CHAPTER THREE
Hubungan yang Ditentukan dan Jarak yang Tidak Ditentukan
Hubungan yang Ditentukan dan Jarak yang Tidak Ditentukan
Sehari setelah pertemuan kami di festival dengan Yanashita dan si Si Aneh Dengan Jambul Ayam dari SMA Yan, Yuzuki tidak seperti biasanya absen dari sekolah. Dugaanku, dia terlalu lelah untuk tetap menjadi dirinya sendiri seperti biasa.
Aku tidak memberitahu teman-temanku tentang kejadian semalam. Bukan karena aku ingin menyembunyikan bahaya yang kuhadapi atau karena aku tidak ingin membuat mereka khawatir. Melainkan karena aku sendiri masih belum memahami apa yang terjadi antara Yanashita dan Yuzuki hingga membuat Yuzuki bereaksi seperti itu. Tanpa semua fakta, aku tidak bisa begitu saja memberikan cerita yang tidak lengkap kepada teman-temanku. Siapa yang tahu apa akibatnya bagi Yuzuki.
Kemarin, setelah melihat Yuzuki pulang, aku mengiriminya pesan sebelum tidur menanyakan apa dia baik-baik saja, tapi tanggapannya hanya : "Aku bolos sekolah besok." Aku sadar betul bahwa menanyakan seseorang yang jelas-jelas sedang tidak baik-baik saja adalah tindakan yang paling bodoh. Aku tahu aku mungkin akan bertemu lagi dengan anak-anak SMA Yan, tapi Yuzuki tampak ketakutan. Aku benar-benar tidak menyangka itu.
Mungkin aku perlu belajar lebih keras untuk memahami gadis itu.
Aku memikirkan itu seharian, lalu sekolah pun berakhir. Aku pergi ke restoran Saizeriya bersama Tomoya untuk belajar untuk ujian. Sejujurnya, aku sedang tidak ingin, tapi karena aku libur sehari dari peran sebagai pacar Yuzuki hari ini, kurasa aku punya waktu luang untuk menasihati Tomoya tentang percintaan sekali ini.
Kami belajar sekitar dua jam untuk ujian tengah semester yang akan dimulai besok. Rasanya waktu yang tepat untuk istirahat. Aku memesan steak hamburger dengan saus sayuran dan seporsi besar nasi, berpikir untuk makan malam lebih awal. Tomoya memesan doria ala Milan, hidangan gratin yang dibuat dengan nasi, bukan pasta.
Begitu pesanan kami tiba, dan kami berdua sudah kesekian kalinya pergi ke bar minuman ringan unlimited untuk isi ulang, Tomoya berdeham seolah menunggu kesempatan untuk mengobrol.
"Jadi bagaimana festival kemarin?"
Gak membuang-buang waktu, kan?
Pikirku, tapi masuk akal juga. Mengingat posisi Tomoya, wajar saja dia ingin tahu.
Rasanya tidak adil kalau diam saja. Lagipula, aku sudah bilang padanya kalau aku akan mengajak Yuzuki ke festival. Tadi malam, aku sedang tidak ingin memberi Tomoya nasihat cinta yang ringan, jadi aku menyuruhnya menunggu laporan kencan. Karena Tomoya tergila-gila pada Yuzuki, dia tidak punya pilihan selain bersabar, meskipun dia tidak menyukainya.
Tapi aku tetap pada pendirianku, dan aku tidak akan membiarkan apapun terbongkar di depan Tomoya. Aku mencoba mencairkan suasana dan menjawab dengan nada santai.
"Oh ya. Kencan ke festival itu seru banget, bung."
"Yah, tentu saja. Kau bisa jalan-jalan dengan Nanase-san yang memakai yukata. Seharusnya aku meleparkan semangkuk doria ini ke wajahmu."
Tomoya merengut kesal padaku.
"Jangan begitu. Lagipula, aku di sini, merelakan waktu luangku untukmu hari ini."
"Hanya karena Nanase-san gak ada. Gak seperti dia, kan? Dia gak terlihat sakit akhir-akhir ini."
"Mungkin hari ini dia sedang datang bulan. Jadi beri dia waktu saja."
"Komentar-komentar menjijikkan itu lagi..."
Hmm. Mungkin itu bukan lelucon terbaik untuk dilontarkan saat makan malam.
Tomoya menghela napas, seolah frustrasi.
"Mungkin ada sesuatu yang mengganggunya...?"
"Dengar..."
Aku selesai memotong steak hamburger dan telur mata sapiku menjadi potongan-potongan kecil, lalu meletakkan pisauku.
"Seperti yang kukatakan sebelumnya, kau benar-benar harus menghentikan kebiasaan burukmu itu. Mencoba meromantisasi segala hal tentang para gadis, seolah kau sedang menulis cerita di benakmu tentang mereka. Kalau bukan tebakanku yang deras tadi, mungkin dia tiba-tiba masuk angin atau semacamnya, dan ingusnya menetes ke mana-mana."
Baiklah, setidaknya kali ini, Tomoya benar menebak Yuzuki sedang terganggu oleh sesuatu. Tetap saja, melempar seratus bola dan berhasil mendapatkan satu bola bagus secara kebetulan saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang pelempar.
"Aku sudah berusaha lebih berhati-hati tentang itu sejak kau menunjukkannya, Chitose, tapi terkadang aku gak bisa menahannya. Omong-omong, entah Nanase-san sakit atau dalam masalah, aku hanya ingin membantunya semampuku."
Tomoya meremas doria-nya dengan sendok, menyeringai dan tersipu.
"Melihat laki-laki yang jarang berinteraksi dengannya muncul dengan putus asa untuk menjadi penolongnya hanya akan membuat Yuzuki berpikir orang itu yang muncul di film horor. Lagipula, berasumsi bahwa kau bisa melakukan sesuatu untuk memperbaiki masalah orang lain.... benar-benar sombong."
...Jadi, apa sebenarnya yang kau lakukan?
Dalam bayangan cerminku, seorang badut menyeringai balik padaku.
"Tapi kau membantu Kenta Yamazaki dengan masalahnya. Dan di sinilah kau, membantuku. Bukankah itu termasuk membantu memperbaiki masalah orang lain?"
Aku tahu itu. Aku tahu dia akan menyerang titik lemah.
Dia benar. Aku memang percaya aku bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik daripada kebanyakan orang lain. Tapi aku juga mengakui bahwa ada orang lain di luar sana yang pasti bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik daripada aku.
Itu memang inkonsistensi, memang, tapi itu inkonsistensiku. Saat ini, aku harus menemukan kata yang tepat, demi Tomoya.
"Mendapatkan bantuan dari orang lain, mendapatkan dorongan itu—semuanya baik dan bagus, tapi pada akhirnya, kaulah satu-satunya yang bisa membantu dirimu sendiri. Sama halnya denganmu, Tomoya. Kalau kau gak bisa memaksa diri untuk bicara langsung dengan Yuzuki, kau gak akan pernah membuat kemajuan sedikit pun."
"Gak bisakah kau memperkenalkan...?"
"Tentu, aku bisa, tapi apa kau gak punya nyali untuk mendekatinya sendiri? Yuzuki gak akan pernah jatuh cinta pada laki-laki selemah itu; aku tahu itu."
"Kurasa kau benar...."
Tomoya menundukkan kepalanya, tampak agak putus asa.
"Jangan terlalu dipikirkan, Tomoya. Sapa saja. Tanyakan padanya : 'Ingat waktu aku makan tanah di luar sekolah?' atau apalah. Oh, tunggu, jangan lakukan itu. Itu mungkin akan membuatnya takut, mungkin."
"Itu adegan yang lumayan penting, jadi aku yakin dia ingat. Tapi bagaimana kalau dia gak ingat? Bagaimana kalau dia bilang, 'Siapa kamu, lagi?' Aku bisa mati saja."
"Lalu katakan sesuatu seperti : 'Wilayah Hokuriku selalu mendung, ya?' atau 'Permisi, kamu lihat roti lapis isi kroket, soalnya aku pernah jatuhin satu di sini?' Apa saja, bung; ngomong aja sama dia! Aduh, kau ini menyebalkan banget! Kau nggak akan ke mana-mana sampai kau setidaknya bisa melakukan itu."
Tomoya duduk di sana, membuka dan menutup mulutnya. Aku mengabaikannya.
"Sekarang, dengarkan."
Kataku, melanjutkan.
"Bahkan aku gak tahu cara yang tepat untuk jatuh cinta pada seseorang. Tapi aku tahu kita mulai dengan mengenal orang itu dan membuat mereka mengenal kita. Kita harus berusaha dan memberi mereka alasan untuk menyukai kita. Kita perlu memberitahu mereka perasaan kita. Ini kayak hal-hal mendasar, kan?"
Aku tidak percaya pada hal-hal seperti cinta pada pandangan pertama. Perasaan itu tidak lebih dari sekadar kesadaran bahwa kalian tertarik pada seseorang. Lebih seperti tahap awal jatuh cinta.
"Kau bahkan belum mengambil langkah pertama, Tomoya. Maaf mengatakan ini, tapi di kehidupan nyata, semua situasi 'yang sudah ditakdirkan' yang kau lihat di film dan baca di novel sama sekali gak ada penerapan praktisnya. Dunia ini penuh dengan hubungan yang monoton, agak membosankan, dan gak menginspirasi yang dimulai dan berakhir setiap hari antara laki-laki dan perempuan. Jadi..."
Aku berhenti sejenak untuk memberi efek dan menatap mata Tomoya.
"Jadi, cukuplah bicara dengannya dengan cara yang canggung dan ragu-ragu. Gagaplah saat kau meminta ID LINE-nya. Ajak dia berkencan, biarkan dirimu merasakan kegembiraan dan rasa mual itu sepanjang waktu. Begitulah awalnya. Kau bisa melanjutkan dan menyebutnya takdir nanti."
"Tapi... tapi bagaimana kalau dia menolakku?"
"Lalu kau mengunci diri di kamarmu yang gelap, menangis tersedu-sedu, dan menulis puisi cengeng. Lalu ketika kau bosan, kau pergi membeli gitar dan mengubahnya menjadi lagu. Lalu ternyata kau benar-benar suka melakukannya, jadi kau membentuk band, tampil di Battle of the Bands sekolah, dan kemudian kau menemukan cinta yang benar-benar baru."
"Uh..."
Tomoya menatapku tajam, tidak seperti biasanya.
"Itu karena kau belum pernah merasakan cinta sejati, Saku. Hanya orang yang belum pernah bertemu seseorang yang mereka kenal sebagai The One yang bisa berkata seperti itu."
"Ya, mungkin."
Aku juga bersungguh-sungguh.
"Kesampingkan lelucon gitar kecil terakhir itu, aku mengerti kedalaman perasaanmu, Tomoya. Dan kurasa aku benar-benar gak tahu apa itu cinta sejati. Tapi aku suka berpikir aku tahu cara yang benar dan salah dalam melakukan sesuatu."
Suara Tomoya merendah, seolah dia menyadari dia mungkin telah berbicara tanpa alasan sebelumnya.
"Maaf, seharusnya aku gak mengatakan semua itu. Lagipula, kau di sini untuk membantuku."
"Gak perlu minta maaf. Aku sudah mengatakan apa yang ingin kukatakan, dan kau juga."
Aku menghabiskan soda melonku. (Kenapa setiap kali aku datang ke restoran keluarga seperti ini, aku selalu ingin minum soda melon sampai kosong...?) Lalu aku berdiri dan memutuskan untuk menyuarakan sesuatu yang tiba-tiba terlintas di benakku.
"Omong-omong, Tomoya, apa kau punya hobi atau semacamnya?"
"Apa? Kenapa kau tiba-tiba bertanya begitu?"
Tomoya menatapku dengan ekspresi bingung.
"Hmm, aku baru sadar kita belum pernah membahas hal-hal seperti teman."
"Yah, aku gak menulis lagu gitar yang sedih, tapi aku sebenarnya suka musik secara teratur."
"Oh ya? Kau harus merekomendasikan sesuatu kepadaku kapan-kapan."
"Baiklah. Aku akan memikirkannya."
Kami berdua saling menyeringai dan memutuskan untuk mengakhiri hari ini.
✶
Malam itu, aku memikirkannya sebentar lalu memutuskan untuk mengirim pesan ke Yuzuki.
Mau main peran? Aku akan jadi perawat yang datang untuk merawatmu, tapi kamu berkeringat dan menjijikkan sekali sampai-sampai aku perlu memijatmu.
Aku merasa malu begitu mengirimnya, tapi pesan itu langsung ditandai sudah dibaca.
Baiklah, tapi hanya jika kamu tertular fluku, dan itu memicu kejadian di mana akulah yang akan memijatmu.
Seberapa banyak dari diriku yang akan kamu pijat, Yuzuki?
Seberapa banyak dari dirimu yang ingin kamu pijat?
Yah, tentu saja, di semua tempat mesum yang ada.
Sepertinya kamu pernah melakukan ini sebelumnya dan membuat para gadis menangis.
Terkutuklah kamu! Kok kamu tahu?!
Dia sepertinya sudah mendapatkan kembali sifat Yuzuki-nya.
Nee, Saku? Itu bukan aku, oke?
Saat aku sedang memikirkan bagaimana dia kembali menjadi Yuzuki, dia mengirimiku pesan itu tanpa menunggu balasanku.
Terlambat. Aku gak bisa menghapus gambaranmu, Yuzuki, menikmati festival seperti gadis sungguhan.
Dan kamu lebih seperti laki-laki sungguhan dari sebelumnya, Saku.
Kami tidak menggunakan emoji atau stempel LINE, yang membuat pesan kami lebih sederhana, tapi lebih sulit untuk membaca emosi di balik kata-katanya. Aku penasaran seperti apa ekspresi Yuzuki saat ini saat ia menatap ponselnya sendiri.
Aku memutuskan topik sederhana untuk dibahas.
Bagaimana kabar Ikan Merah dan Ikan Hitamnya?
Saku dan Chitose sedang asyik berenang bersama di atas mejaku.
Oh, bagus. Ingatlah untuk berbisik bahwa kamu mencintai mereka berdua setiap malam.
Aku mencintaimu, Saku Chitose.
Kamu lupa koma di antaranya. Saku, Chitose. Kamu gak ingin aku salah paham di sini, kan.
Saat ini, aku ingin kamu menganggapnya begitu.
Tapi dia masih tampak tidak serius. Aku memikirkannya selama sekitar lima menit, lalu membalasnya.
Nanase-san, bagaimana kalau jadi pacarku sungguhan?
Pesan kami sudah berhenti berbalas-balasan.
Aku harus menunggu lima menit lagi sebelum balasan datang.
Sekarang gak mungkin, Chitose.
Fiuh.
Pikirku.
Syukurlah dia masih Yuzuki Nanase, memberiku balasan khas Yuzuki Nanase, pikirku.
Sayang sekali. Kupikir ini kesempatan bagus untuk menangkapmu di saat lemah dan memberi pengakuan.
Itu hanya berlaku untuk gadis normal. Ingat, aku ini Yuzuki Nanase.
Dan aku playboy brengsek. Aku akan menyiapkan pendekatan yang lebih elegan untuk lain kali. Lupakan rayuan gombal yang buat malu itu.
Yuzuki akhirnya mengirimiku stiker LINE, yang bergambar kucing hitam.
Kucing itu mengacungkan cakarnya, berkata, "Meeeow!"
Datanglah ke sekolah besok, Nanase-san.
Aku akan datang ke sekolah besok, Chitose.
Selamat malam, Yuzuki.
Selamat malam, Saku.
Dan begitu saja, kami kembali menjadi pacar sementara.
✶
Keesokan harinya, ketika aku menjemputnya di rumahnya, Yuzuki tampak kembali normal, setidaknya dari luar.
Kami sampai di sekolah, dan Yuzuki masih tampak normal sementara anggota Tim Chitose mencoba menebak bagaimana ujian hari ini. Aku berharap hari ini berjalan lancar, tapi seseorang tidak mau melewatkan kesempatan emas ini.
Sekitar sepuluh menit sebelum ujian pertama dimulai.
Nazuna baru saja kembali ke mejanya setelah bercanda tentang sesuatu dengan Atomu dan teman-temannya yang lain, ketika dia menabrak meja Yuzuki.
"Oh, salahku."
Suara Nazuna melemah ketika laci di bawah meja Yuzuki terbuka dan setumpuk kertas berhamburan keluar, berserakan di lantai.
Sekolah kami memiliki aturan bahwa laci meja kami harus kosong selama ujian. Sebagian besar murid memindahkan barang-barang meja mereka ke loker setelah kelas kemarin. Yuzuki memang sedang tidak ada, tapi Yuuko dan Yua dengan baik hati telah mengurus barang-barangnya dan memberitahunya.
Jadi, baik Yuzuki maupun aku terkejut dengan apa yang baru saja terjadi di depan mata kami. Terlalu terkejut untuk bereaksi pada awalnya.
"Apa ini? Foto kencanmu dengan Chitose? Astaga, berapa banyak yang kau cetak? Ugh."
Begitu kata-kata Nazuna meresap, semuanya sudah terlambat.
Yuuko, yang berdiri di dekatnya, membungkuk dan mengambil salah satu foto. Dia membeku. Ada sekitar sepuluh foto, semuanya menunjukkan hal yang sama. Yuzuki, mengenakan yukata, berjalan di sekitar halaman kuil bersamaku, jari-jari kecil kami saling berpegangan.
Yuzuki tersentak dan berlutut, mati-matian berusaha mengumpulkan sisa foto. Melihat Yuzuki yang tampak gugup tidak seperti biasanya, sampai-sampai lupa kalau ada orang di sekitar yang memperhatikan, semakin memperjelas bahwa ada sesuatu yang ingin dia sembunyikan. Aku sadar aku tidak bisa berbuat atau berkata apapun untuk memperbaiki situasi ini.
Nazuna menatap Yuzuki, mendengus geli.
"Membosankan. Itu cuma foto kencan bodoh. Buat apa panik begitu?"
Yuzuki melotot ke arah Nazuna dari posisinya yang berjongkok di bawah meja. Lalu dia menatap Yuuko dan mengalihkan pandangan dengan rasa bersalah.
Nazuna menyadari itu, menyeringai dan berbicara tanpa basa-basi.
"Uh-oh, apa ini seharusnya rahasia dari Hiiragi? Cukup licik."
Aku ingin melakukan sesuatu. Tapi ikut campur sekarang hanya akan memperburuk keadaan. Setelah apa yang baru saja dikatakan Nazuna, apapun yang kukatakan akan terdengar seperti aku sedang melindungi Yuzuki. Karena aku dan Yuzuki sudah resmi berpacaran di depan umum, seharusnya kami berdua tidak peduli jika Nazuna atau teman-teman sekelas melihat buktinya. Masalahnya, jika itu dilihat oleh anggota Tim Chitose, terutama Yuuko, yang mengira itu semua hanya tipuan belaka.
Saat itu, kurasa aku dan Yuzuki sedikit terbawa suasana.
Bukannya kami mengkhianati siapapun, tepatnya. Kami juga tidak bertindak dengan tidak hormat. Tapi jika ditanya apa kami akan bersikap seperti itu di festival jika Yuuko dan yang lainnya ada di sana, jawabannya pasti tidak.
Sebagai contoh, rasanya seperti seorang gadis atau anak laki-laki menulis novel rahasia yang menyentuh hati, lalu mendapati orang yang paling mereka sayangi membacanya di belakang mereka. Perasaan seperti itu.
Aku merasa bersalah dan malu, meskipun sebenarnya tidak ada alasan bagiku untuk merasa seperti itu. Namun, aku tidak bisa menahannya. Tidak ada yang berbicara untuk sementara waktu. Sepertinya tidak ada yang tahu harus berkata apa. Lalu Nazuna memecah keheningan.
"Membosankan! Aku tahu kau bukan pasangan yang cocok untuk Chitose."
Aku senang ujian pertama adalah ujian matematika. Kalau itu sastra kontemporer, aku yakin aku akan terlalu teralihkan oleh ceritaku sendiri.
✶
Hari pertama ujian telah usai, dan kami diperbolehkan pulang sebelum tengah hari. Kami semua memutuskan untuk makan di Hachiban Ramen. Kursi meja hanya muat untuk enam orang, jadi kami harus menyebar di dua meja.
Di mejaku, ada Yuzuki, Yuuko, Kenta, dan aku. Meja lainnya berisi Kazuki, Kaito, Yua, dan Haru.
Apa hanya perasaanku, atau memang pengaturan tempat duduk ini dirancang untuk memaksimalkan ketidaknyamanan?
Meja lainnya asyik mengobrol dan bertukar catatan tentang jawaban ujian. Sementara itu, meja kami seperti meja resepsi setelah pemakaman. Aku memeriksa sebelum kami meninggalkan sekolah dan menemukan bahwa bukan hanya meja Yuzuki. Semua anggota Tim Chitose, termasuk aku, memiliki salinan foto yang sama terselip di dalam laci meja mereka. Kebenarannya pasti akan terungkap cepat atau lambat.
Yuuko dalam diam namun pasif-agresif menyeruput semangkuk besar ramen miso vegetarian. Yuzuki menyesap kuahnya yang asin dengan ekspresi tegang. Kenta melahap semangkuk ramen sayur tonkotsu dengan daging babi chashu-nya dengan putus asa.
Ya, kau benar-benar seperti domba yang akan disembelih, sebuah pengorbanan yang ditambahkan ke meja ini untuk menambah jumlah hidangan. Aku turut merasakan apa yang kau rasakan, kawan.
Aku sendiri sudah memesan mie pedas seperti biasa, tapi hanya satu porsi hari ini. Entah kenapa, aku tidak bisa merasa lapar.
"J-Jadi bagaimana pendapat kalian tentang ujian hari ini? Aku gak begitu yakin dengan ujian matematika itu."
Kenta menyela, seolah-olah dia tidak tahan lagi dengan ketegangan ini.
Bravo. Itulah murid kesayanganku.
Sekarang, mari kita mulai saling pengertian.
Namun, baik Yuuko maupun Yuzuki tidak menanggapi, jadi aku pun memutuskan untuk tidak mengatakan apapun.
Kenta menatapku dengan tatapan yang seolah berkata, "Terkutuklah kau, Raja, bagaimana kau bisa meninggalkanku begitu saja?" tapi aku mulai bersiul tanpa suara dan mengalihkan pandangan.
"R-Raja. Kau bisa saja mengundangku, kalau kau pergi ke festival. Aku belum pernah melihat gadis-gadis memakai yukata, atau festival sungguhan, di kehidupan nyata sebelumnya. Kupikir semua itu hanya ada sebagai adegan dalam fiksi."
Oh, lumayan.
Mengarahkan kami ke inti permasalahan dengan sentuhan ringan. Kau benar-benar sudah melangkah jauh, Kenta.
...Tapi aku tetap diam.
Kenta menatapku lagi; yang satu ini berkata, "Kukira kau yang bilang mengobrol itu seperti main tangkap bola, Raja", tapi aku hanya mengalihkan pandangan lagi dan fokus menjepit potongan daging cincang dari mieku dengan sumpit.
Akhirnya, Yuuko, yang tampaknya sudah selesai makan mienya, mengangkat mangkuk ke bibirnya dengan kedua tangan untuk meminum kuahnya. Dengan suara seruput basah, dia menghabiskan isinya. Lalu dia meletakkannya kembali di atas meja dengan suara gedebuk yang keras.
Selanjutnya, Yuuko mengambil gelas airnya dan meneguknya. Kenta bergegas mengisi ulang gelas Yuuko itu dari teko air di atas meja.
"Yah, aku punya sesuatu untuk dikatakan!"
Teriak Yuuko, jelas siap untuk menyerang sekarang.
Yuzuki dan aku sedikit menegakkan tubuh di tempat duduk kami.
"....Kalian berpegangan tangan! Benar kan? Seperti ini, jari-jari kecil yang mesra!"
""...Ya.""
Suara Yuuko terdengar mengancam.
Clack!!!
Gelas air yang baru saja diteguk itu mendarat di atas meja lagi, dan Kenta melompat masuk sambil mengisi ulang gelasnya.
"Bukankah kalian berdua seharusnya berpura-pura berpacaran?"
"...Ya, Yuuko."
"...Ya, Yuuko-san."
"Jadi, ada apa dengan yukata, kencan, dan berpegangan tangan itu? Maksudku, benar, kan, Kenta?!"
"Y-Ya! Benar! Ada apa dengan itu?"
Rupanya, Kenta telah memihak pihak lawan. Sialan, ini balas dendamnya untuk sebelumnya.
"Um, de-dengar, Yuuko-san..."
Aku baru saja akan mencoba berunding dengannya, ketika gelas itu terbanting lagi, memotongku.
"Diam, Saku-kun! Maksudku, jelas Yuzuki lah yang memulai berpegangan tangan!"
Yuzuki duduk di sana dalam keheningan yang canggung, dan Yuuko melanjutkan.
"Maksudku, bukannya aku melarangmu berpegangan tangan atau semacamnya. Itu hakmu. Kamu bisa melakukannya kapan pun kamu mau, kan? Tapi yang ingin kukatakan adalah... apa sebenarnya niatmu di sini, hmm?"
"Niat kami...?"
Suara Yuzuki terdengar seperti bisikan lemah.
"Aku bertanya apa Saku-kun memang satu-satunya untukmu, Yuzuki. Jika ada yang mau, jika kamu hanya butuh tangan hangat untuk dipegang, hentikan saja. Aku tahu aku gak berhak mengatakan itu, tapi serius... hentikan saja."
Suara Yuuko terdengar sangat tajam dan jelas.
"Bukan... bukan berarti siapapun akan melakukan..."
"Kalau Kentacchi yang kencan denganmu, apa kamu akan menggenggam tangannya?"
"Gak, aku gak akan."
Yuzuki menjawab tanpa ragu sedikit pun.
Hei, nona-nona, aku harus meminta kalian untuk gak melukai Kenta yang malang dalam baku tembak kalian di sini.
"Lalu, bagaimana kalau Kazuki-kun atau Kaito-kun?"
"Kurasa... aku gak akan."
"Sudah pasti Saku-kun, kan?"
"...Maaf, aku gak tahu."
Yuuko menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan paksa.
"Baiklah, aku mengerti sekarang. Jadi, kamu dan aku adalah rival, mulai hari ini dan seterusnya!"
Yuzuki menatap Yuuko yang terlihat kebingungan di wajahnya. Aku mungkin terlihat kurang lebih sama.
"Gak, aku gak pernah mengatakan apapun tentang itu."
"Awalnya memang begitu."
Yuuko mengangguk tegas, lalu melanjutkan seperti detektif lihai yang sedang menangani kasus ini.
"Tapi kamu tahu, kamu gak bisa mengunci si dingus manis yang duduk di sampingmu itu dengan bersikap plin-plan! Di levelmu saat ini, Yuzuki, kamu masih belum cukup baik untuk menjadi gadis spesial Saku-kun. Aku juga belum sampai di sana. Bedanya, aku tahu aku belum sampai di sana! Itu sebabnya aku selangkah lebih maju darimu!"
{ TLN : Dingus itu digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang tidak dapat atau tidak ingin disebutkan secara spesifik. }
Yuzuki berkedip berulang kali dan menegang saat Yuuko menunjuk jari menuduh tepat di antara kedua matanya. Lalu dia tertawa pelan, yang berubah menjadi tawa terbahak-bahak.
"Kamu aneh sekali, Yuuko! Cara pandangmu itu gila!"
"Ga, ga! Apa yang kamu lihat hanyalah kejujuran murni."
"Tapi orang normal gak langsung berkata 'kejujuran murni' begitu saja."
"Kamu benar-benar gadis menyebalkan."
Lalu Yuuko menatapku tajam.
"Dan kamu, dasar dingus manis!"
"Ya?"
"Itu harusnya : 'Baik, nona'!"
"Baik, nona!!!"
Yuuko mencondongkan tubuh ke atas meja dan menempelkan jari telunjuknya ke dahiku.
"Dengar! Sini! Kamu! Kebaikan dan kenaifanmu memang menguntungkan sekaligus merugikanmu, Saku-kun! Tapi kalau kamu berpegangan tangan dengan setiap gadis yang menyukaimu, kamu akan berakhir membuat rantai manusia yang panjangnya bisa mencapai seluruh dunia!"
"Er, kalau aku berpegangan tangan dengan setiap gadis, itu gak akan membentuk rantai manusia yang berarti... aku cuma punya dua..."
Kuku Yuuko yang terawat menusuk dahiku.
"Kalau kamu punya banyak waktu luang sampai bisa jalan-jalan pakai yukata, yang omong-omong belum sempat kulihat... kenapa kamu gak langsung saja bantu Yuzuki menyelesaikan masalahnya? Nanti kamu bebas, dan nggak akan ada yang menghalangimu untuk nonton kembang api bareng aku musim panas ini, memakai yukata kita. Enggak, nggak ada yang menghalangimu sama sekali!"
Aku mengangguk, kuku jarinya masih sebagian menancap di kulitku.
Menyerah sepertinya pilihan terbaik saat ini.
Berkat Yuuko, hubungan kami kembali jelas. Kalau saja semua ini tidak terbongkar, hal-hal yang belum terucapkan di antara kami pasti akan semakin membesar.
Para penghuni meja lain menatap kami dengan tatapan seperti, "Sudah selesai?".
Ya, sudah, kami akhiri saja di sini.
Kemarahan semua orang tampaknya semakin terarah pada Yuzuki, dan suasana menjadi semakin dingin.
Segalanya telah berjalan sesuai rencana, dan betapapun tidak nyamannya, sudah terlambat untuk bereaksi sekarang. Andai saja aku bisa mencetak satu home run terakhir, sesuatu yang bisa sedikit mengguncang keadaan. Namun aku kehabisan ide cemerlang. Yang bisa kulakukan hanyalah menyeruput sisa mieku.
✶
Setelah membayar tagihan makanannya, aku mampir ke toilet sebelum meninggalkan restoran. Ketika keluar, aku mendapati Yuuko menunggu di dekat tempat cuci tangan.
Saat aku mencuci tangan, Yuuko terus menatapku di cermin. Saat aku selesai mencuci tangan, merasa khawatir dia masih marah.
Akhirnya, Yuuko bicara.
"Saku-kun, kamu mau pinjam sapu tanganku?"
"Itu gak perlu. Mereka punya alat pengering rambut itu. Makasih sebelumnya."
"Hmph."
Ada apa dengannya? Saat aku mengeringkan tangan, dia mengulurkan tangannya ke arahku.
"Nee. Aku sudah menghabiskan kuah ramennya. Sepertinya jariku agak bengkak karena natrium. Lihat, lihat."
"Kamu itu bukan balon air. Tentu saja kamu gak bengkak."
"Nee! Coba lihat lebih dekat. Ayo!"
Aku tidak mengerti apa yang gadis ini lakukan. Tanpa pilihan lain, aku menunduk menatap tangan Yuuko yang masih menunjuk-nunjukku.
"Tanganmu baik-baik saja. Cantiknya masih sama seperti dulu."
"Hmph! Bukan itu yang kutanyakan!"
Aku menuruti permintaannya.
Kenapa dia cemberut?
Seriusan, ada apa dengannya?
"Semua orang sudah menunggu kita di luar restoran. Ayo kita pergi."
Yuuko menarik tangannya dan, dengan suara pelan, "Baik", berbalik dan mulai berjalan mendahuluiku.
"Yeek!"
Sepertinya, Yuuko tidak menyadari anak tangga yang mengarah ke bawah. Dia tersandung dan terdorong ke depan.
"Awas!"
Aku meraih tangan Yuuko.
Yuuko berhasil menyeimbangkan diri dan berbalik menatapku. Entah kenapa, dia menyeringai lebar.
"Apa yang lucu? Kamu benar-benar ceroboh, Yuuko-sab. Berhati-hatilah ke depannya."
Rasanya kata-kataku tidak sampai padanya. Yuuko mengangkat tangannya, yang masih kugenggam, dan mendorongnya ke depan wajahnya.
"Sebagai catatan, kamu yang memulai berpegangan tangan ini, kan, Saku-kun?"
Oh, aku ngerti.
Akhirnya aku menyadari apa yang Yuuko senyumi. Tanpa pikir panjang, aku mendengus tertawa.
"Kurasa begitu."
"Hehe!"
Yuuko tampak puas. Dia mengangguk beberapa kali sebelum melepaskan tanganku, berbalik dan menuju pintu keluar sekali lagi. Aku memanggilnya.
"Yuuko-san."
"Ya?"
"Kamu sudah mencuci tanganmu setelah keluar dari kamar mandi, kan?"
"Dingus! Tentu saja aku sudah mencuci tanganku!"
✶
Yuzuki resmi pulih dari sakitnya, jadi kami memutuskan untuk berpisah di luar kedai ramen. Kami pulang.
Aku melirik sekilas wajah diam yang berjalan di sampingku.
Pertengkaran dengan Yuuko tampaknya sedikit memulihkan semangat Yuzuki, namun sekarang efek sampingnya cepat memudar. Wajah Yuzuki tetap tenang sempurna seperti biasa, namun jelas terlihat bahwa dia merasa lelah dan putus asa.
Yuzuki terus menghela napasnya, meskipun tampaknya dia bahkan tidak menyadari hal itu. Tidak mengherankan. Aku bahkan belum mendengar detail apapun tentang hubungan seperti apa yang dia miliki dengan Yanashita dari SMA Yan, namun itu jelas merupakan sesuatu yang sangat membebani emosinya. Lalu, jika kami memperhitungkan apa yang terjadi pagi ini....
Ketika aku memikirkan tekanan yang dialami gadis-gadis SMA, tidak aneh jika mereka mungkin menangis karena hal-hal yang terjadi di masa lalu. Tapi Yuzuki adalah tipe orang yang selalu berpijak di bumi dan matanya kering.
"Apa kamu...?"
Aku hampir berkata, "Apa kamu baik-baik saja?", tapi kuurungkan niatku.
Kata-kata seperti itu terasa hampa dalam situasi seperti ini. Aku juga menyadarinya malam itu di festival. Jika aku bertanya apa dia baik-baik saja sekarang, gadis itu pasti akan berpura-pura tersenyum dan menjawab bahwa dia baik-baik saja, yang hanya menambah beban mentalnya.
Aku sungguh berharap ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantunya.
Jika kupikir itu akan membantu, aku akan dengan senang hati pergi ke SMA Yan dan meninju wajah orang-orang itu. Aku bahkan rela pergi ke Kura atau polisi, jika kupikir membicarakannya akan membantu.
Tapi Yuzuki sedang berjuang sendiri. Apa hakku untuk menyerbu masuk, penuh dengan kesombongan? Lagipula, itu tidak terjadi padaku. Aku hanya seorang penonton dalam semua ini. Akan konyol jika aku menjadi orang yang kehabisan kesabaran dan bertindak melampaui batas. Yuzuki memintaku berpura-pura menjadi pacarnya dan menjadi pengawal. Dia tidak memintaku untuk menangani situasi ini untuknya, juga tidak memintaku untuk terlibat dalam pergumulan batinnya dan memberinya perhatian emosional.
Mencoba melewati batas itu... sama saja dengan memuaskan diriku sendiri.
Aku mendapati diriku mengepalkan tanganku.
....Belum.
Dengan keadaan seperti ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuknya.
"Nee, Saku..."
Aku menyadari Yuzuki baru saja menyebut namaku.
"Apa aku akan maju seperti yang seharusnya, menurutmu?"
Aku tidak yakin dia benar-benar menginginkan jawaban serius untuk itu.
"Kamu bukan Michael Jackson. Sulit untuk gak maju ketika kamu menghadapinya seperti itu. Pernah mencoba moonwalk? Gak semudah itu, kan."
Yuzuki tertawa, hanya sedikit.
"Lelucon itu payah."
Kuharap, besok, Yuzuki bisa tertawa lebih banyak dari ini. Aku sungguh-sungguh berharap demikian.
✶
Hari kedua masa ujian dimulai dengan langit hujan khas wilayah Hokuriku. Yuzuki dan aku berjalan dengan muram ke sekolah, di mana pagi yang jauh lebih buruk dari yang kami perkirakan telah menanti kami.
Begitu kami memasuki kelas, semua murid mulai melirik ke arah ponsel mereka dan kami. Kupikir ada fitnah baru di situs gosip dunia bawah sekolah tentangku, tapi ternyata Yuzuki lah yang menjadi sasaran tatapan ingin tahu semua orang.
Aku punya firasat buruk tentang ini.
Yua mendongak, melihat kami, dan berlari menghampiri.
"Saku-kun..."
Yua menyerahkan ponselnya kepadaku. Aku memeriksa layarnya. Lalu aku cepat-cepat memasukkannya ke dalam saku blazerku.
"Perlihatkan padaku."
Yuzuki tahu ada sesuatu yang terjadi. Dia mengulurkan tangannya.
"Bukan apa-apa. Hanya lebih banyak komentar online yang mencela si playboy brengsek yang menyebalkan itu. Kalau kamu melihatnya, kamu akan berkata, 'Ayo kita lihat yang lain', dan kurasa aku gak tahan."
Aku tahu Yuzuki tidak akan semudah itu tertipu.
Yuzuki mengeluarkan ponselnya, dan tiba-tiba...
"Nanase, kau tahu, kau itu benar-benar..."
Nazuna berjalan mendekat, memegang ponselnya menghadap ke depan.
"Laki-laki seperti ini tipemu? Seriusan?"
Ada sebuah gambar di layar. Hanya satu gambar. Gambar itu menunjukkan Yuzuki, yang saat itu terlihat seperti masih SMP. Dia sedang bersama seorang laki-laki.
Laki-laki itu melingkarkan lengannya erat di pinggang Yuzuki dan menarik Yuzuki ke arahnya. Laki-laki itu adalah Yanashita, tanpa ragu, tampak lebih muda dan lebih polos daripada saat kami bertemu dengannya malam itu.
"Ooh, berpacaran dengan anak nakal. Itu seperti stereotip anak SMP. Sungguh lucu!"
Tak diragukan lagi, kalian bisa dimaafkan jika memiliki kesan seperti itu pada pandangan pertama. Namun Yuzuki di foto itu menunjukkan yang sebenarnya. Dia membelakangi Yanashita, kepalanya menunduk, dan sepertinya sedang menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca. Dia memegang pergelangan tangannya sendiri dengan tangan satunya, dan tampak seperti mencengkeram erat-erat.
Orang-orang yang mengenal Yuzuki dengan baik, seperti Yua dan aku, bisa melihat ada yang aneh. Namun Nazuna jelas tidak terlalu memikirkannya. Dia berasumsi bahwa ini adalah foto Yuzuki dengan mantan pacarnya. Dia menganggapnya sebagai lelucon.
Namun reaksi Yuzuki sungguh ekstrem. Dia berpegangan erat pada lenganku dan mulai gemetar. Sepertinya dia akan pingsan.
Nazuna melanjutkan serangannya.
"Masih berusaha merayu Chitose? Putus asa meyakinkannya bahwa dia satu-satunya untukmu akhir-akhir ini?"
Yuzuki berkedip, tersentak, dan segera melepaskan lenganku.
"...Kapan?"
Suara Yuzuki terdengar tercekat.
"Kapan aku pernah mencoba merayu Saku?"
Nazuna mendengus.
"Kau selalu saja mencobanya. Kau memakai topengmu itu agar semua orang menyukaimu, tapi kau terus mengantinya, selalu berusaha memenangkan hati semua orang. Itu membuatku muak."
"...Jadi?"
Yuzuki mulai memanas. Semua kehangatan itu dengan cepat menguap dari suaranya. Sekarang dia menatap Nazuna dengan ekspresi sedingin es.
"Jadi itukah alasanmu memutuskan menjadi pesuruh untuk murid-murid SMA Yan, Ayase? Itukah alasanmu melakukan semua ini?"
"Apa?"
Ah sial, pikirku.
Tapi Yuzuki terus melaju sebelum aku sempat menghentikannya.
"Ketika deodoranku dicuri, aku melihatmu berkeliaran di kelas agak terlambat, dibandingkan dengan biasanya kau pulang. Ketika sepatu basketku dicuri, kau sedang menonton pertandingan, entah kenapa. Lalu kemarin, kau kebetulan menabrak mejaku dan menumpahkan foto-foto itu ke mana-mana..." Yuzuki tersenyum tipis.
"Banyak kebetulan yang menguntungkan mulai menumpuk di sini, ya? Dan kebetulan sekali kau punya teman di SMA Yan, kan, Ayase?"
Aku terkejut mengetahui bahwa Yuzuki rupanya tahu semua tentang Nazuna yang nongkrong larut malam di sekolah pada hari pencurian deodoran—dan bahwa dia juga punya teman di SMA Yan. Itu dua informasi yang kusembunyikan dari Yuzuki.
Tidak diragukan lagi, berdasarkan bukti tidak langsung, mungkin saja orang yang bekerja sama dengan SMA Yan adalah Nazuna. Tapi itu semua hanya spekulasi. Karena jika Nazuna benar-benar dalang kejahatan ini, itu akan membuatnya menjadi orang terbodoh yang masih hidup.
Nazuna berhenti mengobrol denganku tepat setelah mencuri deodoran Yuzuki? Itu tindakan yang bodoh. Bertahan untuk menonton pertandingan? Terlalu mencurigakan. Dan soal foto-foto kemarin. Setiap anggota Tim Chitose mendapat salinannya di meja mereka. Yang harus dilakukan Nazuna hanyalah menunggu salah satu dari kami mengungkapnya. Andai Yuzuki tetap tenang, dia pasti sudah menyadari semua ini.
Dan bagaimanapun juga... ini sama sekali tidak sesuai dengan kesan yang kudapatkan tentang Nazuna, saat kami mengobrol sepulang sekolah tadi, di bawah langit senja.
"Apa katamu?"
Nazuna melawan.
"Apa yang kau bicarakan? Aku gak tahu apa masalahmu, tapi apa kau mencoba menuduhku melakukan sesuatu untuk mempermainkanmu?"
"Aku gak menuduh siapapun. Aku hanya mengumpulkan bukti."
"Kenapa aku harus melakukan hal seperti itu?"
"Kurasa kau punya banyak alasan."
"....Jangan macam-macam denganku, dasar lacur!"
Nazuna melemparkan ponselnya ke lantai, dan mendarat dengan keras. Ponsel itu terpental sekali dan terbalik, memperlihatkan layarnya yang retak.
"Aku tahu aku bukan gadis baik-baik di sekolah ini. Aku juga sama sekali gak menyukaimu, Nanase. Tapi...."
Nazuna melotot ke arah Yuzuki, yang wajahnya datar. Aku bisa melihat matanya berkaca-kaca karena marah.
"....Tapi, kalau aku punya masalah denganmu, aku akan langsung bilang di depan wajahmu! Berurusan dengan seseorang di belakangnya.... aku gak akan pernah melakukan hal pengecut seperti itu! Apa kau pikir aku takut padamu atau semacamnya?!"
Yuzuki tersentak, membiarkan amarah Nazuna menguasainya. Lalu dia berdeham.
"....Apa? Tapi aku sangat yakin kau...."
"Yuzuki!!!"
Teriakanku memotong suara dingin Yuzuki. Aku tidak bisa membiarkannya bicara lagi. Ini bukan seperti dirinya. Ini bukan cara Yuzuki Nanase yang asli.
"Kamu benar-benar salah di sini, Yuzuki."
Aku menepuk bahunya, sedikit lebih keras dari yang seharusnya. Yuzuki akhirnya menyadari apa yang dilakukannya, dan dia mengatupkan bibirnya.
"Um..."
Atomu lalu angkat bicara, membungkuk dan mengambil ponsel yang hancur itu.
"Aku tahu Nazuna memang bawel, dan dia bisa agak menyebalkan, tapi kau benar-benar salah tentang pertandingan basket itu."
"Hei, urus saja urusanmu sendiri."
Bentak Nazuna.
Atomu mengabaikan Nazuna dan menoleh ke Yuzuki.
"Nazuna main basket waktu SMP, tahu nggak? Dia sebenarnya penggemar berat gaya bermainmu, Nanase. Waktu dia tahu tim kita main bareng tim 'jagoan' itu, dia langsung bilang, 'Aku harus menontonnya'."
Berdasarkan situasinya, pengungkapan seperti itu sudah cukup untuk menguntungkan Nazuna. Hanya sedikit orang yang tahu situasi apa yang memicu pertengkaran ini, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Yuzuki menyesali perkataannya.
Nazuna merebut kembali ponselnya dari Atomu dan menghentakkan kaki kembali ke mejanya. Tepat saat itu, Kura masuk, seolah-olah dia sudah menghitung waktunya sampai detik terakhir.
Sialan, Atomu. Kalau kau bilang dari tadi, aku bisa saja mencoret kalian berdua dari daftar tersangka. Aku merasa kesal, tapi sejujurnya, itu bukan salahnya.
Yuzuki telah melancarkan serangan yang sama sekali tidak berdasar dan bias. Nazuna terjebak di antara rasa kagum dan benci pada Yuzuki. Atomu berusaha menjaga harga diri Nazuna dan memilih untuk merahasiakan beberapa detail dariku. Dan di sinilah aku, tanpa cara untuk mencegahnya.
Aku tahu Yuzuki pasti akan lebih menyalahkan dirinya sendiri atas hal ini. Dia menjatuhkan tas olahraganya ke lantai dan berlari keluar kelas.
"...Hei! Kura-san!"
Kura sepertinya langsung memahami situasinya.
Menggaruk rambutnya yang berantakan, Kura mengangguk.
"Baiklah, Nanase bisa mengulang ujiannya lain kali. Sedangkan kau, kau punya waktu tambahan dua puluh menit di akhir untuk menebusnya. Ayo."
Sialan. Kenapa hanya aku yang harus bermain di mode sulit?
Aku tidak punya waktu untuk membalas Kura. Aku berlari keluar ruangan untuk mengejar Yuzuki.
✶
Akhirnya aku menyusul gadis itu di bordes yang menahan pintu menuju atap. Meja dan kursi cadangan yang tidak diperlukan di ruang kelas ditumpuk sembarangan di sana. Rasanya seperti Yuzuki menggunakannya sebagai barikade. Dia duduk di sisi lain, lututnya ditekuk ke dagu.
"Hei, apa kamu gak tahu? Tempat ini biasanya terkunci. Kalau kamu ingin menggunakan atap, kamu harus mengajukan permohonan tertulis kepada Kura-san. Kecuali kamu itu Petugas Kebersihan Atap Saku Chitose."
Yuzuki menggumamkan sesuatu, pipinya menempel di lututnya.
"Maaf...."
Aku mengambil kunci atap dari sakuku dan dengan mulus membuka pintu. Sayangnya, yang kulihat di luar hanyalah langit mendung yang suram dipenuhi awan gelap.
"Aku bukan orang yang seharusnya kamu berikan permintaan maaf, kan?"
"Aku tahu, aku tahu.... tapi, Saku, ujiannya...."
"Bahasa Jepang adalah mata pelajaran terbaikku. Aku hanya butuh, sekitar, setengah jam." Aku duduk di samping Yuzuki.
"Kamu harus minta maaf ke Nazuna-san dengan benar."
"...Mm."
"Gak ada gunanya datang ke sini. Di luar sedang hujan, tahu."
"...Mm."
"Kita duduk di sini sebentar, lalu bisa kembali dan mengikuti ujian?"
"...Mm."
"Boleh aku sentuh dadamu?"
"...Mm."
"Uwaa."
Aku senang hari ini hujan.
Dengan pintu terbuka, yang terdengar hanyalah suara hujan.
"Ayo kita habiskan waktu. Kita bisa bercerita tentang masa lalu kita yang gak penting."
Aku mulai bicara, tidak yakin ke mana arah pembicaraan ini.
"Ada satu kejadian yang selalu membekas di ingatanku. Waktu itu aku masih TK."
Hujan terus turun deras. Mendengarkannya, aku membiarkan pikiranku melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu.
"Guru membuat permainan untuk kami. Dia akan bertanya, 'Siapa di sini yang punya dua kaki?' dan kami semua akan berdiri. Lalu dia akan bertanya, 'Siapa di sini yang suka sepak bola?' dan hanya orang-orang yang suka sepak bola yang akan duduk. Gak ada pemenang atau pecundang yang sebenarnya. Ketika aku memikirkannya sekarang, rasanya seperti... mengapa kami semua begitu bersemangat memainkan permainan yang begitu bodoh dan sederhana? Itu selalu membuatku tertawa."
Dunia jauh lebih sederhana saat itu.
"Lalu, suatu kali, guru berkata, 'Siapa di sini yang berambut?' lalu melanjutkannya dengan, 'Siapa di sini yang perempuan?' dan laki-laki di sebelahku, seorang temanku, menjadi bingung, dan dia lupa duduk, jadi dia masih berdiri bersama para gadis itu. Kira-kira apa yang aku lakukan saat itu?"
Tidak ada tanggapan dari teman berbicara disebelahku.
"Aku tahu aku harus membuatnya sadar sebelum dia benar-benar malu. Jadi aku seperti, 'Tidak, tidak!' mencengkeram pinggangnya, dan menariknya hingga jatuh. Hanya saja..."
Mengingat adegan itu dalam pikiranku, aku tertawa terbahak-bahak.
"Hanya saja aku menariknya dengan salah, dan celananya akhirnya melorot. Semua orang memperhatikan celana dalamnya yang lucu bermotif Ultraman. Bahkan gadis yang dia sukai. Wajahnya memerah dan mulai menangis, menghajarku habis-habisan, lalu gak mau bicara denganku seharian."
Saat itu, meskipun aku masih kecil, aku merasa telah melakukan kejahatan yang takkan pernah bisa kutebus.
"Tapi keesokan harinya, semua orang melupakannya, bahkan dia. Kami semua berkumpul dan mulai bermain Bebek, Bebek, Angsa."
Yuzuki mengangkat kepalanya sedikit dan berkata,
"...Cerita macam apa itu?"
"Hanya cerita gak penting. Seperti yang kubilang. Maknanya... itu terserah pendengar. Kamu harus mencari maknanya sendiri."
Yuzuki terdiam lagi. Dia mungkin berpikir betapa bodohnya aku.
"Hei, bagaimana caranya kita menghentikan hujan itu?" Lanjutku.
"Kalau ini film musikal, ini akan jadi saat yang tepat untuk sebuah nomor musikal. Tapi jangan terlalu berlebihan."
"...Baiklah, kalau begitu mari kita coba."
Aku mulai membawakan "Teru Teru Bozu" dengan sumbang namun antusias, diikuti oleh "Ame Furi," dua lagu anak-anak klasik tentang hujan. Saat aku hendak melanjutkan lagu, Yuzuki mengibarkan bendera putih.
"Baiklah, baiklah, aku akan kembali ke kelas sekarang."
Lima belas menit. Nyaris, tapi aku berhasil.
Aku memperhatikan Yuzuki menuruni tangga, tampak hampir seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku memperhatikannya saat dia berbelok di tikungan, lalu aku menggertakkan gigi, mengepalkan tangan, dan membantingnya ke salah satu meja.
Gadis itu masih berpura-pura.
Masih bersikap dingin, agar dia bisa terus berpura-pura menjadi "Yuzuki Nanase."
Aku tidak bisa membiarkannya melihat kemarahanku, kesedihanku.
Aku menenangkan diri, dan baru kemudian aku menuruni tangga menyusulnya.
Ngomong-ngomong, lirik lagu anak-anak "Teru Teru Bozu" berakhir seperti ini…
"Tapi jika mendung dan kutemukan kamu menangis / Maka kupenggal kepalamu."
✶
"Saku. Yuzuki-san. Anak-anak SMA Yan udah datang."
Kami sudah melewati hari kedua ujian, ketika Kaito datang membawa kabar yang sama sekali tidak menyenangkan ini.
Di sampingku, aku bisa merasakan Yuzuki gemetar.
Hahh, hari yang benar-benar membosankan.
"Ada berapa?"
"Dua di gerbang depan dan dua lagi di gerbang belakang. Totalnya empat."
Tidak diragukan lagi Yanashita dan Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu telah membentuk dua tim, masing-masing berpasangan dengan Antek A atau B, dua preman kecil lainnya yang juga ada di perpustakaan. Aku berhasil menakuti Yanashita malam itu di festival, tapi dia jelas bukan tipe orang yang akan terus-menerus takut.
Tapi, aku sungguh tidak ingin ini menjadi masalah besar, kalau bisa dihindari. Berkonfrontasi dengan kami di sekolah sendiri sudah keterlaluan.
"Bagaimana penampilan mereka?"
"Mereka gak mengganggu murid lain. Sepertinya mereka hanya berkeliaran, setidaknya untuk saat ini."
Kalau rencana mereka memang untuk mengintimidasi kami, yah, itu berhasil. Para anggota Tim Chitose berkumpul semua, dengan ekspresi cemas di wajah mereka.
"Apa yang harus kita lakukan? Haruskah aku mengumpulkan tim basket agar kita bisa pulang berkelompok? Hanya itu yang terpikir olehku."
Itulah rencana Kaito.
"Gak.... kalian masih berada di luar ini. Aku gak ingin kalian terlibat. Kita tinggal saja di sekolah dan belajar untuk saat ini. Mungkin mereka akan bosan berkeliaran dan pergi sendiri."
Yua berdeham ragu-ragu.
"Saku-kun... Yuzuki..."
"Aku tahu, aku tahu. Aku akan menepati janjiku. Aku gak akan melakukan hal berbahaya tanpa berkonsultasi dengan semua orang terlebih dahulu."
Kazuki mengepalkan tangan dan meninju bahuku pelan.
"Jadi, kurasa kau punya rencana cadangan kalau-kalau mereka semakin ngotot?"
"Hmm, begitulah. Pokoknya, kalian pulang saja seperti biasa. Nanti aku kabari semuanya lewat LINE."
Para anggota Tim Chitose masih tampak khawatir saat mereka semua keluar kelas bersama-sama.
"Waktunya belajar, kurasa."
Yuzuki pasti punya banyak hal yang ingin dibicarakannya denganku. Strategi dan sebagainya. Tapi dia tidak berkata sepatah kata pun. Dia hanya dalam diam mulai menyebarkan pensil dan buku-bukunya.
✶
Panik tidak ada gunanya. Kami duduk diam selama beberapa jam setelah itu. Yuzuki dan aku fokus belajar untuk ujian. Kami sama fokusnya seperti sedang di kelas. Tidak, bahkan lebih.
Bahkan jika kami buru-buru pulang, kami tetap akan melakukan hal yang sama di sana. Kami memang membuang waktu, tapi kami melakukannya dengan cara yang produktif, jadi itu tidak mengganggu kami. Jam di atas papan tulis menunjukkan pukul enam sore.
Lucu memang, namun rasa kesal karena tahu kami tidak bisa pulang justru membuat kami fokus belajar. Mungkin kami hanya bersembunyi dari kenyataan, tapi Yuzuki sepertinya merasakan hal yang sama. Aku mendengar penanya terus-menerus menggores tanpa henti.
Aku terus memeriksa di luar, tapi anak-anak SMA Yan sangat menyebalkan. Awalnya, mereka tampak berkeliaran di dekat gerbang, tapi sekarang mereka sudah duduk di lantai tepat di dekat gerbang depan dan belakang, tampak mengobrol dan bersenang-senang. Sayangnya, hujan deras sore itu sepertinya sudah reda.
Akhirnya, aku menyadari bahwa meskipun hari sudah sangat larut, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Mereka tidak punya kegiatan lain selain kami—artinya, mereka hanya bisa duduk-duduk mengobrol. Rupanya, mereka tidak keberatan duduk di tanah yang padat di luar SMA Fuji sepanjang malam. Atau mungkin mereka memang semarah itu padaku. Atau mungkin mereka memang terobsesi dengan Yuzuki.
"Kita gak punya pilihan lain. Haruskah kita pulang?"
"Heeh...?"
Yuzuki tampak khawatir saat aku mulai mengemasi perlengkapan belajarku di meja.
"Aku akan memainkan salah satu kartuku. Gak yakin seberapa efektifnya, kalaupun bisa..."
Kami berjalan keluar dari pintu masuk, dan Antek A langsung melihat kami. Duduk di sampingnya adalah Yanashita, yang perlahan berdiri. Antek A mengeluarkan ponselnya dan menelepon. Tidak diragukan lagi, Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu dan temannya akan berlari menghampiri sebentar lagi.
Yuzuki bersembunyi di belakangku, seolah tidak ingin melihat wajah mereka. Dia mencengkeram blazerku.
"Yo."
Yanashita memanggil kami.
Aku berhenti tepat di depan gerbang sekolah dan menjawab.
"Sepertinya kami membuat kalian menunggu, ya. Maaf kalian harus menunggu di hari hujan seperti ini. Semoga pantat kalian gak basah semua."
"Waktu berlalu dengan cepat. Kami sedang asyik memandangi gadis-gadis SMA Fuji. Sekolah persiapan kuliah yang mewah ini memang punya banyak gadis-gadis cantik yang berpenampilan menarik."
"Aku membayangkan para gadis itu sendiri bertanya-tanya apa yang dilakukan sepasang orang desa kumuh seperti kalian yang berdiam diri di tanah di luar gerbang SMA Fuji, eh?"
Yanashita melangkah maju tanpa suara, lalu berhenti, tampaknya berusaha menahan diri.
...Tiga langkah lagi.
"Tetap saja, Yuzuki berbeda kelas dengan yang lain. Bagaimana menurutmu?"
"Oh ya. Tapi kalau kau mau sesuatu untuk dimakan bersama kentangmu, kau sudah punya ayam goreng berjalan itu."
Aku menoleh ke arah Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu, yang berlari menghampiriku tepat saat itu.
...Dua langkah lagi.
"Saku Chitose. Jangan bilang kau benar-benar berpikir kau akan aman di sini, hah? Kau pikir kami gak akan menyerangmu? Karena kami pasti akan melakukannya. Katakan padanya, Yuzuki."
Aku tidak bisa melihat wajah Yuzuki, karena dia masih bersembunyi di belakangku, tapi aku bisa tahu apa reaksinya nanti.
...Satu langkah lagi.
"Jangan khawatir. Kalau kupikir sedetik saja kau berencana menggunakan logika daripada kekerasan, rahangku pasti akan ternganga."
"Cukup. Habislah kau."
Yanashita melewati bawah gerbang lengkung dan mencengkeram bajuku.
Yuzuki menempel di punggungku.
Clatter, clatter, shuffle, shuffle.
Derap langkah kaki mendekat—suara sandal kulit yang biasa kami dengar.
"Hei. Anak-anak. Jangan berkelahi."
Suara berlarut-larut yang terdengar jelas, tidak terelakkan, suara Kura. Aku merasakan ketegangan di bahuku mereda.
Yanashita mendekatkan wajahnya ke wajahku, masih mencengkeram bajuku.
"Kau mengadu?"
"Jangan membuatnya terdengar begitu gak keren. Aku hanya membuat laporan tentang penyusup mencurigakan di lingkungan sekolah."
Ya, strategi yang kuputuskan untuk kulakukan? Itu melibatkan meminjam kekuatan fakultas. Tidak ada cara yang lebih mudah untuk menghentikan perkelahian di gerbang sekolah.
Kura telah memberiku satu perintah,
"Bawa mereka ke halaman sekolah."
Aku telah mencoba memprovokasi Yanashita untuk maju selama ini.
"Kau pikir seorang guru cukup untuk menakuti kami?"
"Entahlah. Jujur saja, aku lebih suka gak berurusan dengan lelaki tua itu."
Saat itu, Kura sudah berjalan menghampiri kami.
"Jangan sampai terkena kuman."
Kura mengayunkan tangannya dengan gaya karate di antara aku dan Yanashita.
{ Artinya di sini tidak memiliki kuman atau penyakit khayalan seperti yang dideskripsikan oleh anak-anak untuk menghindari kontak dengan seseorang yang tidak disukai atau lawan jenis. }
"Ow!"
Yanashita melompat mundur.
"Apa-apaan itu? Dengar, pak tua, kau pikir guru boleh melawan muridnya?!"
Kura merogoh sakunya.
Hei, apa dia berencana merokok? Tepat di depan gerbang sekolah?
"Oh, itu terlalu cepat. Kau tidak melihatnya? Lihat, tanganku ada di saku; ini bukan melawan murid atau semacamnya."
Memangnya berapa umurmu, Sensei?!
Kura meremas bungkus Lucky Strike-nya, yang sepertinya sudah kosong. Lalu dia merogoh saku dada seragam sekolah Yanashita.
"Ah, sebungkus Sevens? Itu benar-benar pamer; kau kan cuma anak SMA..."
Kura menarik sebungkus Seven Star dari saku Yanashita itu, lalu menyalakan satu dengan korek apinya sendiri.
Yanashita dan yang lainnya tampak terkejut. Kura jelas tidak bertingkah seperti seorang pendidik saat dia mengepulkan asap ungu, dengan raut wajah bahagia.
Yanashita memperhatikan Kura, sebelum menghela napas dramatis.
"Kau mengganggu, pak tua."
Yanashita tampak kesal, mungkin karena tidak ada yang berjalan sesuai rencananya. Dia menghampiri Kura dan, jelas tanpa banyak berpikir, menendangnya.
Sepertinya Yanashita tidak memikirkan akibat melakukan hal itu di tempat seperti ini—dan kepada seorang guru, terutama. Dia sama sekali tidak berhenti berpikir.
"Owww!"
Tapi si penendanglah yang memekik kesakitan.
Kura mengangkat kakinya yang bersandal kulit dan menendang tulang kering Yanashita dengan cepat.
Lumayan, Kura-san.
"SMA Yan! Ah, rasanya seperti kembali ke masa lalu."
Kura terus berbicara, asap mengepul dari mulutnya.
"Dulu, beberapa dari mereka dulu memakai celana longgar ala anak nakal dengan seragam sekolah mereka. Tentu saja, sekarang sudah gak bergaya lagi."
Yanashita merengut pada Kura.
"Bajingan! Guru zaman sekarang hanya berpura-pura peduli melindungi anak-anak!"
"Aku tidak berpura-pura. Aku datang ke sini hanya untuk menyuruhmu pergi ke tempat lain. Aku tidak peduli ke mana. Yang penting aku tidak bisa melihatmu. Nikmati masa mudamu, menjauh dari pandanganku. Aku tidak tahan melihatmu."
"Mau aku laporin ke Dewan Pendidikan, hah?!"
"Semua murid kami lihat kau mengintai tempat ini. Lagipula, aku ini guru di sekolah persiapan perguruan tinggi elit. Aku bisa pukul kau dua atau tiga kali, dan dewan tetap akan melindungiku. Kalau kau masih berkeliaran di sekolah kami, aku bisa dengan mudah mengarang cerita buruk tentangmu dan menyuruh temanku di kepolisian prefektur untuk datang dan menanganimu."
Dasar orang dewasa yang kotor dan gak bertanggung jawab.
"Kau mengerti, Ponytail? Itulah arti hidup bermasyarakat. Kau pikir melanggar aturan itu keren? Kalau begitu, jangan kaget kalau ada orang lain yang melanggar aturan juga, dan menghajarmu habis-habisan."
Kura menjentikkan pergelangan tangannya, melambaikan tangan dengan acuh.
Yanashita menatapku dengan tatapan kebencian sebelum berbalik dan pergi dengan marah. Entah dia menyadari rencana besarnya gagal total, atau dia memang takut harus menjelaskan semuanya kepada polisi. Tapi untuk berjaga-jaga, kami meminta Kura mengantar kami dengan jarak aman menggunakan Nissan Rasheen bututnya, sebelum menurunkan kami.
Yuzuki sudah menggenggam tanganku cukup lama dan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan melepaskannya. Hujan, yang akhirnya reda lebih awal, mulai turun lagi dalam tetesan-tetesan besar dan lebat.
✶
Yuzuki Nanase dihujani rintik hujan.
Hujan mulai turun dengan deras. Yuzuki hanya berdiri di sana, menatapnya, tanpa payung atau apapun. Kami berdiri di taman dekat tempat Kura menurunkan kami. Untungnya, tidak ada orang lain di luar dalam cuaca seperti ini. Tidak ada orang mencurigakan yang mengawasi kami juga.
Di lanskap yang gelap dan samar ini, hanya cahaya lampu mobil di kejauhan dan suara hujan yang mengguyur dan membentuk genangan air yang seolah mengikat Yuzuki ke dunia ini. Seragamnya yang basah kuyup melekat padanya seperti kulit kedua, dan tetesan air besar mengalir dari lengan baju dan ujung bajunya.
"Yuzuki, itu udah cukup. Kamu bisa masuk angin."
Yuzuki menoleh perlahan ke arahku. Wajahnya tampak seperti dilukis dengan cat air. Hujan mungkin akan menyapu semua cat, membuatnya kehilangan wajah.
"Nee, Saku... apa aku melakukan kesalahan?"
Wajahnya terlihat berkerut.
"Gak. Kamu hanya bertingkah seperti Yuzuki Nanase."
Aku membuka payung plastikku dan menghalangi hujan yang dingin membekukan.
"Ayo pergi. Aku akan mengantarmu pulang."
Yuzuki ambruk di sampingku, menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Kumohon. Aku gak bisa sendirian malam ini."
Aku ingin mengatakan sesuatu tentang bagaimana keluarganya menunggunya, tapi kurasa bukan itu yang dia maksud.
"Aku mengerti perasaanmu, tapi kita gak bisa di sini semalaman."
"Tempatmu, Saku..."
Yuzuki menatapku memohon.
"Kamu bilang kalau kami menang latihan, kamu akan melakukan satu hal untukku, kan? Kamu gak akan mengingkari janjimu, kan? Aku ingin memakai itu sekarang. Kumohon, biarkan aku memakainya."
"Bagaimana kamu tahu aku tinggal sendirian?"
"Aku mendengarnya.... dari Yuuko, beberapa waktu lalu."
"Keluargamu pasti mengkhawatirkanmu."
"Akan kukatakan pada mereka aku menginap di rumah Haru untuk belajar. Kurasa mereka gak akan mempertanyakannya."
"Meski begitu..."
Yuzuki memelukku, menatapku dengan tatapan putus asa.
"Kumohon, Saku. Kumohon bawa aku pulang. Tolong aku!!!"
Aku masih ragu, tapi aku tidak bisa meninggalkan Yuzuki sendirian dalam keadaan seperti ini. Dan aku tidak yakin bisa membujuknya untuk mengizinkanku mengantarnya pulang.
Lagipula, aku masih belum sanggup melepaskan tangan gemetarannya itu.
✶
Aku menyalakan lampu.
Cahaya redup bohlam lampu menerangi ruangan.
Ruang tamu itu tampak biasa saja dan tidak mencolok.
Ada meja makan dengan kursi untuk empat orang, sofa untuk tiga orang, dan meja rendah. Satu-satunya hal yang menarik di ruangan itu hanyalah rak buku penuh novel yang memenuhi salah satu dinding, dan radio Tivoli Audio yang diletakkan di salah satu sudut. Kamar tidurnya terletak di sebelah dan sangat sederhana. Hanya ada satu tempat tidur dan meja samping, meja belajar, dan sofa kulit tua satu dudukan. Tidak ada TV dan komputer.
Aku ragu untuk langsung menyarankan Yuzuki mandi dan berganti pakaian, jadi aku mengambil handuk mandi baru dari lemari dan menyampirkannya di bahunya, membantunya duduk di sofa ruang tamu. Aku menyalakan Tivoli, dan seorang penyiar radio lokal mulai tertawa dan berceloteh dengan santai.
Aku menuju dapur untuk membuat kopi hangat untuk kami berdua. Ketika aku kembali, Yuzuki tidak bergerak sedikit pun, jadi aku duduk di sampingnya dan mulai mengeringkan rambutnya dengan gaya seperti biasa.
"Ini, minumlah. Ini akan menghangatkanmu."
Sepertinya Yuzuki bahkan tidak mendengarku. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku dan bersandar padaku. Rambutnya yang masih basah berbau seperti hujan dan sisa samponya.
Aku tetap diam. Tangan Yuzuki merayap ke lenganku dan menangkup pipiku. Aku masih tidak bergerak. Seolah frustrasi, dia mengencangkan tangannya, menatapku dari jarak sekitar empat inci.
Bibirnya terbuka dan sedikit berkilauan di bawah cahaya. Napasnya tercekat di antara keduanya, menggelitik bibirku sendiri. Dia menutup matanya yang berkaca-kaca dan mencondongkan tubuh lebih dekat, mempersempit jarak antara wajah kami menjadi hanya dua inci sekarang. Tubuhnya menempel di tubuhku, garis celana dalamnya terlihat jelas di balik pakaiannya.
Kamu sudah sejauh ini?
Pikirku.
Bendunganku sudah dalam bahaya pecah sejak lama.
"Apa itu yang kamu mau, Yuzuki Nanase-san?"
Aku memegang bahu Yuzuki dan membantingnya kasar ke sofa.
"Yeek!"
Yuzuki memekik tidak biasa, tapi aku tidak peduli.
Aku mengabaikan roknya yang naik ke atas kakinya dan naik ke atasnya. Terkejut, Yuzuki menghentakkan kakinya dan mencoba lepas dariku, namun aku menahannya dengan pahaku.
"Ini yang kamu mau, ya?"
Mata Yuzuki, yang tiba-tiba berapi-api, kini diwarnai ketakutan.
Oh, betapa aku menatap mata itu dengan begitu tidak sabar selama seminggu terakhir.
"Hentikan... hentikan, Saku!"
"Sudah terlambat untuk itu. Kamu datang ke sini atas kemauanmu sendiri. Kamu yang mengundang ini. Dan saat kita membuat kontrak, kamu bilang aku boleh melakukan apapun yang kuinginkan padamu, sebanyak yang kuinginkan, dan sebanyak yang kuinginkan. Benar begitu?"
Yuzuki mencoba duduk, mati-matian berusaha melepaskan diri dariku, namun aku meraih pergelangan tangannya dengan satu tangan dan menahannya di atas kepalanya.
Gundukan dadanya tampak jelas.
Air mata mulai mengalir deras dari matanya.
"Kumohon, Saku. Aku gak suka ini. Aku takut. Aku takut."
"Begitu ya... jadi orang itu benar. Saat kamu ketakutan dan menangis, itu benar-benar hal yang paling menggairahkan."
Yuzuki memejamkan matanya rapat-rapat, memalingkan wajahnya. Aku memegang dagunya dengan tanganku yang bebas dan memaksa wajahnya kembali menghadapku.
"Itu gak menyenangkan. Jika kamu menutup matamu, kamu gak bisa melihat apa-apa."
"....Maaf. Maaf. Kumohon... aku gak akan melakukannya lagi..."
"Hei, hei. Apa sebenarnya yang kamu harapkan dariku? Kasihan? Akulah orang yang akan merobek bajumu. Kamu sadar itu, kan?"
Aku menampar pipi mulusnya pelan. Itu cukup untuk membuat tubuh rampingnya membeku sepenuhnya. Aku melonggarkan tekanan di pahanya, memindahkan berat badanku ke lututku di sofa.
"Apa kamu takut? Ini jauh lebih lembut daripada ejekan Haru-san. Permainanmu di lapangan basket terlihat jauh lebih agresif. Aku heran melihat seorang gadis yang bisa menangani hal-hal seperti itu dengan sikap tenangnya panik seperti orang lemah hanya karena hal seperti ini."
...Coba pikirkan, Yuzuki-san! Pikirkan lebih cepat!
Sekali lagi, aku menampar pipinya yang lain pelan.
"Berani melawan lebih dari itu; ayo. Apa tamparan kecil itu sudah merusak otakmu? Apa kau akan melakukan apa saja sekarang? Apa yang kukatakan padamu? Apa hanya itu yang bisa dilakukan Yuzuki Nanase-san? Jangan membuatku tertawa; itu sangat payah."
Sedikit emosi kembali terpancar di mata Yuzuki saat itu, seolah-olah dia teringat ketika Nazuna juga menyebutnya payah. Mata Yuzuki menyipit saat dia memelototiku. Wajahnya secantik saat dia melepaskan tembakan tiga angka itu.
"Kamu benar-benar takut pada orang itu?"
Aku meraih kemeja Yuzuki dan membuka kancing atasnya.
"Kamu takut pada hal kecil seperti kekuatan fisik?"
Sekarang aku membuka kancing bawahnya.
"Aku gak akan hanya menamparmu dan selesai dengan itu. Aku akan membuatmu melakukan apa yang kuinginkan. Aku akan mengambil foto dan video, menyerangmu di semua titik lemahmu, masa lalumu, keluargamu, teman-temanmu, membuatmu gak punya tempat untuk lari."
Aku tidak punya kancing lain yang bisa kubuka, jadi tanpa pilihan lain, aku mulai melonggarkan dasiku.
"Apa yang lebih menakutimu?"
...Kembalilah ke dirimu sendiri! Berdirilah, Yuzuki Nanase!
Lalu aku berteriak padanya, sekuat tenaga.
* * *
"AKU TANYA SIAPA YANG LEBIH MENAKUTIMU?! DIA ATAU AKU?!!!"
"....PERSETAN DENGANMUU!!!”
Dengan suara dentuman yang tumpul, aku menerima hantaman langsung tepat di selangkangan.
"Wheeeeh!"
Aku tersungkur ke depan dan jatuh lemas di atas Yuzuki.
"I-Itu kekuatan tendangan yang jauh lebih dari empat puluh persen...."
✶
Tap, tap, tap.
"Gugh."
Tepuk, tepuk, tepuk.
"Gegh."
Aku meringkuk seperti bola di lantai. Yuzuki menepuk punggung bawahku dengan tinjunya, menenangkan.
"Pfft... Ha... Ha-ha-ha-ha!"
"Itu gak lucu! Apa kamu mencoba mengebiriku atau semacamnya?!"
"Hanya saja... hanya saja... Saku Chitose yang terkenal itu, mengecil menjadi... maaf, ha-ha-ha-ha!"
Yuzuki tertawa terbahak-bahak, seolah-olah kengerian di wajahnya beberapa saat yang lalu tidak pernah ada.
Sedangkan aku sendiri, aku tahu wajahku sendiri meringis kesakitan.
"Nee, nee. Apa sakitnya sampai separah itu?"
Yuzuki mencolek pantatku beberapa kali.
"Tentu saja! Oh, sial, oww, ini sakit sekali! Aku sudah berusaha sebaik mungkin agar gak benar-benar menyakitimu, dan ini yang kudapat?! Apa aku melakukan sesuatu di kehidupan sebelumnya...? Oke, serius, tolong jangan berhenti menepuk-nepuk."
"Baiklah, baiklah, itu salahku. Tepuk, tepuk, yosh, yosh."
Tapi sepertinya Yuzuki tidak bisa berhenti tertawa. Dia menekan telapak tangannya ke mulut, namun aku bisa mendengarnya menahan tawanya di baliknya. Aku juga berkedut, tapi bukan karena merasa itu lucu.
"Owwwwwww..."
"Kalau kamu benar-benar memaksa, aku bisa memijat bagian yang terluka itu untukmu?"
"Kenapa cuma kamu yang kembali bercanda, hah, dasar tukang pukul biji...?!"
Setelah akhirnya merasa sedikit lebih baik, aku kembali duduk di sofa. Selangkanganku masih berdenyut-denyut.
"Kurasa aku punya fotonya, tapi kalau kamu mau, silakan bicara."
Yuzuki mengangguk.
"Aku takut, pada kekerasan, kamu tahu..."
Pengakuan itu mengonfirmasi apa yang telah kuprediksi sendiri.
Kalau dipikir-pikir lagi, dia sudah mengirimkan banyak petunjuk kepadaku, sejak hari kami mengobrol di kafe.
Waktu itu ketika aku iseng memberi karate chop pada Yuzuki, waktu itu ketika Yuuko tiba-tiba mengacungkan jari tengah menuduhnya... malahan, ketika seseorang mendekati Yuzuki secara tiba-tiba atau dadakan, dia membeku dengan cara yang terasa tidak proporsional dengan situasinya. Dia juga bereaksi saat aku bertengkar dengan Si Aneh Dengan Jambul Ayam itu di luar perpustakaan—dan lagi saat festival. Dan barusan, saat kami melakukan kontak di sofa, Yuzuki bereaksi dengan ketakutan yang berlebihan.
Meski begitu, sulit untuk memastikan apa Yuzuki takut pada kekerasan yang mungkin berujung seksual atau justru takut pada kekerasan, titik.
Kecurigaanku pada dasarnya terkonfirmasi ketika aku melihat foto dirinya dan Yanashita itu. Yuzuki yang masih SMP, memalingkan pipinya yang bengkak dari kamera, berusaha menyembunyikan memar di pergelangan tangan kanannya, yang tertinggal karena dicengkeram.
Suara malas rekaman-rekaman lawas yang diputar di udara merembes keluar dari Tivoli Audio. Tetesan air hujan memercik di kaca jendela.
"Maukah kamu mendengarkan ceritaku? ....Saku."
"Kalau kamu mengizinkannya, Yuzuki."
Dengan pelan, Yuzuki mulai mengakui apa yang telah terjadi padanya.
...Aku kelas dua SMP.
Karena penampilanku, aku telah mengalami lebih banyak hal yang tidak menyenangkan daripada yang dialami kebanyakan orang. Aku masih muda saat itu, tapi aku cerdas, dan aku juga telah tumbuh menjadi cukup cerdik.
Aku berusaha sebaik mungkin untuk bersikap ramah kepada semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, namun aku tetap menjaga batasan ketat yang tidak akan kulewati. Aku berusaha sebaik mungkin untuk memainkan peran sebagai "gadis yang begitu baik sehingga tidak ada yang akan iri padanya". Aku benar-benar yakin aku sudah menguasainya.
Tapi suatu hari, aku dengar Yanashita, yang berada satu tahun di atasku, mulai menyukaiku. Dia terkenal di sekolah sebagai anak nakal. Beberapa teman perempuanku naksir berat padanya karena dia tipe yang kadang-kadang suka berkelahi, dan dia punya koneksi dengan para laki-laki yang lebih tua dan menakutkan di SMA. Dan maksudku, penampilannya juga tidak seburuk itu, tahu? Kalian mungkin tidak menyadarinya awalnya, tapi dia berasal dari keluarga baik-baik, dan sebelum dia terjerumus ke dalam kenakalan remaja yang serius, dia sangat mirip Saku. Laki-laki populer. Dia hanya punya sisi gelap, dan banyak perempuan yang menyukainya.
Tapi waktu itu, aku tidak terlalu tertarik pada laki-laki. Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Jadi ketika aku mendengar rumor-rumor itu, sepertinya itu tidak ada hubungannya denganku.
Lalu suatu hari, beberapa waktu kemudian, Yanashita meminta untuk bertemu denganku. Klise memang, tapi dia ingin menemuiku di belakang gedung sekolah, area yang cukup terpencil. Dia ada di sana bersama beberapa anak buahnya.
Sejujurnya, aku takut, tapi kupikir aku bisa mengatasinya sendiri. Lagipula, aku selalu begitu. Kukatakan pada diriku sendiri bahwa aku akan membujuknya agar meninggalkanku sendiri, dan dengan begitu tak akan ada masalah lagi.
Tapi dia tidak memanggilku untuk mengaku padaku atau hal-hal manis lainnya. Malah, dia berkata, "Kau. Jadilah wanitaku." Seolah-olah dia sedang memberi perintah.
Aku tertawa dan menepis ucapannya... atau setidaknya, itulah yang kucoba lakukan. Tapi kemudian, tiba-tiba, Yanashita berkata, "Cukup", dan mencengkeram lengan kananku, mendorongku ke dinding. Aku tidak bisa melupakan wajahnya, tepat di hadapanku. Terkadang aku melihatnya dalam mimpiku.
Dia terlalu kuat, dan aku tidak bisa mendorongnya. Aku berusaha melepaskan diri, berpikir, Tidak, tidak, kumohon, tapi aku tidak bisa. Aku mencoba mendorong wajahnya menjauh dariku dengan tangan kiriku, yang masih bebas, dan saat itulah dia menamparku.
Keterkejutan itu membuat segalanya gelap sesaat. Lalu rasa sakit itu datang. Rasanya seperti terbakar. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Air mataku mulai mengalir, dan aku tidak bisa menghentikannya. Aku sangat marah dan takut, semuanya bersamaan, dan aku tidak sanggup menanggungnya.
Aku berusaha melakukan segalanya dengan benar; aku berusaha bersikap tenang setiap saat, tapi aku tetaplah seorang gadis, dan kekuatan fisik yang dimiliki laki-laki rata-rata—itu bukanlah sesuatu yang bisa kuharapkan untuk kulawan. Aku menyadari itu saat itu. Aku menyadari bagaimana satu tamparan di pipi bisa cukup untuk melenyapkan semua pikiran rasional dari benakku.
"....Jadi begitu. Itulah masa lalu yang selama ini kusembunyikan darimu, Saku. Aku menangis sejadi-jadinya—seperti bayi—dan akhirnya, dia bilang, 'Coba aku foto biar aku pamer ke temanku di SMP yang lain'. Dia menyuruhku berfoto dengannya. Ya sudahlah. Kupikir dia pasti sudah benar-benar melupakanku sekarang...."
Yuzuki menyelesaikan ceritanya, tampak seperti roh jahat yang baru saja melepaskan cengkeramannya.
Aku tidak bisa menahan diri kali ini. Aku menariknya ke dalam pelukanku dan memeluknya.
"....Saku?"
"Terima kasih, Yuzuki."
"Kenapa kamu berterima kasih padaku?"
Yuzuki tertawa kecil, dan aku tahu kalau aku tidak bisa menahannya, aku mungkin akan menangis.
Senyumnya sungguh.... sungguh indah.
"Terima kasih karena gak pernah menyerah menjadi Yuzuki Nanase, meskipun hal seperti itu terjadi padamu. Terima kasih karena terus melangkah maju. Aku gak tahu persisnya kenapa, tapi entah kenapa, aku sangat senang kamu terus maju."
Beberapa orang akan tertawa terbahak-bahak, berpikir hal seperti itu bukan masalah besar. Yang lain mungkin bersimpati, mengatakan betapa sedihnya mereka karena Yuzuki harus mengalami hal seperti itu.
Lupakan semua itu.
Setiap orang mengalami hal-hal menyakitkan dalam hidup mereka, dan beberapa di antaranya akan membekas selamanya. Kita semua punya nasib buruk. Hal-hal yang membuat kita ingin mempertanyakan hidup itu sendiri. Mengira dirimu satu-satunya yang mengalami kesulitan... itu delusi.
Tapi gadis ini, Yuzuki Nanase, tidak mencoba membungkus apa yang terjadi padanya dalam sebuah paket yang disebut trauma dan menggunakannya sebagai alasan untuk melarikan diri atau bersembunyi. Kalian bisa mengerti jika dia berubah menjadi gadis yang pendiam, membaur di sudut-sudut kelas, atau jika dia mengembangkan rasa takut yang serius terhadap semua laki-laki. Tapi dia tidak melakukannya.
Fakta bahwa gadis ini masih berdiri di sini hari ini, sebagai Yuzuki Nanase—bagiku, itu adalah sesuatu yang berharga. Aku tidak yakin apa perasaanku sampai padanya, tapi Yuzuki tetap diam dan tetap berada dalam pelukanku untuk beberapa saat lagi.
"Omong-omong."
Kata Yuzuki ketika akhirnya aku melepaskannya.
"Adegan apa yang tadi itu? Aku benar-benar ketakutan, tahu? Satu gerakan yang salah, dan kamu bisa membuatku trauma lagi. Itu gak akan lucu, tahu?"
"Ya, kalau konselor sekolah tahu, aku yakin mereka akan pingsan karena terkejut. Lalu akan langsung dibawa ke kantor psikiater untuk evaluasi psikiatri."
Bahkan aku tahu pendekatanku terlalu keras.
Tapi kupikir aku perlu melakukan sesuatu yang benar-benar berdampak, sesuatu untuk mengungkap kenangan buruk yang bahkan gadis sekaliber Yuzuki pun masih belum bisa lupakan. Pokoknya, aku yakin gadis sekuat ini bisa lepas dari masa lalunya sendiri dengan sedikit dorongan.
Yuzuki menyeringai padaku, tertawa kecil.
"Katanya paling seram kalau orang yang nggak pernah marah mulai teriak-teriak. Itu benar juga. Aku khawatir setelah kamu selesai mempermainkanku, kamu bakal nyerahin aku ke tempat lampu merah yang mencurigakan. Tapi..."
Yuzuki tampak terlihat geli sekali. Dia terus tertawa, seluruh tubuhnya gemetar.
"Tapi terus kamu bilang, 'Wheeeeh!' Kamu selalu sok keren, tapi itu... itu keren banget!"
"Hei, sudahlah. Apa kamu juga mencoba memberiku pengalaman traumatis yang takkan pernah kulupakan di sini?"
Aku menenangkan diri dan melanjutkan dengan nada yang lebih serius.
"Aku gak ingin kamu salah paham. Ini bukan tentang aku yang mencoba mengajarimu cara menendang selangkangan seseorang dan menghentikan serangannya. Sulit untuk dilakukan, dan terkadang hanya akan memprovokasi orang itu dan membuat situasi semakin berbahaya untukmu."
"Baiklah. Jadi kamu menyuruhku untuk gak mematikan otakku, kan?"
Hah, jadi itu benar-benar kedengaran.
"Waktu di festival, kamu memberiku contoh tentang apa yang harus dilakukan. Aku mungkin gak bisa menang melawan seseorang dengan kekuatanku, tapi aku mungkin bisa menemukan strategi lain, asalkan otakku tetap terhubung. Itu yang ingin kamu maksud, kan?"
"Kekerasan memang bisa menakutkan, tapi rasa sakit tetaplah rasa sakit. Sesuatu seperti tamparan di pipi gak sesakit memakannya di atas beton dan menggores kedua lututmu, atau menabrak pemain basket lain saat kalian berdua sedang bersemangat dan asyik bermain. Intinya : Jangan biarkan hal kecil membuatmu membeku total."
Yuzuki tertawa, bahkan memperlihatkan gigi putihnya untuk sekali ini.
"Kurasa aku akan baik-baik saja. Aku sudah memperbarui bank memori mentalku. Citra mental wajah paling menakutkan yang pernah kulihat, dan wajah paling konyol yang pernah kulihat, keduanya sudah diperbarui. Versi lamanya sudah terhapus total."
"Gak bisakah kamu mencoba menimpa setengahnya lagi untukku?"
Aku menghela napas keras.
"....Maaf, yah. Aku tahu aku membuatmu takut. Aku hanya berharap aku menemukan cara lain untuk melakukannya. Sesuatu yang lebih cepat dan lebih efektif."
"Aku tahu, Saku. Aku mengerti."
Yuzuki mengulurkan tangan dan menyentuh pipiku dengan lembut.
"Kamu datang berlari saat aku meminta bantuan, kan? Terima kasih. Pahlawanku."
Ini masalah Yuzuki.
Jika Yuzuki tidak melangkah maju sendiri, maka seluruh situasi ini akan berakhir sia-sia. Tidak ada jaminan aku akan berada di sisinya saat kemalangan berikutnya menimpanya.
Tapi Yuzuki sendiri yang memutuskan untuk mengandalkan bantuanku, dan sekarang dia menatap ke depan.
Jadi mulai sekarang, inilah masalah kami.
Kau benar-benar menuruti keinginan egoismu, ya, dasar penguntit brengsek?
Tapi aku punya rencana untuk membalasnya seratus kali lipat. Aku baru saja memikirkannya ketika Yuzuki menatapku dengan nakal.
"Nee, apa kamu mau melanjutkan yang sebelumnya...?"
"Kamu pikir aku bisa melakukan itu sekarang?! Aku bilang 'Wheeeeh!' ingat?!"
✶
Yuzuki merasa jauh lebih baik, jadi kupikir dia mungkin akan kembali ke rumahnya sendiri. Namun, ternyata dia benar-benar bertekad untuk menginap di sini.
Aku memutuskan untuk tidak berdebat. Sebagai gantinya, aku mengisi air bak mandi, lalu memberinya handuk baru. Kukatakan padanya bahwa dia boleh memilih pakaian apapun yang dia inginkan dari lemari. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk pakaian dalamnya, tapi ternyata dia biasanya menyimpan celana dalamnya di tas olahraganya untuk diganti setelah latihan klub, kalau-kalau dia benar-benar berkeringat. Paranoia setelah perampokan deodoran membuatnya mulai menyimpan pakaian ganti di tas sekolahnya. Jadi, tidak ada masalah untuk itu.
{ TLN : Paranoia itu kondisi mental yang ditandai oleh perasaan curiga, tidak percaya, dan takut yang tidak masuk akal terhadap orang lain, dengan keyakinan bahwa orang lain berusaha untuk menyakiti, menipu, atau menjatuhkan kalian. }
Sebenarnya aku tidak perlu mendengar informasi itu. Sekarang aku harus memikirkannya setiap kali melihat tas sekolahnya.
Clatter. Swoooosh.
Apartemen ini awalnya memiliki dua kamar tidur dan dapur makan, namun telah direnovasi secara paksa menjadi satu kamar tidur dan ruang tamu, ruang makan, dan dapur. Begitu kalian membuka pintu, kalian langsung berada di ruang tamu. Toilet dan ruang ganti hanya dipisahkan oleh satu tirai. Suasananya nyaman dan sederhana untuk seseorang yang tinggal sendiri, tapi dalam situasi seperti ini, rasanya canggung. pemuda mana yang tidak bisa membayangkan gadis cantik berganti pakaian tepat di balik tirai itu? Jika pemuda seperti itu ada, dia pastilah semacam dewa.
Aku mengeraskan volume Tivoli, agar tidak mendengarnya berganti pakaian. Tapi radio tidak cukup untuk menghalangi suara pancuran. Memang agak terlambat, tapi aku mulai memikirkan betapa lembut dan hangatnya Yuzuki saat aku menjepitnya di sofa.
Geh. Aku berisiko menjadi orang mesum. Aku pasti tidak akan bisa mengejek teman penguntit kami lagi. Aku mulai memasak makan malam untuk menenggelamkan pikiranku.
Aku tidak mengharapkan tamu, jadi aku tidak punya banyak bahan makanan di kulkas. Dan aku benar-benar kehabisan beras. Tapi aku punya mie soba Echizen kering, sebungkus daging babi iris tipis, setengah lobak daikon, satu daun bawang, dan satu bawang bombai. Agak sulit untuk membuat hidangan ini. Meski begitu, aku bisa menyajikan mie soba dengan irisan bawang bombai.
Pertama, aku mengiris bawang bombai hingga sangat tipis dan memindahkannya ke saringan. Aku menaburkan sedikit garam dan mendiamkannya sebentar, sebelum mencelupkannya ke dalam semangkuk air.
Sambil menunggu, aku memarut lobak.
Setelah lobak parutnya cukup banyak, aku angkat saringan ke atas mangkuk dan tiriskan airnya, sebelum menata irisan bawang bombai di atas piring. Aku membungkusnya dengan plastik wrap dan memasukkannya ke dalam freezer selama beberapa menit. Ini akan memastikannya renyah dan enak.
Swoosh.
Aku bisa mendengar pintu kamar mandi bergeser terbuka.
Cepat sekali. Dia sudah selesai?
"Saaa-ku! Mau gabung?"
"Jangan bercanda! Basahi tubuhmu sampai bahu dan hitung sampai seratus."
"Mem-bosankan!"
Kasploosh.
Aku bisa mendengar dia kembali tenggelam ke dalam bak mandi. Mungkin, dia membiarkan pintunya sedikit terbuka agar kami bisa melanjutkan obrolan.
"Yuzuki, kamu bisa tahan pedas?"
"Hmm? Ya, aku suka."
"Oke."
"Nee."
"Apa?"
"Apa kamu sedang membayangkanku sekarang?"
"Kamu mau aku masuk ke sanadan menggosok seluruh kulitmu dengan loofah ini, hmm?"
{ TLN : Loofah ini lobak yang dipakai masak sama si Saku. }
"Satu, dua."
Yuzuki mulai menghitung, terdengar seperti sedang menikmatinya. Dia hanya bersantai, tidak terlalu mengkhawatirkan kehadiranku.
Aku mencuci daun bawang dan memotong akarnya, lalu mengirisnya menjadi cakram-cakram setebal beberapa sentimeter. Aku mengencerkan kaldu sup dengan air, mencicipinya, lalu memasukkan saus kacang cabai Cina Tobanjan, mengaduknya dengan sumpitku. Sebelum lupa, aku mengambil irisan bawang bombai dari freezer dan memindahkannya ke kulkas.
Aku meletakkan wajan besi cor tua di atas kompor dan memanaskannya dengan api sedang. Begitu mulai berasap, aku menuangkan sedikit minyak yang aku simpan di panci minyak dan mengaduknya hingga wajan terlapisi minyak. Kemudian aku mengembalikan minyak ke panci minyak dan mengecilkan api.
Wajan itu pemberian, dan aku sudah familiar dengan dasar-dasar memasak. Aku tidak keberatan dengan hal semacam ini. Berbagai langkah dan semuanya. Aku menambahkan minyak wijen secukupnya, lalu memasukkan irisan daun bawang dari sebelumnya. Setelah terlihat matang, aku mengangkatnya, menggantinya dengan irisan daging babi.
Setelah daging babi kecokelatan, aku menuangkan campuran mentsuyu dan saus Tobanjan. Dagingnya mendesis. Aroma yang harum mulai memenuhi dapur.
Clatter. Swoosh.
Kali ini, Yuzuki benar-benar keluar dari bak.
"Baunya enak banget, kan?"
"Kamu pasti lapar. Kamu butuh berapa lama untuk mengeringkan rambutmu?"
"Uh, mungkin lima belas menit kalau aku buru-buru."
Itu cukup waktu buatku.
Aku isi panci dengan banyak air dan didihkan.
"Saku, sampomu wanginya enak banget."
"Benar, kan? Yua-san yang merekomendasikannya. Mereknya MUJI. Agak mahal sih, tapi katanya bagus buat rambut."
"Hmm..."
Sausnya sepertinya sudah matang, jadi aku memasukkan kembali daun bawangnya.
Vwooo.
Aku bisa mendengar suara pengering rambut.
"Nee, alat ini lumayan kuat. Bagus."
Aku bisa mendengar Yuzuki berseru.
Aku menjawabnya, berteriak di tengah suara pengering rambut itu.
"Itu hadiah dari Yuuko-san! Katanya dia mau beli yang baru."
"Uh-huh...."
Aku mencuci talenan, dan tiba-tiba, air di panci mulai menggelegak.
Aku mengambil segenggam mi soba dan memasukkannya ke dalam panci. Aku menyetel pengatur waktu di ponselku, satu menit lebih singkat dari waktu merebus soba biasanya. Daun bawangnya tampak sudah matang, jadi aku mematikan api di bawah saus.
Lalu aku menunggu sekitar lima menit.
Suara pengering rambut itu berhenti.
Tirai berdesis terbuka, dan Yuzuki muncul.
"...."
Aku tertegun sejenak.
Yuzuki yang memberikan semuanya. Inti cerita tentang gadis-datang-ke-rumah-pacar-lalu-keluar-dengan-kemejanya.
Kemeja putihnya agak longgar, dan ujungnya menggantung rendah, dengan kaki telanjangnya di bawah menarik perhatian, meskipun kalian berusaha keras untuk tidak melihatnya. Paha dan betisnya memang seksi, tapi ada sesuatu tentang pemandangan jari kakinya yang telanjang di lantai yang sungguh, yah, wow. Itu adalah bagian dari dirinya yang biasanya tidak kulihat, dan pemandangan langka itu membuatku benar-benar teralihkan.
...Maaf, Haru-san. Tapi aku benar. Kakinya itu gak bisa kusentuh sembarangan, gak seperti kakimu.
Aku segera mendongak, memperhatikan rambut Yuzuki yang masih basah, pipinya yang merona, dan kacamata berbingkai tipis yang dikenakannya.
Yuzuki, yang biasanya tampil sempurna dari ujung kepala hingga ujung kaki, tampak aneh tidak serasi saat mengenakan kacamata itu. Rasanya seperti melihat sekilas di balik penampilannya yang sempurna. Aku ingin sekali menggodanya, tapi kutelan habis-habisan.
Yuzuki tertawa kecil, seolah menyadari keterkejutanku.
"Bagaimana menurutmu? Jantungmu berdebar kencang?"
"...Lebih dari yang kukira."
"Lebih dari sekadar melihat Ucchi berkacamata?"
"Itukah tujuanmu?"
Sejujurnya, tindakannya yang tiba-tiba seperti itu setidaknya menyebabkan setengah dari damage yang kuderita.
Yuzuki menyeringai senang.
"Baiklah, kamu menang. Sekarang pakai baju yang sesuai. Aku tahu kamu membawa kaus dan celana pendek di sana."
"Kau gak mau kutuangkan minuman atau semacamnya dulu?"
"Apa kamu menggunakan teknik time-warp dari tahun delapan puluhan? Cepat ganti baju; makan malam hampir siap."
"Okee."
Mie sobanya mengambang, jadi kuambil dari air dan kubilas di bawah keran dingin. Aku menyalakan api di bawah penggorengan lagi dan memanaskan sausnya sekali lagi. Aku menyiapkan dua mangkuk celup dan mengisinya dengan saus tambahan. Lalu aku menambahkan lobak yang sudah ditiriskan beserta airnya.
Lalu aku menuangkan daging babi yang sudah dipanaskan, daun bawang, dan kaldu ke dalam dua mangkuk ramen besar. Aku menyajikan soba yang ditumpuk di atas piring, menghiasinya dengan irisan bawang bombai yang kuambil dari kulkas—dan banyak serpihan ikan bonito iris.
Kami punya mie soba, saus celup dingin dengan parutan lobak, sup panas dengan daging babi, juga untuk mencelupkan soba, dan irisan bawang bombai dingin. Aku menyiapkan meja makan untuk dua orang dan menata piring-piring. Aku baru saja menuangkan teh barley dingin ke dalam dua gelas murah, ketika Yuzuki muncul dari ruang ganti lagi.
"Wah, Saku, kamu juga bisa masak? Kupikir kamu tipe orang yang suka makanan cepat saji."
"Maaf, aku gak punya banyak, tapi aku sudah berusaha sebaik mungkin. Kita punya irisan bawang bombai, saus celup daikon, dan sup babi pedas ala Cina juga. Kamu bisa mencelupkan mie sesukamu, karena aku sudah menyiapkan dua mangkuk saus untuk kita masing-masing."
Ngomong-ngomong, mie dengan saus celup daikon itu seperti makanan khas Fukui. Kebanyakan orang menuangkan saus ke seluruh mie, tapi karena aku juga menyiapkan sup babi Cina hari ini, aku menyajikan sausnya di mangkuk terpisah.
"Saku, kamu tahu, kamu itu benar-benar..."
Entah kenapa, Yuzuki tampak jengkel.
"Aku baru saja berhasil menang sepuluh poin darimu, tapi sekarang kamu malah menyamakan skor lagi!"
"Kamu hanya melebih-lebihkan."
"Anak SMA mana yang bisa membuat semua ini? Ini benar-benar gak adil!"
Yuzuki duduk di hadapanku, cemberut.
""Selamat makan!""
Yuzuki segera mencicipi irisan bawang bombai dan mencicipi minya. Dia memilih saus celup daikon dulu, lalu saus babi Cina.
"...Ini gak membantu, loh."
"Bagaimana rasanya? Enak? Atau gak?"
"Semuanya enak! Apa-apaan ini? Apa serunya? Kamu melewatkan kesempatan 'gadis datang menginap di rumahnya, lalu memasak masakan rumahan untuk memamerkan keahliannya'?!"
"Gak ada yang pernah bilang begitu padaku."
"Aku lengah. Aku gak pernah terpikir untuk mengaitkanmu dengan memasak. Tapi, rasanya benar-benar enak."
Yuzuki menyeruput mie soba dengan riang.
"Kamu hanya melebih-lebihkan. Aku gak bisa membuat yang rumit-rumit amat. Cuma makanan dasar."
"Mmm, babi Cina ini enak sekali!"
"Hei, aku sedang bicara di sini."
Aku mulai dengan porsiku sendiri. Mie soba Echizen tebal dan agak gelap. Soba desa, kalian tahu. Tapi aku lebih suka mie soba putih bersih kualitas tinggi. Rasanya sangat cocok dengan sedikit rasa pedas dari parutan lobak.
"Nee, Saku, boleh aku tanya sesuatu?"
"Tentu. Aku gak menyembunyikan apapun."
"Kamu tahu apa yang ingin kutanyakan.... kan?"
"Tentu saja."
Aku tidak yakin bagaimana di kota besar, tapi di Fukui, rasanya aneh bagi seorang murid SMA untuk tinggal sendirian. Pasti ada keadaan yang memberatkan. Akan aneh jika Yuzuki tidak memikirkan itu.
"Ceritanya cukup membosankan. Orang tuaku bercerai saat aku masih SMP."
Sumpit Yuzuki berhenti di udara. Dia menatapku dengan empati di matanya.
"Jangan membuatnya terdengar aneh. Sudah kubilang, aku gak menyembunyikannya. Orang tuaku... bahkan sebagai putra mereka, aku jadi bertanya-tanya kenapa mereka bisa menikah sejak awal. Benar-benar bertolak belakang, tahu. Papa, dia orang yang mengikuti prinsipnya. Dan Mama, dia benar-benar berjiwa bebas."
Yuzuki tertawa kecil.
"...Maaf, maaf. Lucu sekali, caramu memanggil mereka Papa dan Mama. Kukira kamu akan memanggil mereka Ayah dan Ibu, atau mungkin 'Ayahku dan Ibuku', atau semacamnya."
"Sudahlah."
Sebenarnya, ada orang lain yang lebih sering membuatku bertengkar daripada mereka berdua, tapi mari kita lupakan saja untuk saat ini.
"Mereka selalu bertengkar, sejak aku kecil. Papa selalu mencoba berdebat dengan logika. Mama berdebat berdasarkan emosi. Pokoknya, suatu hari, akhirnya akhir itu tiba."
"Bukankah kamu ingin tinggal bersama salah satu dari mereka, Saku?"
"Aku benar-benar gak bisa memutuskan. Jadi ketika aku seperti, 'Kenapa aku gak mencoba tinggal sendiri?' Papa bilang, 'Kalau kau bisa menjaga kebersihan dan keamanan diri, silakan lakukan apa yang kau suka. Kami akan mengirimkan uang saku'. Dan Mama bilang, 'Kedengarannya bagus! Tapi jangan bawa perempuan ke rumah!' ...Oh, oops, kurasa aku sudah melakukan itu sekarang."
Kedua orang tuaku bekerja, dan mereka cukup berorientasi pada karier. Jadi aku memutuskan untuk membiarkan mereka membiayai hidupku sendiri. Mereka membawakan sebagian besar perabotan dan barang-barang dari rumah lama kami untukku.
"Kamu membicarakannya dengan sangat santai."
"Aku gak mempermasalahkan masa laluku. Lagipula, itu bukan kenangan yang menyakitkan... gak seperti beberapa orang yang bisa kusebutkan."
Yuzuki tampak seperti tidak yakin apa harus tertawa atau menganggapnya serius.
"Tapi, sungguh menakjubkan. Tinggal sendiri, mulai SMP, orang tuamu bercerai. Kebanyakan anak-anak akan hancur, menghadapi hal seperti itu."
Yuzuki merasakan apa yang kurasakan selama ini.
"Seperti halnya situasimu, Yuzuki. Mudah membiarkan pengalaman buruk menghambatmu, tapi kamu harus bertanggung jawab atas hidupmu sendiri. Aku sendiri gak mau membiarkan masalah orang lain menghalangi jalanku."
"Seandainya saja kita bisa membahas ini lebih awal. Aku penasaran, apa aku bisa mencapai terobosanku sendiri lebih cepat?"
"Kamu gak bisa. Itulah mengapa kamu bertahan dan berjalan sejauh ini dengan kakimu sendiri."
"Mungkin aku bisa membalas budimu suatu hari nanti, Saku?"
"Kurasa aku sudah muak dengan kebaikanmu untuk saat ini, Yuzuki."
"Jangan mengejekku, bakka."
✶
Setelah selesai makan dan beres-beres, kami belajar dalam diam di meja makan selama kurang lebih tiga jam.
Aku selesai duluan dan pergi mandi, memutuskan untuk tidak merapihkan diri berlebihan seperti yang Yuzuki tunjukkan sebelumnya. Aku hanya mandi, berendam, lalu mengeringkan rambutku dengan handuk dan menyisirnya ke belakang, sebelum memakai celana pendek panjangku yang biasa dan keluar dari kamar mandi tanpa baju.
Yuzuki lebih terkejut daripada yang kuduga.
"Apa para anak laki-laki di tim basket kadang-kadang berganti pakaian seperti ini di depanmu?" Tanyaku.
Tapi Yuzuki menjawab : "Itu hal yang sama sekali berbeda!" dan melemparkan handuk mandinya kepadaku.
"Oh, tapi tunggu dulu. Biar aku foto sebentar sebelum rambutmu benar-benar kering."
"Sekarang aku merasa malu. Gak bisakah aku pakai baju dulu?"
"Ga, ga."
"Kalau begitu, aku juga akan memotretmu dan kacamatamu."
"Jelas nggak. Tenang saja, ini cuma sesekali aku melakukannya."
Sekarang sudah jam setengah sebelas malam. Kami harus mempertimbangkan ujian besok, jadi mungkin kami harus segera tidur.
"Yuzuki, kamu bisa pakai kasurnya. Aku akan tidur di sofa ruang tamu."
"Enggak mau!"
"Kalau begitu, aku boleh tidur di kasur?"
"Mouu, cepat sekali..."
"Terus? Apa maumu?"
Akhirnya, setelah banyak perdebatan, kami sepakat dan memutuskan untuk menyeret sofa ruang tamu ke kamar tidur dan mendorongnya ke samping tempat tidur.
Yuzuki duduk di kasur, dan aku duduk di sofa.
Akan terasa canggung kalau terlalu sunyi, jadi aku membiarkan Tivoli bermain di ruang tamu, dengan fungsi pengatur waktu aktif. Aku menyetelnya ke stasiun acak dulu. Karena cuaca hari ini sangat mendung, mereka memutar lagu-lagu seperti "Singin' in the Rain" dan "Rainy Days and Mondays". Aku memastikan Yuzuki sudah tidur sebelum mematikan lampu.
Yuzuki berguling-guling beberapa detik, lalu bicara.
"Boleh aku berbicara sesuatu yang agak feminin?"
"Apa itu?"
"Aku bisa mencium aromamu, Saku."
"Maaf, apa aku bau?"
"Hehe. Itu agak menenangkan."
Ruangan itu hening sejenak.
Hujan tampaknya sudah berhenti. Tidak lagi menggedor-gedor kaca jendela.
Aku berbalik malas dan menyadari Yuzuki menghadap ke sini.
"Nee, Saku. Apa kamu punya seseorang yang kamu sukai?"
"Ini kedua kalinya kamu menanyakan itu padaku."
Rasanya sudah lama sekali ketika kami bertemu di kafe itu sambil menikmati telur Benediktus yang luar biasa. Tapi itu baru seminggu lebih. Dalam rentang waktu itu, kurasa aku sudah sampai pada titik di mana aku wajib menjawab pertanyaannya.
"Kalau aku..."
Rupanya, pemilik suara kecil itu lebih suka bicara daripada mendengarkan.
"Kurasa aku belum pernah benar-benar jatuh cinta pada seorang. Ada beberapa laki-laki yang membuatku merasa, Oh, dia lumayan baik. Tapi begitu aku menyadari bahwa mereka sepertinya gak terlalu menyukaiku, hanya menyukai 'paket Yuzuki Nanase', aku benar-benar kehilangan minat."
Aku mengerti apa yang dia katakan, sampai tingkat yang menyakitkan.
"Semua orang mencari peti harta karun mereka sendiri, terjebak dalam mimpi mereka sendiri. Kamu gak akan menemukan yang seperti itu di mana pun kamu mencarinya. Apa mereka gak tahu itu?"
"Tapi, Yuzuki, kamu akan bersemangat ketika ada gadis lain yang dipuji. Dan ketika kamu melihat seorang laki-laki bertelanjang dada, kamu akan tertawa kecil dan tersipu malu seperti orang lain."
"Ya. Aku juga begitu."
"Aku..."
Tiba-tiba, aku ingin bicara.
"Kurasa dulu ada seorang gadis, yang sangat kusuka."
"Oh?"
Aku teringat kembali masa kecilku dulu.
Membicarakan kenangan pahit-manisku sendiri agak terlalu pahit, tapi yah, bagaimanapun juga, kenangan itu adalah bagian dari diriku.
"Aku masih SD, dan saat itu musim panas. Aku tinggal bersama nenek dari Mama-ku. Rumahnya masih di prefektur, tapi dikelilingi sawah. Jauh lebih seperti desa daripada di sekitar sini. Bagiku, rumah di sawah itu seperti merangkum semua kenangan musim panas masa kecilku."
Yuzuki terdiam, mendengarkanku bicara.
"Ada seorang gadis yang datang ke lingkunganku setiap tahun. Wajahnya seperti boneka dan rambutnya tergerai ke belakang. Aku selalu berpikir kalau rambutnya itu mungkin sangat sulit dirawat. Kurasa dia lebih muda dariku. Kalau dipikir-pikir, aku bahkan gak tahu namanya."
Aku terhanyut dalam kenangan masa kecilku.
Hamparan sawah, dipenuhi batang-batang padi hijau. Jika mengintip di sela-selanya, kalian bisa melihat ikan pari kolam di air. Di siang hari, ada tonggeret. Lalu di malam hari, ada katak. Mereka membuat keributan besar.
"Suatu kali aku mengikuti gadis itu, dan aku menemukannya memakai gaun putih bersihnya yang berlumuran lumpur sungai. Dia benar-benar menangis. Hanya saja..."
Aku mencoba mengingat wajah gadis itu, namun yang aku lihat hanyalah gaun putih itu, seperti yang dikenakan heroine di manga.
"Aku ingat dia mengatakan sesuatu seperti, 'Beruntung sekali kamu begitu bebas'. Aku terbiasa dengan orang-orang yang mengatakan aku ini keren, atau jago olahraga, tapi dialah satu-satunya yang pernah mengatakan hal seperti itu. Itu membuatku senang, sungguh."
Meminjam analogi Yuzuki, aku rasa gadis itu adalah orang pertama yang repot-repot membuka "paket Saku Chitose" dan menunjukkan minat pada isinya.
"Tapi kemudian, suatu musim panas, aku berhenti menemuinya. Menurut rumor, ada laki-laki lain yang dia sukai. Seseorang yang sangat keren, jago olahraga, sangat pintar. Jadi itulah cinta pertamaku. Dan patah hati pertamaku."
"Begitu ya..."
Suara Yuzuki terdengar hangat.
"Hanya satu fatamorgana yang gak terpatahkan, ya."
Ternyata, alasanku memilih kisah masa kecil itu telah terungkap.
Tidak ada insiden yang menentukan. Perceraian orang tuaku tidak menghancurkan keyakinanku pada hubungan romantis atau semacamnya. Aku juga tidak masih mengejar "cinta pertama" yang sulit dipahami itu seolah-olah itu semacam fatamorgana yang tidak berwujud.
Namun selama bertahun-tahun kekecewaan dan pengkhianatan yang tidak kunjung usai, pada suatu titik, aku mulai berpikir, Oh ya. Itu saja.
Bayangkan semua gadis yang menyatakan cinta abadi padaku, mata mereka berbinar-binar penuh kegembiraan. Keesokan harinya, mereka akan menelan gosip yang diceritakan pria lain, dan mereka akan menatapku dengan kebencian di mata mereka. Tentu saja, pria itu ternyata adalah temanku. Lalu mereka berdua mulai berkencan, menjadi pasangan yang sedang naik daun. Kisah cinta seperti itu murahan dan membosankan, dan sudah ada di sekitarku selama beberapa waktu.
"Saku, apa kamu pikir kamu akan jatuh cinta lagi pada seseorang?"
"....."
"Sejujurnya, aku takut. Bagaimana jika orang itu mulai menyukai orang lain? Bagaimana jika aku akhirnya membencinya? Setelah semua itu? Itu sebabnya aku iri pada Yuuko."
"Aku juga iri padanya. Cahayanya begitu terang, menyilaukan."
Tangan Yuzuki terulur dan dengan lembut menyentuh jari-jariku sebelum akhirnya pergi.
"Selamat malam, Saku."
"Selamat malam, Yuzuki."
Kami berdua mungkin lelah. Begitu aku mendengar napas Yuzuki mulai mengikuti irama tidurnya, aku mencoba menyesuaikan napasku dengan napasnya. Tidak lama kemudian, aku merasa diriku juga mulai tertidur. Jika cinta yang tidak terpatahkan, tidak tertembus, dan sempurna itu ada di dunia ini, maka tentu saja itu hanya mungkin ditemukan di dalam ingatan yang sudah terancam pudar.
Seperti mengenang malam seperti ini, suatu hari di masa depan yang jauh, ketika aku telah tumbuh dewasa sejak lama.
...Saat aku terbangun, Yuzuki sudah tidak ada.
✶
Pagi setelah menginap bersama Yuzuki, aku mendapati diriku berjalan sendirian ke sekolah untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Rasanya tadi malam hanya mimpi. Hampir semua jejak Yuzuki telah dirapikan dan disingkirkan dari tempatku. Tapi piring-piring juga tertata rapi di saluran pembuangan wastafel, dan ada dua handuk bekas di keranjang cucian.
Aku tidak yakin kenapa Yuzuki pergi pagi-pagi tanpa mengatakan apapun, tapi pasti dia punya alasan. Aku agak kecewa melewatkan kesempatan untuk melihat penampilannya pagi-pagi sekali.
Saat aku berjalan di sepanjang jalan setapak di tepi sungai, aku melihat sosok yang familiar di depan. Aku bergegas menyusulnya dan menepuk punggungnya.
"Selamat pagi, Yua-san."
"Heeh? Saku-kun?"
Yua berbalik, tampak sedikit terkejut.
"Selamat pagi. Di mana Yuzuki?"
"Sepertinya aku ditinggalkan."
"Apa terjadi sesuatu kemarin? Setelah.... kamu tahu?"
"Hmm, ya, banyak yang terjadi. Tapi kurasa gak ada yang buruk."
Yua tampak lega saat dia melangkah di sampingku, tersenyum.
"Hmm? Saku-kun? Ada apa ini?"
Yua mengulurkan tangan dan menyentuh tengkukku.
"Apa yang kamu lakukan? Ini masih terlalu pagi untuk ini. Jangan membuatku jengkel."
"Hmm, jadi begitu..."
Yua mengeluarkan ponselnya dan memotret. Lalu dia diam-diam menunjukkan foto yang baru saja diambilnya di layar. Aku bisa melihat tulisan merah menyala di kulitku, semerah... lipstik.
Wajah tidur yang manis! Terima kasih!
"...Jadi, grafiti ini karya peri kecil?"
Yua menggelengkan kepalanya, tampak jijik.
Sialan, si Yuzuki itu. Aku di sini, mengira dia meninggalkan tempatku seperti gadis baik, tapi ternyata gak. Dia memastikan untuk meninggalkanku kenang-kenangan.
"Apa kamu melakukan hal seperti itu pada semua gadis, Saku-kun?"
"Astaga. Aku hanya pernah memberikan diriku pada satu orang."
"Hmm, aku ragu."
Yua tertawa pelan, seperti bunga dandelion.
"Hei, Yua?"
"Hmm?"
"Bisakah kamu membersihkannya dengan tisu pembersih riasanmu?"
"Hmm, aku bisa, tapi pertanyaannya : Akankah aku...?"
✶
Saat kami masuk ke kelas, suasananya terasa aneh dan tegang.
Tidak diragukan lagi penyebabnya adalah Yuzuki dan Nazuna, yang sedang berhadapan di depan papan tulis. Yuzuki tampak sangat tenang, tapi Nazuna tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.
Geh, apa mereka akan membahasnya lagi?
"Jadi, apa yang mau kau bicarakan? Aku harus belajar untuk ujian, tahu."
"Er, aku gak pernah menganggapmu tipe orang yang belajar sampai menit terakhir, Ayase."
"Jangan coba-coba bicara seolah kau tahu apapun tentangku, Nanase."
"Kamu benar, aku gak tahu apa-apa tentangmu."
Kerutan di antara alis Nazuna muncul.
Apa yang Yuzuki lakukan? Mencoba memulai pertengkaran lagi?
"Jadi begini, soal kemarin. Maaf soal itu."
Yuzuki berbicara dengan santai, seolah-olah itu bukan masalah besar.
"....Apa?"
"Seperti yang kukatakan. Maaf soal kemarin."
"....Kau membuatku merinding. Terserahlah. Lagipula aku gak mau jadi temanmu."
"Uh, aku juga gak mau."
"Dasar lacur...."
Kalau aku tidak turun tangan, situasi ini sepertinya akan meledak.
Mereka berdiri di depan kelas, dan semua perhatian tertuju pada mereka. Ini sungguh bukan seperti Yuzuki Nanase. Tapi perbedaan sikapnya sekarang dibandingkan kemarin.... aku menerimanya.
"Dan juga, makasih sudah datang menonton pertandingan."
Pipi Nazuna tampak memerah.
"Apa maksudmu sebenarnya....?"
"Aku hanya berpikir aku perlu belajar mengakui kesalahanku, atau aku gak akan pernah bisa menghadapinya."
"Aku tetap gak ngerti."
"Kamu gak perlu ngerti. Ini lebih untuk kebaikanku sendiri, kok."
Lalu Yuzuki menyadari Yua dan aku sedang memperhatikannya dan menyeringai.
✶
"Heeeh?! Kamu dan Saku-kun mau berhenti pacaran?!"
Teriak Yuuko.
Untuk merayakan keberhasilan melewati hari ketiga ujian, dan menyegarkan diri sejenak sebelum hari terakhir, kami semua anggota Tim Chitose memutuskan untuk makan di Europe-Ken, yang di sebelah East Park. Kazuki, Kaito, Haru, dan aku memesan katsudon ekstra besar, sementara Yuuko dan Kenta memesan katsudon biasa, sementara Yuzuki dan Yua memesan Paris-don. Ngomong-ngomong, Paris-don itu semangkuk nasi dengan irisan daging giling di atasnya, bukan irisan daging babi biasa. Meskipun, tentu saja, disajikan dengan saus katsudon yang sama.
"Tapi kenapa? Anak-anak SMA Yan itu baru kemarin muncul di sekolah kita. Masih berbahaya, kan."
Keraguan Yuuko itu sangat masuk akal.
Setelah pesanan semua orang diantar ke meja, kami mulai makan dan mengobrol. Lalu Yuzuki tiba-tiba berkata dia sedang mempertimbangkan untuk menghentikan rencana pacaran palsu itu.
Sekarang Kaito angkat bicara menentang, setelah Yuuko.
"Aku juga menentangnya. Mengintai SMA lain seperti itu? Orang-orang itu benar-benar gila."
Haru juga setuju.
"Aku ingin menghargai pendapatmu, tapi kedengarannya kamu seperti berpura-pura bodoh dan menjadi berani di sini, tahu? Maksudku, setidaknya pertimbangkan waktunya."
"Dengar..."
Yuzuki mulai berbicara—berbicara untuk dirinya sendiri, bukan untukku.
"Aku sudah berpikir mungkin aku sendiri yang memperburuk masalah ini. Keadaan mulai memburuk tepat setelah aku meminta Saku menjadi pacar palsuku. Kupikir seharusnya aku tidak memintanya sebelum semua ini terjadi. Mungkin itu akan menjadi akhir."
Kaito masih tampak tidak yakin.
"Kau pikir akal sehat akan mempan melawan orang itu? Orang yang benar-benar mencoba menendang guru? Ayolah."
Tentu saja, kami sudah bercerita tentang apa yang terjadi kemarin sepulang sekolah. Tapi Kaito tidak perlu memberitahukannya kepada kami. Lagipula, kami sebenarnya sudah sampai di sana.
Tapi Yuzuki hanya tersenyum lembut.
"Aku ngerti maksudmu. Tapi kalau terus begini, apapun yang kita lakukan, situasinya akan semakin memburuk. Saku.... semuanya... kalian gak bisa menjadi pengawalku sepanjang waktu. Seseorang harus bertindak dan menyelesaikan situasi ini."
Yuzuki berbicara dengan tegas dan penuh keyakinan.
"Dan satu-satunya orang yang benar-benar bisa melakukan itu adalah aku sendiri, kan?"
Kaito dan Haru, yang paling mengenal Yuzuki, terdiam. Rupanya, mereka tahu bahwa desakan lebih lanjut tidak akan membawa mereka ke mana pun. Semua orang sepertinya samar-samar menyadari bahwa situasinya semakin memburuk—dan bahwa tindakan tegas benar-benar perlu diambil.
Apa yang Yuzuki katakan masuk akal. Jika situasinya bisa diselesaikan dengan Yuzuki menolak orang itu, maka itu akan menjadi hasil terbaik. Jika Yuzuki ingin melakukan itu, tidak ada dari kami yang bisa menghentikannya.
"Um...."
Dengan ragu, Kenta angkat bicara.
"Setidaknya... apa gak apa-apa kalau kami semua ikut denganmu? Kamu tahu, setelah kamu membicarakannya?"
Ini menunjukkan keberanian yang luar biasa darinya. Itu jelas terlihat.
Yuzuki tersenyum pada Kenta.
"Terima kasih, Yamazaki. Aku menghargai niatmu, tapi kupikir itu malah akan berdampak sebaliknya. Kalau dia bertemu Saku lagi, dia mungkin akan benar-benar menghajar Saku kali ini."
Aku mengangguk dengan sungguh-sungguh.
Malam sebelumnya, orang itu tampak begitu marah hingga ingin meludahkan paku.
"Lagipula, itu gak seperti aku akan datang ke SMA Yan dan meminta bertemu. Aku berencana untuk menjalani hidup seperti biasa saja untuk saat ini, dan lain kali dia mulai menggangguku, aku akan langsung mengatakannya padanya."
Setelah kejadian itu, hanya aku yang mengerti apa yang harus dilakukan Yuzuki untuk mengambil keputusan ini dan betapa besar bahaya yang rela dia hadapi.
Kazuki, yang selama ini mendengarkan dalam diam, menoleh padaku.
"Saku? Kau gak masalah dengan ini?"
Aku menelan potongan daging yang ada di mulutku dan menjawab dengan santai.
"Kalau memang itu yang Yuzuki inginkan, aku gak masalah. Intinya, pendirianku adalah jangan kejar apa yang menjauh darimu; jangan tolak apa yang datang kepadamu. Kurasa Yuzuki harus melakukan apa yang dirinya inginkan."
"Saku!"
Kaito melompat berdiri dan menyerbu ke arahku, tapi Kazuki menangkisnya dengan satu tangan.
"Kalau begitu, Yuzuki seharusnya pulang sekarang. Ini masih sore, tapi dia mungkin harus tetap di jalan utama."
Yuzuki mengangguk, meninggalkan bagian tagihannya di atas meja sebelum berdiri.
"Saku, semuanya, makasih. Aku sudah muak dengan semua ini. Aku marah. Aku akan menyelesaikan ini, lalu aku akan kembali menjadi Yuzuki Nanase lagi!"
Yuzuki melambaikan tangan, dan kami semua memperhatikannya meninggalkan restoran. Kaito tampaknya tidak mampu menahan diri. Dia meraih tasnya dan berdiri.
"Aku akan mengejarnya, Saku."
"Terserah kau saja."
Pokoknya, mungkin tidak akan terjadi apa-apa hari ini.
Setelah Kaito keluar dari restoran, teman-temanku yang tersisa menatapku dengan wajah penuh harap.
Si brengsek itu bahkan gak menyisakan bagiannya dari tagihan, pikirku.
✶
Kami berangkat dari Eropa-Ken, lalu, karena aku sudah selesai mempersiapkan diri untuk hari berikutnya, aku pergi ke Saizeriya sendirian untuk bertemu Tomoya.
"Maaf, maaf; moga kau gak nunggu lama?"
"Ah, gak. Itu gak apa-apa. Aku sedang belajar. Hei, omong-omong, ini pertama kalinya kau mengajakku bertemu, kan?"
Kemarin, ketika Yuzuki tidak masuk sekolah, Tomoya mengetahuinya dan memintaku untuk menemuinya di sini. Kalau dipikir-pikir, dia benar. Ini pertama kalinya aku yang mengajaknya bertemu.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
"Apa? Kau membuatku takut, bung."
Tomoya tampak curiga. Aku mempersiapkan diri untuk berbicara setulus mungkin.
"Tadi malam, Yuzuki menginap di rumahku. Aku gak bisa menjadi mentor cintamu lagi."
Terdengar suara berdenting, dan gelas es kopi Tomoya jatuh dari jari-jarinya yang membeku. Genangan cairan mulai menyebar di meja dari sisi Tomoya. Tetesannya menetes dari tepi, kopi hitam mengotori Stan Smiths-ku.
Namun, aku tidak bisa membiarkan hal kecil seperti kopi mengalihkan perhatianku dari topik yang sedang kubahas. Aku terus menatap mata Tomoya.
"Aduh, sial..."
Tomoya akhirnya memecah keheningan. Dia mengambil serbet kertas dan berdiri, menepuk-nepuk celananya sendiri terlebih dahulu. Setelah selesai, dia mulai mengelap es kopi yang berceceran di meja.
Setelah meja bersih, Tomoya berhenti mengelap dan menatapku.
"Waktu kau bilang menginap itu..."
"Aku sebenarnya tinggal sendirian. Kemarin, banyak urusan dengan Yuzuki. Sepertinya dia sedang kesulitan, jadi aku membiarkannya menginap."
Tomoya terdiam sejenak. Lalu dia menghela napas panjang.
"Yah, kau memang bilang kau nggak akan menahan diri demi aku. Dan setidaknya kau bilang terus terang. Itu adil. Uh, jadi... ini canggung, tapi apa adil kalau dibilang kalian berdua sudah memulai... hubungan seperti itu?"
"Aku gak melewati batas. Hmm, tapi kami berdua agak panas. Saling menunjukkan sisi diri yang berbeda. Aku bahkan sempat berfoto... dan aku gak bisa bilang itu sepenuhnya suci. Lagipula, aku rasa aku gak bisa lagi memberimu nasihat yang jujur dan terus terang. Maaf."
"Jadi kau mau mulai pacaran beneran sekarang?"
"Gak..."
Aku berhenti main-main dengan ponselku dan meletakkannya di atas meja.
"Sebenarnya, kebalikannya. Aku berpura-pura jadi pacarnya, kemudian kami mengakhirinya. Kami gak akan jalan bareng ke sekolah lagi. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, setelah apa yang baru saja kukatakan, tapi kalau kau masih suka sama Yuzuki, kau mungkin punya kesempatan untuk benar-benar pacaran dengannya sekarang."
Tomoya mengangkat kepalanya.
"Aku gak jatuh cinta pada Yuzuki atau semacamnya. Aku hanya gak ingin memberimu nasihat cinta lagi; itu saja."
"Maaf, sejujurnya aku gak ngerti maksudmu."
"Ini cerita yang rumit. Dan panjang. Kau mau dengar?"
Tomoya mengangguk patuh.
Meyakini bahwa itu adalah nasihat terakhir yang bisa kuberikan padanya, dan juga meyakini bahwa itu adalah hal yang jujur untuk dilakukan, aku menceritakan semuanya tentang situasi Yuzuki, sejak hari Yuzuki datang kepadaku di kafe untuk meminta bantuan hingga sekarang. Aku menambahkan beberapa detail palsu, dan mengaburkan beberapa detail yang benar, tapi selebihnya, aku menceritakan bagaimana Yuzuki telah terluka dalam hidupnya hingga saat ini dan situasi yang dialaminya saat ini. Aku yakin Tomoya akan mengerti.
"Jadi, terlepas dari hubungan kita saat ini, kau dan aku akur, mengingat banyaknya informasi yang kita miliki sekarang."
"Setelah mendengar cerita itu, aku jadi ragu punya peluang menang."
Lalu Tomoya tertawa, seolah melupakan semuanya.
"Kau mau berhenti di sini atau melanjutkannya, itu terserah padamu, Tomoya. Aku bersedia berkonsultasi denganmu kapan saja, bukan sebagai mentor dan murid, tapi sebagai teman biasa."
"Makasih, Saku. Kau memang mengajariku banyak hal, tapi aku merasa belum menunjukkan perkembangan yang berarti."
"Dasar bodoh. Itu karena kau memang gak pernah berencana untuk berkembang. Berapa lama lagi sampai kau bisa bicara dengannya?"
"Setelah aku meningkatkan peluangku sedikit lebih tinggi..."
"Kalau begitu, seumur hidupmu."
Kami saling berpandangan dan tertawa.
Gak ada lagi yang perlu dibicarakan, kan?
Aku bangun untuk ke kamar mandi. Aku berjalan perlahan, dan setelah selesai, aku mengambil ponselku dari meja dan memasukkannya ke dalam saku. Sambil memanggul ransel Gregory, aku meletakkan separuh uangku dan meninggalkan restoran itu mendahului Tomoya.
✶
Di luar, tirai malam telah sepenuhnya tertutup.
Kami berada tepat di luar stasiun, dan langit tampak tak berujung. Bulan baru tertawa di atas kepala. Trem perlahan berlalu—clatter, clatter, clunk, clunk—membawa orang-orang yang lelah seharian pulang.
{ TLN : Trem itu merupakan kereta yang memiliki rel khusus di dalam kota. }
Di alun-alun, monumen dinosaurus yang bergerak diterangi cahaya. Fukuititan yang simbolis dan berleher panjang, dan di seberangnya, Fukuisaurus dan Fukuiraptor. Aku selalu berpikir akan lebih terikat pada mereka jika aku memberi mereka nama panggilan, tapi sejauh ini aku hanya bisa menemukan Lanky, Stumpy 1, dan Stumpy 2. Sudah lama, jadi aku berpikir untuk membeli buku sebelum pulang.
Aku menuju ke toko buku, yang tidak jauh dari Saizeriya. Ada beberapa cabang di prefektur, tapi ini yang utama. Toko buku ini mempertahankan nuansa toko buku lama tetapi tetap menyediakan semua yang kau inginkan. Aku selalu suka toko buku ini, sejak kecil.
Aku sedang menyusuri lorong-lorong, ketika aku melihat sosok tidak terduga di bagian buku referensi.
"Asuka Senpai?"
Gadis itu berbalik, ekspresinya serius. Dia meletakkan kembali buku yang dipegangnya di rak buku dan menoleh ke arahku sekali lagi. Lalu dia kembali menjadi Asuka yang santai seperti biasanya.
"Ah, ini dia pacar nakalnya, berkeliaran dan berbuat nakal. Apa kasus Nanase--san itu sudah ditutup?"
Aku menggelengkan kepala. Asuka tertawa, seolah sedang berbicara dengan adik laki-lakinya atau semacamnya.
"Mau jalan bareng? Ayo jalan-jalan sebentar, teman."
Kami menuju ke kantor prefektur, yang terletak agak jauh dari stasiun.
Kantor prefektur Fukui dibangun di atas fondasi batu tinggi bekas Kastil Fukui, jadi pemandangannya agak asing bagi orang-orang dari prefektur lain. Kami sudah memandanginya sejak kecil, jadi kami tidak terlalu memikirkannya. Paritnya masih ada dan semuanya masih ada, dan rasanya menyenangkan berjalan-jalan di halaman di malam yang tenang seperti malam ini.
Ada bebek-bebek yang berenang di parit, dan bulan bergetar di pantulan langit di permukaan air. Sebuah sepeda melesat melewati kami, belnya berdentang sekali. Malam ini begitu sunyi dan hening, tapi aku merasa ingin menangis. Mungkin karena aku tidak sabar menantikan hari esok.
Kami duduk di bangku yang terletak di bagian belakang kantor prefektur.
Rasanya agak klise, mengobrol secara filosofis di malam seperti ini. Tapi, mungkin malam seperti ini adalah waktu terbaik untuk melakukannya.
"Asuka Senpai, apa kamu sedang mempertimbangkan jalan yang benar?"
"Jadi, kamu melihatnya, kan?"
Itu adalah buku bersampul merah yang dipegang Asuka. Aku tidak sempat membaca nama universitas yang tertulis di sana, tapi hanya orang yang sedang dilanda konflik batin yang akan berjongkok di toko buku, menatap buku persiapan ujian masuk perguruan tinggi.
"Kamu tahu..."
Asuka mulai berbicara, suaranya seperti lonceng kecil yang berdentang.
"Pernahkah kamu berpikir untuk keluar dari kota kecil ini?"
Rasa sakit yang tumpul seakan mencengkeram dadaku.
Asuka sedang belajar untuk ujian masuk perguruan tinggi. Pertanyaan seperti itu hanya bisa berarti satu hal.
"Berkali-kali."
Jawabanku jujur. Kurasa setidaknya separuh orang yang lahir dan besar di Fukui berpikir untuk pergi suatu hari nanti. Gagasan itu bahkan tidak pernah terlintas di benak separuh lainnya.
Asuka adalah salah satu pemikir itu.
"Aku cinta kota ini... aku cinta, dan aku benci."
Aku mengerti maksudnya.
Di saat yang sama, aku merasa aku tidak bisa mengungkapkan perasaannya semudah itu saat ini.
Tidak seperti biasanya, Asuka terus bercerita tentang dirinya sendiri.
"Aku bingung harus ke mana. Intinya, haruskah aku tetap di sini atau ke Tokyo?"
"Tokyo..."
Anehnya, tempat itulah yang selalu terlintas di pikiranku ketika aku berpikir untuk meninggalkan Fukui.
Meninggalkan pedesaan dan menetap di kota besar Tokyo.... akhir-akhir ini, rasanya tidak sekeren dulu. Itu sebabnya aku tidak terlalu sering membicarakannya. Bagaimanapun, itu adalah pikiran yang sudah lama kupendam.
Fukui itu dunia yang sempit. Kalian kenal semua tetangga kalian. Kalian pergi ke Ipa, dan kalian melihat mobil di tempat parkir, dan kalian seperti, oh, si anu ada di sini. Dibandingkan dengan itu, Tokyo yang kami lihat di TV benar-benar terasa seperti "kota".
Mengetahui bahwa Asuka menyimpan fantasi murahan yang sama sepertiku membuatku merasa sedikit kecewa namun juga sedikit lega di saat yang sama. Aku mulai muak dengan diriku sendiri.
"Apa kamu pernah ke Tokyo?"
"Waktu kecil, saat liburan keluarga. Dulu sekali, sampai lupa semua."
Itu dulu waktu aku masih terlalu kecil untuk mengerti arti kata cerai.
"Aku belum pernah. Tapi, aku lagi mikirin antara Fukui atau Tokyo. Aneh, ya?"
Aku diam. Aku bingung harus memilih kata yang tepat untuk obrolan seperti ini.
"Aku ingin sekali pergi ke Tokyo."
"Kalau begitu, pergilah. Ke Tokyo. Begitulah caramu, kan, Asuka Senpai?"
Aku tahu itu kalimat yang klise.
"Kalau kubilang itu yang kuinginkan, maukah kamu ikut denganku?"
Alasan Asuka juga klise.
"Kamu tahu, aku suka menonton acara TV itu, Hajimete no Otsukai. Yang isinya anak-anak kecil yang pergi mengurus tugas sendirian."
"Kalau aku jatuh dan mulai menangis, maukah kamu menghiburku dengan menyanyikan 'Shogenai de yo Baby'...?"
"Ya, karena aku lebih jago menyanyi daripada kamu, kan?"
Aku menatap Asuka di sampingku. Dia tertawa kecil.
"Kasus Yuzuki...."
Kataku pelan, seolah sedang memutar balik jarum jam.
"Kurasa semuanya akan beres."
"Maukah kamu menceritakan kisahnya setelah ini? Seperti biasa?"
"Suatu hari nanti mungkin aku gak bisa lagi menceritakan kisahku padamu, betapapun aku ingin. Kamu mungkin perlu bersiap sekarang."
Aku ingin menceritakan semuanya padanya. Tapi aku tidak cukup pelupa untuk menjatuhkan kekhawatiranku di pangkuan seseorang yang sedang memperdebatkan seluruh masa depannya.
"Betapa sepinya ucapanmu."
"Aku baru saja mendengar ucapan yang terdengar sangat sepi dari seorang gadis yang kukenal; itu sebabnya."
Aku merasa seharusnya aku tidak mengatakannya.
Asuka tersenyum lembut.
"Mungkin kamu dan aku akan menjadi dewasa sebelum kita menyadarinya. Kita akan menyimpan topi jerami dan pakaian kita di lemari dan mengeluarkan setelan jas kita yang sudah dicuci bersih."
"Aku gak ingin melupakan celana pendek panjang dan sandal jepitku."
"Ya, itu akan jauh lebih cocok untukmu."
Sepertinya percakapan kami sudah selesai untuk malam ini.
"Asuka Senpai...."
Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi kupikirkan lagi dan mengatakan sesuatu yang lain.
"Aku lebih suka pakaian putih bersih daripada setelan jas yang disetrika rapi."
"Kurasa kamu gak akan jatuh cinta pada versi diriku yang terlihat cantik memakainya."
Kami memutuskan untuk mengakhiri hari itu, setelah pertemuan lain yang rasanya seperti kami terus-menerus merindukan satu sama lain.
Mau tidak mau, waktu terus mengalir, dan hubungan terus berubah.
Sampai seseorang melangkah maju, aku terjebak di sini, di bordes tangga. Hanya melangkah di tempat, tidak bergerak cepat.