CHAPTER FOUR
Paku yang Menancap di Atas Ditancapkan ke Bawah…?
Paku yang Menancap di Atas Ditancapkan ke Bawah…?
Senin berikutnya, aku tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Setelah menemani keseharian Kenta berjalan kaki selama beberapa saat, aku jadi terbiasa bangun pagi.
Aku tidak keberatan bangun pagi untuk bertemu dengan seorang gadis cantik, namun agak menyedihkan bangun saat fajar hanya untuk bertemu dengan Kenta. Menguap lebar, aku berjalan menuju kelas. Kemudian aku menyadari bahwa aku mendengar suara-suara meninggi dari dalam.
"Kenapa kau gak kasih tahu kami? Kami teman sekelasmu, bukan? Kenapa orang sepertimu bergaul dengan kelompok Chitose-kun?"
"Uh... itu karena... Raja datang ke rumahku setelah Iwanami Sensei memintanya untuk...."
"Raja? Raja? Apa maksudnya? Lucu sekali! Apa itu nama panggilan yang kau sebut pada Chitose-kun?"
Percakapan singkat itu adalah semua yang perlu kudengar untuk langsung tahu apa yang sedang terjadi. Aku mengintip ke dalam ruangan melalui jendela di pintu.
Aku tahu itu. Itu persis seperti yang kubayangkan. Kenta dan Yua dikelilingi oleh lima teman sekelas lainnya dan sedang diinterogasi. Ada tiga laki-laki dan dua perempuan. Para laki-laki itu adalah orang-orang yang sama yang menatapku dengan tajam pada hari pertama kelas.
Sepertinya anggota kelompok kami yang lain belum masuk sekolah atau sedang sibuk dengan latihan olahraga pagi. Aku tidak bisa melihat satu pun dari mereka kecuali Yua.
"Jangan menginterogasinya.... kenapa tidak mengenalnya dulu?"
Yua meletakkan tangannya di bahu Kenta, mencoba membelanya.
"Kami tidak ingin mengenalnya. Lagipula, kami sedang berbicara dengannya, bukan padamu. Kenapa kau tidak mengalah saja, Uchida?"
Yua berkedip sesaat ketika salah satu gadis mulai bersikap sinis. Gadis itu memasang ekspresi yang menjengkelkan.
"Um, tapi Yamazaki-kun dan aku sudah bicara duluan sebelum kamu datang ke sini..."
"Ya, aku tahu. Tapi kalian berdua tidak cocok dengan kelompok Chitose, kalau dipikir-pikir. Kau itu agak membosankan, ya, Uchida?"
Yua mengangkat bahunya dan tersenyum.
"Heh... aku tahu aku agak membosankan. Kurasa aku hanya bagian dari kelompok itu untuk memberi mereka seseorang untuk bermain demi sedikit hiburan ringan...."
Kenta menyela, bahkan saat Yua mencoba meredakan situasi.
"Ti-Tidak! Saat kamu pertama kali datang ke rumahku, kupikir.... dia pasti salah satu anak populer! Kamu cantik dan periang, Uchida-san!"
Salah satu laki-laki di sana mendengus mendengarnya.
"Bagi seorang penyendiri dan tidak masuk sekolah sepertimu, gadis mana pun akan terlihat seperti dewi. Tapi tunggu, apa kau bilang Uchida pergi ke rumahmu, Yamazaki? Jadi itu berarti kau mulai kembali ke sekolah setelah jatuh cinta padanya, hmm?"
"T-Tidak.... bukan itu yang terjadi...."
Yua menatap mereka berdua.
"Saku-kun lah yang meyakinkan Yamazaki-kun untuk kembali ke sekolah. Yang kulakukan hanya membantu sedikit."
Gadis bertampang menyebalkan itu menanggapinya.
"Kau tahu, Uchida, gadis-gadis lain memanggilnya dengan nama belakangnya. Chitose-kun. Kenapa kau memanggilnya Saku-kun? Apa kau tidak sadar betapa mencoloknya kau itu?"
"Um.... kurasa aku tidak pernah benar-benar sadar kalau aku melakukan itu.... kurasa aku, seperti, partnernya? Hehe."
Yua mencoba mencairkan suasana dengan bercanda, namun gadis yang terlihat menyebalkan itu mendengus jijik.
"Eww, menjijikkan."
Kata gadis itu, mengerutkan bibirnya.
Ah, sial. Pertarungan dengan orang-orang bertipe-tipe seperti ini mungkin agak sulit bagi mereka berdua tanpa bantuan.
"Oke, Sobat A, Partner B, aku butuh bantuan kalian untuk sesuatu."
Aku menoleh ke arah teman-temanku yang lain, salah satunya telah menempel padaku dan yang satu lagi yang lebih wangi, yang kuharapkan menempel padaku.
"Ah ya, aku sudah menduga mereka akan datang dan membuat masalah cepat atau lambat. Aku gak pernah membayangkan itu akan terjadi karena Kenta. Tetap saja, aku tahu sejak hari pertama bahwa mereka akan berselisih dengan kelompok kita. Aku bisa merasakannya tekanannya di udara."
....Begitulah kata orang yang masih menempel padaku, Kazuki.
"Kapten, jika aku harus mengemban tugas ini, aku ingin dipromosikan menjadi Istri A."
....Begitulah kata orang yang wangi, Nanase. Kenapa dia gak nempel saja di punggungku sekarang?
"Hmm, akan kupikirkan. Siap untuk memberikan bantuan kalian, pasukan?"
"Baiklah. Tidak banyak lagi yang bisa kita lakukan, sekarang mereka sudah memulainya. Tapi mari kita bersikap ramah, oke? Kalau tidak, mereka akan kembali untuk mengganggu Kenta dan Ucchi lagi saat kita gak ada."
"Baiklah, mari kita coba selesaikan masalah ini tanpa pertumpahan darah."
✶
Jadi kami menuju ke ruang kelas.
"Pagi, Kenta, Yua-san."
Aku mengabaikan kelima orang lainnya untuk saat ini dan memanggil teman-temanku.
"....S-Selamat pagi, Raja...."
"Saku-kun.... Mizushino-kun.... Yuzuki.... Selamat pagi."
Kenta dan Yua tampak sangat lega.
Kenta langsung menyadari bahaya dalam situasi ini. Aku tidak yakin sudah berapa lama para pengganggu itu melakukannya, namun aku tahu Yua akan tetap bersama Kenta dan berada di sisinya.
Namun, situasi itu sangat menyebalkan bagiku.
Tepat saat aku berhasil membuat Kenta bergerak ke arah yang benar. Hal semacam ini bisa membuatnya bergegas kembali ke kamarnya yang aman.
"Heyo, Chitose, Mizushino, Nanase. Kami baru saja mengobrol dengan teman baru kalian di sini."
Salah satu dari mereka berbicara lebih dulu. Dia tampaknya adalah pemimpin kelompok kecil ini. Aku memperhatikan mereka pada hari pertama kelas. Kelima dari mereka adalah sekelompok anak populer yang cukup menonjol di tahun pertama.
Aku memperhatikan kemeja mereka yang tidak dikancingkan, celana yang digulung, dan riasan tebal pada para gadis itu. Populer, hmm.... akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa mereka adalah sekelompok anak-anak yang tidak bermutu.
Fukui masih memiliki sub-kultur anak-anak nakal pedesaan, jadi itu cara lain untuk menggambarkan mereka. Bahkan di sekolah elit seperti sekolah kami, selalu ada elemen yang tidak bermutu. Tetap saja, fesyen adalah masalah selera. Hanya karena menurutku mereka terlihat tidak bermutu, bukan berarti aku berhak menghakimi.
"Uh... kalian semua sekelas dengan kami, kalau tidak salah.... benar?"
Sedikit olokan, untuk memulai semuanya. Hanya untuk memberitahu mereka bahwa mereka hampir tidak ada dalam radarku, meskipun mereka telah mengungkapkan bahwa mereka tahu nama lengkapku. Semoga, itu cukup untuk membuat mereka marah—mempermudah pekerjaanku.
Si pemimpin geng itu menyingkirkan poninya yang panjang dengan kesal. Dia mencukur alisnya sedikit, dan dia tidak bisa disebut tampan.
"Itu agak memalukan, Chitose."
Begitu, begitu.
Aku belum pernah bicara dengannya sebelumnya, jadi dia tidak begitu kukenal, namun jelas bahwa dia adalah karakter yang lebih penting daripada Si Kasar A. Peran yang akan kuberikan untuknya. Sepertinya aku harus berusaha lebih keras jika ingin menghancurkan pemberontakan kecilnya ini.
"Btw, kita pernah bertanding satu sama lain di final prefektur saat SMP. Aku adalah pelempar bola untuk SMP Youkou. Namanya Atomu Uemura."
Tentu saja, aku ingat bahwa kami pernah bertanding melawan SMP Youkou. Namun itu dua tahun yang lalu. Aku sama sekali tidak ingat orang ini, atau bahkan namanya. Aku memiringkan kepalaku ke satu sisi dan mengangkat bahu.
Atomu melanjutkan, terdengar kesal.
"Kalian semua sama saja, para jenius kecil. Semua orang melihat kalian sebagai standar yang harus dikalahkan, tapi kalian hanya tertarik pada diri sendiri dan seberapa bagus permainan kalian. Kupikir kau masuk ke sekolah ini hanya agar bisa ikut Turnamen Bisbol Sekolah Menengah Atas Nasional Koushien, ternyata gak.... kau langsung berhenti bermain bisbol dan mulai bergaul dengan gadis-gadis."
"Maaf, tapi aku gak terlalu fokus pada masa lalu. Omong-omong, Atomu, jika kau begitu hebat di SMP, mengapa kau tidak bergabung dengan bisbol tahun lalu?"
Lagipula, aku memang mengikuti bisbol, setidaknya selama tahun pertama sekolah menengah atas. Dan aku cukup yakin Atomu tidak bergabung di tengah tahun.
Aku tersenyum jenaka. Atomu juga tersenyum jenaka.
"....Melanjutkan bisbol di sekolah menengah atas sepertinya membuang-buang waktu. Tidak ada yang peduli untuk mencoba masuk ke Koushien lagi. Itu payah."
Kazuki menyela saat itu, menyeringai seperti hiu.
"Yah, sepak bola itu olahraga besar saat ini, bukan? Koushien bukan impian lagi. Sekarang ada turnamen antar-sekolah menengah atau mungkin mencoba untuk U-17. Tapi cukup bicara soal olahraga. Aku sebenarnya tahu nama si manis yang berdiri di sebelahmu. Kita pernah ngobrol sebelumnya, kan? Nazuna Ayase?"
"Heeh, kamu ingat aku? Itu sangat manis! Mizushino-kun, Chitose-kun... apa kamu tidak malu terlihat bersama mereka? Ayo, ikut nongkrong bersama kami."
Nazuna itu tiba-tiba tampak sangat senang. Dan wajahnya sudah terlihat menarik. Dia melotot ke arah Kenta dan Yua.
Lalu seseorang melangkah melewatiku, berjalan lebih jauh ke dalam ruangan.
Mmm, seseorang yang wangi.
"Areee? Apa aku sebegitu memalukannya? Aku gak tahu! Mungkin menghabiskan terlalu banyak waktu untuk fokus pada olahraga telah merampas sifat femininku yang alami? Astaga!"
Nanase-lah yang melangkah maju, dengan sengaja salah mengartikan celaan Nazuna untuk melibatkan dirinya sendiri—dan bereaksi berlebihan dengan cara yang dramatis.
"Uh.... gak begitu.... maksudku, itu bukan kamu...."
Yah, tentu saja bukan. Nazuna memang imut, namun dia sama sekali tidak mendekati level gadis kelas atas seperti Yuuko dan Nanase. Nanase telah menggunakan Ironi, dan itu sangat efektif. Dan juga sangat sesuai dengan karakternya.
"Lupakan itu...."
Atomu melangkah maju dan melingkarkan lengannya di bahu Kenta. Kenta langsung membeku, mata anak itu bergerak-gerak seolah tidak yakin dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Chitose. Kau akhir-akhir ini berteman dengan anak ini, kan? Tapi lihat saja dia. Dia bukan tipe orang yang biasanya kau temukan di kelompok seperti kalian. Apa ini? Semacam kasihan? Atau apa Kura-san memaksamu untuk berteman dengannya?"
"Gak. Kami hanya teman biasa. Akhir pekan lalu, Yuuko-san, Kenta, dan aku benar-benar nongkrong di Lpa."
Oke, memang benar, Kura yang memberiku dorongan awal, dan aku merasa kasihan pada Kenta itu. Namun semua yang kukatakan itu benar.
"Kau pasti bercanda. Siapa yang mau terlihat di mal bersama otaku seperti dia? Apa yang kau bicarakan?"
"Kami berbicara tentang novel ringan yang baru-baru ini kami baca. Kenta merekomendasikan novel yang bagus ini : I’m a Huge Otaku, but the Slutty Girls Are All Up on Me?! Aku baru saja selesai membacanya, jadi aku bisa meminjamkannya kepadamu jika kau mau?"
Atomu, Nazuna, dan anggota gengnya yang lain menatapku seolah aku punya dua kepala. Lucu sekali. Sayangnya, mereka tampaknya tidak mau ikut.
"Beri aku waktu sebentar, Chitose. Dan dengarkan ini. Kelompokmu cukup disegani di sekolah ini. Tapi jangan biarkan orang-orang tidak berguna bergabung. Gadis-gadis lain cukup kesal saat kau mengizinkan Uchida masuk. Mereka merasa dirugikan. Ketahuilah bahwa kau menurunkan nilai sosialmu dengan semua keputusan buruk yang terus kau buat."
Atomu tiba-tiba mencengkeram kepala Kenta dan mulai memberinya pukulan keras.
"Ack! Aku hanya anggota sementara dari...."
Aku mengangkat tangan untuk menghentikan Kenta.
"Jika 'nilai sosialku' itu turun hanya karena sesuatu yang sederhana seperti berteman dengan Kenta, biarlah. Lagipula, kami tidak peduli dengan hierarki sosial. Kami hanya bergaul dengan siapa saja yang kami pilih untuk bergaul. Hanya itu yang kami butuhkan untuk menikmati masa SMA."
"Jangan pedulikan aku. Kalian semua hanya berkeliling sekolah dengan seringai mengejek yang seakan berkata, 'kami ini sangat populer' di wajah kalian itu."
Nanase kemudian menyela.
"Kalian salah. Kami hanya bergaul dengan orang-orang yang kami sukai dan merasa nyaman dengannya."
Kemudian Nanase meletakkan satu tangan di bahuku dan tangan lainnya di bahu Kazuki.
"Menurutku Chitose, Mizushino—dan kurasa, Kaito—jauh lebih menarik dan menyenangkan untuk diajak bergaul daripada laki-laki lain. Dan lagipula, jika bergaul dengan Yamazaki menurunkan status sosial kami, maka itu akan menjadi kesempatan yang bagus untuk kelompokmu, benar, Uemura? Kalian bisa menaiki tangga sosial sampai ke puncak, jika itu penting bagi kalian."
Nanase menoleh untuk menyeringai padaku, lalu ke Kazuki. Itu adalah langkah yang diperhitungkan untuk memastikan bahwa Atomu tahu bahwa dirinya sama sekali tidak terdeteksi oleh radar Nanase sebagai seorang laki-laki.
Dengan segala sikap sok kuat yang dirinya tunjukkan itu, Atomu tetaplah seorang anak SMA. Diabaikan dan dideskripsikan sebagai 'laki-laki lain' oleh gadis cantik seperti Nanase itu.... pasti menyakitkan.
Seolah-olah diberi isyarat, Atomu mulai cemberut lagi.
Dari cara Nanase mengutarakan sesuatu, kedengarannya seperti dia mengejek kelompok ini karena belum berhasil menjadi kelompok paling populer di sekolah. Namun, dia melakukannya dengan cara yang sangat halus, cara yang akan membuat mereka terlihat seperti orang brengsek jika mereka marah. Nanase memang hebat.
"....Terserahlah, kau hanya ingin dikelilingi laki-laki keren saja. Kau itu benar-benar jalang." Gerutu Nazuna.
Daripada mundur, sepertinya Nazuna akan berhadapan langsung dengan Nanase sekarang, dalam upaya untuk mempertahankan harga dirinya yang terluka.
"Begitukah? Tapi aku gak memilih teman laki-laki berdasarkan penampilan mereka. Aku hanya cocok dengan laki-laki yang berwajah tampan. Tapi kalau kamu benar-benar ingin berteman dengan laki-laki keren, kenapa kamu tidak mencoba berbicara dengan mereka dengan cara yang normal, hmm, Ayase?"
Nanase tersenyum, penuh percaya diri.
"Aku gak pernah berkata begitu.... aku bahkan gak tahu apa yang kau bicarakan itu...."
Namun semua yang dikatakan Nanase adalah akal sehat. Nazuna tidak punya alasan untuk berdalih. Saat itulah Kazuki berbicara lagi.
"Itu gak masalah bagiku. Dan, Atomu, aku gak punya masalah denganmu. Kita semua sekelas, jadi kita harus menghentikan pertengkaran konyol ini. Dan, Nazuna, aku juga ingin berteman denganmu."
Tidak mungkin Kazuki ingin berteman dengan anak-anak seperti ini. Dia selalu menjadi pembawa damai dan membenci keributan dalam bentuk apapun. Bahkan, dia adalah anggota yang paling tenang di kelompok kami. Namun, dia selalu memastikan untuk menghindari pergaulan dengan orang-orang yang akan menimbulkan drama atau memberikan kesan buruk tentang dirinya dengan cara apapun.
Kazuki itu hanya membela Kenta, di sini. Sebagai bantuan untukku.
Rencana Kazuki sudah diperhitungkan. Dia tahu kelompok itu akan menolak tawaran pertemanannya, namun terus mencari masalah dengan kami setelah Kazuki begitu murah hati... itu akan membuat mereka terlihat seperti orang bodoh di mata seluruh kelas.
"Kau tahu, aku benci orang-orang sepertimu yang tidak pernah harus menghadapi kesulitan apapun dalam hidup. Aku lebih suka bergaul dengan orang-orang yang tahu seperti apa dunia nyata. Dan kau tahu, memiliki emosi yang nyata. Tapi dengar, Yamazaki... kau boleh bergantung pada Chitose sesukamu, tapi ingat tempatmu. Jangan menyeretnya bersamamu."
Apa orang ini sebenarnya baik, atau tidak? Sungguh orang yang rumit. Saat Atomu, Nazuna, dan anggota kelompok mereka yang masih diam berbalik untuk pergi, aku angkat bicara.
"Hei. Satu hal lagi. Yua-san mungkin orangnya biasa saja dan membosankan. Tapi dia membosankan seperti halnya bahan pengepakan saat kalian mau mengirim sesuatu. Dia seperti.... bubble wrap."
"....Saku-kun, bisakah kita bicara nanti?"
Aku mengabaikan Yua dan terus berbicara.
"Kalian bisa mengirim sesuatu yang sangat berharga dan mahal, tapi jika tergores atau rusak, bubble wrap itu akan menjadi tidak berharga. Kalian butuh bantalan lembut untuk menjaganya tetap aman dan mempertahankan nilainya. Dan saat kalian butuh hiburan, kalian bisa mengeluarkan bubble wrap itu dan memecahkan semua gelembung kecilnya."
"Apa itu dimaksudkan sebagai pujian....?"
Yua menatapku dengan jengkel.
Kelompok Atomu berbalik dan berjalan pergi tanpa suara.
✶
Sepulang sekolah, aku mengajak Kenta ke Hachiban Ramen, kedai ramen dekat sekolah kami.
Hachiban Ramen adalah cabang kedai ramen yang awalnya berdiri di sepanjang Jalan Raya 8 Prefektur Ishikawa, namun segera menyebar ke seluruh wilayah Hokuriku. Tempat ini dianggap sebagai makanan khas bagi orang Fukui, bersama dengan katsudon ikonik kami. Tempat ini tidak terlalu mengagumkan atau semacamnya, namun entah mengapa, aku selalu pergi ke sana.
Setiap kali liburan tiba, dan semua orang kembali ke kampung halaman mereka di Fukui untuk Golden Week, Obon, atau Tahun Baru, saluran TV dipenuhi dengan iklan Hachiban Ramen. Mereka punya slogan ini : Pastinya Hachiban Ramen. Aku tidak mengerti mengapa seseorang yang tinggal di Tokyo, yang memiliki lebih banyak restoran ramen yang luar biasa dari yang dapat kalian bayangkan, ingin makan Hachiban Ramen setiap kali mereka kembali ke Fukui. Namun mereka tetap makan ke sana. Aneh, bukan?
Aku memesan satu set mie tanpa sup. Atas rekomendasiku, Kenta memesan ramen sayur rasa asin tanpa ramen (dengan kata lain, sup sayur).
"Kejadian yang tadi pagi itu, menegangkan, ya?"
Aku menuang banyak cuka dan saus cabai ke ramenku dan mencampurnya dalam mangkuk. Kebanyakan orang memesan ramen sayur, namun menurutku ini jauh lebih enak.
"Anak-anak populer itu menakutkan sekali."
Kenta tampak sangat murung. Aw, sial. Aku tahu dia pernah diganggu oleh anak-anak populer sebelumnya, namun dia mungkin tidak pernah diganggu dengan yang seagresif seperti sebelumnya itu.
Tetap saja, situasinya bisa jauh lebih buruk. Kalau aku muncul beberapa menit lebih lambat, atau kalau Yua tidak ada di sana, maka semuanya bisa berakhir dengan bencana. Kenta bisa saja takut pada anak-anak populer seumur hidup.
"Ah, yah, aku punya firasat kalau kelompok itu akan menyerang kami semua cepat atau lambat. Mereka hanya menunggu waktu untuk menyerang, sejak kelompok kami mengklaim dominasi pada hari pertama sekolah. Kau hanyalah alasan yang tepat bagi mereka untuk memulai masalah. Itu tidak ada hubungannya denganmu, sungguh. Jadi lupakan saja; itu saranku."
Aku menyeruput mieku.
Sejujurnya, kurasa satu-satunya alasan mereka tidak langsung menyerang kami adalah karena aku telah ditunjuk sebagai ketua kelas pada hari pertama sekolah. Kami mengambil inisiatif, dan butuh beberapa waktu bagi mereka untuk pulih.
Kazuki benar sekali—mereka hanya mencari alasan untuk memulai masalah dengan kami dengan Kenta. Aku harus mengawasi anggota Tim Chitose lebih ketat. Mereka biasanya bisa mengatasinya sendiri, namun kali ini aku akan membiarkan faksi lawan menyerang kami.
Aku tidak ingin mempermasalahkannya, namun aku sangat menyadari fakta bahwa Kenta menderita karena masalah kami, bukan masalahnya.
"Raja, aku ingat kau pernah berkata bahwa menjadi populer itu seperti bermain dalam mode sulit.... kurasa aku mulai mengerti sekarang. Bukan hanya anak-anak yang tidak populer yang iri padamu; tapi juga kelompok-kelompok pesaing.... hahh, kalau konfrontasi seperti itu terjadi padaku setiap hari, aku pasti sudah gila."
"Tapi tidak semua anak populer saling bertarung untuk mendapatkan supremasi atau semacamnya."
"Oh yah, kulihat kalian gak benar-benar melawan. Kalian mengalahkan mereka dengan kebaikan dan mengambil posisi moral yang tinggi."
Kenta memakan sup sayurnya dengan ekspresi tidak puas.
"Baiklah, ini saat yang tepat untuk belajar. Seperti yang kukatakan, ada berbagai macam anak populer. Ada anak populer yang 'terlahir alami', anak populer yang 'berhasil dengan usaha sendiri', dan kemudian varian campuran di antaranya."
"Oke, jadi anggota timmu yang mana?"
"Contohnya, Yuuko-san adalah yang terlahir alami. Seratus persen. Dia adalah tipe yang bisa langsung menjadi yang teratas hanya dengan mengandalkan kepribadiannya. Sebaliknya, Yua-san adalah tipe yang mandiri. Dia tidak menonjol sama sekali di tahun pertama, tapi suatu hari dia mengajak ngobrol dengan kelompok kami, dan dia mulai berubah, sedikit demi sedikit, baik dalam penampilan maupun kepribadian. Itulah contoh yang ingin aku contohkan padamu, Kenta."
"Begitu ya. Tapi kupikir Uchida-san itu anak yang terlahir populer...."
"Kaito dan Haru-san sama-sama yang populernya terlahir alami. Mereka termasuk dalam subdivisi atlet. Kau tahu, bintang olahraga yang menonjol selalu mencapai tingkat ketenaran di seluruh sekolah, bukan? Dan kemudian Kazuki, Nanase-san, dan aku, kami adalah tipe campuran. Kami memiliki bakat bawaan, tentunya, tapi perbedaannya adalah kami menyadarinya. Dan kami mengendalikan citra kami dengan sangat hati-hati."
Kenta tampaknya mempertimbangkan semua yang ingin kukatakan dengan sangat hati-hati juga.
"Eh, tapi jujur saja, batasannya gak bisa diganggu gugat. Yua-san memang anak populer yang berhasil dengan usaha sendiri, tapi dia memang punya bakat. Dia hanya mengembangkannya. Dan Yuuko-san memang berusaha keras untuk modis dan berdandan. Aku hanya memberimu gambaran umum di sini."
Aku mengisi gelas kosong kami dengan air sebelum melanjutkan.
"Yang ingin kusampaikan kepadamu adalah, di antara anak-anak populer, ada juga varian yang selalu berusaha merendahkan orang lain untuk mengangkat diri mereka sendiri."
"....Maksudmu seperti Atomu dan kelompoknya itu?"
"Tepat sekali. Dalam kelompok itu, kau mungkin menemukan campuran orang-orang yang populernya terlahir alami, yang berusaha sendiri, dan campuran, tapi yang menyatukan mereka adalah keinginan untuk mendominasi. Mereka selalu mencoba membuktikan betapa kerennya mereka dengan mencela orang lain."
Sumpit Kenta berhenti sejenak saat dia menoleh untuk menatapku langsung.
"Seperti yang terjadi hari ini. Mereka menyerang kelompok populer lainnya, khususnya, mata rantai terlemah kelompok itu. Begitulah cara mereka menunjukkan keunggulan mereka kepada orang lain. Atau mungkin mereka hanya memeriksa untuk memastikan mereka masih populer. Mereka kacau karena rasa tidak aman, kau tahu."
"Aku tahu—aku sudah cukup sering mengalami hal seperti itu dalam hidupku sejauh ini. Tapi aku belum pernah diserang secara langsung seperti ini sebelum hari ini...."
Kenta menatap ke seberang restoran tanpa melihat, seolah-olah mengingat kembali kejadian pagi ini. Dia tampak begitu sedih sehingga aku hampir ingin menawarkan sesuatu kepada anak itu dan menyuruhnya untuk memesan gyoza.
"Tapi aku gak pernah melihat kelompokmu mencoba pamer pada siapapun atau menunjukkan dominasi, Raja. Kenapa kalian gak melakukannya?"
"Ada dua alasan utama. Perbedaan antara kelompok kami dan kelompok yang mencoba mengklaim dominasi adalah bahwa kami gak peduli dengan popularitas. Itu bukan cara kami mendefinisikan diri kami. Menjadi yang teratas dalam hierarki sekolah bukanlah sesuatu yang kami pikirkan secara sadar, atau perjuangkan."
"Keberatan! Kau benar-benar berbohong, Raja. Kau selalu membicarakan tentang betapa populernya kau itu, orang paling keren di sekolah, bla, bla, bla."
Kenta mengarahkan sendok sup cinanya ke arahku dengan nada menuduh. Hei, bukankah ibumu mengajarimu untuk tidak mengarahkan peralatan makan kepada orang lain?
"Tentu saja, menjadi yang teratas dalam hierarki itu menyenangkan. Kami selalu punya meja di kafetaria, dan ada banyak keuntungan lain seperti itu. Tapi kami gak pernah mengincar semua itu. Itu hanya bagian dari realitas kami. Kami hanya menikmati kehidupan sekolah kami. Kalau aku benar-benar jujur, aku gak peduli dianggap populer selama aku bisa terus bergaul dengan kelompok yang sama dan bersenang-senang bersama."
Aku menghabiskan mieku dan menyeka mulutku dengan serbet.
"Pokoknya, populer atau gak, aku tetap keren. Itulah faktanya."
"Jadi.... maksudmu orang lain memutuskan kau itu populer, Raja, dan kau hanya menjalani hidupmu?"
"Mungkin kedengarannya sombong untuk mengatakannya, tapi... ya. Tapi bagi anak-anak lain yang sangat ingin naik peringkat, seluruh kehidupan sekolah menengah mereka hanya tentang itu. Mereka berpikir bahwa popularitas berarti mereka telah menang, dan bahwa anak-anak yang gak populer hanyalah pecundang. Mereka gak tahu harus jadi apa lagi, jika gak jadi populer."
Faktanya, kelompok Atomu merupakan representasi yang cukup bagus dari konsep anak-anak populer Kenta sebelumnya.
"Jadi, bagaimana kau bisa menilai dirimu sendiri?"
Kenta mencondongkan tubuhnya dengan penuh minat.
"Kau menilai dirimu sendiri berdasarkan apa yang orang lain pikirkan tentangmu atau apa yang kau pikirkan tentang dirimu sendiri. Aku yang terakhir. Seperti yang aku bilang sebelumnya, gak masalah apa yang orang lain pikirkan. Kau harus mencoba menjadi versi dirimu sendiri yang kau sukai. Atomu dan kelompoknya benar-benar menilai diri mereka sendiri berdasarkan pendapat orang lain. Membandingkan diri mereka dengan orang lain, untuk melihat di mana posisi mereka dalam hierarki. Orang ini di atasku, orang ini di bawahku, selalu memikirkan hal-hal bodoh seperti itu."
"....Dan itulah mengapa mereka mencoba menantang anak-anak lain?"
"Ya. Setiap kali mereka mendapat kesempatan, mereka akan menyerang, mencoba melihat apa mereka gak dapat menjatuhkan pihak lain satu atau dua peringkat. Dan mengangkat diri mereka sendiri dalam tawar-menawar. Itulah alasan utama mengapa mereka melakukannya."
"Ya, orang bernama Uemura itu terus berbicara tentang nilai sosial, tapi kau hanya berbicara tentang pertemanan."
Hee, jadi Kenta ini benar-benar mendengarkan percakapan itu. Aku pikir dia terlalu sibuk panik. Aku mengangkat alis ke arahnya saat dia melanjutkan.
"Tapi bagaimana aku harus menghadapi anak populer seperti itu? Aku harus membantah, bukan?"
"Kau harus mengikuti contoh yang sudah kami berikan. Jangan terlibat dengan musuh. Tapi cobalah hadapi dia di level yang setara. Jika kau mencoba mengalahkannya, kau akan terkunci dalam perang yang tak berujung, dan dia akan menyukainya. Anggap saja dia sebagai anggota suku lain yang ingin kau hidup berdampingan dengan damai. Dan jika dia menjadi terlalu tidak masuk akal, kau gak perlu takut untuk pergi."
Lagipula, orang-orang brengsek seperti itu akan terus melakukannya tanpa henti. Kalian harus memukul mundur mereka saat mereka melanggar wilayah kalian, tentunya, namun jika kalian tidak berhati-hati, kalian akan menghabiskan seluruh masa muda kalian yang berharga untuk menghadapi mereka. Dan tidak perlu menyia-nyiakan masa muda yang berharga untuk hal-hal bodoh seperti itu.
"Kita ganti topik, Kenta.... astaga, karbohidrat itu sangat enak. Itu membuatmu merasa senang masih hidup!"
"Hei! Kau itu salah satu dari mereka, kan! Kau sedang mencoba mengalahkanku sekarang!"
✶
Setelah mengantar Kenta pulang, aku kembali menyusuri jalan setapak di dasar sungai dengan suasana hati yang tenang. Pikiranku kembali pada kejadian pagi itu. Beruntungnya aku datang untuk menyelamatkan Kenta, namun jika aku terlambat, dia mungkin akan ketakutan karena berada dalam situasi sosial lagi.
Aku lega melihat dia masih baik-baik saja. Namun itu membuatku memikirkan hal-hal yang biasanya tidak kupikirkan. Terjun menyelamatkan orang lain memang baik-baik saja, namun jika aku tidak belajar untuk tidak bertanggung jawab atas hidupnya, beban itu akan segera menjadi tak tertahankan.
Setelah semua yang kukatakan pada Kenta.... bagaimana aku bersikap seperti pelatih kehidupan yang bijak, sosok sensei terhadapnya.... semuanya akan sia-sia jika dia tidak mampu bangkit pada hari yang sudah ditentukan dan mengalahkan teman-teman lamanya. Jika dia gagal.... setelah semua yang telah kulakukan untuk membangunnya.... aku akan bertanggung jawab. Akan lebih buruk daripada jika aku meninggalkannya sendiri sejak awal.
Namun, sebagian diriku berbisik bahwa ini bukan sepenuhnya salahku, dan tidak adil untuk menyalahkan diriku sendiri. Karena bukan aku yang memulai ini. Kenta yang menginginkan ini. Dan jika dia benar-benar mengacau pada akhirnya, itu tidak akan mengubah fakta bahwa baik Kenta maupun aku telah melakukan yang terbaik dengan cara kami sendiri. Aku harus menentukan batasannya. Dia bukan tanggung jawabku. Aku hanya membantunya sedikit. Benar, kan?
Namun, sebagian diriku yang lain berteriak bahwa ini semua salahku. Akulah yang menerima misi Kura. Mungkin aku seharusnya mengatakan tidak sejak awal. Aku terlalu sombong untuk menolak permintaan itu. Aku ingin menjadi Saku Chitose, orang keren yang bisa mengurus berbagai hal. Jadi, hasil dari itu, apapun hasilnya... semuanya tanggung jawabku. Ya, semuanya.
Aku merasa keberhasilan atau kegagalan Kenta akan menentukan keberhasilan atau kegagalanku. Lalu apa yang terjadi pada Saku Chitose setelahnya?
Aku menghela napas dalam-dalam.
....WHAP.
Aku merasakan sesuatu menghantam punggungku dengan keras.
"Yo, Chitose?! Kenapa kamu baru pulang sekarang? Kupikir kamu bagian dari klub pulang kampung?"
Aku menoleh dan melihat Haru, berdiri di sana dengan tas olahraga tersampir di bahunya bersama tas sekolahnya. Senyumnya membuat semua pikiranku yang meremehkan diri sendiri beberapa saat yang lalu lenyap dalam sekejap.
"Aku menemani Kenta saat latihan jalan kaki hariannya. Mengantarnya pulang. Omong-omong, itu menyakitkan."
"Oh, jangan sok cengeng gitu. Apa kamu jadi lembek sejak berhenti bermain bisbol?"
"Kamu gak perlu memukulku. Kamu bisa saja menyapaku seperti gadis normal. Omong-omong, bagaimana latihan klubmu?"
Matahari mulai terbenam di cakrawala, namun masih terlalu pagi bagi Haru untuk keluar, mengingat latihan klub basket sering kali berlangsung hingga pukul tujuh malam, yang merupakan waktu paling lama yang diizinkan.
"Pelatih kami ada urusan dan gak bisa tinggal lama, jadi kami hanya melakukan beberapa latihan menembak sederhana dan mengakhiri hari. Aku gak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk berolahraga, jadi aku berpikir untuk pergi ke Higashi Park dan melakukan sedikit latihan solo. Apa kamu sibuk, Chitose? Mau ikut denganku?"
"Aku baru saja selesai berjalan sejauh tujuh mil, dan sekarang kamu ingin aku berolahraga bersamamu?"
"Hanya berjalan? Pah! Itu gak ada apa-apanya. Lagipula, jika kamu akan menghabiskan seluruh waktu ini dengan Yamazaki, kamu juga berutang waktu yang berkualitas kepadaku."
"Itu seperti pergi ke sekolah dengan sepeda setiap hari tapi kemudian tiba-tiba dipaksa untuk berkompetisi di Tour de France."
{ TLN : Tour de France itu kejuaraan balap sepeda jalanan tahunan yang sangat bergengsi dan populer di dunia, yang diadakan di Prancis. }
"Oh, berhentilah mengeluh dan naiklah, Ketua."
Haru melompat kembali ke sepeda hybrid GIOS birunya, memberi isyarat agar aku naik di belakangnya. Aku melihat sepeda itu tidak memiliki sandaran kaki seperti yang dimiliki sepeda-sepeda model tua seperti milik Kaito.
Jadi aku harus mencari tempat lain untuk meletakkan kakiku, bukan?
"Biarkan aku memegang bahumu."
"Tentu saja. Aku sebenarnya ingin melihatmu gak perlu memegang apapun. Sehingga kamu bisa bergabung dengan rombongan akrobat Tiongkok jika kamu bisa melakukan itu."
Aku memegang bahu Haru dan dengan hati-hati meletakkan kakiku di hub luar roda, berhati-hati agar tidak menghalangi roda itu sendiri. Sepeda itu sedikit terhuyung ke samping saat kami mulai melaju, namun Haru segera menyeimbangkannya.
"Kamu lebih ringan dari yang kukira, Chitose. Ini jauh lebih mudah daripada saat aku memberi tumpangan pada Kaito."
"Gak yakin apa aku harus menganggapnya sebagai pujian atas tubuhku yang ramping dari seorang gadis manis atau sebagai penghinaan terhadap bentuk tubuhku sebagai mantan atlet...."
Haru mengayuh dengan lancar saat kami melaju. Hanya dalam waktu satu bulan, aku telah bersepeda berdua dengan Yua, Yuuko, dan sekarang Haru. Wah, aku benar-benar menjalani mimpiku sebagai anak SMA, bukan?
Bahu Haru ramping dan feminin namun juga kuat dan sedikit berotot. Jelas dia tidak kesulitan mengangkat bebanku. Awalnya aku merasa sedikit tidak berdaya, namun aku sangat tergoda untuk menyerahkan diriku pada pesona atletisnya.
"Kamu bisa bersandar padaku sedikit lagi, Chitose; aku bisa menahan beban."
Seolah-olah dia membaca pikiranku.
"Aku gak bisa bersandar pada seorang gadis. Itu sama saja seperti aku harus menyerahkan Kartu Kejantanan-ku."
"Kamu tahu, kamu bisa jadi karakter pacar yang baik jika kamu gak mengatakan hal-hal seperti itu sepanjang waktu."
"Tapi itu bagian dari pesonaku. Itu bagian dari apa yang membuatku menjadi karakter pacar yang baik, bukan?"
"Hmm, kurasa itu tergantung pada gadisnya."
Menjadi pacar Haru.... ya, itu akan menjadi tantangan. Dia sulit didekati, seperti ikan mas di stan festival musim panas. Yang berwarna keemasan mengilap itu terlalu cepat, dan kalian malah mengejar yang hitam-putih membosankan dengan mata terbuka lebar.
✶
Setelah sekitar lima menit bersepeda hybrid, kami tiba di Taman Higashi, yang terletak dekat dengan SMA Fuji. Kami turun dari sepeda, dan Haru langsung melepaskan roknya. Aku hampir terkena serangan jantung. Tentu saja, dia mengenakan celana pendek di baliknya. Dan kaus oblong lain di balik blus sekolahnya.
....Aku akan berbohong jika mengatakan bahwa aku tidak sedikit terangsang.
"Mari kita mulai dengan peregangan ringan untuk menghangatkan otot-otot kita. Apa kamu keberatan mendorong punggungku?"
Haru menjatuhkan diri ke tanah dan meluruskan kakinya di depannya.
"Baik, nona."
Aku berputar di belakangnya dan mendorong punggungnya dengan sekuat tenaga. Punggung Haru itu sudah terasa cukup hangat bagiku. Aku bisa merasakan tubuhnya menghangatkan telapak tanganku melalui kemejanya.
"Mmn."
"Waah, kamu benar-benar lentur."
Aku berusaha keras untuk tidak terlalu fokus pada gaya rambut kuncir kuda Haru itu yang bergoyang dan tengkuk yang terekspos di bawahnya. Aku sadar bahwa aku menyentuh tali bra-nya, dan aku segera memindahkan tanganku ke tempat lain.
"Memiliki otot yang lentur sangat penting dalam hal berolahraga. Kenapa kamu mengerutkan keningmu?"
Haru menoleh untuk menatapku.
"....Aku begitu?"
"Ya. Kamu terus saja membuat ekspresi orang kesakitan. Kadang-kadang kamu membuat ekspresi seperti itu."
"Apa itu sebabnya kamu mengajakku berolahraga bersamamu? Untuk membantuku rileks?"
"Gak, ini sama sekali gak berhubungan dengan itu. Aku lebih suka berolahraga dengan orang-orang yang suka bekerja keras."
"Oh ya, begitukah?"
Haru merentangkan kakinya lebar-lebar, dan aku mulai mendorong punggungnya saat dia meregangkan kaki kanannya terlebih dahulu, lalu kaki kirinya. Dia terus turun, begitu dalam hingga hampir menggelikan. Aku bisa mencium aroma segar deodorannya.
"Kamu tahu gimana pelatih memberi kita kuota poin untuk dicoba dicapai selama pertandingan pertengahan musim? Dan mereka semua seperti 'Aku tahu kamu bisa melakukannya' untuk memotivasimu. Gimana perasaanmu, Haru-san?"
Haru merapatkan kakinya dan membungkuk ke depan untuk menyentuh jari-jari kakinya. Aku mendorong bahunya dan mengerahkan berat badanku. Kakinya begitu panjang dan halus, dan sedikit berkilau. Berbeda sekali dengan kakiku yang berbulu sehingga rasanya mustahil untuk percaya bahwa kami termasuk spesies yang sama.
Dan uh, semua peregangan dan pose ini.... bisa menjadi berbahaya.
"Hmm, kurasa itu membuatku merasa termotivasi. Aku gak ingin mengecewakan pelatih, setelah mereka menunjukkan kepercayaan yang besar pada kami."
Haru berdiri sambil berteriak,
"Hup!" Lalu dia menunjuk ke tanah.
"Sekarang giliranmu." Katanya.
"Tapi gimana jika kamu gagal mencapai kuota itu? Gimana jika kamu kalah? ....Oww-oww-oww, hei!"
"Ya ampun, Chitose, kamu sangat kaku! Kamu benar-benar malas sejak berhenti bermain bisbol. Hmm, jika aku gagal, itu karena kurangnya usahaku sendiri. Aku akan meminta maaf kepada pelatih dan berusaha lebih keras lain kali."
Haru tidak hanya mendorong punggungku dengan tumit tangannya, namun dia juga menekan dadanya ke punggungku. Mungkin dia terbiasa bersikap seperti ini pada gadis-gadis lain di timnya, namun tentu saja dia tidak lupa bahwa aku ini seorang laki-laki di sini? Aku bertanya-tanya apa dia melakukan hal yang sama ketika dia berlatih dengan Kaito.... Hah, astaga. Aku seharusnya tidak memikirkan hal-hal seperti ini sekarang.
"Jadi, kamu akan terus mencoba, tanpa merasa harga dirimu terluka? Oww, oww, hentikan itu!"
"Ketua, kamu harus lebih santai! Dalam banyak hal. Terserah individu untuk memutuskan seberapa besar usaha yang ingin mereka lakukan untuk sesuatu, bukan? Jika aku merasa seburuk itu karena berada di klub, aku akan berhenti. Sekarang, aku senang untuk terus seperti ini. Kenapa kamu berhenti bermain bisbol, Chitose?"
"....Aku muak harus membuat rambutku tetap pendek."
"Aha, ternyata begitu. Kamu hanya mencoba menghindari pertanyaan itu."
Aku berdiri dan menempelkan punggungku pada Haru, mengaitkan lenganku dengannya. Kemudian aku membungkuk ke depan sejauh mungkin, mengangkat Haru di punggungku.
"Guhhh! Ugh! Tapi kamu bermain dengan sangat fokus. Aku gak bisa membayangkan kamu berhenti karena sesuatu yang sangat dangkal. Kuharap ini gak keterlaluan untuk kukatakan, tapi aku bisa tahu betapa pentingnya olahraga bagimu."
"Sangat dangkal, ya."
Kami bertukar posisi, dan kali ini dia mengangkatku ke punggungnya.
"Kamu gak mau membicarakannya, hm? Guhhh!"
"Kamu bisa mematahkan punggungku kalau terus begini! Aku merasa seperti salah satu hiasan ikan mas yang kamu lihat di dinding kastil yang kepalanya ditekuk ke belakang hingga ekornya!"
Haru telah menundukkan kepalanya hampir ke tanah, dan aku ditekuk begitu jauh ke belakang hingga hampir terbalik.
"....Oke, selesai."
Haru meregangkan lengan dan kakinya sebentar sebelum menuju ke sana dan membuka tas bolanya. Mengeluarkan bola basketnya, dia pergi ke lapangan beton dan mulai menggiring bola.
"Jika bisbol tidak cocok untukmu karena alasan apapun, selalu ada bola basket, Ketua! Jika kamu berlatih sedikit, aku yakin kamu bisa menjadi pemain tetap tim!"
"Aku akan memikirkannya, asalkan kamu setuju untuk melakukan peregangan denganku setiap hari."
"Maaf, tapi aku gak tertarik sama anak laki-laki yang kurang terampil daripada aku."
"Kamu gak boleh meremehkan kehebatan atletikku."
Haru tidak mengomentari itu.
"Ayo, bermainlah denganku. Kita gak bisa menggunakan ring basket karena anak-anak SD itu menggunakannya. Jadi gimana kalau begini? Jika kamu berhasil menggiring bola melewatiku, dan kamu mendapat satu poin. Jika aku berhasil menggiring bola melewatimu, dan aku mendapat satu poin. Mari kita lihat siapa yang bisa mendapatkan sepuluh poin lebih dulu!"
"Gimana caranya kita mendefinisikan menggiring bola melewati salah satu dari kita ini?"
"Mari kita lakukan saja. Jika gak ada di antara kita yang setuju, kita akan memulai ulang ronde ini. Oke? Aku bahkan akan membiarkanmu bermain lebih dulu."
Aku menyeringai. Hanya Haru yang akan membuat seperangkat aturan seperti itu.
"Ayo."
Aku mengikat kembali tali sepatu Stan Smith-ku, melepas jaketku, dan menggulung lengan bajuku. Aku seorang atlet sejati. Hanya sedikit tantangan yang dibutuhkan untuk membuatku bersemangat.
Aku teringat kegembiraan yang biasa kurasakan sebelum pertandingan bisbol, dan aku merasakan sedikit penyesalan, bercampur dengan nostalgia.
Aku meraih bola dan mulai menggiring bola, membungkuk rendah.
Haru juga membungkuk rendah, matanya menatapku.
"Yang kalah harus menjawab pertanyaan apapun yang diajukan pemenang, oke?"
"Hah? Memangnya apa mau kamu tanyakan?"
"Yah, yang ingin kuketahui itu kenapa kamu berhenti bermain bisbol. Tapi yang akan kutanyakan adalah : Kenapa kamu mengerutkan kening sebelumnya?"
"Sudah kubilang: Aku bahkan gak mengerutkan kening."
"Gak, gak, aku melihatnya. Aku selalu berusaha membaca lawanku, bahkan di tengah permainan!"
"....Cih. Baiklah. Kalau aku menang, bolehkah aku menanyakan sesuatu yang kotor?"
"Apa kamu gila? Kenapa kamu menanyakan hal seperti itu? Tapi terserahlah, tanyakan apa saja yang kamu mau. Itu pun kalau aku kalah, entah bagaimana, maka aku akan menjawab apa saja."
"Baiklah, aku ikut. Dan juga, yang kalah harus membelikan sesuatu untuk pemenang dari bagian makanan hangat di minimarket."
"Oke, Ketua. Aku siap menghadapimu; tunjukkan apa yang kamu punya!"
Aku dengan cepat mengelabui gadis itu, membuatnya menerjang ke sisi dominannya sementara aku melesat melewatinya dengan mudah....
✶
"....Aku sudah membeli apa yang kamu minta, Nona Haru."
"Kamu benar-benar lama! Aku sudah menunggu selama lima menit."
"Apa kamu ini iblis? Membuatku terburu-buru membeli makanan ringan setelah pertandingan sengit yang baru saja kita lakukan. Aku kelelahan."
Aku kalah telak. Haru jauh lebih baik dariku. Aku hanya bisa mendapatkan lima poin. Dan aku hanya bisa mendapatkannya dengan menggunakan ukuran dan kekuatanku untuk menyingkirkan Haru.
Sekarang aku tahu mengapa Haru, yang bertubuh pendek di tim basket, dianggap sebagai pemain yang sangat berharga. Dia memang cepat. Tentu saja, aku bisa berlari lebih cepat darinya jika kami berlari dalam garis lurus. Tapi dia lincah. Dia menghindar, menunduk, dan berbalik dengan cepat. Aku hanya bisa mengecohnya sekali itu.
"Ah-ha-ha, kamu lucu sekali, Chitose! Kamu lengah, meremehkanku, dan membiarkanku unggul lima poin darimu! Kemampuan atletik alamimu tidak seberapa, hee? Kaito jauh lebih menantang darimu. Sekarang, nikmati saja hasil kemenanganku!"
"Hmph. Aku gak dalam performa terbaikku hari ini; itu saja."
"Tentu, tentu, jika itu yang perlu kamu katakan pada dirimu sendiri!"
"...Omong-omong, poin terakhir itu? Aku tetap gak setuju."
"Oh, biarkan saja."
Haru dengan cekatan menyimpan bolanya di tempatnya, memegangnya dengan sangat mudah, seolah-olah itu adalah bagian dari dirinya.
"Sekarang, kamu gak lupa bagian lain dari perjanjian kita, kan?"
"Dengar, aku baik-baik saja. Aku gak cemberut, dan gak ada yang salah. Aku hanya memikirkan sesuatu; itu saja."
"Sudah, sudah. Ceritakan semuanya pada Bibi Haru ini."
Aku merasa Haru telah mempermainkanku. Namun, itu salahku karena menerima tantangannya. Aku tidak bisa mengeluh tentang hal itu sekarang.
"....Cih. Apa kamu ingat ketika aku bercerita tentang bagaimana aku membantu Kenta?"
"Ya, kamu membuatnya lebih keren sehingga dia bisa mengalahkan teman-teman lamanya, kan?"
Aku mengangguk.
"Ya. Aku agak sombong untuk itu dengan membuatnya berpikir aku punya jawaban yang dia butuhkan, tapi sekarang seperti.... gimana jika rencananya gagal? Tepat saat dia mulai bangkit. Jika dia akhirnya hancur lagi, kali ini aku yang akan menanggungnya. Gimana aku bisa menghadapinya jika itu terjadi?"
"Ah, jadi itu sebabnya kamu bertanya padaku tentang kuota poin dan semacamnya...."
Aku benci mengeluh dan merengek. Terutama saat aku melakukannya di depan teman-temanku.
"Akulah yang membuat rencana ini. Terserah padaku untuk memastikannya berhasil."
"Chitose.... aku gak ngerti apa yang ingin kamu katakan sekarang...."
Bagus, itu yang tidak kuinginkan. Rasa kasihan.
Aku tidak mencari kepastian, sungguh. Aku hanya ingin tahu bahwa seseorang di luar sana mengerti perasaanku. Kurasa aku harus membayar harga karena kalah dalam taruhan basket kecil kami.
Aku harus mencoba menertawakannya saja.
"Kamu itu benar-benar bodoh, ya? Santai saja!"
....Hah?
"Hmm? Jangan bilang kamu pikir kami itu harus selalu sempurna? Kupikir kamu itu benar-benar punya masalah! Berhenti merengek!"
Aku mengedipkan mataku berulang kali ke arah Haru. Aku tidak menyangka dia akan mengatakan sesuatu seperti itu.
"....Apa? Padahal aku sempurna."
Haru mengulurkan tangan dan mencengkeram hidungku.
"Kalau kamu ingin Haru ini melepaskan hidung kecilmu yang sempurna itu, dengarkan ini, Chitose. Kamu itu pelatihnya. Yamazaki pemainmu; dialah yang bermain di lapangan. Kamu mengerti?"
"Aku ga-k ta-hu. Bi-bi."
"Jika pemain bintang seorang pelatih melakukan kesalahan di lapangan, apa pelatih itu menyalahkan dirinya sendiri? Tentu, mungkin sedikit. Tapi dia gak seharusnya menyalahkan dirinya sendiri. Kesalahan pemain adalah tanggung jawab pemain itu sendiri. Melakukan kesalahan selama pertandingan, di depan umum, itulah risiko yang kita semua ambil saat bermain olahraga kompetitif. Kamu mengerti, Chitose?"
....Hmm, dia ada benarnya.
"Yamazaki memilihmu sebagai pelatihnya berdasarkan keputusannya sendiri. Dan dia sendiri yang membuat pilihan itu, untuk melangkah ke lapangan itu! Aku tahu dia sudah siap. Jadi, baik dia akhirnya berhasil atau gagal, dialah yang seharusnya merasa senang atau sedih."
Haru melepaskan hidungku tetapi terus berbicara.
"Mengatakan itu semua salahmu.... itu meremehkan kerja kerasnya. Itu gak sopan! Dan katakanlah kamu mengacau selama pertandingan bisbol, apa yang akan kamu rasakan jika pelatih berkata 'Oh, ini semua salahku, Chitose!' ...Hmm?"
"....Ya.... itu sulit diterima. Itu membuatnya terdengar seperti semua kegagalan dan keberhasilanku juga, hanya milik pelatih."
Haru menyeringai.
"Ya. Itu seperti, gee, Pelatih, kenapa kamu tidak bermain saja menggantikanku? Tapi tugas pelatih adalah membimbing. Untuk memiliki kepercayaan pada para pemain! Dan untuk membantu mereka saat mereka terbentur tembok dan gak tahu harus berbuat apa selanjutnya. Dan kemudian, jika mereka gagal.... untuk membantu mengangkat mereka kembali!"
Aku mulai merasa sedikit malu pada diriku sendiri sekarang.
Tanpa menyadarinya, aku mulai memandang Kenta sebagai orang yang lebih rendah dariku. Aku begitu terperangkap dalam posisiku sendiri sehingga aku berhenti memikirkan posisinya.
....Aku berceramah kepadanya tentang mencoba untuk mengetahui bagaimana orang lain berpikir dan merasakan, namun kemudian aku sendiri melakukan yang sebaliknya.
Haru mencondongkan tubuhnya lagi dan mencubit pipiku, sedikit terlalu kuat.
"Jadilah lebih rendah hati dan jangan merasa benar sendiri, Chitose!"
Haru tersenyum cerah bagaikan matahari, dan itu hampir sangat cerah.
✶
Kami pindah ke ayunan taman. Aku memberikan Haru sebotol minuman elektrolit Pocari Sweat dan hot dog-nya di atas tusuk gigi, lalu aku menggigit ayam gorengku sendiri.
Setelah itu, aku membuka tutup botol soda Royal Sawayaka, minuman pokok Fukui, dan meneguknya. Aku haus, dan rasanya luar biasa. Soda hijau manis ini rasanya seperti seseorang menuang banyak sirup es serut rasa melon ke dalam air bersoda. Sejak aku kecil, setiap kali aku ingin minum sesuatu yang berkarbonasi, aku selalu memilih Royal Sawayaka.
"Waah, Chitose. Aku belum minum itu lagi sejak aku masih kecil."
"Benarkah? Ingat bagaimana dulu minuman itu dikemas dalam botol kaca, bukan botol plastik? Dan kamu bisa membelinya dari toko permen."
"Yup! Dan kamu akan mendapat uang kembali jika kamu mengembalikan botolnya ke toko."
Haru mengolesi hot dog-nya dengan saus tomat dan mustard lalu memasukkannya ke dalam mulutnya.
....Ya ampun, itu merangsang sekali, terutama dari seorang gadis yang biasanya tidak pernah terpikir untuk memakan hot dog dengan cara seperti itu. Mengapa dia tidak menyadari implikasinya? Bukannya aku akan menunjukkannya.
Aku melihat sekeliling, menyadari bahwa senja telah tiba-tiba reda. Aku sudah lama tidak berolahraga sekeras ini, dan angin sepoi-sepoi yang bertiup dari sungai terasa nyaman di kulitku yang berkeringat. Haru tampak remang-remang dan tidak jelas dalam kegelapan. Kurasa aku juga tampak seperti itu baginya.
Ayunan berderit.
Anak-anak sekolah dasar yang tadinya berteriak-teriak dengan gembira dan bermain di taman sudah pergi sekarang. Mereka mungkin sudah pulang, menunggu makan malam mereka disajikan.
"Nee, Chitose.... taman ini dulunya adalah lapangan bisbol yang dikelola kota, bukan?"
"Ya. Tapi aku gak pernah bermain di sini. Mereka mengubahnya menjadi taman sebelumnya."
"Indah, ya?"
"Memang."
Aku tidak tahu apa Haru mencoba memberitahuku sesuatu atau hanya memberikan komentar. Rasanya menyenangkan, berbagi kesunyian di tempat seperti ini dan memperhatikan keindahannya bersama.
"Haru-san, makasih. Aku merasa jauh lebih baik sekarang.”
"Kamu gak perlu mencoba mencari alasan palsu mengapa kamu kalah dalam taruhan kita. Kamu sangat cemasan sih."
"....Maaf. Aku akan berubah."
"Kamu tahu, kamu jauh lebih keren jika mengejar bola dengan sungguh-sungguh daripada melenggang dengan mencoba berpura-pura seperti kamu sangat keren dan tahu segalanya sepanjang waktu."
"Sungguh?"
"Yah, setidaknya begitulah yang kupikirkan. Aku gak bisa berbicara mewakili orang lain."
Haru berdiri di ayunan dan mulai mengayun. Aku mengikutinya.
"....Baiklah, hmm, aku mau tanding ulang." Kataku.
"Mari kita lihat siapa yang bisa melompat paling jauh."
"Kurasa itu sebabnya pagar itu ada di sana? Untuk mencegah orang melakukan itu?"
"Siapa peduli? Kita atletis. Yang kalah harus... Ah, aku tahu—yang kalah harus mengungkapkan satu kelemahan terbesar mereka. Aku gak ingin meninggalkan hal-hal seperti ini, dengan aku menjadi satu-satunya yang terbuka di sini."
"Baiklah, duluan. Tapi aku harus memperingatkanmu : Aku lebih ringan darimu. Aku punya keunggulan kompetitif."
Skreek, skreek. Jangle, jangle.
Kami berdua melompat dari ayunan, terbang ke udara melintasi taman yang remang-remang, bayangan kami melompat di belakang kami.
Bintang pertama di malam hari itu sudah berkelap-kelip di langit.
Aku berharap bisa meraihnya.
Aku menyadari keberadaan Haru, yang melayang di sampingku. Dia berwarna nila, roknya berkibar ke atas, celana pendeknya terlihat, gaya rambut kuncir kudanya berkibar di belakangnya.
Aku ingin melompat lebih tinggi. Ini tidak cukup tinggi bagiku. Aku ingin melompat tinggi ke langit, begitu tinggi sehingga tidak seorang pun dapat menggapaiku.
Aku ingin mencapai tempat di mana aku tidak perlu bergantung pada kebaikan hati seorang teman untuk menopangku.... di mana aku tidak perlu bergantung pada siapapun sama sekali.
✶
Malam itu, aku mendapat telepon tak terduga.
Dari Yuzuki Nanase.
Kami berkirim pesan di LINE berkali-kali, namun ini pertama kalinya kami berbicara lewat telepon. Aku mengetuk tombol jawab panggilan.
"Ya, ini aku."
"Dan ini aku. Bagaimana kabar terbarunya?"
"Seperti yang kamu prediksi. Tapi, harus kuakui, pekerjaan ini tidak cocok untukku. Terus terang, pekerjaan ini di bawah kemampuanku. Rasanya seperti aku harus membuka pengait bra dalam waktu tiga detik. Aku hanya butuh satu setengah detik."
"Kamu jadi ceroboh saat merasa terlalu percaya diri; itu masalahmu. Aku tahu kamu hebat, tapi kamu mengabaikan hal-hal kecil. Kamu pikir pengait bra ada di belakang, tapi ternyata bra itu pengaitnya ada di depan. Dalam pekerjaan seperti ini, kamu harus mempertimbangkan variabelnya."
"Aku akan memeriksa bagian belakang dalam waktu nol koma lima detik. Lalu dengan sisa waktu satu detik, aku akan bergerak ke depan. Mudah saja. Apa kamu ingin mencobanya?"
"....Gak, makasih. Aku gak ingin kehilangan orang yang berharga di saat kritis seperti ini."
Nanase tertawa terbahak-bahak, mengakhiri permainan peran kami.
Aku memainkan peran sebagai pembunuh bayaran keras yang lengah dan membutuhkan campur tangan perempuan berdada besar yang mempekerjakannya untuk membunuh suaminya. Nanase benar-benar menjalankan perannya dengan baik.
Setelah kami selesai tertawa, Nanase mulai serius.
"Nee, Chitose. Apa kamu bebas bicara sekarang?"
"Tentu, mari kita mengobrol."
Lagipula, bukankah kami sudah membuat rencana untuk lebih banyak bicara, di hari pertama sekolah?
Ada rasa jarak yang aneh antara Nanase dan aku. Kami sudah mengobrol sejak tahun pertama, namun aku tidak pernah terasa dekat dengannya seperti Haru. Kami berteman, tentunya. Namun rasanya kami hanya menunjukkan sisi luar kami satu sama lain. Tidak lebih dalam.
Itu mengingatkanku—aku perlu berterima kasih pada Nanase karena telah menolongku pagi itu.
"Kamu benar-benar datang dengan cepat pagi ini, Nanase-san."
"Kamu gak perlu sebutkan itu. Tapi kenapa kamu memutuskan untuk menolong Kenta Yamazaki sejak awal?"
"....Kura-san memintaku untuk melakukannya. Dia dan aku punya kesepakatan seperti 'Kamu menggaruk punggungku, aku akan menggaruk punggungmu'. Aku membantunya, dan dia membiarkanku melakukan apapun yang kuinginkan."
Aku merasa bahwa berbohong kepada Nanase bukanlah ide yang bagus. Dia akan langsung tahu maksudku.
Namun Nanase tampaknya bisa mengerti maksudku.
"....Begitu ya. Itu alasan yang kedengarannya sangat masuk akal. Ya, itu cerdas. Jika kamu gak ingin mengatakan seluruh kebenaran, cukup sampaikan fakta yang ada di permukaan dan tutupi detail yang sebenarnya. Itu akan menyelesaikan masalah."
"Apa yang kamu katakan itu sangat rumit, Nanase-san. Apa kamu bilang aku punya alasan lain?"
"Kamu bertanya padaku?"
"Bukankah setiap film komedi romantis murahan yang bagus melibatkan seorang perempuan yang membantu seorang laki-laki yang mencari jati dirinya?"
Nanase menjawab tanpa sedikit pun tersipu malu atau tidak jujur.
"Tapi kamu bukan pemeran utama film komedi romantis. Kamu itu Saku Chitose."
"...Dan kamu itu Yuzuki Nanase-san."
"Oh, bagus. Kalau begitu, aku benar."
"....Aku gak suka jika seseorang mencoba menafsirkan sesuatu terlalu banyak."
"Yah, setiap film komedi romantis yang bagus dimulai dengan seorang anak nakal yang disalahpahami."
Astaga, gadis ini sulit diajak beradu argumen. Dia terlalu intens, sama seperti Kazuki. Mereka berdua benar-benar perlu bersantai dan lebih menikmati hidup.
Nanase berdeham.
"Bisakah kamu setidaknya memberitahuku mengapa kamu memilih Yuuko setelah Ucchi, ketika kamu mencoba meyakinkan Yamazaki untuk kembali ke sekolah? Maksudku, mengapa bukan aku?"
"Oh, apa kamu merasa tersisih?"
"Kupikir itu sedikit.... gak terduga."
"Kurasa aku lebih suka menjadi pemimpin, daripada menjadi orang yang ditipu."
"Hmm, aku suka ditipu, tahu...."
"Oh bagus, aku akan mampir untuk menjemputmu suatu saat nanti!"
Nanase tertawa kecil.
"....Sayang sekali. Aku benar-benar berharap bisa membuatmu berutang budi padaku, Chitose."
"Kamu gak perlu aku berutang budi padamu. Aku selalu bersedia membantu gadis manis. Apalagi jika dia adalah pacarku."
"Oh, senang mendengarnya. Baiklah, karena sudah jelas bahwa aku salah satu pacarmu, kurasa aku harus meminta bantuan khusus kepadamu suatu saat nanti."
"Hmm, jadi Nanase-san yang hebat pun butuh bantuan sesekali, ya?"
"Ya, misalnya, mungkin kamu bisa mempertimbangkan.... menjadi pacarku? Atau semacam itu."
"Ah, aku suka serangan kejutan."
"Hanya bercanda. Sulit untuk keluar dari karakter setelah semua permainan peran tingkat atas tadi."
Sifat menggoda sudah hilang dari suara Nanase. Kurasa sesi saling memancing ini sudah berakhir.
Aku merendahkan nada suaraku agar sesuai dengannya.
"Ya. Kita akan malu besok pagi saat kita bertemu langsung dan mengingat percakapan ini."
"Heeh. Padahal aku sudah menyesalinya saat kita berbicara."
Menjadikan suaraku terdengar feminin, aku memutuskan untuk menggodanya dengan mengulang kata-katanya sendiri kepadanya.
"Yah, setiap komedi romantis murahan yang bagus dimulai dengan anak nakal yang disalahpahami."
"Mouu, tolong hentikan itu."
Aku bisa mendengar gadis itu menghentakkan kakinya di seprai.
"Omong-omong, itu kamu yang mulai! Dan apa yang kamu bilang tadi? 'Bukankah setiap film komedi romantis murahan yang bagus melibatkan seorang perempuan yang membantu seorang laki-laki yang mencari jati dirinya'....?"
"Ugh, hentikan itu!"
Aku melompat ke tempat tidur dan mulai membenturkan wajahku ke bantal.
Nanase bisa mendengarnya lewat telepon. Dia tertawa terbahak-bahak seperti seorang gadis SMA rata-rata.
"Gimana kalau kita buat itu seri saja sebelum ini menjadi lebih buruk?"
"Hmm, aku setuju. Gak ada gunanya kita berdua terluka."
Berbicara dengan Nanase.... aku merasa itu tidak akan pernah membosankan.
Aku menyadari dia adalah tipe gadis yang memiliki berbagai sisi yang berbeda, sisi yang biasanya dia sembunyikan.
Aku ingin menggodanya untuk terakhir kalinya.
"Jadi, milikmu itu pengaitnya ada di depan atau belakang? Aku harus mengetahui itu, atau aku gak akan bisa tidur malam ini."
Aku bisa mendengar suara kain berdesir lewat telepon. Kemudian Nanase berbicara dengan nada menggoda, hampir berbisik di telingaku.
"Di belakang, tentunya. Dan warnanya biru. Sebiru langit April."
"....Aku salah bicara. Sekarang aku gak akan bisa tidur malam ini."
"Bagus. Anggap saja ini sebagai balas dendamku."
"Oho. Kalau begitu aku harus memikirkan lebih banyak cara untuk membuatmu semakin marah padaku."
"Selamat malam, Chitose."
"Selamat malam, Nanase-san."
✶
Dua minggu berlalu. Itu adalah minggu terakhir bulan April, sehari sebelum hari sabtu di mana Kenta akan menghadapi kelompok lamanya. Kenta dan aku berganti pakaian olahraga untuk pelajaran olahraga jam pelajaran kelima. Para gadis selalu menggunakan ruang ganti di ruang olahraga, namun kami para laki-laki tidak mau repot-repot dan biasanya hanya berganti pakaian di kelas.
Kazuki dan Kaito sudah menuju ke lapangan olahraga.
"....Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi aku merasa tiga minggu terakhir ini berlalu begitu cepat, kan, Raja?"
Kenta terdengar agak murung.
"Ya, pastinya. Kita telah melakukannya dengan sangat baik dan membuat banyak kemajuan sejak hari pertama aku memberimu tugas-tugas itu. Waktu cenderung berlalu cepat jika kamu sibuk."
"Ya, tapi.... aku tahu itu, tapi.... aku membayangkan lebih banyak kekalahan, lalu didorong oleh gadis-gadis manis, dan lebih banyak adegan mengharukan seperti itu...."
"Aku gak pernah membuat rencana yang cacat seperti itu. Aku sudah menyiapkan semuanya sehingga kau seharusnya bisa berhasil tanpa harus terlalu memaksakan diri. Tapi, jika kau tidak menyukai rencanaku, silakan jalani sendiri mulai sekarang."
"Apa itu benar-benar rencanamu? Beberapa lelucon Oyaji-mu yang sudah tua itu berbau Kura-san, kau tahu maksudku?"
"Hei, ketahuilah di mana harus menarik garis. Perbandingan itu menyinggungku."
Aku melihat lagi ke arah Kenta, yang sedang mengganti bajunya.
"Omong-omong, bung, kau benar-benar kurus. Dan kau juga bertambah otot."
"Uh, kurasa begitu."
Bukan seperti Kenta itu tiba-tiba menumbuhkan perut six-pack atau semacamnya, namun tidak ada yang bisa menyebutnya sebagai Kenta gemuk lagi.
"Dan kau sudah benar-benar merasa nyaman berbicara dengan anak-anak populer, kan?"
"Yah.... aku hanya menirumu dan Mizushino-san, saat kau berbicara dengan Nanase-san dan gadis-gadis lain... aku mencoba mengingat pola bicaramu."
"Jadi, apa masalahnya?"
"Aku hanya merasa itu gak cocok dengan kepribadianku...."
"Begini, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, ini adalah cerita harem komedi romantisku. Siapa yang ingin mengikuti cerita Karakter Sampingan-kun? Kenapa kau tidak mencoba menggalang dana untuk novelmu sendiri jika itu sangat berarti bagimu?"
"Kau mulai membandingkan segalanya dengan novel ringan sekarang, Raja."
Itu benar; aku telah meminjam semua jenis novel ringan dan serial anime di Blu-ray dari Kenta selama kami nongkrong.
"Omong-omong, besok adalah hari besar. Apa kau pikir kau bisa melakukannya?"
"Yah.... kita sudah melakukan semua yang kita bisa, kurasa kita bisa mengatakannya dengan yakin. Aku hanya harus berusaha untuk tidak mengacaukannya saat aku di sana. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja pada akhirnya... Oh, aku hampir lupa."
Kenta mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan layar kunci kepadaku.
"Aku berpikir untuk duduk di meja yang sama persis. Kurasa itu akan membantuku tetap tenang."
Kenta memasang foto Yuuko-san dengan kami di Starbucks sebagai layar kunci ponselnya.
"Aku tahu sudah menjadi standar untuk memasang foto dirimu bersama teman-temanmu sebagai layar kunci, tapi ini agak menyeramkan... kenapa kau merasa perlu menatap wajahku setiap kali ingin menggunakan ponselmu?"
"....Er, Raja? Kenapa kau menutupi dadamu dengan pakaian olahragamu....?"
✶
Kami selesai berganti pakaian, lalu mengenakan sepatu olahraga luar ruangan dan menuju ke lapangan olahraga. Kebetulan, di Fukui, kami menyebut sepatu olahraga dalam ruangan dan sepatu olahraga luar ruangan kami sebagai sepatu kets dalam ruangan dan sepatu kets luar ruangan, namun di prefektur lain tidak demikian, mereka hanya menyebutnya sepatu. Sungguh memalukan di klub bisbol ketika salah satu dari kami terpeleset dan menyebutnya sepatu kets saat kami bermain melawan tim dari tempat yang jauh.
Kelas olahraga SMA Fuji biasanya terdiri dari dua kelas sekaligus, dan diadakan secara terpisah untuk anak laki-laki dan perempuan. Kelas Satu hingga Lima, kelas yang berfokus pada humaniora, memiliki lebih banyak anak perempuan dan lebih sedikit anak laki-laki, dan Kelas Enam hingga Sepuluh, kelas yang berfokus pada sains, memiliki lebih banyak anak laki-laki dan lebih sedikit anak perempuan.
Jadi untuk menyeimbangkan semuanya, mereka mencampur kelas-kelas di tahun kedua sehingga anak-anak humaniora dan sains disatukan untuk kelas olahraga. Kami Kelas Lima, dan kami disatukan dengan Kelas Sepuluh. Sesi olahraga hari ini adalah pertandingan sepak bola persahabatan. Aku bertemu dengan Kazuki dan Kaito dan membalas lambaian Yuuko, yang berada di lapangan tenis terdekat. Tepat saat itu, Atomu dan dua orang lainnya berjalan mendekat. Mereka berdua adalah bagian dari kelompok yang telah mengganggu Kenta dan Yua tempo hari.
Kazuki menghela napas pelan, yang hanya bisa kudengar.
"Hei, Chitose."
Kata Atomu.
"Permainan biasa kedengarannya terlalu membosankan, jadi mengapa kita tidak membuatnya menarik? Yang kalah harus mendapat hukuman."
Atomu melingkarkan lengannya di bahu Kenta, menyeringai. Mengapa anak-anak populer yang "ambisius" ini selalu begitu suka menyentuh orang?
"Kedengarannya bagus. Aku suka taruhan yang bagus."
Kazuki dan Kaito juga tidak keberatan.
"Tim kalian harus terdiri dari Mizushino, Asano, orang ini, dan kalian. Timku akan terdiri dari orang-orang ini dan aku sendiri. Nama orang berambut pendek itu Shuto Inaba, dan orang besar di sini adalah Kazuomi Inomata."
Nama-nama itu sepertinya berarti sesuatu bagi Kazuki.
"Oh ya, kupikir aku mengenali kalian. Inaba, kapten dari SMP Michiaki. Dan, Inomata, kau adalah penjaga gawang. Mendengar nama kalian membangkitkan ingatanku."
"Lama gak bertemu, Mizushino. Kurasa terakhir kali kita bertemu adalah di turnamen distrik, bukan? Tapi, omong-omong, kami sebenarnya mengenalimu tahun lalu."
Inaba yang berambut pendek itu tampak ramah, namun tatapannya dingin.
Kazuki, aku sungguh meragukan kalau kau baru saja mengenali orang-orang ini.
Inomata tinggi dan tegap. Dan dia tampak marah.
"Aku benar-benar gak lupa bagaimana kau berhasil mencetak empat gol ke gawangku dalam satu pertandingan."
"Oh benarkah? Hal semacam itu hampir gak masuk akal bagiku. Aku gak begitu ingat detail-detail kecil dari permainan lama seperti itu."
Jadi kelompok Atomu memiliki dua pemain sepak bola di dalamnya. Mungkin itulah sebabnya dia menyarankan permainan ini. Mungkin dia bahkan akan mengajak anggota klub sepak bola Kelas Sepuluh saat ini juga. Namun tidak perlu khawatir. Aku punya Kazuki, dan ini hanya kelas olahraga. Tidak perlu khawatir tentang menyeimbangkan tim hingga pemain.
Kaito sudah melakukan peregangan, dan dia tampak sangat menikmatinya.
"Jadi, apa hukumannya? Mari buat itu jadi sesuatu yang benar-benar gak menyenangkan."
"Oke, yang kalah harus melompat-lompat di seluruh halaman sekolah seperti kelinci. Sementara para gadis masih di luar untuk mengikuti kelas mereka, tentunya."
Itulah saran Atomu. Kedengarannya cukup memalukan, sejauh menyangkut hukuman. Namun aku punya satu kekhawatiran.
"....Tunggu sebentar. Satu-satunya yang harus memberikan hukuman adalah aku, Kaito, dan Kazuki, kan? Dan kalian bertiga. Tidak perlu melibatkan yang lain dalam hal ini. Dan aku ragu Kenta memiliki kekuatan fisik yang dibutuhkan untuk melompat-lompat di seluruh halaman sekolah."
Atomu mengangguk setuju. Aku sudah tahu itu. Targetnya yang sebenarnya adalah aku dan kelompokku selama ini. Dia tidak benar-benar tertarik pada Kenta.
"Dan saat yang kalah melompat-lompat, mereka harus berteriak 'Monyet! Gorila! Simpanse!' sekeras-kerasnya. Itu akan menjadi hukuman yang sebenarnya."
"Saran yang bagus, Chitose."
✶
Begitu kelas olahraga dimulai, kami diminta untuk terbagi menjadi empat tim. Pertama, dua tim lainnya bertanding satu sama lain sementara kelompok Atomu dan kelompokku menonton.
Setelah itu selesai, kami bangkit.
Kami berlari ke lapangan dan saling berhadapan. Guru olahraga menyetujui taruhan kecil kami.
"Bagus; itu akan membuat suasana lebih seru."
Kata Guru itu tentang saran kami.
Seperti yang kuduga, tim Atomu terdiri dari anggota klub sepak bola dan atlet lainnya. Namun, timku agak campur aduk.
Kenta menoleh padaku, suaranya bergetar.
"....Raja, apa kau yakin ingin melakukan ini?"
"Gak perlu terlihat khawatir begitu. Ini hanya sedikit kesenangan, jadi mari kita nikmati. Dan tetap awasi, karena kami akan mengopernya kepadamu juga."
"Gak, gak! Aku gak bisa! Aku benar-benar payah dalam permainan bola! Bahkan, semua olahraga! Aku gak bisa mengendalikan tubuhku.... tubuhku jadi gak terkendali! Dan aku jelas gak bisa mengendalikan bola! Aku bahkan gak bisa menangkap bola dengan benar menggunakan tanganku. Jadi aku tahu pasti aku tidak bisa melakukannya dengan kakiku! Kenapa kau memintaku melakukan ini?!"
"Santai saja. Aku gak mengharapkanmu menjadi MVP permainan atau semacamnya. Lagipula, kamilah yang menerima permainan ini dan menanggung risiko harus menerima hukuman. Kau gak perlu khawatir, menang atau kalah. Jadi, santai saja dan cobalah bersenang-senang dengan semua orang!"
Kazuki mencondongkan tubuhnya, mendukungku.
"Dia benar, Kenta. Jika bola datang kepadamu, oper saja ke Saku, Kaito, atau aku. Jika itu terlalu sulit, tendang saja dengan cara apapun yang kau bisa."
Kaito melompat-lompat di tempat dengan tidak sabar.
"Kenta, jangan menghalangi bola kalau kau sebegitu khawatirnya. Tapi ini kelas olahraga! Kau harus ikut. Jangan terlalu banyak berpikir."
"Sudah kubilang, aku gak bisa.... sebelum nenekku meninggal, dia memperingatkanku untuk gak pernah menyentuh bola sepak! Kalau gak, uh, aku akan jatuh ke dalam kutukan keluarga!"
Alasan yang gila. Kenta benar-benar berlebihan.
"Nenekmu benar. Jika kau menyentuhnya, itu akan menjadi handball."
Aku mengabaikan Kenta, yang masih mengoceh, dan mengalihkan perhatianku ke kickoff. Atomu dan aku bermain batu-gunting-kertas untuk menentukan siapa yang mendapat kehormatan. Dan aku menang.
Begitu peluit dibunyikan, aku mengoper bola ke Kazuki. Seketika, Inaba dan dua pemain sepak bola lainnya di tim mereka mendekat. Sepertinya yang lain tidak menandai siapapun secara khusus. Kazuki melakukan tipuan halus dan menendang bola tanpa mengopernya ke pemain lain. Aku sudah sering melihat Kazuki bermain sepak bola, namun aku selalu kagum dengan bagaimana bola itu bisa melengkung sesuai keinginannya.
"Kenta, pergilah ke gawang dan tunggu di sana."
Aku memanggil Kenta, yang hanya berdiri di sana. Dengan enggan, anak itu mulai berlari melintasi lapangan.
Kazuki terus melihat ke arah itu. Aku berlari ke area terbuka dan menerima umpan dengan sentuhan ringan.
"Bagus!"
Aku menangkap bola, menggiring bola, lalu Atomu memanfaatkan kesempatan itu dan mendekatiku. Atomu sendiri atletis dan berhasil memberi banyak tekanan padaku. Aku mencegahnya mencurinya, berkat teknik yang pernah diajarkan Kazuki kepadaku saat kami bermain-main, dan mengopernya ke Kaito, yang berada di posisi yang terbuka lebar.
"Kau gak akan mencetak gol, bung?"
"Ini hanya kelas olahraga. Aku lebih fokus untuk bersenang-senang dengan semua orang dan membangun kerja sama tim."
"Pfft. Terserah."
Kaito menggiring bola dengan ceroboh, namun dia berlari ke sisi kanan. Dia hanya menendang bola ke depan dan mengejarnya, namun dia cukup cepat sehingga mereka tidak dapat mengimbanginya.
"Kazuki!"
Begitu Kaito berada di depan gawang, dia mengoper bola itu tanpa memberikannya udara. Kazuki melakukan tipuan tendangan dan membiarkan bola menggelinding melewatinya dan menuju ke arahku. Aku berlari ke sisi kirinya.
Jebakan kami hanya membuat Kazuki, Atomu, Kenta, dan aku berada dalam jangkauan gawang. Aku mengoper bola ke Kenta, yang lagi-lagi hanya berdiri di sana.
"Lakukan!"
Aku mencoba mengoper bola selembut dan sebersih mungkin. Ngomong-ngomong, ini hanya permainan olahraga kelas olahraga, jadi kami tidak menggunakan aturan offside atau bersikap terlalu pilih-pilih.
Umpanku cukup sempurna, bergulir lurus ke kaki Kenta. Tentu saja, dia tidak terkawal. Bahkan penjaga gawang tidak memperhatikannya.
Wajah Kenta tiba-tiba menjadi sangat serius, dan dia menarik kakinya untuk menendang bola langsung ke gawang... namun dia sama sekali tidak mengenai bola dan melakukan gerakan jatuh terlentang yang spektakuler.
Itu adalah gerakan jatuh yang paling tidak anggun dan lucu yang perna kalian lihat. Bola menggelinding perlahan melewati gawang, terhuyung-huyung di atas rumput.
"PAH-HA-HA-HA!!!"
Semua orang tertawa terbahak-bahak. Kazuki, Kaito, dan aku juga tertawa, tentu saja.
"Hei, Chitose, apa kalian benar-benar berusaha? Otaku itu merepotkan; suruh dia bertahan!"
Atomu berteriak dari seberang lapangan, cukup keras untuk didengar semua orang.
"Kentacchi, itu lucu sekali!"
Kami bisa mendengar Yuuko berteriak dari lapangan tenis. Kedengarannya seperti dia telah menonton.
Aku berlari ke arah Kenta dan membantunya berdiri.
"Itu hebat, Kenta! Kau lucu sekali! Kau jenius. Kau dan aku harus bekerja sama dan menuju panggung global.... panggung komedi, maksudku."
"Sudah kubilang aku gak bisa melakukan ini...."
Kenta setengah menangis saat Kazuki dan Kaito berlari kecil untuk bergabung dengan kami. Kaito menepuk punggung Kenta dengan meyakinkan.
"Abaikan saja itu, Kenta! Aku mengagumi keberanianmu. Lagipula, olahraga itu tentang bersenang-senang. Teruskan!"
Kazuki tersenyum pada Kenta saat dia memanfaatkan kesempatan untuk menyampaikan beberapa nasihat sepak bola.
"Sejujurnya, berdasarkan pengetahuanku, gak masalah untuk mengoper bola di belakangmu daripada tercekik di bawah tekanan saat kau berada di dekat gawang. Selain itu, sulit untuk menendang bola yang bergerak sebagai pemula, jadi lebih baik untuk menahan bola terlebih dahulu, lalu mengubah posisimu untuk menendang. Selain itu, saat kau menendang, kau harus menggunakan telapak kakimu daripada jari-jari kakimu. Ini memberimu kontrol yang lebih baik atas bola."
Kazuki selalu bersikap dingin dan menyendiri, namun dalam hal sepak bola, dia berubah menjadi olahragawan yang bersemangat. Jelas dia ingin Kenta menikmati permainan seperti dirinya.
Namun ekspresi Kenta gelap karena malu, dan anak itu tampak sangat putus asa. Jelas anak itu sama sekali tidak tahu bagaimana menemukan kesenangan dalam permainan seperti ini.
✶
Setelah itu, kami menikmati permainan sepak bola yang cukup bagus. Bahkan Kenta berhasil melakukan beberapa operan. Kalian masih bisa tahu bahwa Kazuki pernah bermain sepak bola sebelumnya, namun dia tampaknya menahan diri untuk sisa permainan. Sebaliknya, kelompok Atomu menahan pemain yang kurang atletis untuk bertahan di gawang mereka sendiri, dan mereka menyuruh pemain sepak bola berpengalaman mereka untuk menyerang. Hasilnya, mereka berhasil memimpin dengan mudah.
"Hee, kau tampil seperti pemain yang luar biasa, tapi kau hanya besar omong saja hari ini. Apa yang kau lakukan? Mengapa kau gak bermain dengan benar? Apa kau mengantuk di sini? ....Itu membuatku kesal. Tapi terserahlah. Bersiaplah untuk melompat, kelinci."
"Santailah dikit. Kami hanya bermain untuk bersenang-senang hari ini."
Namun, skornya delapan–satu untuk keunggulan mereka. Dan hanya tersisa lima menit. Kami akan kalah—dan dengan selisih yang besar. Kalian tidak dapat bangkit dalam sepak bola dalam kondisi seperti ini. Bisbol, mungkin.
Tapi memangnya kenapa? Kelompok Atomu jelas-jelas mencoba menunjukkan superioritas mereka sebagai atlet dengan memenangkan pertandingan ini. Namun, Kazuki, Kaito, dan aku benar-benar hanya bermain untuk bersenang-senang. Namun, jika kami benar-benar serius, pertandingan akan jauh lebih ketat.
Tapi, apa manfaatnya bagi kami?
Aku sudah berhenti mengikuti olahraga sekolah. Dan jika aku ingin menunjukkan superioritas, itu akan terjadi selama turnamen sungguhan. Bukan kelas olahraga yang membosankan. Tidak perlu pamer selama pertandingan persahabatan. Tidak, turnamen adalah waktu yang tepat untuk melakukannya. Apa asyiknya mendominasi permainan yang menyenangkan dan tidak memberi kesempatan kepada pemain lain yang tidak berbakat untuk menyentuh bola atau menikmati permainan sama sekali?
Lagipula, permainan tidak akan menyenangkan kecuali seluruh tim bermain bersama. Kelompok Atomu dan kelompokku melihat hukuman yang diberikan pada permainan ini dengan cara yang sangat berbeda. Bagi mereka, itu adalah cara untuk mempermalukan kami dan menunjukkan superioritas mereka sendiri. Namun, bagi kami, itu hanyalah cara untuk membuat kelas olahraga menjadi lebih menghibur.
"Kau harus berhenti bergaul dengan otaku itu; dia akan menjatuhkanmu."
Kata Atomu, mencibir padaku.
"Jangan jadi orang menyebalkan. Kenta itu keren. Sebaiknya kau berhati-hati dengannya. Dia mungkin akan mengalahkan kita semua suatu hari nanti."
"Ya, mungkin saja. Hal seperti itu yang akan terjadi."
Sebenarnya, aku serius. Ya, melihat spesifikasi dasar Kenta, dia sama sekali tidak setara dengan kami semua. Bahkan, dia sangat biasa-biasa saja.
Namun tidak banyak orang di luar sana yang memutuskan untuk mengubah diri mereka sendiri dan benar-benar menindaklanjutinya. Aku memang butuh waktu lebih lama untuk mengubah diriku sendiri.
Kelihatannya cukup sederhana, jika dilihat dari luar. Ambil saja keputusan dan kemudian tindak lanjuti. Namun itu jauh lebih sulit daripada yang terlihat. Itulah yang membuatnya begitu indah ketika seseorang benar-benar melakukannya.
Kenta terus memberikan yang terbaik selama pertandingan. Setiap kali anak itu mendapatkan bola, aku bisa melihatnya mencoba, dan gagal, saat mencoba menerapkan saran Kazuki.
"Saku-kun, tunjukkan kami sesuatu yang bagus!"
Para gadis tampaknya telah menyelesaikan kelas olahraga mereka. Aku dapat mendengar Yuuko memanggil dari tempat para gadis mengemasi peralatan mereka.
"Jika kamu berhasil membalikkan keadaan, aku akan mentraktirmu semangkuk Hachiban!"
Nanase-san, kamu sadar itu gak mungkin, kan?
"Berjuanglah, anak-anak! Kalian itu memalukan!"
Maaf, Nona Haru.
"Kamu bisa melakukannya, Yamazaki-kun!"
Yua-san selalu manis.
Baiklah, mungkin kami bisa bertahan selama beberapa menit terakhir. Aku memberi isyarat pada Kenta.
"Umpan ke rajamu ini."
Kenta menendang bola samar-samar ke arahku, dan aku harus mengejarnya. Atomu juga, namun aku lebih cepat.
"Ayo, Atomu. Ayo bermain sungguhan, sekarang."
"....Cih."
Aku menoleh ke Kenta. Kami saling bertatapan.
Ayo, Kenta. Bergabunglah. Lakukan dengan caramu sendiri; itu akan baik-baik saja. Cobalah saja. Cobalah untuk berdiri di samping kami.
Aku menggiring bola ke kiri, lalu melesat maju. Atomu mengejarku. Dia bahkan mencengkeram lengan baju olahragaku, namun aku menepisnya dan berlari lebih cepat. Kaito berlari di garis tengah. Aku mengoper bola kepadanya dengan punggung kaki kananku.
"Umpan yang bagus, Saku!"
Kaito berpura-pura menembak, namun itu hanya tipuan. Sebaliknya, dia mengoper bola kepada Kazuki di sisi kanan. Saat dia melakukan itu, aku menemukan celah dan menerobos untuk mencetak gol.
Kazuki dijaga oleh tiga pemain, namun dia berhasil menghindari mereka, dan menembak ke arahku.
"....Cetaklah gol, Saku!"
Atomu mendekatiku. Aku berpikir untuk melakukan tendangan voli langsung, namun Atomu berada di sisi kaki kananku. Dan sang kiper, Inomata, telah memposisikan dirinya di jalan menuju tembakan potensialku.
Aku menahan bola dengan dadaku, lalu menahannya dengan lututku. Atomu mendekatiku, menekanku. Aku harus membelakangi gawang untuk menghindarinya.
"Oh, ini akan bagus."
Sambil menendang bola ke udara, aku mengayunkan kakiku ke belakang dan tanpa berpikir panjang menendang bola lurus ke bawah lapangan di belakangku.
PWHOOSH!
Inomata meraihnya, namun bola itu mengenai bagian belakang gawang.
Yuuko, Nanase, Haru, dan Yua semua berteriak kegirangan.
"Saku-kun!!! Itu keren sekali!!!!”
"Tembakan yang bagus, Chitose!"
"Yeay!!"
"Umpan yang bagus, Yamazaki-kun!"
Aku mendarat dengan keras di pantatku, dan itu agak sakit. Sebenarnya, itu sangat sakit. Namun aku harus berpura-pura tidak merasakannya. Aku harus bersikap tenang.
Jangan tiru ini di rumah, anak-anak!
"Di mana kau belajar melakukan tendangan sepeda seperti itu? Gak mungkin itu di klub bisbol, pastinya."
Kiper, Inomata, berlari kecil, mengerutkan keningnya.
"Aku mungkin bukan pemain sepak bola berpengalaman, tapi kau seharusnya gak meremehkanku. Tekukan punggung, salto ke belakang, tembakan dunk, kopling ganda, angkat tumit, tendangan salto. Aku berlatih semua jenis teknik olahraga yang mencolok di SD dan SMP. Aku seorang atlet, tahu."
"....Kau itu benar-benar brengsek, apa kau tahu itu?"
Aku melihat ke atas. Langit luas dan biru, seperti lautan.
Peluit akhir berbunyi, menandai kekalahan kami.
✶
"Oke, Kazuki. Oke, Kaito. Mari kita jaga energinya tetap tinggi, oke?"
Kedua sahabatku berkicau "Baik, pak!" dari kedua sisiku. Lalu kami membentuk formasi.
"Monyet!"
"Gorila!"
"Simpanse!!"
Lompat, lompat. Kami mulai melompat seperti kelinci.
"Monyet!"
"Gorila!"
"Simpanse!!"
Yuuko, Nanase, Haru, Yua, dan gadis-gadis lain semua memperhatikan kami, tertawa terbahak-bahak.
"Ya ampun, perutku sakit!"
"Mereka lucu sekali! Lihat mereka melompat-melompat seperti itu!"
"Seseorang tolong rekam video ini, cepat!!!"
Inaba, Inomata, dan orang-orang itu mulai mengejek-ejek kami, namun mereka juga mulai tertawa terbahak-bahak, ketika mereka menyadari bahwa menganggap hal seperti ini terlalu serius adalah hal yang konyol. Dari sudut mataku, aku bisa melihat bahwa Atomu berbicara dengan Kenta lagi, yang pasti membuatnya kesulitan sekali lagi.
Tapi itu tidak apa-apa.
Malah bagus.
Jika kelas olahraga tidak ada gunanya, jadi buatlah itu menyenangkan. Dan kali ini, kelas itu menyenangkan. Selain itu, permainan dengan semacam hukuman cenderung mengandung unsur risiko, dan itu membuatnya semakin menghibur. Daripada mendorong seseorang agar terhindar dari hukuman, mengapa tidak menikmati sensasi kemenangan dan sengatan kekalahan bersama?
Kami tahu bahwa "nilai sosial" kami tidak akan terpengaruh oleh kekalahan dalam permainan atau karena kami harus menerima hukuman. Selama kami bisa membuat semua orang tertawa, kami akan tetap menang.
"Lebih keras, lebih keras! Ayo kita minta penonton bersorak bersama kita sekarang! MONYET!"
"GORILA!!!"
"SIMPANSE!!!"
Suara kami, dan suara orang banyak, bergema di lapangan olahraga yang kering dan berdebu dan menghilang tertiup angin.
✶
Sepulang sekolah, Yuuko dan aku menunggu Kenta di kelas. Kami sudah sepakat untuk berjalan pulang bersamanya agar kami bisa membicarakan strategi untuk rapat besar besok. Namun, Kenta dipanggil ke ruang guru. Rupanya, dia lambat menyelesaikan semua tugas sekolah yang terlewat, dan Kura memberinya banyak pekerjaan rumah tambahan. Yang lain sudah pergi latihan klub.
"Kelas olahraga hari ini lucu sekali. Kalian terlihat sangat imut saat melompat-lompat, Saku-kun."
"Hee. Sepertinya aku berhasil membuat semua gadis terpesona bahkan saat melompat-lompat seperti kelinci yang imut."
"Uh, gak. Kamu benar-benar payah sepanjang pertandingan. Kecuali untuk tembakan terakhir itu. Orang-orang lain mengalahkanmu."
"....Salahkan Kenta untuk itu."
Yuuko tertawa kecil.
"Oke." Katanya.
"....Tapi Kentacchi juga cukup lucu. Aku melihatnya mencoba menendang bola, meleset, dan jatuh terduduk, sampai lima kali."
"Anak itu punya koordinasi seperti anak kambing. Aku bahkan gak percaya dia bisa mengendarai sepeda. Kami kehilangan setidaknya sepuluh peluang mencetak gol karena dia."
"Uemura, Inaba, dan orang-orang itu benar-benar mengolok-olokmu. Kata mereka kamu itu bukan apa-apa, cuma besar omong saja."
"Hmm... kurasa aku sudah muak dengan kejenakaan Kenta. Aku harus mempertimbangkan untuk melepaskannya dari Tim Chitose suatu saat nanti."
"Dia benar-benar menjadi orang yang cukup normal akhir-akhir ini. Dia gak memiliki daya tarik yang lucu seperti di awal."
Saat Yuuko dan aku bercanda, aku mulai berpikir kembali. Kenta benar-benar telah berkembang pesat. Yuuko memanggilnya orang normal... itu sebenarnya pujian yang tinggi, berdasarkan dari mana Kenta itu memulai.
Besok akan menandai babak baru dalam hidupnya, aku yakin akan hal itu. Setidaknya, aku benar-benar berharap begitu.
"Ah, Kentacchi!"
Panggil Yuuko.
Aku menoleh dan melihat Kenta berdiri di ambang pintu kelas.
"Apa kau dihajar habis-habisan oleh Kura-san?"
Aku memanggilnya, namun dia hanya berdiri di sana, tangannya terkepal. Astaga, sepertinya dia pasti diberi banyak pekerjaan rumah.
"Hei, kami menunggumu. Paling gak yang bisa kau lakukan adalah membelikan kami beberapa kopi untuk jalan-jalan...."
"....Apa kau serius mencoba bersikap seolah gak terjadi apapun?"
Suara Kenta terdengar tercekik.
Yuuko dan aku saling bertukar tatapan. Kami berdua tampak seperti memiliki tanda tanya kecil di atas kepala kami.
"...Apa yang terjadi?"
"Jangan bohongi aku!!"
"....Seperti yang kukatakan, apa yang kau....?"
"Diam!!"
Kenta berteriak. Akhirnya dia menyadari bahwa dirinya benar-benar marah.
"Kau dan Yuuko-san hanya menjelek-jelekkanku dan menertawakanku, bukan?! Itulah yang Uemura katakan padaku setelah pertandingan sepak bola itu! Dia berkata kalian semua telah mengolok-olokku sejak awal!"
Aku tidak bisa menyangkal bahwa kami pernah menertawakan Kenta. Itu fakta. Namun, kami tidak membicarakannya di belakangnya atau sengaja mengolok-oloknya. Dan kami tentu saja tidak mengatakan apapun yang tidak akan kami katakan di hadapannya.
"Kentacchi, kamu salah paham. Kami gak—"
"Yuuko-san."
Aku menggelengkan kepalaku, memotong ucapannya.
Berdiri dari kursiku, aku menuju ke pintu untuk berhadapan langsung dengan Kenta.
"Teruskan. Apa selanjutnya? Apa kau akan mengungkit trauma dari teman-teman otaku-mu lagi?"
"....Aku tahu ada yang gak beres begitu kelas olahraga dimulai! Kau tahu aku gak punya bakat olahraga, tapi kau tetap saja mengoper bola kepadaku dan anak-anak lain yang juga payah! Kau ingin kami mengacau supaya kalian semua bisa menertawakan kami!"
"Aku mengoper bola kepadamu karena itulah yang biasa kau lakukan selama pertandingan. Itu namanya kerja sama tim. Pertandingan tidak akan seru kalau hanya pemain berbakat yang menguasai bola. Dan kami tertawa karena kami temanmu. Lagipula, semua orang menertawakan kami saat kami melakukan lompat kelinci, kan? Aku terus bilang kepadamu bahwa kelas olahraga itu tentang bersenang-senang. Aku hanya ingin membuat pertandingan ini menyenangkan untuk semua orang."
"Jangan bohong!"
Kenta gemetar, jelas tidak terbiasa dengan konfrontasi.
"Kau seharusnya gak berpura-pura, kalau memang itu niatmu! Kau bilang ingin bersenang-senang dengan 'semua orang', tapi jelas itu bukan, pada akhirnya kau harus meninggalkan kami supaya kau bisa menunjukkan betapa kerennya dirimu! Mencetak gol itu dengan tendangan tipuan itu.... kau sama buruknya dengan Uemura! Kalian berdua sama saja!"
"....Aku gak akan menyangkalnya. Kami ingin bersenang-senang, sama seperti kami ingin kalian bersenang-senang. Dan mengapa kau mengecualikan Kaito, Kazuki, dan aku ketika kau mengatakan 'semua orang' seperti itu? Apa maksudmu kami harus menyembunyikan kemampuan kami sepanjang waktu dan hanya fokus untuk mendukung kalian anak-anak yang tidak atletis?"
Kenta menghantamkan tinjunya ke pintu.
"Seharusnya kau gak menyeretku ke dalamnya sejak awal! Apa kau tahu betapa menakutkannya kelas olahraga bagi anak-anak yang gak populer seperti kami?! Yang bisa kami lakukan hanyalah berdoa agar bola gak datang ke arah kami! Jauh lebih mudah bagi kami untuk bertahan dan menghindari masalah! Hanya orang-orang yang atletis dan brengsek sepertimu yang menganggap menyenangkan untuk mendapatkan kesempatan memegang bola!"
"....Aku mencoba memberimu semua nasihat. Begitu juga Kazuki dan Kaito. Maksudku, lihatlah seberapa banyak peningkatanmu di akhir permainan, dibandingkan dengan di awal. Tidakkah kau merasa senang mempelajari keterampilan baru....?"
"....."
Kenta tampaknya kesulitan memilih kata yang tepat. Mungkin apa yang kukatakan agak mengena. Namun, dia sudah keterlaluan dalam kemarahannya untuk mundur sekarang.
Kenta langsung berteriak lagi.
"....Jadi aku sedikit meningkat? Terus kenapa?! Aku masih ada di sini hanya untuk membuatmu terlihat lebih baik! Kau bicara seolah-olah kau itu sangat murah hati dan baik, tapi kau hanyalah salah satu dari anak-anak populer yang dangkal yang selalu mencoba menjatuhkan orang lain untuk mencapai puncak! Kau gak tahu bagaimana rasanya gak populer! Oh, mari kita oper bola ke pecundang yang malang itu, beri dia rasa bagaimana rasanya menjadi bagian dari kelompok! Seluruh keberadaan orang-orang sepertimu berputar di sekitar menginjak-injak orang lain!!!"
"Aku... minta maaf."
Aku menundukkan kepala, sejujurnya merasa tidak enak. Mungkin Kenta benar. Mungkin kami memproyeksikan perasaan kami sendiri ke anak-anak lain di kelas. Kami pikir permainan di mana kami tidak menyentuh bola adalah buang-buang waktu, sama sekali tidak menyenangkan. Dan kami benar-benar percaya bahwa mempelajari hal-hal baru itu menyenangkan. Itu sebabnya kami mencoba memberikan nasihat seperti itu.
Tidak seorang pun dari kami tahu bagaimana tindakan kami dapat berakhir menyakiti orang lain. Berapa banyak orang lain yang telah kusakiti dalam hidupku, hanya karena tidak memahaminya? Kali ini, aku salah. Dan itu tidak dapat disangkal.
Namun, Yuuko menggelengkan kepalanya atas apa yang kukatakan, dan berbicara kepada Kenta, bukan kepadaku.
"Tunggu dulu, Kentacchi. Kurasa itu sudah cukup. Kamu benar-benar berpikir Saku-kun seperti itu? Setelah menghabiskan waktu bersamanya? Kamu pikir dia tipe orang yang suka menertawakan kegagalanmu di belakangmu? Kamu pikir dia menyerahkan bola itu padamu hanya untuk melihatmu mengacau, supaya dia bisa memamerkan betapa atletisnya dia dibandingkan denganmu?"
Kupikir Yuuko bersikap sedikit kasar. Dia menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan dengan suara yang lebih ramah.
"Dengar. Saku-kun telah melakukan semua ini karena keinginan tulusnya untuk membantumu. Dia bersedia bersamamu sampai akhir, bukan? Tidakkah kamu bisa mengerti itu?"
Kenta meringis, berbagai macam emosi saling beradu di wajahnya.
Kenta punya banyak hal yang harus dikerjakan. Atomu mencoba mengusik mentalnya, perasaan traumanya atas apa yang terjadi dengan kelompok otaku-nya, perasaan tidak mampunya sendiri setelah seumur hidup tidak populer, kecemasannya atas pertemuan yang akan datang dengan teman-teman lamanya besok... semua itu digabungkan dan membuatnya meledak.
Aku merasa menyesal tidak dapat memprediksi hasil ini dan memberinya lebih banyak dukungan sebelum hal itu terjadi.
"Itu gak apa-apa, Yuuko-san. Aku mencoba menjelaskannya kepadanya. Bagaimana perbedaan antara intimidasi dan ejekan ramah terletak pada seberapa nyaman lawan bicara satu sama lain. Aku kira dia belum cukup nyaman denganku. Jadi aku seharusnya tahu di mana harus menarik garis... aku benar-benar minta maaf, Kenta."
Mata Kenta dipenuhi air mata saat dia menghentakkan kaki ke mejanya untuk mengambil tas sekolahnya. Kemudian dia menghentakkan kaki ke pintu kelas. Aku memanggilnya.
Aku mungkin telah gagal sebagai pelatih kehidupan, namun aku tetap ingin dia tahu bahwa aku mendukungnya.
"Kenta! Berikan yang terbaik besok. Dan kuharap semuanya baik-baik saja."
Namun Kenta tidak berbalik. Dia hanya berjalan keluar.
✶
"....Apa kamu yakin ingin membiarkan semuanya seperti ini, Saku-kun? Kentacchi benar-benar salah tentang semuanya!"
Setelah itu, aku memutuskan untuk mengantar Yuuko pulang. Dia tinggal sekitar lima belas menit berjalan kaki dari Lpa. Cukup jauh dari sekolah, namun entah mengapa aku tidak ingin sendirian.
"....Itu gak apa-apa. Lagipula, ini hanya akan berlangsung selama tiga minggu."
"Apa yang akan kamu lakukan besok? Apa kamu akan pergi dan mengantarnya?"
"Gak. Aku juga ragu dia ingin aku ikut. Kami hanya mulai bergaul karena keinginan sesaat. Sepertinya ini saat yang tepat untuk mengakhirinya. Keadaan baik-baik saja seperti ini. Mulai besok, kami akan berada di jalan masing-masing."
"Jika kamu bersikeras begitu, aku gak akan mengatakan apa-apa lagi buat itu...."
Jalan Raya Nasional 8 melewati daerah ini, jadi itu semacam pusat sektor industri Fukui. Namun, hanya beberapa jalan dari jalan raya, dan sejauh mata memandang, semuanya adalah sawah. Kami memilih untuk mengambil salah satu jalan tanah kecil melalui sawah untuk menghindari lalu lintas jalan raya yang padat, meskipun itu menambah beberapa menit perjalanan.
Sebuah kaleng kosong menggelinding di tanah.
Saat kami berjalan, hanya kami berdua yang terlihat.
Sawah kini terisi air, dan memantulkan matahari terbenam. Angin bulan April mengirimkan riak-riak di permukaan air.
Seekor burung gagak terdengar dari suatu tempat yang jauh. Seorang lelaki tua dengan sepatu bot panjang berjalan cepat melewati kami dengan skuter tua.
"Nee, Saku-kun.... tiga minggu terakhir ini cukup menyenangkan. Biasanya, gak banyak yang menyenangkan dari meyakinkan teman sekelas untuk kembali ke sekolah, tapi itu membuatku berpikir bahwa.... itu adalah hari-hari yang akan kita kenang kembali saat kita dewasa, tahu?"
"Ya. Kurasa ini akan menjadi salah satu peristiwa yang tak terlupakan yang akan terkenang selamanya. Sebuah kenangan langka sekali seumur hidup."
"Tapi kurasa sekarang sudah berakhir. Kuharap reuni Kentacchi dengan teman-teman lamanya berjalan lancar."
Ada nada damai dalam suara Yuuko yang sangat cocok dengan keheningan matahari terbenam.
"Semuanya akan baik-baik saja. Kita sudah mengajarinya dengan baik selama tiga minggu terakhir."
"Ya, kamulah yang berjuang, Saku-kun. Kamu gak perlu bersikap malu-malu dan berusaha membuatnya terdengar seperti kerja kelompok."
"Tapi memang seperti itulah. Lagipula, kamu sudah banyak membantu, Yuuko-san."
"Ya. Aku sudah menjadi orang yang selalu ada untukmu. Itu hanya karena aku ingin dekat denganmu, setidaknya pada awalnya. Tapi, di tengah jalan, aku mulai ingin menyemangati Kentacchi kita. Sekarang aku menganggapnya sebagai teman. Tapi jika kamu gak memulai semua perubahan hidup ini, aku pasti gak akan terlibat. Maksudku, aku cukup yakin dia gak akan pernah bisa berubah...."
Yuuko tersenyum lembut.
"Tapi itulah perbedaan antara kamu dan aku, Saku-kun. Kurasa itulah yang dibutuhkan untuk menjadi pahlawan, ya?"
Kurasa senja membuat semua orang mulai merasa sentimental.
Kuharap sepuluh tahun dari sekarang aku bisa mengingat kembali momen ini, mengingat kata-kata yang Yuuko katakan padaku, dan tersenyum.
"Kamu membuatku terdengar jauh lebih baik daripada yang sebenarnya. Aku hanya ingin terlihat keren di mata orang-orang sepertimu, dan Yua-san, dan anggota kelompok kita yang lain. Aku ingin kalian berpikir, Waah, Saku itu memang hebat. Tapi begitulah akhirnya aku menyakiti perasaan Kenta. Aku bukan pahlawan. Aku hanya anak populer dari kota kecil yang ingin terlihat keren."
"Aku gak ingin pahlawanku bertindak seolah-olah mereka tahu mereka adalah pahlawan. Orang yang benar-benar baik adalah mereka yang gak pernah yakin seberapa baik mereka sebenarnya."
"Tolong. Jangan memujiku seperti itu. Aku gak tahan tekanan. Kalau aku jatuh, kamu akan kehilangan kepercayaan padaku dalam sedetik, tahu?"
"Kamu gak bakal jatuh, Saku-kun. Kamu itu kuat, dan kamu itu baik, dan aku menyukaimu. Sangat menyukaimu."
"....Hmm, gak yakin aku bisa benar-benar mempercayai seleramu dalam memilih laki-laki."
"Geh, itu terdengar menyakitkan. Seleraku itu sangat bagus! Aku sudah menghabiskan banyak waktu dengan banyak orang, sejak aku kecil."
Tidak seperti Yuuko yang bersikap begitu filosofis.
"Baiklah, kalau begitu aku akan mencoba mempercayaimu. Sebisa mungkin."
"Bagus. Karena perasaanku gak akan berubah. Mungkin gak akan pernah."
Kami sampai di rumah Yuuko. Dia menoleh padaku sambil tersenyum.
"Mau masuk untuk minum teh? Kurasa orang tuaku belum pulang...."
"Mungkin lain kali. Kalau waktunya.... spesial."
Sampai jumpa. Sampai jumpa.
Kami melambaikan tangan saat senja mulai turun.