangnya, catwalk sisi kanan, aku bisa melihat Nazuna dan Atomu.
Mereka sepertinya juga menyadari kehadiranku. Nazuna melambaikan tangan padaku. Aku balas melambaikan tangan, dan Atomu menyipitkan matanya dengan jelas tidak senang.
Mereka sepertinya bukan tipe orang yang akan datang dan menonton pertandingan olahraga SMA saat berkencan. Mungkin teman mereka bermain di pertandingan hari ini.
Aku kembali melihat ke bawah ke lapangan.
Para pemain SMA Fuji, mengenakan warna tim biru aquamarine, sedang berlatih menembak. Tepat saat aku sedang asyik memikirkan seragam basket putri dan menghargai bagaimana seragam itu memproyeksikan citra sportif yang sangat menarik, aku menyadari dua orang yang aku kenal itu tidak ada di lingkaran.
Karena khawatir, aku melihat ke sekeliling lapangan. Misaki Sensei, Haru, dan Yuzuki semuanya berdiri di luar lapangan di dekat dinding, berbicara dengan ekspresi serius di wajah mereka. Berdasarkan posisi mereka, sepertinya Yuzuki adalah subjek pembicaraan.
Aku mulai merasakan firasat buruk di dadaku. Aku berlari ke arah tangga.
"Ada apa, kawan? Mau BAB? Pertandingan akan segera dimulai, tahu."
Aku dapat mendengar suara konyol Kaito di belakangku.
"Berhenti bicara omong kosong dan ikutlah denganku."
Saat kami mendekat, Misaki Sensei berbalik dan menatap kami dengan tajam.
"Ada apa, Chitose? Dan Asano juga? Jika kalian di sini untuk menunjukkan dukungan, naiklah ke atas."
Misaki Sensei memiliki tubuh yang dewasa dengan lekuk tubuh yang indah, dan fitur wajahnya yang anggun serta cara bicaranya yang dingin membuat banyak murid laki-laki SMA Fuji menilai dia sangat baik di antara para guru perempuan. Namun, sekarang bukan saat yang tepat untuk fokus pada daya tariknya.
Meskipun tim basket putra dan putri dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, mereka tetap berlatih setiap hari di tempat latihan yang sama. Kaito sering memperhatikan lidah tajam Misaki Sensei. Meskipun tubuhnya sangat tinggi, Kaito saat ini mencoba menyembunyikan dirinya di belakang punggungku.
"Maaf, aku sebenarnya sedang menonton dari atas sana dan khawatir. Apa ada yang terjadi?"
Haru menjawab tanpa jeda.
"Chitose, sepatu basket Yuzuki hilang. Kami biasanya meninggalkan sepatu kami di ruang klub, dan dia menyimpannya untuk latihan terakhir kami sebelum masa ujian dimulai...."
Pencurian lagi. Itu hal pertama yang terpikir olehku.
Misaki Sensei melanjutkan apa yang Haru tinggalkan.
"Haru lain ceritanya, tapi Yuzuki tidak akan pernah begitu ceroboh dengan barang-barangnya. Meski begitu, saat aku memeriksa ruang klub pagi ini, masih terkunci rapat."
"Ini mungkin terdengar aneh, tapi apa semua orang meninggalkan ruang klub pada waktu yang sama hari ini?"
Misaki Sensei mengerutkan keningnya menanggapi itu.
"Ya, benar. Setelah murid tim lain tiba, semua gadis kami berkumpul di gedung olahraga untuk menyambut mereka secara resmi, lalu kami langsung masuk ke rapat tim."
Kupikir jika ada kesempatan bagi seseorang untuk mencuri sesuatu, itu pasti saat itu.
Yuzuki menimpali seolah diberi isyarat, suaranya anehnya ceria.
"Yah, aku gak bisa menyangkal bahwa aku benar-benar bersemangat untuk pertandingan ini, dan gak memakai sepatu agak merusak permulaannya bagiku. Tapi jangan khawatir. Semuanya baik-baik saja. Aku bisa meminjam sepatu dari gadis lain dengan ukuran kaki yang sama. Atau dalam skenario terburuk, aku bisa bermain dengan sandal."
"Gak semuanya baik-baik saja, bodoh."
Aku tidak yakin apa aku bisa berbicara untuk Yuzuki, namun aku tahu bahwa ketika aku bermain bisbol besar, aku akan panik jika aku disuruh menggunakan tongkat pemukul atau sarung tangan milik orang lain. Bagi pemain olahraga, perlengkapan olahraga memiliki dampak besar pada performa.
Aku langsung memahami situasinya.
"Kaito."
Kataku sambil berjalan menuju pintu keluar gym.
Yuzuki memanggilku.
"Saku?"
"Aku gak ingin kamu menggunakan kejadian ini sebagai alasan untuk gak menang. Kamu hanya fokus pada permainan, Yuzuki."
Haru juga memanggilku.
"Uh, sayang, kalau kamu benar-benar mau pergi sekarang, pastikan kamu gak pulang dengan tangan kosong, apa itu jelas?"
"Anggap saja beres."
Kaito dan aku meninggalkan gedung olahraga, lalu kami memutuskan untuk berpisah dan berlarian mencari-cari dengan cepat.
Aku rasa peluang kami untuk menemukan sepatu itu hanya 50 persen.
Jika pelakunya mencuri sepatu Yuzuki hanya karena menginginkan piala, maka kami tidak beruntung. Sepatu itu pasti sudah lama hilang dari sana. Namun, jika pelakunya hanya ingin mengganggu Yuzuki dengan cara apapun yang tersedia, maka kami mungkin masih belum terlambat. Yang bisa kami lakukan hanyalah melanjutkan berdasarkan asumsi yang paling menguntungkan.
"Kaito, periksa semua tempat sampah di sekitar sini. Lalu masuk ke gedung utama dan periksa semua tempat yang bisa kau pikirkan di sana."
"Roger. Bagaimana denganmu, Saku?"
"Aku akan memeriksa seluruh area, selain gedung sekolah. Lalu aku akan memeriksa jalan-jalan di dekatnya."
Kami berdua beradu tinju, lalu Kaito berlari pergi.
Aku mulai mencari-cari di luar, mulai dari luar ruang klub itu sendiri.
Aku memeriksa di antara pagar dan jalan, lalu mengitari pagar yang mengelilingi gedung-gedung. Aku juga memeriksa celah-celah di antara gedung-gedung. Lalu di belakang pusat kebugaran, lalu gudang peralatan kecil. Aku memeriksa semua yang tampak seperti tempat penyimpanan sepatu curian. Tapi aku tidak beruntung.
Ini adalah perlombaan melawan waktu.
Aku melepas blazerku dan menggantungnya di tiang pagar di dekatnya, lalu menggulung lengan bajuku dan mengencangkan tali sepatu Stan Smiths-ku.
Lalu aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya.
Kau pintar, kuakui itu, dasar penguntit yang suka mengintai. Kau membuatku terjebak dalam pengejaran yang sia-sia, di sini. Tapi bertarung dengan Saku Chitose adalah keputusan yang akan kau sesali sampai mati. Aku akan mengurusnya.
Aku berlari cepat melawan tanah yang gembur. Dari dalam gedung olahraga, aku mendengar suara peluit dibunyikan. Pertandingan dimulai.
Sialan! Ini gak akan sempat.
Aku memeriksa kedua sisi saluran irigasi yang membentang horizontal ke sekolah, napasku tersengal-sengal sekarang. Aku memeriksa lapangan bermain, sekeliling kafetaria, gudang sepeda, tempat parkir di dekat sekolah, dan taman di dekatnya. Aku berlari mengelilingi area itu, tetapi tidak ada tanda-tanda sepatu basket Yuzuki. Lebih dari dua puluh menit pasti telah berlalu sejak aku mulai mencari. Pertandingan itu akan memasuki kuartal ketiga sekarang.
Aku basah kuyup oleh keringat, benar-benar resah.
Sialan. Jika pelakunya membawa pulang sepatu itu, untuk menertawakan tipu daya kecil mereka, maka aku akan menjadikan misiku untuk mengejar mereka sampai ke ujung bumi dan memasukkan ujung sepatu Stan Smith-ku ke rongga hidung mereka. Ponselku bergetar saat itu. Aku mendapat telepon dari Kaito.
"Gak ada gunanya, Saku. Aku gak dapat menemukannya."
"Sial. Lakukan satu putaran lagi untuk saat ini, Kaito. Periksa lemari petugas kebersihan atau semacamnya. Di mana saja seseorang mungkin telah membuang sepasang sepatu basket. Aku akan kembali ke ruang klub sekali lagi."
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Kau gunakan ototmu, dan aku akan gunakan otakku, oke?"
"Hei! Aku benci itu!"
Aku melompati pagar dan berjalan kembali ke luar ruang klub basket putri.
Aku tidak akan menemukan sepatu-sepatu itu hanya dengan memeriksa tempat-tempat secara acak. Dengan kasar menyeka keringat yang tak henti-hentinya, aku mencoba berpikir dengan tenang dan logis.
Aku tidak punya cara untuk memastikan kejadian sebenarnya yang telah terjadi, namun tidak diragukan lagi pelakunya mencuri sepatu itu pagi ini, sementara semua anggota klub berada di pusat gym.
Ada cukup banyak orang di sini untuk menonton pertandingan hari ini. Para penggemar tim tamu, dan anak-anak seperti Kaito dan aku. Galeri itu penuh. Namun, saat itu masih masa pra-ujian, dan kegiatan klub sekolah pada dasarnya sedang libur. Sekolah sebagian besar kosong, tidak seperti kebanyakan akhir pekan saat kegiatan klub berlangsung. Jika ada orang berkeliaran di sekitar sekolah sambil membawa sepasang sepatu basket besar dan tinggi.... itu akan sangat mencurigakan. Jika tujuannya hanya untuk mengganggu Yuzuki, yang harus mereka lakukan hanyalah menjauhkan sepatu itu darinya hingga pertandingan dimulai. Mereka tidak benar-benar membutuhkan tempat persembunyian paling canggih di dunia untuk melakukannya.
Itu harus di suatu tempat yang dekat, di suatu tempat yang mudah diakses, tapi di suatu tempat yang gak terlihat...
Aku mencoba menempatkan diri pada posisi pencuri, mencoba melihat segala sesuatu melalui mata mereka.
Tidak ada tempat persembunyian yang jelas di sekitar sana. Melompati pagar dan melarikan diri akan menjadi solusi termudah. Namun, itu berisiko terlihat oleh penduduk setempat—atau lebih buruk lagi, oleh seorang guru. Namun, saat bergerak di dalam gedung, pencuri selalu dapat menemukan alasan yang bagus untuk apa yang mereka lakukan. Kecuali jika mereka bertemu langsung dengan seseorang dari tim basket putri itu sendiri.
Di mana anggota tim basket putri?
Tentu saja di gedung Gym 1 yang bersebelahan. Namun, siapapun dari mereka dapat meninggalkan gym kapan saja, dengan alasan apapun. Secara psikologis, pencuri itu ingin menghindari tempat itu.
Jadi, itu menambah daftar tempat yang tidak akan dikunjungi pencuri. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku mengerti pikiran penjahat, namun jenis sepatu basket yang disukai Yuzuki dan gadis-gadis lain di tim itu... cukup mahal.
Jika pencuri itu tertangkap membawa sepatu curian itu, sekolah bahkan mungkin akan memberitahu polisi. Mereka tidak akan begitu saja dibebaskan dengan peringatan karena melakukan lelucon. Pencuri itu perlu mempertimbangkan manfaat bermain-main dengan Yuzuki dibandingkan dengan potensi kerugian karena membuat masalah serius sendiri.
Oleh karena itu, hal terbaik yang dapat dilakukan adalah meninggalkan sepatu itu di tempat yang mudah ditemukan Yuzuki setelah pertandingan hari ini.
Jika ada yang menemukan sepasang sepatu basket tergeletak di sekitar sekolah, tidak diragukan lagi mereka akan mengembalikannya ke ruang klub basket. Jika sepatu itu ditemukan, pelakunya akan terbebas dari tuduhan pencurian yang sebenarnya.
Aku membayangkan tata letak sekolah itu. Apa yang ada di seberang Gym 1?
...Di sana. Pasti ada di sana. Tempat itu sesuai dengan semua kondisi yang baru saja aku pikirkan. Tempat yang belum aku periksa.
✶
"Yuzukiii!"
Seorang pemuda menerobos pintu gedung olahraga sambil berteriak sekeras-kerasnya. Tim tamu baru saja memasukkan bola basket, dan ada jeda singkat dalam permainan, saat semua orang menoleh untuk melihatnya.
Pemuda itu jelas bukan anggota tim, namun keringatnya menetes dan mengacungkan sepasang sepatu basket. Dia juga tampak berlumuran tanah di beberapa tempat, dan ada daun kering di rambutnya.
"Time out!"
Misaki Sensei meminta istirahat.
Yuzuki berlari mendekat. Aku menyodorkan sepatu Nike biru dengan logo putih ke tangan Yuzuki dan segera memeriksa skor. Kemudian, dengan nada ironis dan seringai masam, aku berbicara.
"Wah, wah, kalian benar-benar bermain dengan buruk, ya?"
Aku menempelkan punggungku ke dinding dan jatuh ke lantai. Mereka berada di puncak kuarter terakhir. Skor tim tamu adalah delapan puluh delapan, dan skor SMA Fuji adalah delapan puluh. Para gadis itu jelas telah berjuang dengan gagah berani melawan tim yang jauh lebih baik, namun dengan waktu yang tersisa, kemenangan tampak jauh.
Yuzuki berjongkok di hadapanku, mendekap sepatu basketnya di lengannya. Aku melihat keringat berkilau di lengannya yang telanjang, namun aku tidak punya waktu untuk mengapresiasinya sekarang.
"Pfft.... Ha-ha-ha!!!"
Yuzuki mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambutku yang basah oleh keringat, sambil tertawa setengah histeris.
"Saku, ada daun yang tersangkut di rambutmu! Dan rambutmu basah dan kusut karena keringat. Dan apa yang terjadi dengan lututmu? Lututmu semua terkelupas! Pah-ha-ha!"
"Kupikir aku akan mengubah karakterku. Tampillah seperti 'orang liar dan nakal', kamu tahu."
"Hei! Jika kamu sudah punya sepatu itu, pergilah."
Suara Misaki Sensei terdengar mendekati kami.
Masih tertawa terbahak-bahak, Yuzuki mengganti sandalnya dengan sepatu basket, mengencangkan tali sepatunya. Menjepit karet rambut di pergelangan tangannya di antara bibirnya sejenak, dia mengikat rambutnya menjadi ekor kuda dan mengikatnya.
"Nana, Umi, apa kita siap? Mari kita tunjukkan pada orang-orang bodoh itu apa yang bisa kita lakukan."
""Tentu saja!""
Yuzuki dan Haru berteriak dengan suara riang, menanggapi dorongan Misaki Sensei. Nana dan Umi—itu pasti, seperti, nama lapangan mereka. Kudengar beberapa tim memberi nama panggilan kepada pemain berdasarkan lelucon dan hal-hal seperti itu, namun Nana untuk Nanase dan Umi untuk Aomi tampaknya cukup lugas. Itu cocok dengan atmosfer milik Misaki Sensei.
Yuzuki menatap papan skor sejenak sebelum berbalik dan menyeringai padaku, tampak seperti sedang dalam suasana hati yang baik.
"Tonton ini, Saku. Aku akan menunjukkan kepadamu beberapa keterampilan yang serius. Semoga saja."
Kemudian Yuzuki berlari kembali ke lapangan.
Haru menoleh ke arahku dan mengacungkan jempol, lalu berlari dengan langkah ringan. Aku menyadari bahwa Misaki Sensei sedang menatapku dengan tatapan dingin.
"Maaf, aku seharusnya menonton dari lantai dua; kamu benar."
Saat aku hendak berdiri, Misaki Sensei mengangkat tangan untuk menghentikanku.
"Nana berutang budi padamu. Kamu duduk di sana dan menonton."
"Terima kasih. Omong-omong, aku gak suka meminta lebih, tapi menurutmu apa anggaran klub basket putri cukup untuk memperbaiki pagar tanaman?"
Kembali ke topik sepatu basket Yuzuki sebentar. Tempat terakhir yang kuperiksa adalah lapangan panahan di dekat tempat latihan. Lapangan panahan ditutupi pagar tanaman yang tinggi untuk menghindari gangguan visual yang mungkin membuat para pemanah menjauh, dan pagar tanaman itu sangat tebal sehingga kalian hampir tidak bisa melihat menembusnya, bahkan jika kalian berdiri tepat di sampingnya.
Bahkan selama masa ujian, klub panahan masih akan mengadakan latihan pagi, jadi pada Senin pagi, sepatu apapun yang disembunyikan di sana pasti akan ketahuan. Ya, lapangan klub panahan adalah tempat persembunyian yang memenuhi semua kriteria yang telah kuputuskan.
Masalahnya, bagaimana cara masuk ke dalam?
Pencuri itu bisa saja dengan mudah melempar sepatu ke pagar, namun gerbang untuk mengakses lapangan itu sendiri terkunci. Satu-satunya cara untuk memeriksa ke dalam adalah dengan menerobos pagar.
Aku stres dan kehabisan waktu, jadi aku berhenti berpikir terlalu keras tentang hal itu dan hanya memaksakan diri melewati pagar seperti pendobrak manusia. Dan di sinilah kita.
"Kamu benar-benar berharap klub basket membayar?"
"Kurasa tidak..."
"Hmm... tetap saja..."
Misaki Sensei tersenyum tipis.
"Kita pura-pura tidak tahu saja, hm?"
Itu jelas-jelas rasa kasihan yang tinggi, yang keluar dari mulutnya.
"Jadi, yang mana, Nana atau Umi?"
"Jadi, kamu orang lainnya yang menanyakan pertanyaan-pertanyaan canggung itu padaku, ya?"
✶
Pertandingan dimulai lagi.
Saat aku mengamati kedua tim lagi, semakin jelas terlihat bahwa pemain tim lawan memiliki keunggulan tinggi badan yang signifikan.
Bahkan Yuzuki, gadis tertinggi di kelompok kami, akan menjadi yang terpendek jika dia, karena suatu alasan, bergabung dengan tim lawan. Anggota tim basket kami yang lain semuanya pendek, termasuk Haru.
Meskipun demikian, SMA Fuji menunjukkan tingkat penguasaan bola yang tinggi.
Dan Yuzuki berada tepat di tengah-tengah semuanya.
Dari sudut pandang orang awam sepertiku, Yuzuki memiliki kendali penuh atas bola, cukup untuk membuat kalian merinding, dan dia menghindari pemain lain sambil memindai dengan cerdik untuk mencari seseorang yang terbuka. Kemudian, saat dia melihat peluang, dia akan melakukan umpan yang membuka mata. Rasanya seperti dia memiliki penglihatan 360 derajat atau semacamnya.
Haru ada di sana untuk menangkap setiap umpan, yang sepertinya dilempar dengan maksud untuk meninggalkan tidak hanya tim lawan namun juga tim kami sendiri dalam debu. Dia melesat dan melesat di seluruh lapangan.
Haru menunjukkan kecepatan dan ketangkasan yang sudah kulihat sekilas, dengan rapi melewati pertahanan dan membidik keranjang dengan ringan. Dia lebih suka layup di tengah aksi—dan tembakan jarak menengah. Dia tidak pernah membiarkan dirinya terbuka, bahkan sedetik pun.
Haru mencetak keranjang basket lagi menggunakan teknik layup-nya.
"Chitose! Bagaimana menurutmu?"
Bodoh. Fokuslah pada permainan.
Haru memberiku tanda victory dengan jarinya sementara aku melambaikan tangan dengan santai.
Berkat tim impian Yuzuki dan Haru, skornya sekarang menjadi : VISITOR : 94, SMA FUJI : 88. Mereka berhasil memperkecil ketertinggalan, namun hanya tersisa tiga menit. Berdasarkan perbedaan tingkat keterampilan yang terlibat, comeback dramatis tampaknya sangat kecil kemungkinannya.
"Chitose, apa ini pertama kalinya kamu menonton Nana bermain?"
Misaki Sensei tiba-tiba bertanya padaku.
"Uh, tidak, aku juga datang untuk menonton beberapa latihan untuk menyemangati Haru-san. Tapi harus kuakui, gaya bermainnya yang tenang, dan sangat akurat yang ditunjukkannya hari ini benar-benar meninggalkan kesan."
"Kalau begitu, kamu masih belum tahu apapun tentangnya. Dia tidak seperti Umi, yang terus-terusan menginjak pedal gas. Nana selalu mengendalikan dirinya dengan ketat. Dia selalu berpikir tentang bagaimana bersikap di lapangan untuk mendukung Umi dan anggota tim lainnya."
Misaki Sensei berhenti bicara, membuat pistol dari ibu jari dan dua jarinya, dan menempelkannya di pelipisnya.
"Tapi terkadang.... dia menjadi liar."
Saat Misaki Sensei mengatakan itu, Haru mengejar bola dan menjatuhkannya ke luar jalur saat anggota tim lawan mengopernya.
"Nana!"
Skreeek. Stamp.
Sepatu Nike putih-biru Yuzuki berdecit di lantai, dan dia merebut bola dari luar garis tiga angka.
Fwoosh.
Yuzuki melempar bola dengan satu tangan, seperti seorang laki-laki, dan bola itu jatuh hampir tanpa suara ke dalam keranjang. Aku tidak punya waktu untuk pingsan. Tim lawan memulai tendangan voli yang ganas. Tembakan liar lainnya dilemparkan dari garis tiga poin, dan Haru merebut bola sekali lagi.
Haru melesat ke atas lapangan seperti kilatan petir, menggiring bola, tetap rendah. Dia tersentak berhenti, mengelabui lawan, dan melakukannya beberapa kali lagi. Tidak ada yang bisa mengimbanginya.
Haru melakukan umpan mudah, lalu menunduk di bawah keranjang lawan dan melompat lebih tinggi di udara daripada yang kalian harapkan dari seorang gadis setinggi dirinya.
Namun pemain tengah tim lawan, yang telah menjaga Haru dengan ketat sepanjang waktu, menghalanginya. Haru mencoba melakukan double clutch, tapi lompatan pemain lawan memiliki durasi lebih lama daripada Haru.
"Umi!"
"Nana!"
Hampir kehilangan keseimbangan di udara, Haru memutar tubuhnya dan melemparkan umpan keras ke luar garis tiga poin. Fokus Yuzuki sudah terpusat pada ring.
Fokus Yuzuki sudah terpusat pada ring.
Skreech. Stamp.
Bola sudah di tangannya, dan Yuzuki melompat tanpa ragu.
Fwoosh.
Bola itu masuk dengan mulus ke keranjang.
Skor sekarang menjadi VISITOR : 94, SMA FUJI: 94. Pertandingan berakhir imbang.
Misaki Sensei meletakkan tangannya di bahuku.
"Bagaimana pendapatmu tentang anak-anak gadis kami? Lumayan, kan? Darah olahraga juga mengalir di nadimu, kan, Chitose?"
"Apa maksudmu, Sensei? Aku hanyalah mantan anggota klub bisbol yang rendahan."
Tim lawan tampaknya mempercepat permainan mereka.
Pertahanan SMA Fuji berusaha mati-matian untuk menahan mereka, namun mereka terlalu kuat. Salah satu dari mereka berhasil melakukan layup.
Sekarang mereka unggul dua poin. Dengan waktu tersisa sekitar tiga puluh detik.
"Ayo dan tangkap!!!"
Haru menerobos garis depan, bertukar umpan mudah dengan seorang rekan, memamerkan semangat juangnya.
Namun pertahanan tim lawan kuat, dan Haru tidak bisa bebas menembak.
Terhalang untuk melepaskan tembakan di depan ring, Haru berputar balik.
"Ayo selesaikan ini, Nanaaa!"
Bola itu melesat melewati garis tiga poin seperti peluru yang melaju kencang, namun Yuzuki lebih cepat.
Yuzuki meraih bola itu.
Skreek. Fwoosh.
Yuzuki melayang di udara.
Dia tampak seperti kelopak bunga sakura yang berputar-putar yang terperangkap dalam arus udara ke atas, lebih dari seorang gadis manusia.
Momen itu indah dan cepat berlalu.
Yuzuki benar-benar tenang.
Dua anggota tim lawan berusaha keras untuk memposisikan diri mereka di jalur bola.
Kalian membuang-buang waktu kalian. Momen ini milik Yuzuki sendiri.
Fwoosh.
Bola itu terlepas dari tangan Yuzuki.
Bunyi bel berbunyi keras, menandakan akhir permainan.
Tidak seorang pun dapat menghalanginya, pikirku.
Dengan suara gemerisik samar, bola itu melengkung di udara dengan lengkungan seperti bulan purnama yang indah, mengikuti lintasan yang hampir dapat dipetakan oleh bintang-bintang.
Tidak seorang pun seharusnya dapat menyentuh parabola yang begitu sempurna.
Bola itu melewati ring, meninggalkan jaring yang berkibar-kibar seperti tirai yang ditutup untuk menandai akhir permainan.
Selama dua atau tiga detik, hanya ada keheningan. Kemudian, seluruh gedung olahraga meledak dalam sorak-sorai perayaan dan kekecewaan yang bercampur aduk.
Pemenang itu tampaknya terbangun dari keadaan antisipasi yang membeku dan membiarkan dirinya rileks, mengepalkan tinjunya sejenak dalam kemenangan yang teredam.
Kemudian perlahan, dia berbalik dan menunjuk tepat ke arahku dengan kedua jari telunjuknya, menyeringai lebar dan mengedipkan mata.
✶
"Aku benar-benar gak percaya padamu, Saku!"
"Ah, lihat, aku benar-benar minta maaf."
Aku mengalihkan pandangan dari Kaito, yang berdiri di depan wajahku.
SMA Fuji telah memenangkan pertandingan dengan selisih satu poin. Sekarang kedua tim mulai tenang. Setelah semua kegembiraan berakhir, akhirnya aku ingat Kaito ada. Aku meneleponnya sebentar, namun sudah terlambat untuk melarikan diri dari amarahnya.
"Aku berlarian di sekitar sekolah tanpa henti sampai kau memanggilku....!"
"Ya. Kau orang yang baik, Kaito. Aku akan mentraktirmu semangkuk Hachiban's suatu saat nanti, jadi tolong lepaskan aku. Oh, dan pastikan kau merapikan semua tempat sampah yang kau buang di mana-mana. Dan pastikan untuk kembali dan menutup pintu semua loker yang kau geledah."
"Aww, beri aku istirahat!"
Kami sedang duduk di bangku di luar gedung olahraga, minum botol-botol Pocari dari Misaki Sensei yang dibagikan dan bercanda, ketika Atomu mulai berjalan lewat.
"Tunggu sebentar, Kaito."
Aku bangkit dan berlari mengejar Atomu, yang sedang menuju gerbang sekolah.
"Yo? Kencan akhir pekan ke SMA, ya. Modern sekali."
"Apa? Ugh, ternyata kau, Chitose. Jangan bicara padaku, bung."
Atomu bergumam pelan.
"Ah, ayolah, jangan seperti itu. Aku gak tahu kau itu penggemar basket."
"Bukan aku. Tapi Nazuna. Dia dulu anggota klub basket. Dia juga cukup jago, sepertinya. Dia bilang dia ingin melihat bagaimana tim kita melawan sekolah lain itu."
Hah. Gadis itu penuh kejutan. Aku benar-benar tidak menganggapnya sebagai tipe gadis yang suka olahraga.
"Jadi, di mana Nazuna-san?"
"Dia gak suka tim kita menang seperti itu. Dia sudah pergi setelah pertandingan. Dia bilang dia tidak ingin melihat reaksi Nanase."
"Hmm, ya, aku bisa mengerti bagaimana itu akan merepotkan."
"Ya. Melihat orang lain melakukannya dengan sangat baik itu sulit untuk diterima."
Atomu tampak seperti sedang berpikir keras. Kemudian dia cepat-cepat mengalihkan pandangan, seolah malu. Aku memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan.
"Biarkan aku bertanya satu hal lagi. Kau punya teman di SMA Yan?"
"Hah? Gak, aku gak punya."
"Bagaimana dengan Nazuna-san?"
"Sial, bung. Baiklah. Ya, dia bilang punya teman yang sekolah di sana."
"Begitu. Makasih. Aku sempat bertengkar dengan beberapa orang di SMA Yan tempo hari. Jadi mereka selalu ada dalam pikiranku sejak saat itu."
"Kau berhenti bermain bisbol hanya untuk berkelahi? Kau benar-benar membuatku heran."
Singkirkan pikiran itu.
"Maaf menyita waktumu. Sampai jumpa di sekolah minggu depan."
Atomu mendengus sebelum keluar dari gerbang sekolah.
Masih banyak bagian yang hilang, pikirku.
✶
Kaito dan aku sama-sama berkeliling sekolah untuk merapikan bersama, namun Kaito pulang lebih awal, katanya dia ingin pergi dan berolahraga. Apa berlarian di sekitar sekolah mencari sepatu basket semacam pemanasan baginya? Orang itu kuat; aku harus mengakuinya.
Lelah dan benar-benar kelelahan, aku berbaring di bangku terdekat dan hampir tertidur ketika aku merasakan sesuatu diletakkan di leherku.
"Dingin sekali."
Terkejut oleh sentuhan dingin itu, aku melompat berdiri. Haru berdiri di sana sambil memegang sejenis es loli yang disebut Chupet yang tersedia dalam tabung plastik yang bisa dibelah dua dan dibagi. Dia mengisap satu bagian sambil mengulurkan bagian lainnya kepadaku.
"Kerja bagus hari ini, Chitose."
Kemudian Haru memasukkan setengah Chupet lainnya ke dalam mulutku.
Rasa buah dari makanan favorit masa kecil yang sudah kukenal mengalir di lidahku. Dulu ketika aku masih kecil, aku sering membeli ini di toko permen untuk dibagi dengan seorang teman.
"Kerja bagus juga. Di mana kamu mendapatkan itu?"
"Para orang tua membagikannya."
"Mana Yuzuki?"
"Kurasa dia masih butuh waktu sedikit lebih lama. Dia sedikit bersemangat menjelang akhir. Dia mungkin butuh waktu untuk menenangkan pikirannya."
Ekspresi Haru menurutku lucu, dan aku tidak bisa menahan tawa.
Aku menegakkan tubuh dan duduk dengan benar di bangku. Haru duduk di sampingku tanpa ragu-ragu. Dia menendang sepatunya, melepas kaus kakinya, dan duduk tanpa alas kaki dengan lutut terangkat ke dagunya.
Celana pendek basketnya terangkat, memperlihatkan pahanya yang masih memerah. Untuk mengalihkan perhatianku dari pemandangan itu, aku mulai berbicara.
"Kamu dan Yuzuki sama-sama luar biasa. Aku sudah lama gak menonton pertandingan, tapi kalian berdua berada di dimensi yang sama sekali berbeda."
Haru tertawa kecil mendengarnya, masih mengisap Chupet-nya.
"Tentu saja Yuzuki selalu bagus, tapi hari ini dia luar biasa. Dalam situasi seperti itu, melawan tim itu.... dia berhasil melepaskan tiga tembakan berturut-turut? Dan tembakan terakhir itu praktis dari garis tengah. Biasanya, kamu gak akan pernah bisa melepaskan tembakan dari lokasi itu di detik-detik terakhir pertandingan."
"Yah, dia sangat bergantung pada pertandingan itu. Dia pasti sangat ingin berkencan denganku besok."
"Bakka, kamu salah besar."
Haru melingkarkan lengannya di bahuku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"Itu karena seseorang bertindak sangat gak seperti biasanya, secara dramatis. Yang membuat orang lain juga ingin bertindak gak seperti biasanya."
Haru melingkarkan kakinya di atas pahaku seolah berkata, "Ini semua karenamu dan tindakanmu." Dia menarik karet rambutnya keluar, membiarkan gaya rambut ekor kudanya yang pendek berayun bebas. Menggunakan handuk olahraga yang dia lingkarkan di lehernya, dia membuat bantal untuk dirinya sendiri di bangku dan berbaring.
"Nona Haru, apa artinya ini?"
"Semuanya baik-baik saja; hargai saja kesempatan ini."
"Tapi kenapa?"
"Karena aku sangat lelah karena harus berhadapan dengan Yuzuki, yang membuatmu sangat bersemangat juga."
Meskipun begitu, itu bukan alasan untuk mengharapkan pijatan dari teman laki-laki.
Hmm, apa yang harus kulakukan?
Saat aku ragu-ragu, Haru duduk dan menyenggol bahuku.
"Ada apa? Menjadi gugup karena Haru ini yang seksi?"
"Baiklah. Kamu yang memintanya."
Aku meraih kaki kecilnya di tanganku dan mulai meremasnya dengan sekuat tenaga.
"Yeowch! Aduh, aduh, aduh! Jangan terlalu kasar!"
"Jangan jadi lebay deh! Aku hanya menghargainya di sini!"
"Yeowch! Itu sakittt!!!"
Setelah memijatnya beberapa saat kemudian....
"Ahhh! Kupikir aku akan mati. Meski gitu...."
Haru melompat ke tanah, meskipun dia bertelanjang kaki, dan memantul ke atas dan ke bawah beberapa kali.
"Kurasa kakiku terasa sedikit lebih ringan."
"Tentu saja. Apa menurutmu aku hanya setengah-setengah memijatnya atau semacamnya?"
Haru mengangguk puas, lalu menjatuhkan dirinya kembali ke bangku dan meluruskan kakinya dengan anggun.
"Chitose, kalau sepatu basketku yang hilang, apa kamu akan mencarinya dengan cara yang sama?"
"Kenapa tiba-tiba menanyakan ini padaku?"
"Gak ada alasannya, sungguh. Cuma mau tanya saja."
"Hmm, coba kulihat. Kalau itu kamu, aku mungkin akan berkata, 'Hal kecil seperti itu seharusnya gak memperlambatmu! Aku akan pergi menonton pertandingan!' .../Atau semacamnya."
"Begitu ya...."
Haru terdengar murung. Aku meliriknya. Dia menunduk, rambutnya terurai dan menyembunyikan wajahnya dari pandangan.
"Begitulah...."
Lanjutku, seolah mengarang alasan.
"Jika Yuzuki memintaku untuk memijatnya, mungkin aku gak akan melakukannya. Itu hanya untukmu, Haru-san."
Haru mengangkat kepalanya dan menatapku.
"Kenapa?"
"Dia terlalu seksi. Aku gak tahu harus meletakkan tanganku di mana."
"....Apa? Hei, tunggu, apa maksudnya itu?!"
Sedetik kemudian, Haru kembali menjadi dirinya yang biasa, dan kami berdua mengobrol bolak-balik sementara aku terus menunggu Yuzuki.
✶
Klub basket bubar setelah membereskan barang-barang setelah pertandingan, jadi Yuzuki, Haru, dan aku memutuskan untuk pergi ke Hachiban Ramen. Aku memesan ramen pedas biasa dengan tambahan daun bawang dan nasi goreng. Yuzuki memesan ramen sayur rasa asin, dan Haru memesan ramen sayur tonkotsu ukuran A-set, ekstra besar, dengan pangsit gyoza dan nasi.
"Nee, Saku, apa pendapatmu tentang kasus sepatu basket yang hilang?"
Setelah kami selesai memesan, Yuzuki mulai berbicara.
"Ini hanya dugaanku, tapi kurasa pelakunya bukan orang dari SMA Yan."
Aku menyampaikan pikiranku, yang telah kurenungkan sepanjang sore.
"Sebagai bahan perdebatan, katakanlah mereka berhasil meminjam seragam SMA Fuji untuk tujuan penyusupan. Kejahatan itu tetap sulit dilakukan dengan baik. Maksudku, lapangan panahan bukanlah tempat yang akan langsung terpikirkan oleh orang luar sekolah. Tapi, mereka gak hanya menargetkan titik lemah klub basket, mereka juga menunjukkan pengetahuan orang dalam tentang fitur-fitur khusus SMA Fuji."
Yuzuki pasti telah mencapai kesimpulan yang sama. Dia mengangguk, tampak termenung. Haru menimpali pembicaraan saat itu.
"Jadi, maksudmu penguntit itu bisa jadi seseorang dari sekolah kita?"
"Gak juga. Aku punya firasat ketika aku bertengkar dengan mereka tempo hari, tapi sekarang aku benar-benar berpikir bahwa orang-orang SMA Yan terlibat dalam hal ini. Mungkin mereka punya kaki tangan—atau haruskah kukatakan, mungkin mereka memaksa orang lain untuk melakukan pencurian sepatu."
Yuzuki memikirkannya sejenak.
"Maka itu berarti pencuri sebenarnya bisa siapa saja di SMA Fuji, selain kita, maksudku. Itu sama saja dengan gak mendapatkan informasi sama sekali."
Tepat sekali.
Itulah sebabnya aku sendiri tidak menyinggung masalah ini sebelumnya.
Jika kami menyelidiki sudut pandang kaki tangan, siapapun orangnya bisa mengaku telah dipilih secara acak dan diancam, yang tidak akan membawa kami pada kesimpulan apapun. Jika kami bisa menangkap basah mereka, mungkin hasilnya akan berbeda. Namun, sesuatu seperti menargetkan ruang klub basket putri adalah jembatan berisiko yang tidak akan berani dilewati dua kali.
Kami bisa mengintai satu area, seperti rumah Yuzuki, dan mengawasinya, namun kami tidak tahu jam berapa penguntit itu suka beraktivitas. Kami mungkin mengawasi rumah itu sepanjang malam, sementara penguntit itu tidur dan kemudian melakukan serangan tengah malam. Kami tidak bisa berbuat apa-apa tentang itu.
"Ayase dan Uemura ada di sana hari ini, bukan?"
Haru berbicara dengan santai, seolah-olah ini tidak memiliki arti penting.
Rupanya, Nazuna dan Atomu telah menonton pertandingan dari catwalk dari awal hingga akhir.
"Hee?"
Yuzuki tampaknya menganggap ini menarik.
Tentunya si pencuri itu sepatu tidak akan cukup sombong untuk tetap tinggal dan menonton pertandingan, untuk menikmati hasil kerja keras mereka?
"Aku gak ingat, tapi apa mereka berteman dengan seseorang dari kelompok kita?"
"Gak, sejauh yang kudengar gak pernah. Bagaimana denganmu, Chitose? Apa kamu berbicara dengan salah satu dari mereka?"
"Menurutmu aku punya waktu di jadwalku hari ini untuk itu?"
Aku mencoba mengalihkan sedikit perhatian mereka.
Aku memang tidak berbicara dengan Nazuna, namun aku telah berbicara dengan Atomu. Tetap saja, aku bukan tipe orang yang dengan santai mengulang hal-hal yang dikatakan orang kepadaku.
Saat itu, ramen kami tiba, dan pembicaraan secara alami beralih ke makanan.
"Chitose, bagi aku sedikit mie dan nasi gorengmu."
Haru mengulurkan tangan ke arah nampanku.
"Tentu, tapi kamu juga punya nasi. Kamu mau makan berapa banyak?"
"Sudah lama sejak kami bermain game yang intens seperti ini! Aku kehabisan bensin, dan aku perlu mengisi tenaga! Ini, kamu bisa makan ramen tonkotsu-ku. Makan pangsitku juga."
Haru menggeser mangkuk ramennya ke arahku dengan sumpit dan sendok sup Cina masih di dalamnya. Aku memberinya mangkuk mie pedasku, lengkap dengan sumpit dan sendok berlubang untuk menyendok bahan-bahan yang besar.
Aku menyeruput ramen tonkotsu, sambil berpikir sendiri bagaimana pilihan ramen sayur yang biasa tidak terlalu buruk sesekali. Haru tetaplah Haru, dia menyeruput mi pedas dalam mulut yang besar, dan kemudian... mulai tersedak.
"Gack! Ack! Chitose! Kamu terlalu banyak menaruh cuka di sini! Dan terlalu banyak minyak cabai!"
"Tapi itulah yang membuatnya begitu enak."
"Hmm.... ini buat sakit, tapi sekarang aku bisa melihat daya tariknya..."
"Berapa banyak yang kamu rencanakan untuk dimakan di sini?"
Yuzuki memperhatikan kami berdua, satu alisnya terangkat tinggi, seolah-olah dia tidak merasa itu lucu.
"Ada apa? Oh, apa kamu juga mau, Yuzuki?"
Haru mulai menyodorkan sepiring mie pedas ke arah Yuzuki, namun Yuzuki menepisnya.
"Makasih, tapi gak,."
"Oh, kupikir mungkin kamu marah karena aku menggunakan sumpit dan sendok Chitose tadi."
"Aku ini bukan murid SD, tahu."
"Aku baru saja mendapat pijat kaki dari Chitose sebelumnya!"
"....Jelaskan. Secara rinci."
Aku memperhatikan mereka berdua mengobrol, merasa agak nyaman. Keduanya jelas adalah partner, dan bukan hanya di lapangan.
Kesampingkan sejenak kepribadian Haru, setidaknya Yuzuki adalah seseorang sepertiku, seseorang yang suka menjaga batasan yang ketat.
Aku akan sejauh ini dengan orang ini. Sedikit lebih jauh dengan orang lain ini. Seberapa banyak yang harus kutunjukkan dari diriku? Sisi kepribadianku yang mana yang harus kulepaskan? Aku menjalani hidupku dengan banyak memikirkan hal-hal seperti itu. Kami berdua melakukannya. Dan kami berdua membutuhkan pasangan yang menerima hal itu.
Aku memperhatikan Yuzuki, yang tampak santai di dekat Haru. Itu membuatku merasa nyaman juga, dan agak senang di dalam.
"Jadi, kalian berdua akan pergi ke mana untuk kencan?"
Haru tiba-tiba memecah ketenanganku yang sedang merenung. Aku telah menyebutkan kencan kami kepada Haru sebelumnya, jadi aku tidak begitu terkejut dia membicarakannya sekarang, namun tampaknya Yuzuki tidak.
Aku merasakan tatapan tajam tertuju padaku.
Haru telah bertindak seolah-olah Yuzuki akan berkencan denganku besok adalah hal yang wajar, jadi aku benar-benar berasumsi Yuzuki sudah membicarakannya dengannya.
Itu salahku, sungguh.
"Itu bukan kencan. Itu bagian dari akting, untuk menjual kesan bahwa kami adalah pasangan; itu saja."
Yuzuki berusaha menjelaskan semuanya pada Haru.
Menarik juga Yuzuki terlihat gugup. Aku memutuskan untuk menantangnya.
"Maaf? Kudengar kamu yang ingin berkencan denganku."
Hei! Jangan lempar serbet basah itu padaku!
"Kamu tahu, Yuzuki...."
Haru menyeringai.
"Kau lebih seperti gadis biasa daripada yang kamu sadari."
"Apa maksudnya?"
"Itu yang kukatakan, memangnya apa lagi?"
Yuzuki menggaruk kepalanya seolah berpikir keras. Lalu dia mengangguk tegas dan berbicara lagi.
"Haru, kamu yakin ini yang kamu inginkan? Asal kamu tahu, aku gak akan menahan diri, bahkan jika itu kamu. Aku juga gak akan membiarkanmu lolos jika kamu gak bisa mengimbangi."
"Dan aku gak akan membiarkan diriku dikalahkan oleh seorang gadis yang gak bisa berharap untuk meminjam kekuatan seorang laki-laki bahkan jika hidupnya bergantung padanya."
Ya ampun, sarung tangan untuk berduel benar-benar lepas di sini. Aku berdiri setenang mungkin dan menuju kamar mandi.
✶
Clack, clunk, clank.
"Seranganmu juga gak bersemangat, Haru! Hyah!"
Clack, clunk.
"Kamu selalu mencoba terlalu teliti dalam segala hal, Yuzuki, yang berarti kamu berpikir terlalu lambat! Hyuh!"
Clink. Clank. Clatter. Clack.
"Whoo-hoo!"
"Gahhh!!!"
Swoosh. Clunk. Clatter, clatter, clatter
"Yoshaa!!! Aku menang!"
"Haru. Ronde berikutnya."
....Bagaimana kami bisa berakhir seperti ini?
Awalnya aku berencana untuk bermain dengan Haru saja dan menyelesaikan skor dari pertandingan terakhir, namun sebelum aku menyadarinya, kami semua berakhir bermain air hockey di arcade. Kemudian, ketika aku kembali dari kamar mandi, aku tersandung pada... hal ini.
Mereka bahkan tidak mengizinkanku bermain. Rupanya aku hanya di sini sebagai penonton. Dengan kemenangan terbaru yang disertakan, Haru memimpin dengan tiga kemenangan berbanding dua kekalahan. Sejak mereka mulai bermain, Haru menolak membiarkan Yuzuki memimpin.
Haru memang diberkahi refleks alami yang cepat, tentunya, tapi dia memberi kesan bahwa dia hanya fokus pada gawang. Pada dasarnya, dia tidak punya konsep pertahanan dan menganggap menghalangi tembakan lawan hanya sebagai kesempatan untuk mencuri puck dan melakukan tembakannya sendiri.
Yuzuki sebaliknya. Dia menghalangi setiap tembakan yang mendekati wilayahnya dan mempertimbangkan waktu terbaik untuk tembakannya sendiri, menggunakan dinding samping meja hoki udara sebagai penyangga strategis untuk memantulkan tembakan yang disegitiga dengan hati-hati.
Haru memasukkan sekitar sepuluh tembakan untuk setiap tiga puluh upaya yang dia lakukan untuk mencetak gol. Yuzuki memasukkan delapan tembakan untuk setiap sepuluh upaya yang dia lakukan untuk mencetak gol.
...Itulah jenis permainannya. Halo, aku Saku Chitose, di sini hari ini dengan gak ada yang lebih baik untuk dilakukan selain memberikan komentar olahraga lari di kepalaku sendiri.
"Chitose."
"Saku."
""Dapatkan lebih banyak koin.""
"Siap, nona-nona!"
Aku kembali dengan segenggam koin seratus yen dan memasukkan satu ke dalam mesin.
Yuzuki memimpin saat aku pergi, namun sekarang giliran Haru.
Saat puck itu berdenting ke depan dan ke belakang, dia angkat bicara.
"Hei, Nana-Yuzuki? Mau bertaruh untuk ini?"
Yuzuki fokus pada puck itu, kepalanya tertunduk, dan aku tidak bisa melihat wajahnya.
"Tentu, taruhan macam apa?"
Kami para atlet memang suka bertaruh saat olahraga.
Aku menyeringai sendiri, lalu Haru mendongak dan menyeringai juga.
"Jika Nana memenangkan permainan ini, aku akan memberinya satu tambahan. Dia akan menjadi pemenang keseluruhan, sensasi comeback yang sesungguhnya."
"Apa untungnya buatmu, Umi?"
"Jika aku memenangkan permainan ini...."
Haru mengacungkan palu godamnya.
"Aku yang akan pergi berkencan besok, bukan kamu."
Puck itu masuk.
"Apa....?"
CLUNK. Clatter, clatter, clatter.
Yuzuki lambat bereaksi, dan Haru berhasil melepaskan tembakan diam-diam tepat di gawang Yuzuki.
Aku merasa baru saja mendengar sesuatu yang sangat pedas dan sulit untuk diabaikan...
Yuzuki mengambil puck itu dengan tenang sebelum berbicara.
"Jadi ini pernyataan perang, karena kita mengutip nama lapangan, ya?"
Suasana terasa berat dengan ketegangan, seperti saat latihan pertandingan tadi.
"Benar. Ini bukan pertandingan persahabatan lagi, apa kamu setuju?"
Puck itu meluncur melintasi meja, menghindari genggaman Haru, dan masuk ke gawang. Haru mengambil keping itu, menyeringai jahat.
"Hmm? Merasa sedikit bersemangat sekarang, ya? Kamu pasti benar-benar menginginkan kencan dengan Chitose."
"Terserah katamu. Aku hanya gak ingin kalah dari orang sepertimu, Haru."
"Jika kamu benar-benar gak mau kalah, tunjukkan padaku wajah permainanmu, Nana."
"Aku bukan kamu, Umi. Aku gak perlu menggerutu dan memaksakan diri untuk menang."
"Terserah kamu aja."
Menggelengkan lengannya dengan erat, Haru memukul puck itu dengan punggung tangan.
"Teruslah bermain seperti itu, dan kamu akan kalah lebih parah daripada yang pernah kukatakan. Jangan mulai menangis jika sampai seperti itu, oke?"
"Kapan tepatnya yang kamu maksud itu?"
CLANK. CLUNK. WHOOSH. CLUNK.
...Apa kami tiba-tiba ada di manga olahraga sekarang?
"Kamu selalu menahan diri sedikit saja, Nana! Kamu pikir kamu jauh lebih unggul dari yang lain!"
"Maksudmu aku sudah melewati garis tiga poin?"
"Ya, ya, baiklah, kamu hebat hari ini."
"Hanya menembak bola liar ke ring setiap kali ada kesempatan gak akan menjamin kemenangan, tahu.... Ugh!"
"Kamu gak pernah melakukan tembakan langsung ke ring seumur hidupmu.... Hng!"
Kemudian terjadilah aksi unjuk rasa yang sengit.
Ini tidak lagi tampak seperti permainan arcade yang menyenangkan.
"Hyaaah! Nanaaa!!!"
"Berhentilah.... bercanda.... Umiii!!!"
Mereka berdua berubah menjadi adu gerutu dan teriakan tanpa kata, karena nasib kencan besok tergantung pada....
✶
Clatter, clatter, scuff, scuff.
Clip, clop, clunk. Clatter, scuff, scuff.
Latar belakang kuil dipenuhi dengan suara sandal geta bersol kayu yang berdenting dan berdenting. Kios-kios warna-warni berjejer rapi di sepanjang jalan setapak, masing-masing mengeluarkan bau yang menggoda dan unik.
Merah, biru, jingga, hijau, dengan pola yang berbentuk bulat, segitiga, persegi.
Saat gadis-gadis lewat, ke sana kemari, jubah mereka mekar seperti bunga berwarna-warni. Ada warna-warna cerah di mana-mana, hingga apel permen merah berkilau dan yo-yo mainan cerah yang mengapung di dalam peti air.
Orang dewasa memperhatikan dengan saksama saat anak-anak berlarian sambil mengenakan topeng mainan plastik dan mengacungkan pedang mainan. Orang dewasa itu memegang bir, dan wajah mereka tampak lebih lembut, lebih ramah dari biasanya.
Lentera kertas menerangi pemandangan, tampak melayang hampir tanpa cahaya di atas kerumunan. Bermandikan cahayanya, kuil itu menyerupai desa buku cerita kecil. Lentera-lentera itu dihiasi dengan nama-nama bisnis lokal.
Saat itu hari Minggu, sehari setelah pertandingan latihan, sekitar pukul tujuh tiga puluh malam. Aku menunggu Yuzuki di bawah gerbang torii merah besar yang menandai pintu masuk kuil kecil yang terletak di sekitar SMA Fuji.
Aku tahu aku sudah berjanji padanya untuk berkencan, dan aku berpikir untuk mengajaknya menonton film atau berbelanja di Lpa. Namun kemudian aku mengetahui bahwa mereka sedang mengadakan festival di kuil ini.
Clonk, clop, scuff.
Suara sandal geta berhenti di depanku.
Aku mengangkat kepala, dan waktu seolah berhenti sejenak, setidaknya bagiku.
Yuzuki mengenakan yukata putih dengan desain bunga hollyhock biru cerah dan biru laut yang indah di sekujur tubuhnya. Ikat pinggang obi-nya berwarna biru tua yang kontras, dan rambut hitam sebahunya dijepit dengan jepit rambut berhias. Tengkuknya terekspos sepenuhnya, dengan cara yang hampir sensual. Aku tidak yakin apa dia memakai lipstik, tapi ketika dia tersenyum, bibirnya tampak sedikit lebih merah dari biasanya. Dia tampak sederhana dan tetap bergaya seperti biasanya, tapi hari ini Yuzuki juga jauh lebih cantik daripada siapapun yang berjalan di dekatnya.
Aku menduga dia akan datang mengenakan yukata, tapi ini jauh lebih spektakuler dari yang bisa kubayangkan.
"Maaf! Aku membuatmu menunggu sebentar hari ini, ya?"
Aku menatap Yuzuki, yang sedikit tersipu dan masih tersenyum. Entah mengapa, aku mulai merasa aneh dan emosional.
"....Saku?"
Aku mengambil emosiku yang salah tempat dan membuangnya ke tong sampah mentalku. Kemudian aku berbicara, nadaku santai.
"Hmm? Apa ini? Kamu terlihat cukup baik untuk membuat seorang laki-laki ingin.... kamu tahu."
"Gak bisakah kamu mencoba memberiku pujian yang lebih tulus dari itu?"
"Pada saat-saat seperti ini, aku benar-benar bertanya-tanya apa kamu mengenakan sesuatu di balik itu...."
"Dengarkan ini...."
Yuzuki mendesah seolah kesal sejenak, kemudian dia menjadi cerah dan, dengan ekspresi gerah di wajahnya, mencengkeram kerah yukata-nya.
"Jika kamu begitu penasaran, apa kamu mau mengeceknya sendiri?"
"Aku mengalah, aku mengalah. Kamu berhasil menipuku. Sebelum kita mulai menggoda, mari kita bersikap baik dan makan permen apel atau semacamnya."
Aku mulai berjalan, tapi Yuzuki menahanku.
"Tunggu."
Dia terbentur dan mundur dua atau tiga langkah, memperhatikan penampilanku.
"Itu agak membuatku merasa aneh."
"Hmm, aku ingin menyamakan kedudukan dengan memasukkan unsur kejutan. Aku tahu, aku tahu; aku terlihat bagus. Tapi pada saat-saat seperti ini, laki-laki seharusnya membiarkan gadis bermekaran, bukan?"
Mungkin, Yuzuki mengacu pada fakta bahwa aku juga datang mengenakan yukata. Itu adalah yukata biru nila sederhana tanpa banyak pola, namun kupikir, mengapa tidak, dan menariknya keluar dari lemariku sebelum datang.
"Agak gak biasa bagi seorang laki-laki untuk memakai yukata."
"Tahun lalu, aku dipaksa memakainya oleh.... seseorang."
"Hmm? Dan hubungan aneh macam apa yang kamu miliki dengan 'seseorang' ini?"
"Sudah kubilang: aku gak akan mengatakannya."
"Tapi, Saku, bagian dadamu harus sedikit lebih terbuka...."
"Hei, lelucon kotor itu tugasku."
Aku mulai berjalan pergi dengan sungguh-sungguh, dan Yuzuki melingkarkan jari kelingkingnya di jariku. Bagaimanapun, ini hari yang baik. Tentunya para dewa akan mengabaikan ini, kali ini saja.
Diiringi musik festival yang mengalun seperti pipa, kami berjalan bersama di bawah gerbang torii.
✶
Kami membeli apel permen berwarna merah terang dan menggigitnya secara bergantian saat kami berkeliling festival.
Aku selalu menyukai festival, sejak aku masih kecil.
Mencengkeram segenggam kecil koin, berdebat tentang apa yang harus dibeli, membiarkannya terlalu lama, dan kemudian mengetahui bahwa separuh kios telah terjual habis. Festival Fukui sebagian besar sering dikunjungi oleh teman-teman tetangga, namun selalu ada kegembiraan saat melihat gadis-gadis dari kelas kalian di sana.
Siapa yang mengira bahwa suatu hari aku akan tumbuh dewasa dan mulai pergi ke festival dengan seorang gadis cantik di sisiku. Tahun lalu selama musim semi, aku asyik dengan klub bisbol, dan di musim panas, meskipun Yuuko dan yang lainnya mengundangku, aku tidak bisa bersemangat untuk pergi. Aku menyadari bahwa ini adalah festival pertamaku sejak masuk SMA. Saat aku mengunyah apel, yang sekarang rapuh di bawah lapisan permennya, aku berpikir tentang bagaimana festival ternyata tidak seburuk itu.
"Nee, Saku. Ayo kita pergi dan mencoba penyendok ikan mas."
Wajah Yuzuki berseri-seri karena kegembiraan.
Aku sedikit khawatir tentangnya setelah apa yang terjadi kemarin, tapi festival ini tampaknya menjadi pengalih perhatian yang menyenangkan.
"Tentu, tapi jika kamu menangkap ikan, kamu harus merawatnya, oke?"
"Oke! Aku dulu memelihara ikan dari festival saat aku masih kecil."
Kami berdua membayar lelaki tua yang menjaga kios itu tiga ratus yen masing-masing, dan dia memberi kami masing-masing lingkaran plastik dengan selembar kertas yang dibentangkan di atasnya, untuk menyendok.
Yuzuki menggulung lengan baju yukatanya dan mencelupkan sendok itu ke dalam air dengan hati-hati, target sudah dalam pandangannya. Dia berhasil menempatkan seekor ikan tepat di tengah sendok plastik itu sejenak, tapi kemudian kertasnya robek, dan ikan itu lepas.
"Ah!"
"Amatir."
Yuzuki menggembungkan pipinya karena marah.
"Kalau begitu, kamu saja, Saku. Aku mau yang merah kecil itu—oh, dan yang hitam kecil juga."
"Ikan mas wakin dan demekin berenang dengan kecepatan berbeda, jadi gak mungkin untuk menangkap dua sekaligus. Bagaimana kalau dua ikan mas merah atau satu ikan mas ryukin yang siripnya berbulu?"
Mata Yuzuki berbinar saat dia mengangguk.
"Ada triknya. Perhatikan sendoknya. Sisi yang direntangkan kertas di atasnya sebenarnya adalah sisi belakang. Jika kamu menyendok dengan sisi itu menghadap ke atas, kertasnya akan lebih sulit robek."
Aku mengangkat sekop saya sendiri sebagai contoh.
"Siapkan cangkirmu, sedekat mungkin dengan permukaan air. Celupkan sendokmu secara miring dan bergerak cepat. Jika kamu hanya memasukkan setengahnya ke dalam air, kertas itu akan hancur lebih cepat."
Saat aku berbicara, aku mengambil satu ikan mas demekin hitam dengan sendokku.
"Lalu gunakan tepi sendok, dan jika memungkinkan, balikkan ikan dengan memegang kepalanya. Ini dia."
Aku menyendok ryukin merah pada saat yang sama. Aku mengangkat cangkir dengan dua ikan berenang di dalamnya agar Yuzuki melihatnya. Dia mencondongkan tubuh, mengintip ikan itu.
"Hebat! Itu luar biasa!"
"Hehe. Mungkin kamu terkejut mengetahui hal ini, tapi saat aku masih seorang anak kecil, aku adalah seorang ahli dalam menangkap ini sampai-sampai aku benar-benar dilarang untuk bermain."
"Aku gak pernah menduganya! Aku mengiramu adalah tipe orang yang akan duduk diam dan melihat teman-temanmu melakukannya, dengan ekspresi 'Aku lebih baik dari kalian semua' di wajahmu."
"Hei, kamu mungkin gak percaya, tapi aku adalah tipe orang yang suka festival. Aku membawa kuil portabel mikoshi dan berbagai hal itu."
"Kamu memakai mantel happi? Aku mau melihatnya!"
Aku akan merasa bersalah karena menyendok lebih dari bagian yang seharusnya, jadi aku mengembalikan sendokku dan meminta orang itu untuk memasukkan dua ikan itu ke dalam kantong. Aku pikir lelaki tua itu pasti bersikap manis pada Yuzuki atau semacamnya, karena dia memberikan sekantong kecil makanan ikan gratis, disertai dengan senyuman yang manis.
Uh-huh, uh-huh, aku mengerti, kawan lama.
Kami memutuskan untuk beristirahat, dan aku mengambil beberapa marumaru yaki, seporsi yakisoba, dan sekantong bola kue Baby Castella yang bisa kami makan sambil duduk di tangga batu. Ngomong-ngomong, marumaru yaki pada dasarnya adalah panekuk gurih goreng kecil, gaya okonomiyaki, kira-kira sebesar telapak tangan kalian. Dan karena kami mungkin akan haus setelah memakan semua itu, aku juga membeli dua botol Ramune untuk kami.
Saat aku sibuk, aku terus melirik Yuzuki, yang sedang mengangkat kantong berisi ikan ke arah cahaya dan tersenyum padanya. Melihat betapa senangnya dia dengan ikannya, aku dalam diam berterima kasih kepada diriku sendiri karena telah berlatih menyendok ikan mas.
"Nee, Saku, aku harus menyebut mereka apa?"
"Ikan Merah dan Ikan Hitam."
"Itu agak terlalu harfiah, bukan?"
"Ikan mas festival cenderung lemah; terkadang mereka langsung mati. Kamu seharusnya gak memberi mereka nama yang bermakna; itu hanya akan membuat perpisahan menjadi lebih sulit."
"Kalau begitu aku akan memanggil mereka Saku dan Chitose."
"Kamu ingin marumaru yaki di wajah, ya?"
Yuzuki mencolek-colek kantong itu dengan ringan.
"Aku akan merawat mereka dengan baik agar mereka gak mati di hadapanku."
Wajahnya tampak begitu polos, disinari oleh cahaya lembut lentera festival. Aku merasakan gelombang kesedihan lain menerpaku, sama seperti yang kurasakan saat berdiri di bawah gerbang torii, saat aku melihat Yuzuki untuk pertama kalinya malam ini.
Aku bahkan tidak tahu apa yang membuatku merasa seperti itu.
Namun, perasaan yang perlahan-lahan mengembang di dalam dadaku jelas merupakan kesedihan. Semuanya begitu cepat berlalu. Aku tidak bisa menahan aroma festival, aku tidak bisa menangkap hiruk pikuk kerumunan yang bahagia, aku tidak bisa menangkap momen ini dan menyimpannya selamanya. Dan momen yang sama persis ini tidak akan pernah, tidak akan pernah datang lagi. Pikiran itu membuatku merasa sangat sedih.
Namun, masih terlalu dini untuk memberi nama pada perasaan ini.
"Mau yakisoba?"
Aku membuka sumpit kayu sekali pakaiku, seolah menandai akhir dari sesuatu.
Saat aku menyantap makanan festival yang murah tapi mengenyangkan, Yuzuki mengulurkan tangannya seolah berkata, "Bagi."
"Mmn."
Aku memberinya sepasang sumpit kayu baru, bersama dengan bungkus plastik yakisoba.
....Entah mengapa, dia mengembalikan sumpit itu kepadaku.
Aku memberinya sepasang sumpit kayu lain yang belum pernah dipakai.
Teman dudukku yang pendiam menggelengkan kepalanya dari kiri ke kanan.
...Dia juga tampaknya gak mau menggunakan sumpit itu.
Sebagai percobaan, aku menawarkan sumpit yang sama yang biasa kupakai untuk makan.
Akhirnya, Yuzuki mengangguk, mengambilnya, dan menyantap yakisoba itu.
"Apa maksudmu, kamu ingin membuat Haru cemburu atau semacamnya?"
....Itulah yang ingin kukatakan, menggodanya, tapi Yuzuki mengalihkan pandangannya seolah-olah dia malu, jadi kuputuskan untuk tidak mengatakannya.
Setelah kami selesai menyantap yakisoba dan marumaru yaki, kami berdua menyiapkan botol Ramune kami, lalu dengan suara "Siap? Ayo!" kami membuka tutupnya dan menenggelamkan kelereng kami ke dalam soda. Ini sebenarnya botol plastik, bukan botol kaca tradisional, yang sedikit mengecewakan, tapi tidak apa-apa. Yuzuki melepaskan tangannya dari tutup botol sedikit terlalu cepat, dan busa mulai menyembur keluar dari botolnya. Dia mulai menjerit, tapi aku mendekatkan botol ke bibirku dan menelan busanya.
Aku terkejut melihat banyaknya busa yang keluar dari botol. Itu benar-benar gelombang pasang. Yuzuki tertawa. Aku juga mulai tertawa. Begitu dia berhenti, aku mulai tertawa lagi, dan kemudian dia ikut tertawa sekali lagi.
Bahkan botol Ramune itu ikut tertawa, kelereng yang berdenting di dalamnya mengeluarkan suara seperti suara cekikikan yang teredam.
Setelah kami selesai minum, kami melepas tutupnya dan mengeluarkan kelereng kami. Kemudian, seperti yang kami lakukan saat masih kecil, kami mengangkatnya di depan mata kami untuk melihat ke dalamnya.
Dunia yang terlihat melalui kelereng Ramune terbalik, berwarna-warni, dan tampak mengambang. Aku bisa melihat anak laki-laki kecil berlarian, gadis-gadis kecil mengenakan yukata warna-warni, pasangan-pasangan berjalan, berpegangan tangan dan tampak ingin melakukan lebih dari itu. Namun, tidak seorang pun dari mereka menyadari bahwa mereka terbalik.
"Nee, Saku. Kamu terlihat sangat tampan, dilihat melalui kelereng ini."
Begitulah kata Yuzuki.
"Dan kamu tampak sangat cantik, dilihat melalui kelereng ini."
Suasana festival tampaknya telah menguasai Yuzuki dan aku.
Besok, tempat ini akan kembali menjadi kuil kecil yang biasa dikunjungi sehari-hari. Dan panas di antara kami, akan segera menghilang lagi, karena batasan-batasan kami ditegaskan sekali lagi.
Jadi, kupikir tidak apa-apa bagi kami untuk tetap menikmati momen ini, hanya beberapa menit lagi.
✶
Setelah kami menghabiskan semua bola kue Baby Castella, kami memutuskan untuk berkeliling festival lagi.
Yuzuki berjalan ke arah area yang tidak terkena cahaya lentera.
Aku pikir dia mungkin sedang mencari kamar mandi, tapi dia berhenti di depan pohon—koreksi, dua pohon—yang dililit tali. Kemudian dia memberi isyarat kepadaku.
"Ada apa?"
Saat aku mendekat, Yuzuki diam-diam menunjuk ke sebuah papan tanda.
Di papan itu tertulis : POHON GINKGO SUAMI DAN ISTRI. Aku segera membaca deskripsinya. Rupanya, kuil ini memiliki beberapa pohon seperti ini yang memiliki dua batang yang tumbuh bersama, sangat cocok untuk berdoa sebelum berdoa dengan harapan akan ikatan yang bahagia.
Yuzuki memeriksa apa aku sudah selesai membaca, lalu meletakkan tangannya di salah satu batang pohon. Batang-batang itu tampak membentuk huruf V.
"Ayo. Kenapa gak?"
Aku kurang lebih bisa menebak apa yang Yuzuki cari.
Aku meletakkan tangan saya di batang pohon lainnya. Aku melirik Yuzuki, yang telah memejamkan matanya. Aku terus menatapnya. Bahkan ketika akhirnya aku memejamkan mata, aku tidak tahu harus berdoa apa.
Beberapa saat kemudian, aku menatap Yuzuki, yang tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar. Dia tersenyum sedikit sedih padaku.
"Ini lebih terasa seperti pohon dua waktu daripada pohon suami istri yang bahagia." Komentarnya.
"Kamu benar."
Pada saat seperti ini, yang bisa kulakukan hanyalah mencari humor.
Tidak diragukan lagi Yuzuki tidak bisa melangkah lebih jauh. Dia juga tidak benar-benar ingin melakukannya. Tak satu pun dari kami punya nyali untuk menyerang lebih dulu, jadi kami hanya mengayunkan pedang kami satu sama lain di sini.
Aku sedang memikirkan itu, ketika....
"Yo. Saku Chitose."
...Oh, jangan bercanda.
Aku tidak tahu dari mana asalnya, tapi tiba-tiba, seekor ayam jantan besar yang tidak asing datang berkokok di antara kami.
"Eek!"
Yuzuki terhuyung mundur, terlalu terkejut, dan jatuh terduduk di kerikil.
Aku sudah jengkel, tapi aku melawannya, menenangkan diri, dan mengulurkan tanganku ke Yuzuki.
Saat itulah seseorang menendangku dengan keras dari belakang. Aku berjongkok dalam balutan yukata-ku, yang sulit untuk bergerak. Aku jatuh menimpa Yuzuki, membuatnya tersungkur.
Seseorang tertawa di belakang kami, suaranya menyebalkan.
Apa kau sedang bercanda sekarang? Sial.
Saat aku mencoba untuk bangun, aku cepat-cepat menatap Yuzuki.
Yuzuki menatap dari balik bahuku, wajahnya seperti topeng ketakutan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tangannya mencengkeram yukata-ku, gemetar, dan bibirnya yang indah memutih.
"Whoo, kau terlihat seksi, Yuzuki Nanase."
Kata Si Bodoh Aneh Dengan Jambul Ayam, dan aku cepat-cepat menarik ujung yukata Yuzuki kembali ke bawah kakinya.
Aku meletakkan kedua kakiku berjauhan, bersiap jika Si Aneh itu akan menendangku lagi. Sambil menyeret Yuzuki, aku berhasil membuat kami berdua berdiri lagi.
Aku berbalik, mendorong Yuzuki dengan protektif ke belakangku. Ada orang lain berdiri di belakang Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu, orang yang jauh lebih tinggi. Tingginya hampir sama dengan Kaito, mungkin sedikit lebih pendek. Dia kurus kering—terlalu kurus, dengan lengan dan kaki yang kurus. Dengan tinggi badannya, itu terlihat tidak wajar. Menyeramkan.
Aku cepat-cepat mengamati area itu. Aku tidak melihat tanda-tanda dua orang lain yang tadi berada di perpustakaan. Tetap saja, jika terjadi perkelahian, aku akan berada dalam posisi yang kurang menguntungkan dengan yukata dan sandal kayu.
Jika harus memilih, yakisoba atau okonomiyaki akan menjadi senjata pilihanku. Mungkin cumi-cumi panggang.
Bagaimanapun, memasukkan semacam makanan panas ke bagian belakang pakaian mereka mungkin akan memberiku cukup waktu untuk menangkap Yuzuki dan melarikan diri.
"Lama tidak bertemu, Yuzuki."
Orang bertubuh tinggi dan kurus itu muncul dari balik bayangan dan maju ke arah kami. Dia memiliki potongan rambut ala samurai—pendek di bagian samping, dengan bagian atas yang panjang diikat dengan ekor kuda tinggi di bagian belakang. Matanya tajam, sipit, dan galak. Seketika, aku tahu dialah "Bos" yang dibicarakan Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu.
Dan cara orang itu berbicara kepada Yuzuki memperjelas bahwa mereka saling kenal. Yuzuki berpegangan erat pada lengan bajuku. Dia gemetar, dan kukunya mulai menancap di kulitku.
"...Yana..."
Yuzuki terdengar hampir menangis.
"...Yanashita..."
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya.
Baiklah. Darah gak lagi mengalir ke kepalaku. Santai saja.
Aku meletakkan tanganku di atas tangan Yuzuki.
"Apa yang kalian inginkan dari pacarku?"
Yanashita menyeringai tipis menanggapi itu.
"Jadi kau itu Saku Chitose. Pergilah. Aku datang ke sini untuk menemui Yuzuki."
"Begitulah yang kau katakan, tapi seperti yang kau lihat, Yuzuki gak akan membiarkanku pergi. Sulit menjadi kesayangan para gadis, kau tahu."
Swoosh. Yanashita menendang segumpal kerikil ke arah kami.
Yuzuki tersentak, terkejut, lalu memelukku lebih erat, begitu erat hingga terasa sakit.
"Dia itu milikku."
"Itu pertama kalinya aku mendengarnya. Apa ini semacam rutinitas mantan pacar yang dicemooh?"
Di belakangku, Yuzuki menggelengkan kepalanya dengan kuat.
"Ayolah, Yuzuki. Kau bilang kau gak ingin berpacaran dengan siapapun, tapi begitu kau masuk SMA kau mulai merentangkan kakimu untuk pecundang yang suka pamer ini?"
Wajah Yanashita berubah.
"Karena kau jelas akan berpacaran dengan siapapun, kenapa gak denganku? Kau gak ingin kejadian yang sama terulang, kan?"
"....Apa yang terjadi?"
Tanyaku.
Yuzuki mengeluarkan suara mencicit tercekik, seolah berkata, "Tolong, jangan tanya."
Yanashita menyeringai.
"Kau bahkan gak tahu, kan? Saat dia ketakutan dan menangis, itu adalah hal yang paling menggairahkan yang pernah ada."
Geh-heh-heh.
Dia tertawa. Suaranya sangat tidak senonoh. Yuzuki memelukku lebih erat.
....Ah, oke. Itu sudah cukup.
Aku membiarkan darahku mengalir ke kepalaku.
Satu pukulan ke moncong seharusnya sudah cukup. Dengan begitu, semua masa yang tidak menyenangkan ini bisa berakhir.
Meskipun aku tahu tidak seperti diriku untuk memilih kekerasan.
Aku mengepalkan tanganku—dan kemudian aku teringat dua pasang jari kelingking, mengait di jariku dalam sumpah tiga arah yang kulakukan sebelumnya.
Benar. Aku gak bisa melakukan ini. Gak seperti ini. Gak sekarang.
Aku mengepalkan dan membuka tanganku beberapa kali, mencoba melepaskan ketegangan. Kali ini akan baik-baik saja. Aku mengumpulkan kekuatanku, lalu menarik napas dalam-dalam.
"AAAARGH!!! TOLONG! Orang-orang ini mencoba melakukan hal-hal cabul padaku!!! Mereka bilang mereka terangsang oleh anak muda menarik dari jenis kelamin apapun!!! TOLOONNGG!!! Seseorang, TOLOONNGG!!!"
Aku berteriak sekeras-kerasnya.
Sepertinya semua orang di seluruh kuil menoleh ke arah ini. Orang-orang mulai berbisik-bisik.
Si Bodoh Aneh Dengan Jambul Ayam itu tampak benar-benar bingung dengan apa yang terjadi selama beberapa detik. Kemudian dia tampak tersadar dan maju ke arahku, menggeram, "Kau akan mati."
"MEREKA INI MESUM BANGEEET!!! Fetis mereka adalah menjilati perut six-pack pemain olahraga SMA!!! Mereka bilang mereka suka membenamkan wajah mereka di antara dada seorang laki-laki dan memijat paha dan bisepnya yang kencang!!! Lalu mereka ingin mengakhirinya sambil memegangi gluteus maximus laki-laki itu yang tegang! Tolong, selamatkan aku dari nasib buruk dan bejat ini!!! TOLOONNGGG!!!"
{ TLN : Gluteus maximus itu otot terbesar dan terkuat di tubuh manusia yang membentuk sebagian besar bokong dan area pinggul. }
"Hentikan sekarang, atau kau akan mati...."
"SELAMAT TINGGAL PADA KEPERJAKAANKU, AAARGH!!"
Orang-orang di sekitar mulai mengerutkan kening mereka, jelas tidak dapat menyembunyikan rasa jijik mereka.
Yanashita dan Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu tampak seperti akan mati karena sangat terkejut. Mereka berbalik dan bergegas pergi, tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Hehe. Melakukan beberapa serangan yang bagus gak selalu membutuhkan tinju.
Dan terkadang kalian harus mengorbankan apa yang kalian sayangi untuk menyelamatkan sesuatu yang kalian hargai. Yuzuki melingkarkan lengannya di pinggangku dan membenamkan wajahnya di dadaku.
Apa itu gak lucu?