Pikiran Oliver menjadi kosong. Dia belum pernah melihat seorang gadis menangis sebelumnya. Rasanya seperti ada tombak yang ditusukkan ke dadanya. Dia tidak bisa mengerti itu. Apa yang telah dia pelajari dalam dua bentrokan singkat yang berjumlah kurang dari sepuluh detik itu? Mereka baru mengenal satu sama lain selama dua hari. Tidak mungkin dia bisa mengerti apa yang gadis itu rasakan.
"......Jangan menangis."
Namun, meski tidak tahu apapun, sebuah pikiran menguasai benak Oliver : Dengan segenap kekuatannya, dia ingin menghentikan air mata itu.
"Hei... Aku bilang jangan menangis."
Di depan mata Nanao, kuda-kuda anak itu berubah dari gaya ortodoks Lanoff midstance menjadi kuda-kuda diagonal yang lebih rendah yang tidak cocok dengan salah satu dari tiga gaya dasar. Apapun itu, tak seorang pun di ruangan itu yang bisa memahami artinya.
Namun......
"......Terima kasih."
Hanya gadis Azian itu yang mengerti : Oliver menjadi serius.
Semangat bertarung mereka mengamuk, melebur bersama. Seolah menanggapi, cahaya dari mantra pengaman di sekitar pedang mereka menghilang.
Terlebih lagi, semua yang ada di ruangan itu menghilang dari kesadaran mereka, kecuali kehadiran mereka satu sama lain. Kebisingan itu hilang; dunia terasa ditutup, semurni dan setenang mungkin.
Itu adalah sinyalnya—tidak akan ada yang menghentikan pedang mereka sampai salah satu dari mereka mati. Tanpa sedikit pun keraguan, mereka berdua melangkah maju—
"Cukup!"
Tepat sebelum mereka bisa bentrok untuk ketiga kalinya, Garland melompat di antara mereka, dengan tegas mencegah pertarungan mereka.
"Aku bilang sudah cukup, tuan Horn, nona Hibiya! Turunkan senjata kalian!"
Mereka membeku, masih mencengkeram pedang mereka. Instruktur membentak mereka dengan kasar.
"Sudah kubilang di awal— Duel ini hanya pertunjukan kecil untuk bersenang-senang. Aku tidak mengatakan kepada kalian untuk bertarung sampai mati."
Wajah Oliver semakin pucat setiap detik. Itu benar, duel itu seharusnya tidak lebih dari duel pura-pura. Jadi apa yang sedang dia lakukan?
"Sejauh duel hari pertama ini berlangsung, itu sudah cukup bagus."
Kata Garland, lebih lanjut memarahi mereka.
"Sekarang, sarungkan pedang kalian dan istirahatlah. Aku melarang kalian menggunakan senjata kalian lagi sampai kalian berdua bisa tenang. Paham?"
Oliver dengan rasa bersalah menyarungkan pedangnya; Nanao dengan menyesal melakukan hal yang sama.
***
"Um..... Apa yang baru saja terjadi?"
Tanya Katie dari posisinya di antara murid yang menonton, wajahnya terlihat bingung. Guy, Pete, dan banyak murid lain di sekitarnya sama-sama tercengang.
"Aku tidak menyalahkanmu karena kamu tidak mengerti itu. Duel mereka adalah duel level tinggi yang luar biasa." Kata Chela dari jarak tertentu di belakangnya.
Gadis itu melanjutkan, kali ini berbicara kepada orang banyak.
"Biar aku jelaskan dari awal. Pertama, serangan awal Nanao—serangan dari kuda-kuda yang sangat tinggi, yang diblok oleh Oliver dengan cukup baik. Aku yakin sembilan puluh persen dari kalian di sini tidak akan mampu melakukan hal yang sama. Kecepatan gerak majunya yang tidak menentu, dikombinasikan dengan bobot serangannya yang penuh sihir — dia akan menebas siapa saja yang mencoba untuk bertemu dengan pedangnya. Hal yang sama berlaku untuk siapa pun yang mundur karena takut. Dia akan langsung menindaklanjuti dan memotongnya."
Chela menarik Athame-nya dan mulai mereplikasi duel dari sudut pandang Oliver. Tangan kanannya terulur di tengah seperti yang dia lakukan, dia berhadapan dengan versi imajiner dari Nanao.
"Untuk memblokir sesuatu seperti itu, kalian harus melangkah sendiri. Gerakannya itu memotong lintasan serangan di pangkalan sebelum bisa mendapatkan momentum. Kemudian, putar siku dan tarik kembali pergelangan tangan kalian, ayunkan kaki dan lengan kanan saat berputar. Jika kalian tidak melakukannya, pergelangan tangan kalian akan hancur saat terjadi benturan itu."
Chela bergerak saat dia berbicara, perlahan meniru gerakannya seketika. Para murid itu mendengarkan dengan penuh perhatian pada analisis ahlinya saat dia melanjutkan dengan lancar.
"Dari sini, hal itu menjadi sulit. Pukulan awal dibelokkan, seperti yang aku jelaskan, namun dalam Grapple, keunggulan pedang dua tangan menjadi jelas. Mencoba untuk mengambilnya secara langsung hanya akan menghasilkan kekalahan. Jadi, untuk memecah kebuntuan, Oliver menggunakan Grave Soil, mantra dasar dalam gaya Lanoff. Dengan membidiknya saat dia memberi beban pada kaki depannya, dia mampu membuat lawannya kehilangan keseimbangan."
Chela mengarahkan ujung pedangnya ke kakinya. Sebuah pertanyaan terbentuk di benak Katie.
"Aku bisa mengerti itu dari menontonnya, tapi Oliver tidak mengacungkan tongkatnya ke tanah. Jadi bagaimana dia menggunakan sihir untuk membuat Nanao tidak seimbang?"
"Teknik itu adalah teknik yang disebut Spatial Magic. Biasanya, mantra terbang dari ujung tongkat seseorang. Tapi pada jarak yang sangat dekat, adalah mungkin untuk mengarahkan mantra itu dengan keinginanmu terlepas dari arah tongkatmu. Misalnya seperti ini."
Saat Chela mengatakan itu, semburan listrik melintas langsung ke sampingnya—tepat di depan mata Katie. Dia menjerit dan melompat kembali. Dia telah menggunakan sihir, namun Athame-nya masih mengarah ke kakinya.
"Seorang pemula cenderung mengalihkan pandangan mereka ke arah target mereka, tapi Oliver..... Mantranya memiliki akurasi yang tepat tanpa menggerakkan matanya. Itu adalah keterampilan lain yang sangat mengesankan."
Mata Chela beralih ke Oliver dan Nanao.
Agak jauh dari mereka, keduanya bisa mendengarkan penjelasannya dengan bingung. Mereka tampaknya tidak puas dengan itu.
"Sekarang, untuk melanjutkan. Dengan Nanao yang menepi ke depan, tentu saja Oliver bergerak menyerang dari belakang. Tapi di sini, kita melihat respon yang luar biasa dari Nanao. Dia langsung memindahkan berat badannya ke kaki kirinya yang bebas dan melepaskan tusukan tepat di belakangnya saat dia berputar. Merasakan serangan balik ini, Oliver menghentikan serangannya di tengah jalan dan melompat mundur untuk membuat jarak yang lebih jauh di antara mereka."
Kali ini, Chela menghidupkan kembali duel tersebut dari sudut pandang Nanao. Menusuk ke belakang dan melihat Oliver imajinernya mundur, Chela meninggikan suaranya sedikit lebih keras.
"Di sinilah hal itu menjadi sangat menarik. Dalam sekejap, mereka serentak melancarkan serangan. Di pihak Oliver, teknik itu adalah Encounter tingkat lanjut dari gaya Lanoff. Gaya lain menggunakan sesuatu yang serupa, namun karena dia menggunakan sikap gaya Lanoff, kita akan mengatakan seperti itu. Jelasnya, aku tidak bisa menjelaskannya sepenuhnya, tapi menganggapnya sebagai teknik balasan untuk menjatuhkan serangan lawan dan kemudian membunuh mereka."
"Mengenai Nanao..... Astaga, aku terkejut. Seperti yang kalian lihat — aku tidak bisa mengklaim untuk mengetahui gaya yang dia gunakan, tapi tekniknya persis sama dengan yang digunakan Oliver. Instruktur dan bahkan negara mereka sangat berbeda, namun mereka bentrok menggunakan teknik yang sama, seolah-olah mereka telah mendiskusikannya sebelumnya, dan saling menyerang secara langsung dengan akurasi yang benar-benar luar biasa. Tidak ada yang bisa mendaratkan serangan mematikan, dan hasilnya berakhir seri."
Para duelist menyeberang, lalu saling menjauh. Chela, setelah sepenuhnya menciptakan kembali duel tersebut, menyarungkan pedangnya. Kemudian dia mengalihkan pandangannya kepada seorang murid yang sendirian dari jaram agak jauh.
"Berapa banyak serangan Nanao yang mungkin bisa berhasil kau blokir, tuan Andrew?"
".........!"
Chela sedang berbicara dengan anak laki-laki berambut panjang yang telah memilih Nanao sebagai lawan duel pura-puranya sebelumnya. Dia panik, tidak bisa memberikan jawaban, dan dia menghela napasnya.
Chela kembali ke instruktur seni berpedang itu.
"Master Garland. Aku minta maaf untuk mengatakan ini sebelumnya, tapi bahkan jika tuan Andrew dan aku harus berduel, duel itu tidak akan lebih baik jika dibandingkan dengan yang sebelumnya. Aku dengan hormat menarik permintaanku dan memintamu melanjutkan pelajaran."
"....Ok. Jika itu yang kamu inginkan, maka baiklah."
Garland mengangguk, sedikit lega. Dia memberi isyarat bahwa kelas akan dimulai lagi, memecahkan para murid dari kesenangan sementara mereka. Satu per satu, mereka kembali ke jalur semula.
Maka, kelas seni berpedang mereka yang sangat kacau berakhir. Oliver termasuk yang pertama meninggalkan kelas. Dia berjalan menyusuri aula akademi sendirian, merenungkan dengan saksama apa yang telah terjadi.
"..........."
Oliver hanya tidak bisa mengerti. Mengapa dia melakukan hal itu? Mengapa dia kehilangan dirinya dalam duel dengan gadis itu? Saat dia dan Nanao beradu pedang, dia sangat terkesan dengan kekuatannya. Hal itu memang benar.
Akibatnya, rencananya untuk menjaga berbagai hal tetap ringan telah berantakan. Namun, dia tidak menyesali bagian itu. Pelatihannya selama bertahun-tahun langsung menunjukkan diri, yang seharusnya membuat penyihir mana pun senang.
Tapi masalahnya adalah apa yang terjadi sesudahnya. Setelah menjauhkan diri setelah bentrokan ketiga mereka, mendapatkan kembali sedikit ketenangan, dan menghadapinya lagi — saat itulah dia melihat air mata itu.
"........!"
Pada saat itu, semuanya telah rusak. Alasan dan logikanya—hilang tanpa jejak. Hanya dorongan untuk menjawabnya yang muncul dalam dirinya, yakin bahwa ada kekosongan yang hanya bisa dia isi. Dengan insting yang mendorong punggungnya, dia mengambil sikap mematikan yang dia bersumpah tidak akan pernah mengungkapkannya.
".....Itu ceroboh."
Oliver mengepalkan tangannya dengan erat. Namun, dia yakin dia juga merasakan ketulusannya. Dalam kesunyian total itu, Oliver ingat mencapai saling pengertian—Kami bertarung sampai salah satu dari kami mati. Itu pasti bukan keinginan sepihak. Pada saat itu, sebuah kontrak telah menyatukan takdir pedang mereka.
"Oliver!"
Sebuah suara yang akrab terdengar di telinganya, menariknya keluar dari pikirannya yang berulang itu.
Dia tersentak kembali ke kenyataan dan melihat dia berbelok di sudut aula. Nanao berlari ke arahnya.
"Kamu di sana! Kamu menghilang tepat setelah kelas berakhir, jadi aku terus mencarimu ke mana-mana!"
Gadis itu berhenti di depannya, berseri-seri polos seperti anak anjing yang ramah. Oliver kehilangan kata-katanya.
"Duel sebelumnya luar biasa—benar-benar luar biasa."
Lanjut gadis itu.
"Sejujurnya aku bisa mengatakan bahwa aku tidak pernah mengalami momen yang lebih memuaskan dalam hidupku, sejak aku pertama kali mengangkat pedangku hingga hari ini."
Gadis itu berbicara dengan penuh semangat, matanya penuh rasa takjub. Tiba-tiba, dia melihat ke bawah dan membuat kepalan tangan yang kuat.
"Satu-satunya penyesalanku adalah kesenangan itu dirusak di tengah jalan. Bahkan sekarang, aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang mungkin terjadi. Hatiku membara karena merindukannya—tidakkah kamu juga merasakan hal yang sama? Apa kamu tidak merasakannya juga?"
"............"
Oliver tetap diam, tidak bisa menjawab.
Tidak salah lagi, dia merasakan hal yang sama, Nanao mengangkat kepalanya, matanya berbinar karena gembira.
"Jadi, aku memintamu berduel denganku lagi, Oliver!"
Kata Gadis itu kepada anak itu.
"Lain kali, kita bisa berduel sesuka hati kita tanpa di ganggu oleh apapun!"
Nanao bersikeras, benar-benar serius—Lain kali kita bertarung sampai mati. Permintaannya sangat bertentangan dengan ekspresi polos di wajahnya.
Rasa dingin menjalari tulang punggung Oliver.
"Tidak!" Oliver menjawab secara naluriah, mematikannya sepenuhnya.
Ekspresi Nanao menegang.
".....Heeh?"
"Aku berkata tidak. Aku tidak akan pernah melawanmu lagi. Dan aku benar-benar tidak akan pernah mau melakukannya lagi."
Kata Oliver kepada gadis yang membeku itu. Setelah mengatakannya dengan lantang, rasanya sangat alami. Tidak ada alasan untuk melakukan duel mematikan dengan sesama murid.
"T-Tapi kenapa?"
Namun, gadis itu tampaknya tidak mengerti bahwa hal itu adalah jalannya. Dia terguncang sampai ke intinya, suaranya bergetar. Rasa bersalah menusuk hati Oliver meskipun dia tidak bisa disalahkan.
Air mata kristal yang dia saksikan selama duel mereka — ingatannya masih segar di benaknya, dia berusaha mempertahankan sikapnya yang dingin.
"Bukankah sudah jelas? Aku tidak ingin membunuhmu, atau dibunuh olehmu."
Di situlah dialog yang bermakna berakhir. Oliver berbalik dan pergi, mengakhiri pembicaraan. Nanao menyaksikan dengan bingung saat dia menghilang ke kejauhan, setetes air mata mengalir di pipinya.
"........Tapi kenapa....?"
***
Periode kedua adalah studi Spellology. Sebelum anak-anak kelas satu berkumpul di bangku, seorang penyihir tua berjubah berwarna redup muncul.
"Selamat datang di Study Spellology. Aku instruktur kalian, Frances Gilchrist. Dan sepertinya setiap tahun, aku ditakdirkan untuk benar-benar kecewa melihat kalian semua."
Para murid terkejut dengan awal kelas yang keras ini.
"Benda logam yang tidak sedap dipandang di pinggang kalian itu..... Bagaimana bisa kalian menyebut diri kalian sebagai seorang penyihir saat memakainya? Aku tidak bisa memahaminya. Mungkin mereka diperlukan untuk non-penyihir yang malang, tapi kita hidup berdampingan dengan misteri dunia ini. Hanya tongkat yang sesuai untuk hal itu."
Sambil menghela napasnya, instruktur tua itu mengeluarkan tongkatnya dari pinggangnya. Katie mengangkat tangannya, tidak bisa menerima ini.
"M-Maafkan aku, Instruktur."
"Ya? Siapa namamu, nak?"
Perhatian penyihir itu langsung tertuju kepada gadis berambut keriting itu. Setelah Katie memperkenalkan diri, Gilchrist mengangguk dan memintanya melanjutkan.
"Baiklah, nona Aalto. Bagikan pemikiranmu tentang kami."
"Y-Ya, Bu. Kamu menyebut mereka 'Benda logam yang tidak sedap dipandang', tapi semua staf pengajar Kimberly memakai Athame kecuali dirimu. Kepala sekolahnya bahkan seorang pengguna seni berpedang yang terkenal. Apa kamu juga bermaksud untuk menghina mereka, Instruktur?"
Katie bertanya secara konfrontatif.
Ruang kelas berdengung, namun instruktur tua itu tidak terganggu.
"Pertanyaan yang bodoh. Aku menghormati sesama instruktur, dan aku jelas tidak berniat menodai nama baik kepala sekolah. Namun, mengingat semua itu—tidak ada seorang pun di akademi ini yang hidup lebih lama sebagai penyihir daripada aku."
Ekspresi Katie berubah kaget. Gilchrist dengan lembut meletakkan tangannya di dadanya.
"Aku tahu bagaimana para penyihir dahulu kala menampilkan diri mereka. Inilah mengapa aku bertindak seperti yang aku lakukan, tidak peduli berapa banyak orang yang menyebutku sebagai orang tua yang ketinggalan jaman." Tatapan instruktur tua itu beralih dari Katie ke murid lainnya.
"Tapi ini tidak cukup untuk meyakinkan kalian, kurasa."
Lanjut Gilchrist.
"Jadi izinkan aku untuk mengkritik tren seni berpedang yang baru-baru ini.... Seperti yang kalian ketahui, penyihir di seluruh dunia mulai menggunakan Athame setelah kekalahan memalukan Badderwell. Untuk mempertahankan diri dari serangan non-penyihir, kata mereka—slogan yang terdengar mudah. Namun, apa kalian tahu apa hasilnya?"
Pertanyaannya tertinggal di udara saat dia menghela napasnya dalam-dalam.
"Hal ini cukup menggelikan, sungguh. Dengan penurunan kematian dari non-penyihir, terjadi peningkatan kematian akibat kekerasan dari penyihir ke penyihir lain. Itu menciptakan alasan untuk membawa pedang setiap kali kalian pergi menemui seseorang. Dan bagi mereka yang akan merugikan pesaing mereka, ini merupakan keuntungan."
Keheningan melanda para murid. Alat pertahanan diri yang berubah menjadi senjata untuk menyakiti orang lain adalah evolusi yang sangat alami.
"Mempertimbangkan fakta ini, aku dapat mengatakan dengan pasti bahwa popularitas Athame tidak membuat dunia sihir lebih aman, namun malah merusaknya. Ini adalah kenyataan yang tak terbantahkan, yang akan mudah dipecahkan jika kalian semua mengganti pedang kalian dengan tongkat sihir. Namun, hal itu tidak begitu mudah dilakukan. Kamu yang ada di sana, dapatkah kalian memberitahu kami alasannya?"
Pertanyaan itu diajukan kepada Oliver yang sedang duduk di pojok kelas. Kehadiran Nanao membuatnya tidak fokus pada kelas, yang pasti sudah diperhatikan oleh instruktur itu. Dia membawa dirinya dan berdiri.
".......Karena mereka diperlakukan sebagai kejahatan yang diperlukan. Misalnya, ketika seorang penyihir dengan Athame melakukan kejahatan, mereka yang mencoba membawanya ke pengadilan harus dengan peralatan itu atau malah dirugikan karena itu. Bisa dibilang senjata itu sebagai bentuk pertahanan diri, itulah sebabnya tidak ada yang mau melepaskan pedang mereka."
"Tepat sekali. Siapa namamu, nak?"
"Oliver Horn, Bu."
"Jawaban yang bagus. Aku berharap untuk melihat lebih banyak dari ini." Kata Instruktur itu, menunjukkan bahwa tanggapannya memuaskan.
Oliver membungkuk sedikit dan kembali duduk ketika matanya bertemu dengan mata Pete. Dia membalasnya dengan tersenyum ringan, yang hanya membuat Pete dengan cepat mengalihkan pandangannya. Senyum Oliver berubah canggung; Butuh beberapa saat sebelum mereka menjadi lebih dekat.
"Seperti yang dikatakan tuan Horn, bukanlah hal yang mudah untuk menggulingkan praktik buruk setelah itu mengakar. Namun, itu bukan alasan untuk berpuas diri di dunia modern kita. Justru karena semua orang begitu nyaman dengan adanya Athame itu di seluruh masyarakat penyihir, aku mencoba mengingatkan orang lain tentang waktu yang lebih baik, ketika hal-hal seperti itu tidak ada." Gilchrist memberi kuliah.
Matanya tertuju padanya, Guy berbisik kepada orang yang duduk di sampingnya, Chela.
"....Hei, apa itu berarti dia telah hidup selama lebih dari empat ratus tahun?"
"Kamu tidak tahu itu? Dia adalah salah satu dari sedikit penyihir di semua masyarakat penyihir yang secara langsung mengalami kehidupan 'pra-Badderwell'."
"Yang benar saja?" Guy bingung.
Tokoh bersejarah yang masih hidup itu menghentikan kuliahnya dan menoleh ke murid-muridnya, yang masing-masing bahkan lebih muda dari cicitnya.
"Dengan semua yang aku katakan itu, aku hanya memiliki sebuah keyakinan sederhana — jika kalian adalah seorang penyihir, selesaikan masalah kalian dengan sihir. Itu saja."
Kesimpulan itu jelas menyebabkan para murid itu mengerutkan keningnya. Lagi pula, bukankah kesulitan ini menjadi alasan para penyihir pasca-Badderwell yang menggunakan pedang?
"Aku bisa melihat kalian semua berpikir kalau itu tidak mungkin. Tapi ini adalah perwujudan dari ketidakdewasaan kalian. Izinkan aku memberi kalian sebuah contoh." Kata Gilchrist kepada para murid yang ragu itu. Tiba-tiba, siluet muncul di sekelilingnya.
Setelah dibebaskan dari kamuflase mereka, mereka tampak seperti konstruksi dengan berbagai bentuk. Di wajah mereka ada enam mata kaca, dan anggota tubuh mereka dihubungkan dengan sambungan bola. Gerakan mereka sangat detail, namun mereka tidak memberikan kehadiran kehidupan.
"Whooa, Marrionette!"
"Kamu di sana, orang yang berbicara. Siapa namamu?"
Instruktur itu segera memilih Guy. Dia dengan cepat melompat dan memperkenalkan dirinya.
"Itu salah, tuan Greenwood." Instruktur itu mengoreksinya dengan tegas.
"Mereka adalah Automata. Mereka adalah familiar buatan tangan yang dibuat oleh penyihir dan dapat bergerak tanpa perlu mengontrol setiap tindakan mereka."
Saat Instruktur itu berbicara, Automata bergerak membentuk lingkaran pertahanan di sekelilingnya. Formasi mereka sempurna; Oliver menjadi gugup karena efisiensi mereka yang jelas.
"Apa kalian mengerti sekarang? Bahkan penyihir yang paling tidak terampil pun dapat menopang pertahanan jarak dekat mereka seperti itu. Automata ini bahkan tidak harus menjadi Automaton — familiar binatang buas juga akan melakukannya. Daripada itu, jika kalian mempelajari teknik ini sampai menguasainya, opsi untuk mengangkat pedang dan bertarung akan menghilang dari pilihan kalian." Kata Gilchrist dengan percaya diri, lalu memberi isyarat kepada para murid.
"Jika menurut kalian Automata tidak dapat diandalkan, aku mengundang kalian untuk mencoba memotong mereka. Jika kalian dapat memotong salah satu lengan mereka dengan pedang kalian, kalian mungkin bisa meyakinkanku untuk merevisi kebijakanku."
Oliver dengan gugup melihat ke arah Nanao, khawatir dia akan menerima tantangan itu seperti yang gadis itu lakukan selama kelas seni berpedang. Tapi yang mengejutkannya, gadis Azian itu tetap diam di sisi Katie sepanjang waktu.
***
"......Sobat, aku terhanyut oleh itu. Maksudku, aku agak berharap, tapi hal itu jauh lebih intens dari yang kukira."
Dengan berakhirnya kelas pagi, sekarang sudah siang. Atas permintaan Guy, mereka memutuskan untuk makan di luar, dan setelah membawa makanan dari kafetaria, mereka berenam menemukan bangku di luar gedung akademi untuk duduk dan makan.
"Sama seperti kelas Spellology. Ini baru hari pertama, dan aku sudah kenyang dengan teori. Dan ada apa dengan membuat kita melakukan seni berpedang terlebih dahulu, lalu dengan kelas berikutnya yang memberitahu kita bahwa itu semua tidak berguna? Apa-apaan maksudnya itu?"
Guy mengeluh, menjejali mulutnya dengan sandwich terbuka berisi bacon dan selada. Di sebelahnya, Pete makan makanan yang sama, tapi dengan sikap yang jauh lebih terkendali.
"Aku sangat setuju dengan apa yang dikatakan instruktur." Jawab Pete lembut.
"Tapi aku tidak setuju bahwa dia benar dalam semua hal."
"Yah, itu memang aneh. Pete, maukah kamu memberitahujuku alasannya?"
Tanya Chela penasaran. Pete membetulkan letak kacamatanya sebelum menjawab.
"Automata itu jelas-jelas sangatlah kuat. Seorang pemula sepertiku tidak akan bisa memotong bagian tubuhnya tidak peduli berapa kali aku mencobanya. Dan beban untuk mengendalikan banyak familiar sekaligus juga tidaklah normal."
Kali ini, Katie yang mengangkat kepalanya dari makan siangnya yang baru setengah dimakan.
"Kamu benar tentang itu. Aku bisa memanggil familiar yang lebih sedikit, tapi jika aku memiliki terlalu banyak sekaligus, aku akan kelelahan dalam waktu singkat. Penampungan sihir meningkat dari waktu ke waktu dan dengan pelatihan, namun masih ada batasnya. Dan juga tidak semua orang sama."
"Bahkan jika kita semua bisa melakukan itu, kita tidak akan bisa menggunakan sihir itu untuk hal lainnya. Itu berarti mantra kita yang lain akan dibatasi, yang menjadikannya tidak praktis. Satu-satunya alasan dia dapat menerapkan teorinya adalah karena dia memiliki penyimpanan sihir yang sangat besar." Oliver menduga.
Setelah mendengar mereka berbicara, Chela tersenyum.
"Itu benar. Tetap saja, aku percaya Instruktur Gilchrist memahami hal itu ketika dia berbicara tentang cita-citanya. Bahkan jika kita tidak bisa menirunya, kita harus menemukan solusi sihir lainnya. Berapa pun usia kita, kita harus terus memoles keterampilan kita dan tidak membiarkannya berkarat. Mungkin inilah makna utama di balik keyakinannya, 'Jika kalian adalah seorang penyihir, selesaikan masalah kalian dengan sihir,'" Kata Chela.
Katie menyilangkan lengannya dan hmm.
"......Kamu ada benarnya. Dia tampak tegas, tapi mungkin dia juga seorang guru yang baik. Terlebih lagi dia ingat namaku."
"Siapa yang akan melupakan orang yang menantang mereka? Dan kamu benar-benar harus berhenti mengeluarkan setiap pendapat yang kamu pikitkan, karena kamu payah dalam berdebat."
"Be-Berisik! Aku akan segera mengisi kekosongan itu dalam pengetahuanku! Dan aku tidak menantang setiap pendapat! Itu benar-benar pemikiranmu saja!"
"Nona terhormat, pendapatmu itulah yang paling tidak masuk akal."
"Kamu!"
Katie memukul bahu Guy yang menggodanya. Tidak pernah ada saat yang tenang dengan mereka berdua.
Menatap mereka sekilas, Chela berpaling ke Nanao, yang belum mengucapkan sepatah kata pun.
"Kamu tampak sedikit murung, Nanao. Apa semua studi asing ini membuatmu lelah?"
"......Mm, tidak, aku baik-baik saja. Aku hanya merenung sebentar." Jawab Nanao lemah lembut. Dia bahkan belum menyentuh makanannya.
Chela menggelengkan kepalanya dengan ramah.
"Tidak perlu memaksakan dirimu. Tidak ada yang akan menyalahkanmu jika kamu meluangkan sedikit waktu untuk membiasakan diri dengan lingkungannya sebelum memaksakan diri. Untuk saat ini, fokus saja untuk menyesuaikan diri dengan suasana di Kimberly."
Katanya, mengambil sandwichnya sendiri dan menggigitnya. Nanao mengikutinya namun hampir tidak membuatnya tergigit sama sekali, nafsu makannya yang sebelumnya tidak dapat ditemukan.
***
Setelah istirahat singkat mereka selesai, mereka pindah ke luar ruangan untuk melanjutkan pelajaran mereka.
"Ah, murid baru. Selamat datang di kelas biologi magis. Aku instruktur kalian, Vanessa Aldiss. Ingat itu."
Suara pertama yang mereka dengar berasal dari seorang wanita berpakaian kasual. Kelas dibagi menjadi enam kelompok di sekitar meja kerja besar yang dia kelilingi sambil berbicara.
"Izinkan aku bertanya dulu: Apa ada di antara kalian ada yang pecinta binatang? Apa kalian atau orang tua kalian mendukung hak asasi manusia?"
Pertanyaan anehnya membuat para murid itu saling memandang. Akhirnya, beberapa tangan mulai terangkat. Begitu sepertiga anggota kelas mengangkat tangan, Vanessa mendengus.
"Huh, banyak dari kalian tahun ini. Yah, aku benci mengatakannya, tapi kalian semua harus membuang cita-cita berharga kalian itu ke tempat sampah. Aku memperingatkan kalian untuk keuntungan kalian sendiri di sini. Jika tidak, kaliam tidak akan bertahan lama di kelasku."
Kerusuhan berdesir di wajah para murid itu atas peringatannya yang tiba-tiba. Di sebelah Oliver, Katie mengatupkan bibirnya. Tapi Vanessa tak kenal lelah.
"Izinkan aku menjelaskannya segera : Di kelas ini, kita akan menangani makhluk sihir, dan mereka dianggap sebagai 'sumber daya alam'. Tempat ini bukan tempat untuk cita-cita hidup bersama atau persahabatan kalian dengan binatang. Kalian tidak akan salah menganggap sumber daya ini mencakup segala hal selain manusia dan mereka yang memiliki hak sipil yang diakui. Kebetulan, Centaur dianggap sebagai sumber daya bahkan tidak sampai dua puluh tahun yang lalu. Pengadilan belum sampai pada kesimpulan tentang hak-hak sipil dari jenis mereka saat itu. Berburu, membunuh, dan memakannya benar-benar normal. Sial, aku bahkan mencintaiku beberapa tusuk sate hati Centaur. Aku masih belum melupakan fakta bahwa aku tidak bisa memakannya lagi."
"A-A-P—?!"
Tidak dapat mendengarkan pidato biadabnya lagi, Katie mengangkat tangannya ke udara, niatnya untuk berdebat jelas.
Vanessa menatapnya sekilas sebelum mengabaikannya.
"Mungkin membuang-buang waktu untuk berteori pada hari pertama kelas adalah hal yang normal, tapi aku lebih ke tipe tenggelam-atau-berenang. Ini pengalaman yang kalian butuhkan, bukanlah teori. Jadi topik hari ini adalah hal ini."
Dengan itu, Vanessa menarik tongkat putih dari pinggangnya dan melambaikannya. Tutup pada kotak kayu di tempat kerja mereka semuanya terbuka, dan para murid dengan rasa penasaran mengintip ke dalamnya untuk menemukan makhluk putih bersih berkerumun di dalamnya.
"Beberapa dari kalian mungkin sudah tahu, tapi makhluk ini adalah ulat sutera sihir. Serangga ini sepenuhnya dijinakkan berkat pembiakan selektif dan tidak dapat bertahan hidup kecuali diberi makan sihir oleh penyihir. Karena alasan ini, mereka sering mencoba ramah dengan manusia. Beberapa orang memeliharanya sebagai hewan peliharaan. Saat ini, mereka tidak berbahaya, jadi lanjutkan dan sentuh saja mereka."
Dengan berani, para murid itu dengan hati-hati mengulurkan tangan mereka ke arah makhluk itu. Serangga sihir itu ditutupi rambut putih halus.
Seukuran anak kucing berusia tiga bulan, mereka benar-benar mengecilkan varietas yang dibudidayakan non-sihir, tapi berkat bentuknya yang lembut dan mata bulat yang indah, kecil kemungkinan manusia akan merasakan keengganan yang terkait dengan serangga normal. Para siswa mengambilnya satu per satu, dimulai dari yang terdekat.
"M-Mereka sangat imut dan lembut!"
"Mereka juga benar-benar merangkak padaku.... Keluargaku tidak memelihara ulat sutera, jadi aku juga belum pernah menyentuhnya."
Serangga sihir merangkak ke arah para siswa tanpa hati-hati, yang dengan senang hati membiarkan mereka melompat untuk melihat lebih dekat. Sambil menyeringai melihat mereka, Vanessa memulai kuliahnya.
"Nilai makhluk ini jelas berasal dari produksi sutranya. Kepompong yang mereka buat untuk metamorfosis menjadi dewasa adalah apa yang kita panen. Mereka lebih besar dari ulat sutera biasa, menghasilkan lebih banyak sutera, dan menambah sifat sihir pada produk, tapi hal yang sangat istimewa tentang mereka adalah bahwa satu spesimen dapat membuat banyak kepompong."
"Heeh? Mereka tidak tumbuh menjadi dewasa?"
"Kalau dibiarkan dengan sendirinya. Tapi jika kepompong dipanen sebelum titik tidak bisa kembali, metamorfosisnya akan mengembalikannya. Mereka bisa hidup sebagai larva selamanya. Dengan memberi mereka makan sihir dan mengulangi proses ini, mereka dapat menghasilkan sutra dalam jumlah yang hampir tak terbatas dalam hidup mereka. Mereka pada dasarnya hidup untuk melayani manusia. Sayangnya, mereka bukannya tanpa kekurangan. Penyesuaian kontrol suhu dan lingkungan makan yang baik, selain itu, mereka memiliki ekologi yang cukup mengganggu. Biarkan aku mendemonstrasikan."
Dan dengan itu, Vanessa melangkah menuju meja kerja. Dengan kasar mengambil salah satu serangga dari kotak kayunya, dia mengangkatnya untuk diperlihatkan ke semuanya.
"Semua serangga di sini telah dinaikkan ke tahap tepat sebelum mereka dapat mulai memproduksi kepompong sendiri. Beri mereka sedikit sihir, dan mereka akan mulai berputar. Seperti ini."
Saat Vanessa berbicara, dia mendekatkan tongkat putihnya ke serangga itu. Detik berikutnya, makhluk itu berkedut dari sihir yang mengalir ke dalamnya dan mulai memuntahkan benang dari mulutnya. Bahan putih murni yang elegan menutupi tubuhnya dan sepuluh detik kemudian sudah menjadi kepompong penuh yang baru terbentuk. Para murid itu terkagum-kagum.
"Namun, bagian terakhir adalah bagian yang rumit. Yang ini berjalan dengan baik, tapi jika kalian memberi mereka terlalu banyak sihir, segalanya menjadi berantakan. Mari aku tunjukkan."
Vanessa meletakkan serangga lain di atas meja kerja dan membawa tongkatnya ke sana. Sejak awal, semuanya tampak sama seperti sebelumnya.
Tapi saat berikutnya, makhluk itu tersentak hebat karena masuknya sihir dan mulai memuntahkan benang hitam dari mulutnya. Para siswa menelan suara mereka saat mereka melihatnya menjadi tertutup kegelapan.
"Kepompong H-Hitam....?"
"Kembali. Dia akan segera menetas."
Vanessa memperingatkan, memindahkan para murid. Beberapa detik kemudian, mereka bisa mendengar suara gemerisik dari dalam kepompong, dan sesuatu meledak.
".......?!"
"Whoa!"
"Waaah!"
Cangkang luarnya yang hitam terbuat dari bahan yang tampak keras, sayap di bawahnya mengepak dengan kecepatan tinggi untuk mendorong serangga seukuran anak kucing itu ke udara. Para murid itu tersentak ketakutan melihat pola terbangnya yang seperti lebah dan bunyi klik rahangnya yang mengancam.
"Oke, oke. Flamma."
Melihat reaksi mereka, Vanessa melambaikan tongkatnya. Api berwarna oranye berkedip-kedip, membuat serangga hitam itu terbakar saat terbang dengan suara berdengung. Makhluk itu jatuh ke tanah.
Murid-murid menatap ke bawah dengan kengerian sunyi saat makhluk itu terbakar dan menggeliat. Begitu setengahnya menjadi abu, Vanessa meremukkan sisa-sisanya di bawah sepatu botnya dan berbicara lagi.
"Seperti yang baru saja kalian lihat, overdosis sihir mengubah mereka menjadi monster yang kejam. Itu adalah efek samping dari percepatan perkembangan mereka. Proses yang lembut mencegah hal ini terjadi, namun produksi sutera mereka terlalu lambat. Jadi, kalian harus menerima beberapa kerugian. Bahkan peternak ulat sutera yang paling berpengalaman pun akan kehilangan satu dari setiap tiga puluh larva."
Vanessa mengangkat bahunya, satu-satunya emosi yang terlihat adalah semburat penyesalan bahwa panen sutra akan berkurang satu serangga. Suka atau tidak suka, para murid itu sekarang tahu secara langsung apa artinya memperlakukan makhluk sihir sebagai sumber daya.
"Seperti yang mungkin sudah kalian duga, tugas kalian hari ini adalah melakukan langkah terakhir ini. Masing-masing dari kalian mendapat sepuluh cacing. Jika kalian dapat mendapatkan lima keberhasilan atau lebih, kalian bisa lulus. Kedengarannya menyenangkan, bukan?"
Para murid itu menelan rasa gugup mereka saat mendengar tugas prospektif mereka. Vanessa memberi mereka satu peringatan lagi.
"Dan juga, setiap ada kegagalan, kalian harus membersihkannya sendiri. Mereka tidak sulit untuk dibunuh—cukup bakar mereka dengan mantra api sebelum menetas, atau tusuk dengan Athame kalian. Kalian tidak diizinkan untuk membantu satu sama lain. Rahasianya adalah menganggap tongkat kalian sebagai sendok teh dan sihir sebagai air. Kalian ingin memberi mereka tiga setengah sendok teh sihir. Namun, setiap serangga memiliki takaran berbeda, jadi itu hanya perkiraan kasarnya. Apa yang aku katakan adalah, apa mereka hidup atau mati terserah pada kalian."
Dan tanpa memberi mereka waktu untuk bersiap, Vanessa bertepuk tangan.
"Sudah paham? Bagus. Sekarang, mulai bekerja!"
Hal itu persis seperti menjatuhkan seseorang yang tidak bisa berenang ke dalam air. Dengan tongkat di tangan dan hati yang goyah, banyak murid mengambil seekor serangga itu—dan persis seperti tahun-tahun sebelumnya, kekacauan meletus.
"Agh! Tiba-tiba menjadi hitam.....!"
"Cepat dan bakar itu, tolol! Jika menetas, kita tidak akan bisa menanganinya!"
"Berapa banyak tiga setengah sendok teh itu? Aku payah dalam pengukuran yang sangat detail ini...."
"Diam! Aku jadi tidak bisa fokus!"
Bahkan kesalahan pengukuran sekecil apapun akan merusak usaha mereka. Di sekeliling Chela, para penyihir dalam pelatihan itu berusaha mati-matian untuk berhasil sementara dia sendiri tampak kecewa.
"......Sungguh tugas yang mudah. Hal ini tidak akan memakan waktu sama sekali." Katanya, meletakkan sepuluh serangga berturut-turut di meja kerja.
Dia melambaikan tongkatnya di atas masing-masing secara bergiliran, menanamkannya dengan sihir dan membuat mereka meludahkan sutra. Namun, satu kepompong berubah menjadi hitam.
"Sembilan yang sukses dari sepuluh kepompong, dengan satu kegagalan. Yah, ini sudah cukup bagus. Flamma."
Begitu hasilnya keluar, Chela merapalkan mantra api pada kepompong hitam dan membakarnya. Mulut Guy menganga kaget karena sikap acuh tak acuhnya.
"G-Geez, kamu benar-benar tidak ragu sedikitpun...."
"? Bahkan seorang petani veteran akan kehilangan sekitar tiga persen serangganya, jadi satu kegagalan sudah cukup bagus. Mendapatkan skor sempurna tergantung pada keberuntungan murni. Jika kamu tidak akan menjadi petani sutra, tidak perlu berlatih terlalu serius untuk hal ini." Kata Chela, menjelaskan, seolah apa yang dia katakan sudah jelas.
Karena dia orang pertama menyelesaikan tugas mereka, dia melihat sekeliling ke arah teman-temannya.
"Oliver, aku yakin tugas semacam ini bisa kamu lakukan dengan cukup mudah. Aku akan melihat Nanao, jadi kenapa kamu tidak membantu Katie dan Pete?"
"T-Tidak ada bantuan untukku?"
"Guy, cobalah dulu dan gagal lima kali. Setelah kamu merasa sedih, kamu dapat meminta nasihatku."
"Sialan, apa sudah jelas aku payah dalam hal ini?"
Tampaknya tidak cocok dengan pekerjaan yang membutuhkan dedikasi, Guy mengangkat tongkatnya dengan pasrah.
Oliver mengalihkan perhatiannya; Dia mengkhawatirkan Nanao, tapi dia lebih mengkhawatirkan orang lain saat ini.
"......Katie, bisakah kamu melakukannya?"
Oliver dengan lembut bertanya.
Wajah Katie pucat saat menatap ulat-ulat di dalam kotak kayu itu. Setelah duduk membeku selama beberapa detik, dia mengangguk dengan kaku.
"A-Aku baik-baik saja. Aku ingin kamu tahu, aku pandai menyesuaikan manaku....!"
Katanya, seolah memanggil tekadnya sendiri.
Tangannya gemetar, dia menarik tongkatnya dari pinggangnya. Wajahnya jauh lebih serius daripada murid lainnya. Oliver tidak yakin apa dia harus mengatakannya lebih jauh. Akan sangat buruk jika dia mengacaukan konsentrasinya.
"Pete, apa kamu—?"
"Aku tidak butuh nasihat apapun. Kamu menggangguku, jadi jangan berdiri di belakangku."
Oliver menerima jawaban singkat yang dilontarkan kepadanya atas keprihatinannya. Tapi itu bukan seolah-olah dia tidak berharap banyak. Dengan patuh, dia melangkah pergi. Oliver mengambil ulatnya sendiri dari kotak kayu, satu mata tertuju pada Chela yang menginstruksikan Nanao.
"Kurasa aku akan menyelesaikan tugasku sendiri."
Oliver membariskan sepuluh ulat sutera sihir itu di atas meja kerja dan menanamkannya dengan sihir, seperti yang telah dilakukan Chela. Sembilan dari mereka berhasil seperti yang dia harapkan, namun satu gagal dan berubah menjadi kepompong hitam.
"..........."
Setelah ragu sejenak, Oliver dengan cekatan membetulkan posisinya dan menyembunyikan kepompong hitam di tempat yang tidak bisa dilihat Katie.
"......Flamma."
Dia melantunkan mantra, dan di depan matanya, kehidupan yang tidak diinginkan dengan cepat terbakar menjadi abu.
***
Dua puluh menit setelah Vanesaa memberikan tugas itu, dia, yang lebih banyak mengamati, berbicara kepada kelas.
"Baiklah, kurasa itu cukup. Nah, anak-anak? Apa kalian rata-rata mendapat tiga keberhasilan?"
Dia berjalan berkeliling melalui kelas itu, ekspresi sadis di wajahnya. Hasil siswa sangat bervariasi.
Vanessa menilai sisa-sisa hangus yang terlihat di meja kerja saat dia mungkin melihatnya seperti aksesoris di pasar, menyeringai gembira saat dia berjalan-jalan mengelilingi meja kerja para murid itu.
"Hmm, hmm.... Yah, lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, kurasa. Tidak ada yang diserang karena mereka gagal membunuhnya karena kesalahan mereka juga.... Hmm?"
Vanessa tiba-tiba berhenti bergumam pada dirinya sendiri. Saat mengunjungi meja kelima, matanya melihat Katie berhadapan dengan serangga itu, tongkat siap dan benar-benar diam. Di sekelilingnya, teman-temannya menyaksikan dengan napas tertahan.
"Hei, hei, kamu masih belum selesai? Kamu terlalu lama. Tugas ini hanyalah memberi mereka infus mana."
"Aku melakukannya sekarang! Tolong diamlah!"
Teriak Katie. Dia bahkan tidak lagi sadar dia sedang berbicara dengan Instruktur mereka.
Seluruh konsentrasinya tertuju pada ulat-ulat di depannya, menolak untuk gagal bahkan sekali dalam sepuluh kali percobaan. Oliver berkeringat karena melihat Chela muncul di sampingnya.
"Sebagian besar gagal, tapi Nanao akhirnya selesai. Apa yang terjadi di sini?"
".......Semuanya sudah selesai kecuali Katie. Dia sangat berhati-hati sejauh ini, yang beruntungnya dia memiliki sembilan keberhasilan, tapi....."
"Wah, itu luar biasa. Dia tidak perlu terlalu berhati-hati lagi, kalau begitu."
Melihat kebingungan di wajah Chela, Oliver menggigit bibirnya. Perasaan rumit berputar-putar di dalam dirinya. Hal itu bukan masalah kepribadian atau akal sehat. Chela berasal dari rumah sihir terkenal—di dunianya, semua ini normal, jadi sulit baginya untuk bersimpati dengan konflik Katie.
"Satu lagi.... Satu lagi....! Ini baik-baik saja. Aku bisa melakukannya....! Aku bersumpah akan menyelamatkanmu....!" Katie berulang kali berkata pada dirinya sendiri. Kemudian, akhirnya, dia mengayunkan tongkat sihirnya dengan penuh keyakinan.
Saat itu, angin sepoi-sepoi seperti jari dingin bertiup melintasi keringat yang dia buat di belakang lehernya setelah begitu banyak konsentrasi.
"Yeep! ......Heeh?"
Fokusnya hanya terselipkan sehelai rambut. Namun, itulah perbedaan krusial antara kesuksesan dan kegagalan. Di depan matanya, cacing yang kelebihan infus mana itu mulai memuntahkan benang hitam.
"Ah—ah, ah, ah.....!"
Warna hitam pekat yang tidak menyenangkan menutupi makhluk di tangannya. Keputusasaan memenuhi mata Katie saat dia melihatnya; bahunya bergetar, dan dia berdiri terpaku.
Merasa cemas, Oliver berlari kecil.
"Itu gagal, Katie! Cepatlah dan bakar itu! Dia akan segera menetas!"
Kepompong hitam itu akan segera dibakar. Hal itu adalah aturan terpenting dari tugas ini, dan itu lebih diprioritaskan daripada keberhasilan atau kegagalan.
Tapi Katie tidak mau melakukannya. Dia melemparkan tongkatnya ke meja kerja dan mengambil kepompong dengan kedua tangan.
"K-Katie?!"
"Masih ada waktu! Jika aku bisa melepaskan kepompongnya sebelum....."
Akalnya begitu terpanggang, Katie hanya bisa membuat rencana bodoh seperti itu. Dalam keputusasaannya, dia seperti orang tua yang menggendong anak yang sudah meninggal—hanya untuk menerima hukumannya karena melanggar hal tabu. Serangga itu, wajahnya menyembul keluar dari kepompong setelah mengunyah kepompongnya sendiri, dan tanpa ampun mengunyah tangan kanan gadis itu.
"Augh.....?! Ah-Ahhhhh....!"
"Itu tindakan bodoh. Sudah kubilang mereka kejam. Jika kamu tidak membunuhnya dengan cepat, makhluk itu akan memakan jarimu." Kata Vanessa, tidak terkesan.
Namun, dia tidak berusaha untuk campur tangan. Menyadari hal ini, Oliver dan Chela menarik Athame mereka dan mengiris serangga yang menyerang teman mereka.
"......Ah...."
Katie menyaksikannya, kaget, saat serangga itu jatuh ke tanah menjadi tiga bagian. Gigitan di tangannya sampai berlubang, tapi dia sepertinya tidak menyadarinya. Dia hanya terus menatap sisa-sisa kehidupan yang gagal dia selamatkan.
"Apa kamu baik-baik saja, Katie?! Tindakanmu itu sembrono, memasukkan tanganmu ke dalam kepompong yang gagal seperti itu!"
"Perlihatkan tanganmu! Aku akan segera merapalkan mantra penyembuhan—"
Chela dan Oliver meributkannya dari kedua sisi.
Nanao, Guy, dan Pete juga berlari, namun suara teman-temannya tidak lagi sampai ke telinga gadis itu.
"......Ah....Oh...."
Katie mengulurkan tangan kanannya yang berdarah ke arah sisa-sisa serangga itu, seolah melupakan semua rasa sakitnya. Wajah Oliver berkerut karena kesedihan.
Dia telah melihat ini datang satu mil jauhnya, namun tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikannya.
Vanessa, menyaksikan murid-muridnya yang peduli dengan ke teman mereka itu, mendengus dengan jijik.
"Hubungan sirkuit pendek, ya? Astaga, dan di hari pertama juga. Tuhan tolonglah aku, dengan orang-orang lunak dengan kehidupan yang nyaman ini...."
Kata-katanya tidak memiliki sedikit pun perhatian. Bahu Oliver berkedut. Melihat sekilas ekspresinya, Chela terkejut.
"......Instruktur, Katie juga terluka dalam pawai kemarin. Jarinya tidak terluka terlalu parah, jadi aku pikir dia hanya shock. Bisakah kita membawanya ke rumah sakit?" Oliver bertanya tanpa emosi, menolak untuk memandangnya.
Vanessa dengan kasar melambaikan tangannya.
"Ya, ya. Lakukan saja. Oh, dan, tuan Horn, nona McFarlane? Kalian gagal karena mengabaikan peringatanku untuk tidak membantu membersihkan kegagalan orang lain. Itu hukuman kalian berdua."
Vanessa menerapkan hukuman tanpa belas kasihan. Chela dalam diam menerimanya saat dia meminjamkan bahunya pada Katie dan berdiri.
"Aku tidak punya masalah dengan itu. Sekarang, ayo pergi, Katie. Aku akan mengantarmu ke ruang perawatan."
"Aku ikut denganmu. Guy, Pete, Nanao, tetap di kelas. Aku akan segera kembali."
Dan dengan itu, mereka meninggalkan ruang latihan luar ruangan, mendukung Katie dari kedua sisi. Begitu mereka cukup jauh, Chela berbisik kepada Oliver.
"Oliver, tarik napasmu dalam-dalam."
".....Hah?"
"Ada tatapan berbahaya di matamu. Aku merasakan kalau kamu mau menyerang Instruktur di belakang sana." Katanya, suaranya dipenuhi kegelisahan.
Oliver menggigit bibirnya dan menarik napas dalam-dalam. Tangannya masih bergetar karena amarah, dia berhasil menurunkan tangannya dari pedangnya.
***
Kelas biologi sihir berjalan tanpa mereka bertiga seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Setelah kelas selesai, Guy, Pete, dan Nanao kembali ke gedung akademi, tempat mereka bertemu dengan Oliver dan Chela di salah satu aula.
"Kelas sudah selesai, tapi..... sekarang apa? Apa kita semua pergi menemuinya kali ini?" Guy bertanya, menyarankan hal pertama yang terlintas di benaknya.
"Itu bukan ide yang buruk, tapi kupikir Oliver yang harus pergi duluan." Potong Chela.
Oliver mengangkat alisnya karena terkejut.
"Hanya aku? Kenapa? Bukankah kita berlima ada di sini."
"Karena kamulah yang paling mungkin mengerti perasaan Katie saat ini."
Kata Chela sambil menyilangkan tangan. Mengakui hal itu sepertinya menyakitinya.
"Aku tidak bisa bilang kalau aku bisa. Aku mengerti tentang menyayangi binatang, dan aku bisa menebak kalau dia trauma karena tidak bisa membuat kepompong ulat dengan aman. Tapi... Itu hanya dugaanku. Akj tidak bisa benar-benar berempati."
Oliver tahu bahwa kejadian ini telah membuatnya menyadari betapa berbedanya Chela dan Katie dalam memandang makhluk hidup. Dan dia takut menyakitinya lebih jauh dengan mencoba menghiburnya.
"Aku percaya Guy merasakan hal yang sama denganku." Kata Chela, melanjutkan.
"Nanao tidak menjadi dirinya sendiri sejak makan siang, dan Pete bukanlah tipe orang yang bisa menenangkan orang lain. Tersisa hanya dirimu saja, Oliver. Hanya kmau yang bisa berempati dengannya dengan cukup baik untuk mengetahui bagaimana menyemangatinya."
Ekspresi Oliver menegang, dan gadis itu menyilangkan tangannya dengan pernyataan kalau Oliver-lah orang yang paling tepat untuk peran ini.
Chela tersenyum dengan ekspresi sedih padanya.
"Aku yakin kamu tidak senang dengan tanggung jawab yang tiba-tiba ini. Jadi, jika kamu mengalami masalah, katakan saja. Kami akan bersamamu sebagai sebuah tim."
".....Oke, aku akan melakukannya. Aku tidak yakin seberapa bagus hasilnya, jadi tunggulah aku di kafetaria."
Setelah mengambil keputusan, anak itu berbalik dan melangkah pergi. Memikul beban kekhawatiran dan harapan teman-temannya, dia segera menuju ke tempat perawatan itu.
***
Setelah Oliver menerima hal itu, dia ada di sana untuk menjenguk seorang murid, dokter akademi menunjukkannya ke tempat tidur di belakang tempat perawatan itu. Merasakan gadis itu ada di balik tirai tertutup, Oliver dengan gugup berbicara.
".....Ini Oliver. Apa kamu tidak keberatan kalau aku masuk, Katie?"
"Oh—Tentu. Masuklah."
Jawabannya datang dengan cepat, dan Oliver melangkah melewati tirai itu. Gadis itu duduk diam di tempat tidurnya. Oliver tersenyum ringan.
"Maaf, karena hanya aku. Semuanya ingin datang, tapi aku pikir hal itu akan membuatnya lebih sulit untuk berbicara. Jika kamu lebih suka melihat yang lainnya, katakan saja....."
"Tidak, aku senang kamu datang.... Maaf sudah membuatmu cemas lagi. Ini hampir jam makan malam, bukan? Jangan cemas, aku akan segera kembali—"
Gadis itu berbicara dengan cepat dan mencoba berdiri, tapi Oliver menghentikannya dengan satu tangan.
"Duduk saja, Katie..... Tolong duduklah."
Oliver mendesaknya, dan Katie duduk kembali.
Oliver duduk di kursi tamu sehingga mereka saling berhadapan dan menghela napas.
"Aku tahu kamu akan mencoba memuluskan semuanya, tidak peduli siapa yang datang menemuimu.... Tapi jika kamu tidak keberatan, bisakah kamu meminjamkan waktumu sebentar? Aku ingin berbicara tentang sesuatu yang agak rumit, tentang diriku."
"Ah.... O-Oke."
Katie, merasakan keseriusannya, berdiri tegak di tempat tidur. Begitu dia siap, Oliver melanjutkan.
"Kita baru saja bertemu, dan tidak sopan jika tiba-tiba memintamu untuk terbuka kepadaku.... Jadi pertama-tama, apa kamu keberatan jika aku menceritakan sebuah kisah dari masa laluku?"
Gadis itu mengangguk.
Oliver berhenti untuk memilih kata-katanya, lalu memulai ceritanya.
"Ketika aku berusia tujuh tahun, aku memiliki hewan peliharaan. Namanya Doug. Dia hanya seekor Beagle biasa, tidak terlalu pintar, tapi dia manis dan sangat ramah. Karena aku adalah anak tunggal, kami menjadi sahabat dalam semalam. Kami melakukan semuanya bersama saat itu."
Senyum tipis menyentuh pipinya saat dia mengingat hari-hari bahagia itu. Katie mendengarkannya dengan penuh perhatian.
"Suatu hari, Doug tiba-tiba terserang demam. Dia tidak mau makan dan selalu merasa kesakitan. Aku sangat mencemaskannya. Ayahku memberitahuku bahwa demam itu adalah demam musiman, dan dia yakin kalau setelah istirahat seminggu, Doug akan baik-baik saja."
Ekspresi Oliver memburuk ketika dia mengingat penyakit anjing kesayangannya dengan sangat rinci.
"Tapi aku tidak bisa menunggu selama itu. Aku tidak tahan hanya duduk dan melihat Doug menderita.... Jadi aku mendapat sebuah ide untuk membuat obat untuk menyembuhkannya. Saat itu, aku telah mempelajari dasar-dasar mencampur ramuan sihir. Orang tuaku telah memberitahuku bahwa aki pandai dalam hal itu, jadi aku yakin bisa membuat sesuatu yang sederhana. Secara rahasia, aku membaca buku sihir orang tuaku, mengumpulkan bahan-bahannya, dan mencampurnya menjadi satu. Lalu aku memberikannya kepada Doug."
Oliver berhenti, mengepalkan tangannya. Kepalanya menunduk.
"Hasilnya menyedihkan.... Kurang dari satu jam kemudian, Doug mulai batuk darah dan meninggal."
"..........!"
Napas Katie tercekat di tenggorokannya. Matanya masih tertunduk, Oliver memaksa dirinya untuk melanjutkan.
"Aku menggunakan bahan yang salah. Aku memeriksanya kemudian, dan ternyata, aku telah mencampur tanaman yang sangat beracun dengan ramuan yang aku kumpulkan. Ramuan yang benar memiliki daun yang serupa namun bentuk akarnya berbeda. Jika aku bisa mengetahuinya, aku bisa membedakan mereka. Tapi aku belum cukup belajar, jadi aku tidak tahu bedanya. Jadi aku menggunakan tanaman itu tanpa mengetahui kalau tanaman itu beracun dan merebusnya di dalam panci. Aku memberitahu Doug bahwa ramuan itu akan membuatnya merasa lebih baik. Dia tidak pernah meragukanku sama sekali."
"..........!"
"Bukan seperti aku sedang mencoba membandingkannya dengan apa yang terjadi sebelumnya di kelas, tapi.... Aku hanya merasa bisa sedikit bersimpati. Itulah yang ingin aku katakan."
Dan dengan itu, dia menyelesaikan ceritanya tentang kesalahan yang menyakitkan dari masa kecilnya.
Keheningan panjang jatuh di antara mereka.
".......Aku juga punya banyak hewan di rumah."
Akhirnya, Katie mulai terbuka secara perlahan.
"Anjing, kucing, burung, reptil, magical beast besar, dan bahkan demi-human. Aku paling dekat dengan Patro, Troll kami. Dia menjadi pelindungku sejak aku masih kecil. Patro selalu baik. Ketika aku menangis, dia akan meletakkanku di bahunya dan mengajakku jalan-jalan. Pada malam-malam ketika aku tidak bisa tidur, dia akan tetap di sisiku dan menyanyikan lagu pengantar tidur untukku. Tahukah kamu kalau Troll itu bisa bernyanyi? Suara mereka terdengar aneh, seperti seruling yang terbuat dari kerang besar."
Kelembutan dalam suara gadis itu dan kelembutan ekspresinya membuat Oliver tersenyum. Menyadari tatapannya yang tenang padanya, Katie mundur sedikit karena malu dan tersenyum.
"Dari luar, keluargaku mungkin terlihat aneh. Guy mungkin benar. Orang tuaku memberitahuku bahwa mereka dulunya adalah orang Utopian. Ketika mereka masih muda, mereka berusaha keras mencari cara untuk menciptakan dunia di mana semua makhluk bisa hidup tanpa menyakiti satu sama lain. Dari vegetarisme hingga mengembangkan partikel sihir yang penuh dengan nutrisi, mereka mencoba segalanya.... Tapi ketika ibuku mengandungku, kurasa dia mempersempitnya menjadi perlindungan demi-human. Itu sebabnya—dan mungkin hal ini akan terdengar aneh, tapi ada daging di meja makan kami seperti milik para magical beast itu." Gadis itu menggigit bibirnya dengan getir saat dia mengingat itu.
"......Ya, aku juga makan daging dan ikan. Mereka tidak berbeda dengan serangga sihir itu. Aku mencoba memahami logika ibuku. Masyarakat tidak bisa maju jika kita melarang semuanya karena bisa merugikan orang lain. Ini berlaku untuk sihir dan non-sihir."
"............"
"Tapi perasaanku tidak bisa mengikuti. Aku tidak bisa berkomitmen pada cara berpikir seperti itu—bahwa semua makhluk selain yang diberikan hak sipil adalah sumber daya untuk digunakan penyihir. Aku tidak bisa menerima garis yang sudah ditarik itu. Aku tidak mau menerima apa yang berlaku normal di sini......!"
Katie memeluk lututnya dan dengan kasar menggelengkan kepalanya. Oliver dalam diam mempertimbangkan dilemanya sebelum berbicara lagi.
".....'Katakanlah 'surga' ini yang diyakini oleh non-sihir memanglah ada.'"
"......Heeh?"
"Kalimat itu adalah kutipan dari buku yang aku baca dulu. 'Para "malaikat" yang tinggal di sana tidak pernah lapar, haus, berkelahi, atau cemburu. Jika semua orang di sekitarmu seperti ini, maka mudah untuk bersikap baik.’" Katie menatapnya dengan tatapan kosong saat Oliver melanjutkannya.
"’Namun perut kami menjadi kosong, dan tenggorokan kami menjadi kering. Hal umum bagi seseorang untuk mempunyai lebih banyak roti; yang tidak kita sukai, kita lawan; dan mereka yang mengecoh kita, kita iri. Di dunia yang sangat sulit untuk bersikap baik, apa yang harus kita lakukan untuk memperbaiki diri?’"
Katie menelan napas. Kutipan itu selesai, Oliver menghela napasnya.
"Kutipan itu dari paruh kedua buku ini. Itu mewakili konflik yang dibawa oleh protagonis cerita. Setiap kali aku melihat orang menderita karena mencoba bersikap baik, aku ingat bagian itu."
"..........."
"Selama kita hidup di dunia ini, keterpurukan hingga kebaikan akan selalu ada. Bersikap baik pada dasarnya adalah melepaskan keuntunganmu. Hal ini tidak terbatas hanya pada perlakuan kita terhadap demi-human—memberikan roti kepada orang lain berarti ada lebih sedikit untukmu. Memberikan jubahmu kepada seseorang berarti kamu tidak punya apa-apa untuk menutupi dirimu saat cuaca dingin. Kamu tidak mendapatkan apa-apa darinya, dan itulah yang harus selalu diperjuangkan oleh kebaikan."
Katie menatap wajah Oliver saat dia berbicara.
Tidak ada orang lain selain orang tuanya yang pernah berbicara begitu serius dengannya sebelumnya.
"Jauh lebih mudah untuk hidup tanpa menghadapi rintangan ini. Tidak ada yang akan mengeluh jika kamu melakukannya. Tapi tetap saja, beberapa orang di luar sana masih melawan. Aku telah melihatnya sepanjang hidupku—orang-orang yang berusaha untuk bersikap baik meski menghadapi kesulitan."
Siapa yang dia pikirkan? Katie bertanya-tanya.
"Orang tuamu pasti sama. Jadi dalam arti tertentu, mungkin rumah tempatmu dibesarkan adalah rumah para malaikat, yang dipenuhi dengan kebaikan dan keramahtamahan, di mana semua makhluk hidu bisa hidup dalam kebahagiaan dan keharmonisan. Tapi sekarang, kamu telah turun ke Bumi dan mengalami kekejamannya. Jadi.... Kamu tidak bisa lagi menjadi malaikat."
".........!"
"Terserah kepadamu apa kamu menerima kenyataan ini dan terus hidup, atau menolaknya dan terus berjuang. Apapun pilihan yang kamu buat, hal itu tidak akan salah. Tidak ada yang akan menyalahkanmu atas posisimu. Tapi jika kamu membuat pilihan untuk mencoba bersikap baik kepada yang lain....."
Oliver berhenti dan menatap lurus ke matanya. Katie, terpesona, melihat kembali ke miliknya.
"Cara hidup seperti itu, menurutku, sangat mulia. Jauh, jauh lebih mulia daripada malaikat mana pun."
Kata-katanya mengandung kerentanan yang luar biasa. Sesaat kemudian, wajah Katie memerah.
"Um.... Er....."
Duduk di tempat tidur, dia menjatuhkan pandangannya dan dengan canggung menggeser bahunya. Oliver, menyadari pilihan kata-katanya terlalu berlebihan, dengan cepat meninggikan suaranya.
"P-Pokoknya.....! Apa yang ingin aku katakan adalah bahwa kamu pastinya tidak sendirian! Cara hidup kita terus-menerus ditantang oleh Bioethic dunia sihir, dan kita membuat kemajuan. Itulah alasan mengapa gerakan pro-hak sipil memiliki pengaruh yang begitu besar. Kamu tidak bertarung sendirian.... Kamu tidak bisa membiarkan dirimu berpikir bahwa pendapat Instruktur adalah segalanya."
Oliver menekankan, lalu menatap matanya lagi.
"Jangan terburu-buru, Katie. Kamu hanya melihat sebagian kecil dari Kimberly. Keputusasaan dan pilihanmu bisa menunggu sampai nanti. Carilah di akademi ini, dan aku yakin kamu akan menemukan individu yang berpikiran sama. Kami akan mendukungmu juga. Bahkan jika pendapat dan nilai kami berbeda.... Kita teman sekarang, bukan?"
Saat kata-kata itu sampai ke telinganya, seolah-olah ada beban yang terangkat dari pundaknya.
"Kamu benar. Kamu benar sekali, Oliver. Aku sangat bodoh. Apa yang aku pikirkan, mencoba untuk bergerak sendirian?"
Suasana hatinya benar-benar terbalik. Dunia tampak cerah kembali, dan dia melompat dari tempat tidur.
"Terima kasih, Oliver. Aku baik-baik saja sekarang. Kali ini, aku benar-benar lebih baik."
Suaranya tegas, kekuatannya hidup kembali. Oliver balas dengan tersenyum hangat padanya.
***
Satu jam kemudian, setelah selesai makan malam di Fellowship, keenam sahabat itu berjalan menyusuri lorong-lorong gedung akademi.
"Ahhh, itu bagus! Aku sangat kenyang!"
Kata Katie penuh semangat. Chela tersenyum sambil berjalan di sampingnya.
"Aku senang kamu merasa lebih baik. Aku tidak tahan untuk melihatmu ketika terlihat depresi sebelumnya."
Katanya, matanya beralih ke teman mereka yang lain. Nanao tetap diam selama sisa hari itu.
Lebih hidup kembali, Katie pindah ke teman di sampingnya dan mencoba memulai percakapan.
"Nanao, kamu baik-baik saja? Aku tahu bagaimana perasaanmu yang datang dari jauh sekali. Kamu pastinya rindu dengan rumahmu. Jika ada yang mengganggumu, beritahu aku. Aku akan selalu ada di sini untuk mendengarkan."
".....Mm. Terima kasih, Katie."
Nanao tersenyum lemah atas perhatian temannya itu. Dibandingkan dengan kemarin, seolah-olah api telah mati di dalam dirinya.
Dari sudut matanya, Oliver mengamatinya. Jelas itu ada hubungannya dengan pertengkaran mereka hari itu.
".....Oh."
Pete menghela napasnya, sepertinya menyadari sesuatu begitu mereka keluar dari gedung, dan dia berhenti. Yang lain memandangnya dengan rasa penasaran saat dia menggeledah tasnya. Dia mengerutkan kening, lalu membuka mulutnya.
"......Aku harus kembali ke dalam. Pergilah tanpa aku."
"Ada apa? Kamu melupakan sesuatu?"
"Hanya sebuah buku. Aku tahu di ruang kelas mana, jadi aku akan baik-baik saja sendirian."
Kata Pete dan berbalik. Saat itu, dua sosok orang segera muncul di kedua sisinya.
"Dua kepala lebih baik dari satu, kan, Pete?"
"Dan tiga seharusnya sangat meyakinkan, bukan?"
Terjepit di antara Oliver dan Chela, Pete panik.
Keduanya melanjutkan sinkronisasi sempurna.
"Kamu seharusnya tidak berharap menemukan barang hilang di Kimberly semudah di tempat lain."
"Peri iseng mungkin telah membawanya kembali ke sarang mereka. Apa kamu tahu apa yang harus dilakukan jika itu terjadi?"
Anak berkacamata itu mendecit "Erk!" Ketika mereka menunjukkan ini, dan mereka tersenyum. Sama seperti Nanao, Pete tidak terbiasa hidup sebagai penyihir.
Tidak mungkin mereka membiarkan dia kembali ke gedung akademi sendirian.
"Jangan khawatir. Aku sebenarnya cukup pandai menemukan barang yang hilang. Dengan gabunganku dan Oliver, aku jamin kami akan bisa menemukan hampir semua hal."
"Tiga lebih dari cukup. Nanao, Katie, kalian berdua kembali ke kamar dan tidurlah lebih awal. Dan, Guy, bukankah kamu akan membuat teman sekamarmu menunggu?"
".....Ya. Sulit bagiku untuk membaca dirinya, jadi alangkah baiknya jika kita bisa mendapat kesempatan untuk berbicara. Aku juga tidak pandai mencari barang, jadi kuserahkan hal ini pada kalian semua."
Jawab Guy sambil melambaikan tangannya. Katie dan Nanao mengangguk saat mereka melanjutkan sebagai pasangan. Pete mendengus; Oliver berangkat menuju gedung akademi.
"Kalau begitu. Ayo pergi!"
***
Gedung akademi sepi, seperti tempat yang berbeda dibandingkan dengan siang hari. Mereka bertiga berjalan menyusuri lorong dan segera tiba di tempat di mana Pete mengaku kehilangan bukunya.
"Kelas Spellology, ya? Pete, apa kamu duduk di sana?"
Oliver bertanya kepadanya.
"Itu benar. Kalau tidak ada yang memindahkannya, pasti ada di bawah meja....."
Jawab Pete dan berlari ke meja, lalu berhenti di tempatnya duduk selama kelas berlangsung.
Dia membungkuk dan mencari-cari di rak di bawah meja, jari-jarinya menyentuh sensasi familiar dari penutup kulit. Dia menghela napas lega.
"......Ketemu! Lihat, itu mudah."
"Yah, itu bagus." Kata Chela.
"Padahal aku sudah yakin kalau kita harus mengikuti beberapa jejak kaki peri."
"Atau hantu bisa mengambilnya. Pete, kamu sangat beruntung."
"Apa kalian mencoba menakutiku dengan sengaja?! Asumsi pertama kalian seharusnya adalah murid lain yang mengambilnya!"
Pete dengan hati-hati memasukkan buku itu ke dalam tasnya sambil cemberut karena lelucon mereka. Oliver dan Chela tersenyum.
"Tetap saja, aku senang bisa cepat menemukannya. Ayo kembali ke asrama sebelum larut." Kata Oliver.
"Ya. Masih terlalu dini bagi kita untuk bermalam di sini."
Kata Chela dengan setuju.
Mereka berdua mengangguk satu sama lain dan berputar. Pete sedikit mengernyit.
"......Apa... benar-benar kalau ada hantu dan peri?"
"? Tentu saja. Lagipula ini Kimberly."
"Tempat ini sangat berbahaya di malam hari."
Oliver mengingatkan.
"Saat itulah terjadi perambahan. Hantu adalah satu hal, tapi kamu juga bisa mengalami banyak hal yang lebih buruk. Mereka keluar dari kelas menuju aula. Saat mereka menelusuri kembali langkah mereka."
Oliver melanjutkan penjelasannya.
"Kimberly juga dikenal sebagai Kuil Akademi Iblis terutama karena sekolah ini dibangun sebagai penutup labirin besar—"
"Aku tahu sebanyak itu. Penyihir pertama yang menjelajahi kedalamannya adalah pendiri kami."
"Namun, ada satu masalah. Bangunan akademi adalah penutup yang menyegel sesuatu — namun kuil itu sendiri hidup." Kata Chela, menatap kakinya. Pete, di tengah-tengah langkah berikutnya, terlempar ke depan.
"Pada siang hari, sunyi, namun pada malam hari, ketika partikel sihir lebih padat, kuil itu terbangun. Di sinilah terjadi perambahan." Lanjut Chela.
"Kuil mulai muncul di beberapa tempat, dan batas antara itu dan akademi mulai kabur."
"Semakin larut, semakin kabur batasnya. Tidak banyak bahaya pada jam ini, tapi lebih lama lagi kita bisa diculik—"
Oliver berada di tengah kalimatnya ketika mereka bertiga membeku. Di depan mereka ada dinding batu yang membentang dari lantai ke langit-langit. Dinding itu muncul sangat tiba-tiba, dinding itu benar-benar memotong aula tempat mereka berjalan.
".....Jalan buntu. Apa kita salah belok?"
Pete berbalik dengan curiga. Namun, kedua orang di sisinya memiliki ekspresi yang jauh lebih mengerikan.
"......Kita salah jalan. Jalan itu sendiri yang berubah. Chela!"
"Ya!"
Mereka saling berteriak dan melompat ke sisi Pete, mengamati sekeliling mereka.
"Pete, jangan membuat gerakan tiba-tiba."
Oliver memperingatkan.
"Kita punya sedikit masalah di sini."
"Benar.... Aku juga belum pernah mendengar tentang perambahan yang terjadi begitu cepat setelah matahari terbenam sehingga memindahkan aulanya."
Ketegangan berat membebani percakapan mereka. Kebingungan muncul di wajah Pete atas apa yang terjadi.
"A-Apa kita akan baik-baik saja jika kita kembali ke jalan kita pergi? Ada banyak aula lain yang mengarah ke pintu keluar...."
"Tidak ada jaminan mereka belum dipindahkan juga. Ingat apa yang dikatakan Chela? Kuil itu hidup. Saat kita berbicara, Kuil itu membuat kabur akademi."
Saat Pete mendengar kata-kata itu dan menyatukannya dengan kenyataan di hadapannya, anak berkacamata itu merasakan hawa dingin merayapi tulang punggungnya. Belakangnya adalah jalan buntu, Oliver berbicara dengan tegas.
"Mari kita putuskan rencana tindakan kita. Aku katakan kita harus menunggu untuk bertemu dengan murid atau guru yang lebih tua sementara kita mencari jalan keluar. Apa semuanya baik-baik saja dengan itu?"
"Aku setuju. Aku dapat menggunakan mantra SOS, tapi aku ingin menyimpannya hingga saat-saat terakhir yang memungkinkan. Aku dapat menangani kerusakan yang mungkin terjadi pada reputasiku, tapi ada juga kemungkinan hal itu dapat menimbulkan sesuatu yang lebih buruk."
Keduanya setuju tanpa argumen. Pete terlalu bingung untuk berbicara.
"Heeh? Eh, ah—"
"Tidak perlu panik, Pete. Ini terjadi jauh lebih awal dari yang aku harapkan, tapi berbagai hal ini tidak biasa di Kimberly. Fakultas dan kakak kelas seharusnya berpatroli di akademi untuk mencegah siswa baru menghilang. Menjadi sedikit tersesat bukanlah akhir dari dunia—"
"Benar. Aku sangat senang kalian menanggapku dapat diandalkan."
Suaranya menawan, seperti madu yang menetes. Sebuah jari putih meluncur menembus kegelapan lengket yang menyelubungi labirin, memotongnya. Ketiga sahabat itu berputar ke arah suara itu datang dan menemukan seorang penyihir perempuan menyeringai dengan lebar kepada mereka.
"Tiga anak domba kecil yang tersesat.... Sungguh menggemaskan. Rasanya aku ingin memakan kalian."
Dia berjalan ke arah mereka, suara langkah kakinya bergema dengan sedikit jeda. Segera, Oliver melangkah maju.
".....Selamat malam. Kamu.... Kakak kelas, kan?"
"Ya. Namaku Ophelia Salvadori. Aku murid tahun keempat." Jawab penyihir itu, lalu memiringkan kepalanya dengan bingung dan meletakkan jari telunjuk ke dagunya untuk berpikir.
".....Aku masih tahun keempat? Aku sudah lama tidak muncul di kelas, jadi aku tidak yakin itu. Tapi aku pikir itu benar. Senang bertemu dengan kalian, anak domba kecil yang tersesat."
Dia tersenyum, kecantikannya yang mempesona cukup untuk meluluhkan indra seseorang.
Chella menelan rasa gugupnya.
"Oliver...."
"Ya, aku tahu."
Oliver mengangguk dengan hati-hati. Salvadori — sejauh yang mereka tahu, itu adalah salah satu nama orang yang tidak ingin mereka temui di labirin.
Keheningan yang sia-sia tidak akan membuat mereka keluar dari sini.
"Namaku Oliver Horn, murid tahun pertama. Aku tidak pernah membayangkan akan bisa bertemu dengan Salvadori yang terkenal di sini dari semua tempat."
"Oh, kau pernah mendengar tentangku?"
"Tentu saja. Aku pernah membaca tentang A Study of Rapid Development from Interbreeding Krakens and Scyllas sebelum aku menjadi murid di sini."
Bagus, Chela diam-diam menyetujui. Dia telah menetapkan bahwa mereka tidak bodoh, sesuatu yang akan dihadapi lawan ini jika gadis itu menganggap Oliver adalah tahun pertama yang naif. Sulit untuk mengatakan seberapa besar implikasinya yang diambil oleh gadis bernama Ophelia ini. Dia mempertahankan pose berpikirnya sebentar sebelum bertepuk tangan.
".....Ah, disertasi yang aku tulis di tahun ketigaku. Sangat memalukan. Aku yakin kamu pikir itu janggal."
"Tidak, aku hampir tidak percaya tahun ketiga telah menulis teori itu, belum lagi seberapa tepat logikanya.... Hal itu membuatku merinding." Tambah Oliver, tenggorokannya kering karena gugup. Sekarang dia dengan jelas menyatakan dia tahu kedalaman terornya.
Mulut penyihir itu meringkuk menjadi senyuman. Hanya itu yang diperlukan baginya untuk mengetahui kalau gadis itu mengerti.
"Kamu sangat bijak untuk tahun pertama. Bisakah aku tahu nama temanmu?"
"Sayangnya tidak. Jika kamu ingin berbicara dengan mereka, silakan lakukan pada siang hari."
Oliver mempertahankan rasa hormat minimal yang pantas diterima murid yang lebih tua sambil dengan tegas menolaknya. Usahanya untuk mendorong yang lain agar berbicara adalah bukti bahwa dia menganggap dia sulit untuk dibantah.
"Hee-hee-hee. Kamu tidak perlu terlalu takut. Benarkan, pria kecil?" Penyihir itu memanggil Pete dari balik bahu Oliver. Anak berkacamata itu tersentak.
".........."
"Pete?!"
Dia melangkah ke arah si penyihir itu, tatapannya kosong. Oliver mencengkeram bahunya dan menariknya ke belakang. Pada saat itu, hidung Oliver mencium aroma musky yang memikat yang mengelilingi area tersebut.
"Ini Parfum!" Oliver berteriak.
"Chela, tahan nafasmu! Sumbat hidung Pete!"
"Oke!"
Chela menangkap bahaya pada waktu yang hampir bersamaan dan menutupi wajah anak itu dengan tangannya. Oliver segera menatap Ophelia, yang wajahnya bercampur antara kekecewaan dan kekaguman.
"Kamu bisa menolakku? Hee-hee, kendali diri seperti apa yang kamu miliki."
"..........."
"Jangan terlalu marah. Aku belum menggunakan obat apapun untuk memikat temanmu. Ini hanya bagaimana diriku bekerja. Aku menyebarkannya hanya dengan hidup dan bernapas seperti biasanya."
Sedikit mencela diri sendiri meresap ke dalam nada bicaranya. Tapi saat berikutnya, nada itu menghilang.
Penyihir itu tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya.
"Nak, bukankah kalian agak terlalu jauh? Kenapa kalian tidak mendekat?"
Aromanya menjadi jauh lebih berat. Bau itu adalah bau mesum yang mengendurkan nalar dan memicu insting. Memanggil pengendalian diri dan rasa jijiknya, Oliver menahan godaan itu.
"Kami menolak!" Oliver berteriak dengan tegas.
"Ayo pergi, semuanya!"
Oliver berlari ke depan. Chela menarik tangan Pete yang kebingungan, dan mereka bertiga berlari melewati Ophelia. Tapi sebelum mereka bisa mencapai sepuluh langkah, pagar putih tak berujung terangkat menghalangi jalan mereka.
".......?!"
"Tidak perlu terburu-buru, nak. Dia itu merasa kesepian. Dia tidak akan membunuh kalian untuk menghiburnya sedikit lagi." Sebuah suara yang dalam dan jantan terdengar di aula.
Namun bahkan sebelum Oliver sempat berpikir untuk mencari sumbernya, dia tersentak melihat pemandangan di depannya. Tulang. Pagar-pagar itu semuanya terbuat dari tulang-tulang dari berbagai macam makhluk, yang saling terhubung tanpa henti.
"Namaku Cyrus Rivermoore, murid tahun kelima. Sepertinya, kalian cukup rajin belajar. Apa kau juga sudah membaca disertasiku, Oliver?"
Dari luar pagar aneh muncul seorang penyihir, bau kematian yang menyebabkan muntahan keluar dari arahnya. Mata gelapnya menilai mereka bertiga dengan aura bermartabat dari seorang pendeta sesat. Pete, yang baru saja dibebaskan dari kutukannya, tersentak saat merasakan tatapan Rivermoore padanya.
"Ugh..... Ah—"
"Tenaglah, Pete!"
Teriak Oliver dengan tegas, meraih lengan anak itu yang secara refleks meraih Athame di pinggangnya.
Pergelangan tangan Pete tersentak, lalu membeku. Chela meletakkan tangannya di atas Athame juga.
"Benar. Kalau kalian menariknya, maka itu sudah berakhir. Kalian hanya akan memberinya alibi untuk membela diri."
Penyihir bernama Rivermoore menatap Chela dengan gembira.
"Kau pasti putri dari McFarlane. Astaga, murid tahun pertama ini sangat tajam."
Orang itu terkekeh dari balik pagar tulang. Mereka bertiga berhadapan dalam diam melawan auranya yang mengancam saat penyihir itu perlahan mendekati mereka dari belakang.
"Lama tidak bertemu, Rivermoore. Aku yakin terakhir kali aku melihatmu berada di strata keempat. Apa kau sudah selesai dengan penghancuran orang mati di malam hari?" Ophelia bertanya.
"Sudah sifat manusia untuk menginginkan sentuhan daging segar setiap saat. Aku melihatmu sedang bertemu dengan mainan muda. Kau masih tidak bisa menahan dorongan dari tubuh bagian bawahmu, bukan, Salvadori Harlot?" Rivermoore menjawab dengan keakraban yang aneh dan cemoohan yang luar biasa.
Senyum menghilang dari wajah penyihir itu.
"......Kurasa kau siap mati jika berani memanggilku dengan nama itu."
"Ha! Apa kau sudah lupa bagaimana aku merobek setengah isi perutmu dalam pertempuran terakhir kita?"
"Ooh, aku belum melupakan. Itu sangat menyakitkan. Itulah sebabnya aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana aku akan bermain dengan isi perutmu saat kau masih bernapas."
Suasana menjadi lebih berat dengan setiap ancaman yang mereka lemparkan satu sama lain. Kebencian mereka yang mematikan memekik tidak menyenangkan seperti dua roda gigi raksasa yang tidak akan berbaris.
Bagi mereka yang terjebak di antara mereka, itu benar-benar siksaan karena pikiran dan kesadaran mereka tercabik-cabik.
"Ugh.... Ah.... Ahhhh!"
"Tenanglah, Pete! Semuanya baik-baik, semuanya baik-baik saja......!"
Oliver memeluk Pete, yang menyerah pada rasa takut, dan mati-matian berusaha menenangkannya.
Tidak akan bertahan lama sebelum mereka tidak bisa lagi menahannya.
Chela juga sangat menyadari hal tersebut dan berbisik dengan cemas.
"Kita harus lari, meski tampaknya mustahil. Kita akan terkena serangan nyasar jika kita tetap berada di tengah pertarungan antara tahun keempat dan kelima ini."
"Ya.... Aku akan menghitung mundur. Ketika aku memberi sinyal, larilah secepat mungkin."
Chela mengangguk dengan ekspresi pahit atas sarannya. Tidak ada jaminan mereka bisa kabur, tapi mereka tidak punya pilihan lain. Tak perlu dikatakan lagi kalau mereka pasti akan terkena dampaknya—jika pertarungan itu pecah sesaat saja, pertarungan itu akan menghantam mereka sekeras bencana alam mana pun.
".....Oke, sekarang!"
Oliver akan memotong pagar tulang dan lari, menolak untuk berhenti apapun yang terjadi di belakangnya. Menguatkan sarafnya, Oliver mulai bergerak ketika....
"Aku mencium bau pertempuran."
......Dengan anggun, seorang gadis Azian yang tidak asing bagi mereka muncul di sisi lain pagar tulang itu.
"......Nanao?"
"Mm? Ohhh. Oliver, Chela, dan Pete. Akhirnya aku menyusul kalian, Mmm?"
Melihat teman-temannya, Nanao berlari tanpa tanda-tanda kehati-hatian. Jarak di antara mereka menyusut di depan mata mereka — tiba-tiba, sangkar tulang baru tumbuh, membungkus mereka semua.
"?! Sial–!"
"Lebih banyak daging segar, hmm? Tahun-tahun pertama, jangan tinggalkan wilayahku, atau aku tidak bisa menjamin hidup kalian."
"Semakin banyak semakin meriah! Tunggulah sebentar, anak domba kecil. Aku akan segera ke sana untuk menyambut kalian semua."
Kata-kata mereka adalah tanda dimulainya pertarungan— dan penyihir dan sorcerer itu menarik Athame mereka pada saat yang bersamaan.
"Balthus."
Rapalan Ophelia bergema. Dadanya bersinar agak ungu, dan dari cahaya ungu misterius itu, sebuah lengan raksasa melesat maju. Hampir setebal tubuhnya, makhluk itu menggaruk-garuk di alam asing tempat dia berada sekarang.
"Congreganta."
Rivermoore mengikuti dengan mantranya sendiri. Tulang-belulang segala bentuk dan ukuran berkumpul di depan mata mereka, dengan cepat membentuk menjadi binatang berkaki empat. Melingkar dan siap menerkam, binatang tulang-belulang itu seperti serigala raksasa tanpa daging, atau singa yang berkeliaran di alam kematian.
"Ha! Begitu yah, kau telah melahirkan anak yang jahat lagi."
"Aku tidak sudi mendengarnya dari orang yang tidak busa berhenti bermain dengan tulang. Aku heran kenapa kau tidak bosan dengan itu."
Mereka berdua saling mengolok-olok satu sama lain, masing-masing mengejek sihir satu sama lain.
Keduanya tidak manusiawi — terutama Ophelia, dengan wujudnya yang aneh. Pete, yang akhirnya berhasil mendapatkan kembali kewarasannya, gemetar saat membuka mulutnya.
".....A-Apa itu sihir pemanggilan?"
"Bukan. Mantra sederhana tidak akan bisa memanggil Magical Beast yang begitu kuat." Jawab Chela, suaranya bergetar. Mereka menyaksikan Ophelia merapalkan mantranya sekali lagi.
"Balthus!"
Lengan yang terulur mencengkeram lantai dan menyeretnya sepenuhnya keluar dari tubuhnya.
Ekspresi si penyihir berubah antara rasa sakit dan kecanduan, mengaburkan perbedaan di antara keduanya. Diselimuti oleh lendir berwarna merah gelap, Chimera raksasa itu sekarang telah lahir sepenuhnya.
"ROOAAAAAAAAAARRR!"
Lolongan itu keluar dari tenggorokan Chimera itu, seolah merayakan kelahirannya sendiri. Suasana labirin bergetar dengan listrik, dan parfum yang sudah ada di udara bercampur dengan bau darah dan cairan ketuban.
"Dia baru saja melahirkan."
Kata Oliver, kulitnya merinding.
"Apa tidak ada kata lain selain itu!"
Pada saat itu, Chimera Ophelia melompat ke depan. Lengan besarnya melintas secara horizontal, dengan mudah menghancurkan makhluk tulang-belulang itu.
"Congreganta Deformatio."
Namun sebagai tanggapan, Rivermoore melafalkan mantranya, tulang-belulang yang berserakan dengan cepat merekonstruksi dirinya sendiri. Apapun yang dia lakukan, hal itu jauh lebih misterius daripada apa yang dilakukan penyihir itu. Apa itu mengendalikannya? Familiar Magical Beast? Necromancy? Kemungkinan besar, hal itu adalah campuran dari ketiganya.
Tulang binatang itu, bergulat dengan Chimera, mengubah dirinya menjadi seekor ular raksasa dan mengerut dirinya sendiri dengan kekuatan yang luar biasa untuk sesuatu yang tanpa otot.
"RAAAAAAHHHHHHHH!"
Chimera itu memberontak, melolong dengan suara serak. Tulang Serpent itu berderit di bawah kekuatan yang sangat besar. Rivermoore mendecakkan lidahnya.
".....Jadi Serpent tidak bisa mengikatnya, ya? Keburukan apa yang muncul di perutmu yang tidak beraturan itu kali ini?"
"Aku bisa menanyakan hal yang sama. Aku tidak ingat pernah melihat yang seperti itu sebelumnya. Katakan padaku, dari mayat apa kau menjarahnya?"
Tulang Serpent itu gagal menahan chimera dan hancur berantakan lagi. Rivermoore memulai rapalan lainnya, memanggil tulang baru dari belakangnya.
"Unh..... Ugh....."
Tangan Pete mencengkeram erat lengan seragam Oliver. Hal itu tidak mengherankan — Itu mungkin pertama kalinya dia menyaksikan duel antar penyihir.
Yang bisa dilakukan Oliver hanyalah memegang tangan Pete yang gemetar agar dia tidak kehilangan akalnya karena ketakutan.
"Ah—Tempat ini adalah tempat kematian. Suasana ini benar-benar membawaku kembali."
Komentar Nanao, benar-benar tidak tepat. Oliver menatapnya, terkejut. Tapi saat berikutnya, dia menarik pedang dari pinggangnya dan memotong penghalang tulang yang mengelilinginya dengan satu ayunan.
"Keberatan kalau aku bergabung?"
"........?!"
Tiga murid tahun pertama itu tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar. Bahkan Ophelia dan Rivermoore menghentikan duel mereka untuk melihatnya dengan rasa penasaran. Nanao tetap tidak terpengaruh dengan itu.
"Oliver, Chela, Pete, jika kalian akan mundur, sekaranglah waktunya." Seru gadis itu dari balik bahunya.
"Begitu aku bergabung, pertempuran itu akan menjadi pertempuran tiga arah. Dalam pertarungan yang setara, tidak akan mungkin bagi pihak mana pun untuk bergerak dengan mudah."
Apa dia bodoh? Oliver secara refleks berpikir, namun sebagian dari dirinya juga menyadari kalau dia memiliki ide yang tepat. Jika salah satu dari dua petarung itu terganggu oleh masuknya Nanao bahkan untuk sesaat, yang lain bisa menjatuhkan mereka. Bukan tidak mungkin Nanao memberikan pengaruh pada pertempuran itu.
"Apa yang kamu–?"
Meski begitu, Oliver tidak bisa hanya berdiri dan melihatnya terbunuh. Dia mengulurkan tangan untuk meraih bahunya — namun sebelum dia bisa, energi yang terpancar dari punggungnya menghentikannya.
"Aku tidak butuh perhatianmu. Sejak pertempuran pertamaku, barisan belakang telah menjadi posisiku."
Kata Nanao, menegur upaya Oliver untuk menghentikannya. Sama seperti ketika dia berhadapan dengan Troll, tidak ada sedikit pun keraguan di matanya.
"Mayat berjalan hanya diberi tempat untuk mati—Itu saja. Pergilah, kalian bertiga!"
Nanao berteriak dan, pedangnya telah siap, melangkah keluar dari penghalang tulang. Oliver melewatkan kesempatannya untuk menghentikannya—setelah ragu sejenak, Chela mengikutinya.
"Oliver, bawa Pete dan larilah."
"Chella?!"
Begitu gadis itu melewati dinding tulang-belulang itu, dia juga menarik Athame-nya. Tanpa diduga, dia tersenyum dan berkata dari balik bahunya :
"Mari kita lindungi masing-masing satu teman kita. Itu seharusnya berhasil, bukankah kamu setuju?"
Napas Oliver tercekat di tenggorokannya. Hatinya sakit tak terkendali memikirkan Chela akan mati untuk melindungi seorang teman.
".........!"
Berbaliklah dan larilah! Bagian logis dari otaknya menjerit. Itu akan menjadi respon yang tepat.
Jika dia tetap tinggal, itu hanya akan meningkatkan kemungkinan mereka mati bersama. Pete kehilangan pegangan pada kewarasannya. Mereka tidak akan mendapatkan kesempatan yang lebih baik untuk melarikan diri selain saat ini.
Namun, Oliver berpikir, Berapa banyak aku harus menanggung semua ini? Perasaan itu membakar hatinya untuk memanfaatkan kebaikan dan dedikasi orang lain untuk bertahan hidup. Berapa kali lagi dia harus menderita melalui semua itu — menyaksikan seseorang mati untuk melindunginya ketika dia menginginkan lebih dari apapun untuk melindungi mereka agar tetap aman?
"Sialan!" Oliver berteriak dan berhenti.
Dia menarik Athame-nya dari sarungnya.
Chela menatapnya dengan kaget, tapi Oliver tidak peduli dengan apa yang gadis itu pikirkan. Fakta itu memberinya kenyamanan yang ironis.
Niatnya jelas : Oliver akan bergabung dalam pertempuran kedua manusia super yang tidak bisa dimenangkan ini. Dia tidak akan pernah bertahan, tapi entah bagaimana dia akan merebut kemenangan dari rahang kekalahan. Sebagai seorang penyihir, dia mengeraskan tekadnya—
"Ignis!"
"—?!"
"Gwah....!"
Tiba-tiba, api merah membakar makhluk-makhluk yang tidak wajar itu, membakar mereka.
"Cukup. Aku pikir aku sudah memperingatkan kalian berdua tentang mengintimidasi murid baru." Sebuah suara baru bergema. Suara itu terdengar tegas dan disiplin, secara fundamental berbeda dari dua lainnya.
Oliver berbalik untuk melihat ke lorong untuk melihat seorang penyihir berseragam Kimberly seperti mereka, Athame-nya ditarik dengan tegas.
"......Ash tidak bisa menjawabmu. Aku melihatmu masih menembak lebih dulu dan mengajukan pertanyaan nanti, Purgatory." Rivermoore mencemoohnya.
Entah bagaimana dia berhasil membentuk perisai dari tulang dan menghindari api itu.
Orang lainnya mendengus.
"Tolong jangan menggunakan nama buruk itu di depan murid baru. Jangan cemas, kalian berempat. Aku tidak akan membiarkan mereka menyakiti kalian lagi, atau namaku bukan Alvin Godfrey, ketua OSIS Kimberly."
Alvin berbicara dengan lembut, namun mereka mendengarnya sejelas bel. Dari sudut aula yang terbakar, sosok lain bergerak.
"Dengar itu? Kesenangan sudah berakhir. Sekarang jadilah gadis yang baik, Lia."
"Carlos.....!"
Ophelia, yang bersembunyi di balik bayang-bayang Chimera hangusnya, menunggu kesempatan untuk menyerang balik, tiba-tiba menyadari seseorang berdiri di belakangnya dengan pisau menempel di lehernya.
Membuat penyihir itu tidak bisa bergerak, siswa keempat yang lebih tua berbicara dengan ramah.
"Namaku Carlos Whitrow, senior tahun kelima kalian yang keren. Senang bertemu denganmu, anak manis."
Katanya dan, dengan tangan kirinya yang bebas, meniupkan ciuman. Dia ramping dan cantik, dengan cara bicara nada yang sangat unik.
Yang terpenting, suara bernada tinggi mereka yang indah begitu memikat hingga membuat Oliver dan yang lainnya lupa di mana mereka berada. Tampilannya seperti seorang laki-laki, namun Oliver tidak dapat langsung menentukan jenis kelaminnya.
"Hukuman kalian akan diberikan nanti. Salvadori, Rivermoore, jika kalian mengerti, kembalilah ke tempat kalian. Penghuni dalam seperti kalian berdua tidak punya urusan di strata yang lebih tinggi."
Kata murid yang lebih tua yang menyebut dirinya dengan nama Godfrey, dengan tegas.
Terdengar dua orang mendecakkan lidahnya, frustrasi.
"......Semua tulang yang kukumpulkan telah dibakar dalam sandiwara ini. Kau sangat beruntung, Succubus."
"Oh, kau yang beruntung, pemulung. Bernanahlah dalam kebusukanmu sampai aku datang untuk membunuhmu lain kali."
"Heh-heh—lucu sekali!"
Mereka dengan kejam berdebat untuk terakhir kalinya sebelum melebur ke dalam kegelapan. Begitu mereka pergi, Godfrey menghela napas dan menurunkan pedangnya.
"Mereka sudah pergi, ya? .....Aku punya sedikit gambaran tentang apa yang terjadi di sini. Kalian berempat benar-benar sial, tertangkap oleh orang-orang seperti mereka di awal tahun ini."
Katanya dengan penuh simpati. Dia tersenyum lembut.
"Pertama, izinkan aku berterima kasih karena telah bertahan sampai kami tiba. Akan jauh lebih sulit jika ada di antara kalian yang diculik. Aku tidak suka harus mengejar mereka sampai ke kedalaman."
"Mereka tidak pernah mampir di strata atas, namun tepat setelah upacara masuk, mereka akan sedikit menunjukkan diri mereka. Aku kira itu wajar untuk penasaran dengan wajah-wajah baru, tidak peduli tahun berapa kalian berada."
Whitrow tertawa dengan ekspresi lelah.
Butuh beberapa saat sebelum Oliver dan yang lainnya menyadari bahwa percakapan bercanda itu berarti mereka telah diselamatkan. Kakinya masih gemetar, Oliver melangkah maju dan membungkuk kepada para murid senior itu.
".....Namaku Oliver Horn, murid tahun pertama. Terima kasih banyak telah menyelamatkanku dan teman-tem—"
Dia memulai, namun Godfrey mengangkat tangan.
"Simpan saja formalitasnya. Mari kita keluar dari sini dengan cepat. Aku senang mendengarmu memuji kepahlawananku, tapi aku yakin kalian juga kelelahan. Kita bisa lebih mengenal satu sama lain di siang hari."
Dan dengan itu, Godfrey menunjuk ke lorong. Whitrow, yang mengambil posisi di belakang mereka, menimpali.
"Kalian dengarkan saja dia. Aku akan menjaga bagian belakang, jadi ikuti instruksi Godfrey. Tidak ada tempat yang lebih aman di seluruh Kimberly selain dalam radius lima puluh yard darinya."
***
Ironisnya, mereka hanya butuh beberapa menit untuk mencapai pintu keluar sambil mengikuti pemandu mereka melewati labirin itu. Saat mereka menerobos pintu depan yang sudah dikenalnya, suara teman-teman mereka memanggil mereka.
"O-Oliver!"
"Dan ada Nanao juga! Ah, syukurlah....!"
Mereka berlari dengan lega. Katie meraih lengan Nanao dengan kedua tangannya.
"Aku berbalik, dan kamu tidak ada di sana.... Aku sangat khawatir!"
"Maafkan aku, Katie."
Nanao meminta maaf dengan lemah.
Saat itulah Oliver memperhatikan murid yang lebih senior di belakang teman-teman mereka. Gadis itu memiliki aura yang sangat terpelajar dan magis padanya; poninya yang panjang menutupi mata kirinya, tapi Oliver bisa melihat kilatan cahaya di mata kanannya.
"Ah!" Seru Katie.
"Izinkan aku memperkenalkan dirinya. Dia ada nona Miligan, murid tahun keempat. Dia menemukanku dan Guy berkeliaran di aula dan membimbing kami ke sini."
"Para kakak kelas selalu ditugaskan dengan pekerjaan ini sepanjang tahun ini. Jadi tidak perlu dipikirkan. Hmm....." Gadis bernama Miligan itu berhenti dan mengendus udara.
"Parfum dan kematian. Kalian berempat pastinya terlibat dengan sesuatu yang berbahaya."
"Kami menemukan mereka terjebak di antara Salvadori dan Rivermoore." Godfrey menjelaskan dari balik bahu Oliver.
Rasa simpati yang mendalam memenuhi wajah Miligan.
"Itu sangat buruk. Kalian akan lebih aman terjebak di antara Cerberus dan Hydra."
Ekspresinya yang sangat akurat itu membuat Oliver pusing. Miligan tertawa kecil, lalu berbalik.
"Aku akan menemuimu di asrama. Ketua Osis, Godfrey, Senior Whitrow, kalian bisa kembali sekarang."
"Terima kasih, Miligan. Sepertinya beberapa orang lagi masih tersesat di dalam. Sampai jumpa."
Bahkan sebelum Godfrey selesai berbicara, dia dan Whitrow telah kembali ke akademi. Katie mencoba menanyakan sesuatu, tapi mereka sudah terlalu jauh.
".....Mereka sudah pergi. Aku bahkan tidak sempat menanyakan nama mereka."
"Keduanya sangat sibuk sepanjang tahun ini. Kamu bisa menyapa mereka dengan benar nanti."
Miligan dengan lembut bersikeras sebelum memimpin mereka berenam menuju asrama.
"Apa kalian cukup bersenang-senang dalam petualangan malammu? Sekarang, mari kita kembali."
***
Begitu mereka sampai di halaman asrama, Miligan meninggalkan mereka tanpa mengatakan apapun. Dalam kegelapan yang sunyi, mereka berenam saling memandang.
"Ini, Uh, sudah sangat larut, ya? Kurasa kita harus beristirah—"
Katie mulai berbicara ketika Oliver memotongnya, mencengkeram kerah Nanao.
"Apa kau mencoba membuat dirimu terbunuh?"
Oliver bertanya, suaranya bergetar karena marah.
Empat lainnya sangat terkejut sehingga mereka bahkan tidak bisa bereaksi.
"......Heeh? Tunggu, Oliver?!"
Katie dengan cepat mencoba menghentikannya, tapi Oliver dengan tegas menjaga jarak dengan tangannya yang lain.
"Aku bisa memaafkanmu karena mengikuti kami sendirian ke akademi di malam hari."
Lanjut Oliver dengan kasar.
"Setiap murid baru akan menjadi naif dan ingin tahu, dan aku juga salah, karena gagal menjelaskan bahayanya."
Nanao berdiri di sana dalam diam, wajahnya kosong saat Oliver mengangkatnya ke atas bara. Oliver menatap jauh ke mata gadis itu.
"Tapi memasukkan dirimu ke dalam pertarungan antara kedua murid yang lebih senior bukanlah sebuah pilihan. Kau sendiri mengatakan kalau mayat berjalan baru saja menemukan tempat untuk mati."
"..........."
"Kau tahu kalau itu bunuh diri, tapi kau tetap mencobanya! Tidak, itu kematian persis seperti yang kau inginkan, bukan?!"
"Tenanglah, Oliver!" Seru Chela, tidak bisa berdiri dan menonton saja. Menyadari Oliver bertindak terlalu jauh, dia menggertakkan giginya.
"Aku mengerti perasaanmu." Kata Chela.
"Aku juga akan bertanya kepadanya tentang itu nanti. Tapi sekarang setelah hal itu terjadi, mungkin kita semua harus mendiskusikannya bersama."
Hal tersebut menghilangkan beberapa ketegangan; memegang tangan Nanao, Chela membawanya dan yang lainnya ke sudut halaman. Mereka mengambil tempat di sekitar air mancur kecil, dan dia melantunkan mantra yang membuat suara mereka tidak bisa di dengar dari luar yang menutupi mereka di dalamnya.
"Sekarang kita tidak perlu khawatir kalau ada yang mendengar. Nanao.... Kamu tidak perlu terburu-buru, tapi tolong beritahu kami apa yang membuatmu melakukannya?"
Chela duduk di bangku air mancur, menyuruh Nanao duduk di sebelahnya. Katie juga duduk, tapi Oliver dengan keras kepala tetap berdiri. Guy dan Pete berdiri bersamanya. Dengan mata semua orang tertuju kepadanya, mulut Nanao akhirnya mulai terbuka.
"Oliver sepertinya benar..... Aku sudah lama kehilangan keinginan untuk hidup." Kata gadis itu dan, agak lemah, mencengkeram jari-jari tangan kanannya.
"Tapi yang lebih penting, sulit bagiku untuk merasa bahwa aku benar-benar hidup saat ini"
Kelima temannya menolak keras pengakuan tak terduga ini. Nanao, menatap langit malam yang asing dengan pandangan jauh di matanya, menceritakan masa lalunya kepada mereka.
***
Gadis itu sudah lama berhenti menghitung jumlah musuh yang dia bunuh—dan jumlah sekutunya yang gugur. Alasannya sederhana : Selama ada musuh yang harus dikalahkan, tidak ada artinya menghitung semua itu. Demikian pula, jika jumlah mereka mencapai nol pada akhirnya, terus menghitungnya tidak akan mengubah apapun.
"Haaaaah."
Dia menangkis tombak yang menyerang, menepisnya, dan menebas musuh di depannya. Dia telah melakukan hal itu sepanjang hari, sejak matahari mencapai puncaknya. Setelah memukul mundur gelombang penyerang yang tak terhitung jumlahnya, gadis itu dan sekutunya yang masih hidup dapat tetap bernapas sedikit lebih lama.
"Huff! Huff! Huff! Huff....!"
Jalur pegunungan itu sempit. Mereka telah berada di sana selama berjam-jam, berjuang untuk melindungi pasukan utama mereka yang mundur dari serangan susulan. Dari pengaturan pertahanan dadakan mereka di jalur pegunungan itu, mereka dapat dengan tegas memukul mundur pasukan musuh yang berusaha melewatinya.
Hal iru adalah keajaiban tersendiri. Yang mereka miliki untuk mengusir lima puluh ribu tentara adalah dua ratus tentara. Mereka sudah melewati titik untuk membentuk strategi apapun. Pertarungan keras selama berjam-jam telah membuat mereka hanya memiliki kurang dari setengah jumlah aslinya. Namun, mereka tetap dalam semangat tinggi. Tak satu pun dari mereka mencoba untuk berbalik dan melarikan diri, dan bahkan sekutu mereka yang terbunuh terguling ke depan dengan napas sekarat mereka, bukan ke belakang.
Karena bertarung di garis depan adalah seorang gadis kecil, muda, dan tidak ada yang bisa bersikap pengecut bersamanya.
"Ada apa, Kiryuus? Kau gemetar di sepatu botmu!"
"Para maniak bunuh diri sialan."
Kutuk Souma Yoshihisa, panglima tertinggi pasukan Klan Kiryuu. Sebuah bagian dari bukunya sendiri tentang seni perang yang dia tulis bertahun-tahun yang lalu muncul dengan jelas di benaknya : Bukan seorang Master yang harus di takuti di medan perang, namun orang yang tidak akan kehilangan apapun. Rasanya seperti semacam lelucon. Betapa sempurnanya hal tersebut untuk situasinya saat ini!
"Apa masalahnya? Kalian melebihi kami seratus banding satu! Tidak perlu rencana atau manuver yang hebat! Jika kalian benar-benar prajurit legenda Kiryuu yang hebat, maka hanya satu dari kalian yang cukup untuk membersihkan jalan!"
Seseorang mengejek anak buah Yoshihisa dari puncak bukit. Suaranya jernih dan menyenangkan di telinga, namun juga sangat menyebalkan. Bagaimana hal itu bisa menembus teriakan perang para prajurit?
Yoshihisa menatap yang berbicara itu. Di puncak tanjakan berdiri pemimpin pihak yang kalah, seorang prajurit bertubuh kecil. Orang itu adalah satu-satunya alasan mereka begitu terikat, mengobarkan semangat pertempuran rekan senegaranya yang terluka dan babak belur dan mengubah mereka menjadi tentara bunuh diri kelas atas.
".....Lepaskan anak panahnya." Kata Yoshihisa setelah lama terdiam. Wakilnya mundur.
"Apa kau yakin, ayah? Jumlah mereka sangat sedikit...."
"Lakukan. Bahkan jika seorang anak bisa mengejek kita tanpa akibat, maka kehormatan kita sebagai prajurit sudah lama hilang. Apa tugas kita untuk menambah halaman kisah kematian heroik mereka? Jawab aku, Yasutsuna!" Yoshihisa menanggapi, memanggil prajurit di depannya dengan namanya.
Yasutsuna menunduk dan meringis. Setelah beberapa perjuangan, dia mendongak lagi.
"Vanguard, mundur! Pemanah, maju!"
"Mm."
Garis depan tentara mundur, dan sebagai gantinya, para pemanah melangkah maju. Melihat pasukan musuh bergerak, gadis itu bisa merasakan bahwa akhir dari pertempuran panjang sudah dekat.
"Sepertinya mereka tidak lagi mau menuruti kita."
Kata gadis itu dan tertawa kecil.
Mereka tidak memiliki pelindung apapun dan karenanya tidak memiliki sarana untuk bertahan melawan panah itu. Musuh telah menyadari ini sejak awal. Fakta bahwa mereka baru sekarang mempekerjakan pasukan panah itu berarti mereka telah dilarang melakukannya sebelumnya. Tidaklah terhormat membuang hanya dua ratus tentara dari jarak jauh.
Tapi sekarang sikap keras kepala itu telah hancur. Pasukan tentara Kiryuu yang terkenal dipimpin oleh komandan bertingkat Souma Yoshihisa, seorang laki-laki dengan kebijaksanaan dan keberanian strategis, sedang menukar kehormatan dengan hasil melawan satu tentara pemberontak yang berkemah di atas bukit.
Baginya, ini adalah alasan untuk berteriak kegirangan.
"Naik ke kuda!"
Tapi hal itu belum berakhir. Menanggapi sinyalnya, seseorang di belakangnya bergerak. Tersembunyi tepat di sisi lain punggung bukit, di mana tentara musuh di bawah tidak bisa melihat, ada seratus kuda. Sekarang mereka di keluarkan, mereka dengan cepat muncul di jalur pegunungan. Gadis itu melompat ke salah satunya, lalu melihat ke arah sekutunya saat mereka mengikuti.
Dengan senyum yang sangat jelas, gadis itu berbicara kepada mereka.
"Ayo! Mari kita pergi — ke medan perang terakhir kita!"
"Rahhhhh!"
Semangat para prajurit tidak tersentuh oleh kesedihan.
Kemudian, beralih ke tanah kematian di bawah bukit, gadis itu menyerbu ke depan dalam garis lurus.
"Ap–?!"
"Mustahil! Mereka masih punya kuda?!"
Darah terkuras dari wajah prajurit Kiryuu saat mereka melihat ini. Secara alami, mereka mengharapkan musuh mereka untuk melakukan serangan terakhir yang putus asa sebelum hujan anak panah menyapu mereka.
Tapi mereka hanya memperhitungkan kecepatan manusia. Siapa yang bisa meramalkan bahwa pada saat-saat terakhir, setelah kehilangan prajurit demi prajurit dalam berbagai bentrokan, kelompok sampah masyarakat ini masih memiliki cukup kuda untuk melakukan serangan?
"Aku datang untuk kepala Jenderal Yoshihisa! Temui aku dengan pedangmu, prajurit Kiryuu!"
Seru gadis itu dengan lantang dari barisan depan.
Para pemanah, yang telah berjuang untuk mengatur jalur gunung yang sempit, tidak dapat berada di belakang tombak mereka tepat waktu. Mereka memberikan sedikit perlawanan terhadap kuda-kuda yang datang. Jeritan dan teriakan tentara, serta retakan tulang yang patah, bergema di seluruh medan perang.
"Haaah!"
Di tengah kekacauan ini, gadis itu melompat dari pelananya, tubuhnya melengkung mulus di udara. Dia mendarat dengan anggun di sisi lain dari pemanah yang mau menembaknya, tepat di depan para penombak.
"Apa....?!"
"Dia melompat sendirian?"
"Jangan terlalu percaya diri, gadis kecil!"
Menanggapi sambutan para prajurit yang mengamuk, gadis itu menghunus pedang dari sarung di pinggangnya. Pedang itu adalah satu-satunya senjatanya, dan pedang itu bahkan tidak sampai setengah dari panjang tachi normal. Bukan hanya itu, tapi dia mengenakan sedikit lebih dari armor minimal.
"Haaah!" Gadis itu menghela napas dan kemudian berlari ke depan.
Tombak yang disodorkan untuk menghentikannya hanya menembus udara, tapi para prajurit Kiryuu terlalu lamban untuk memahami hal ini. Mata mereka bahkan tidak bisa mengikuti bayangannya sebelum mereka merasakannya tepat di depan mereka.
"Gwah!"
"Gaaah!"
Saat mereka meraih pedang mereka, dia memotongnya.
Darah menyembur ke udara di belakangnya saat gadis itu bergegas melewati pasukan, bahkan tidak berhenti sedetik pun. Dia berpindah dari prajurit satu ke prajurit lainnya bersembunyi dari tombak mereka secara harfiah di bawah hidung mereka. Satu per satu, dia membantai mereka, melompat di antara titik buta mereka.
"Ayah, mundur!"
Entah bagaimana komandan kedua pasukan Kiryuu, Yasutsuna, berhasil menangkap bahaya dan berteriak pada ayah mertuanya. Bagaimana ini bisa terjadi? Gadis itu kecil namun sangat cepat. Dengan setiap lompatan, dia menghindari tombak itu. Formasi dekat mereka untuk melindungi sang jenderal sekarang bekerja melawan mereka — gadis kecil dengan pedang pendek wakizashi-nya lebih gesit daripada prajurit mana pun dengan armor berat mereka yang saling bahu-membahu itu.
".....Terkutuklah kau!"
Tidak ada lagi tujuan untuk penjaga pribadi. Saat gadis itu mendekat dengan kecepatan tinggi, Yasutsuna kehilangan akal sehatnya dan menghunus pedangnya.
Tidak seperti prajurit lainnya, dia tidak akan lengah. Dengan pedang di tangannya, latihan terukir di tubuhnya, dan hati yang marah—dia bertemu gadis itu dalam pertempuran.
"Raaaaaah!"
Pancuran darah meletus dari penombak terdekat, dan pada saat yang hampir bersamaan, sesosok kecil melompat keluar dari bayang-bayang.
Yasutsuna, yang telah meramalkan ini, mengayunkan sekuat tenaga, berniat membelahnya menjadi dua. Serangan itu adalah serangan frontal tanpa ampun, ejekan pada setiap tipu dayanya. Ukuran dan kecepatan gadis itu, yang membuatnya bisa menari di sekitar para prajurit Kiryuu, tidak ada artinya melawannya.
"Haaah!"
Itulah sebabnya, ketika gadis itu memilih untuk bertemu dengannya secara langsung dan membiarkan pedangnya berbenturan dan bergulat dengan pedangnya, keheranannya tak terlukiskan.
"Apa.....?!"
Dia langsung pergi dari keheranan menjadi gemetar ketakutan. Dia didorong mundur. Dalam ukuran dan kekuatan, dia seharusnya mengalahkannya, namun tekanan pedangnya begitu kuat sehingga dia harus mengalah.
"Ahhhhhhhh!"
Dengan setiap detik yang berlalu, tekanan tersebut terus meningkat. Pedang yang diberikan ayah mertuanya untuk masuk ke dunia militer menjerit di bawah tekanan yang tak terduga. Ketakutan menguasai Yasutsuna. Apa-Apaan ini? Apa ini iblis yang menyamar dengan sosok gadis kecil?
"Oh....Oh...Ohhhhh!"
Menyerah melawan kekuatan yang mengganggu ini, dia melompat mundur. Jangan takut. Jika kau tidak dapat menghancurkannya dengan paksa, gunakan teknik.
Dia tidak pernah melewatkan satu hari pun pelatihan serangan balik. Tapi kali ini, dia gagal. Seolah ingin menyia-nyiakan semua niatnya, gadis itu sudah berada di bawah hidungnya.
"Ap–?"
Dia kehilangan momennya dia mengambil langkah mundur. Tak satu pun dari prajurit Kiryuu bahkan bisa masuk ke dalam bayangannya, gadis itu sangat cepat. Dan sampai saat ini, Yasutsuna tidak bisa memprediksi seberapa cepat gadis itu bisa mengejar.
Bilah gadis itu melewati tubuh tak berdayanya itu seperti angin. Kecil dan cepat, berani dan efektif. Mata Yasutsuna telah melihat kualitas-kualitas ini pada musuhnya, namun ketaatannya masih belum cukup—karena dia telah gagal menerima poin terpenting dari semuanya.
"Gah!"
Kekuatan. Gadis itu sangat kuat. Jauh lebih kuat dari yang dia harapkan untuk bersaing dengan menggunakan pedangnya sendiri. Menyimpulkan bahwa inilah mengapa dia gagal—dia mati.
"Haaah.....!"
Begitu lawannya mati, gadis itu akhirnya berhenti.
Tapi bukan atas kemauannya sendiri. Alasannya jelas—merupakan sebuah keajaiban, dia bertahan waktu selama ini. Setelah berjuang dalam pertempuran defensif selama berjam-jam, belum lagi menggunakan gerakan luar biasa barusan, gadis itu diliputi oleh kelelahan. Tubuhnya mengerang, seolah-olah seseorang telah menjatuhkan timah di punggungnya.
"Kepung dia!"
Yoshihisa segera berteriak, dan gadis itu dikepung oleh sekelompok orang yang menginginkan kematiannya.
Gadis itu mengamati sekelilingnya untuk menemukan dirinya terjebak oleh dinding tombak, tanpa celah.
".....Mm, Mm. Kalian berusaha keras kepadaku. Aku merasa terhormat."
Kata gadis itu dengan tenang kepada barisan prajurit yang siap untuk menghancurkannya.
Yoshihisa memelototinya dengan marah, namun mata gadis itu tenang, tidak mengandung rasa takut atau kecemasan. Dia tidak pernah berharap untuk bertahan hidup. Sama seperti para prajurit di bawahnya, dia juga seorang pejuang bunuh diri.
"Kau melakukannya dengan baik di usiamu. Apa kau ingin sepotong permen sebagai hadiah, gadis kecil?"
Dia ingin marah dan menghina gadis itu, namun sebagai seorang jenderal, dia tidak bisa bersikap begitu rendah.
Jadi sebagai gantinya, dia menekan emosinya dan memilih sarkasme sebagai gantinya.
Gadis itu tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya.
"Sayangnya, bukan permen yang didambakan seorang prajurit di saat-saat terakhir mereka, tapi pertarungan yang adil." Katanya dengan lugas.
Dia masih ingin bertarung, bahkan setelah semua ini?
Yoshihisa menatapnya, setengah ragu dan setengah takut.
"Kudengar menantumu, Yasutsuna, adalah prajurit top dari Kiryuu. Jika kau ingin menghadiahiku atas perbuatanku, tolong beri aku duel dengannya."
Kata gadis itu, sangat serius.
Saat Yoshihusa mendengar kata-kata itu, dia kehilangan kendali diri.
".....Kau bahkan tidak tahu siapa yang baru saja kau bunuh sebelumnya......?"
Suaranya bergetar, bayangan keputusasaan merayapi wajahnya. Reaksinya adalah apa yang menyatukan potongan-potongan itu untuknya.
"Itu tidak mungkin....."
Gadis itu mengalihkan pandangannya ke tempat yang tidak terlalu jauh di luar lingkaran ujung tombak, di mana tubuh korban terakhirnya terbaring. Bahkan dalam kematian, lambang rumahnya terukir dengan bangga di baju besinya.
Yoshihisa mati-matian memaksakan suaranya untuk stabil namun tidak mampu menekan emosinya sepenuhnya. Sulit untuk mengatakan apa dia sedang menangis atau tertawa.
"Ya, dia adalah seorang prajurit yang hebat.... Tapi dia lebih dari itu." Yoshihisa mulai membual tentang putranya dengan cara yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, bahkan saat mabuk.
"Dia menyukai lagu, puisi, dan bunga. Untuk seseorang sepertiku yang hanya memiliki bakat perang, dia seperti bintang paling terang. Kau tidak tahu, kan, gadis kecil? Tidak, aku yakin kau tidak akan tahu itu."
Yoshihisa menggertakkan giginya dengan keras sementara gadis itu berdiri di sana, membeku dan diam. Dia menghembuskan napas dalam-dalam dan, begitu dia mendapatkan sedikit ketenangan, berbicara dengan lembut.
"Jangan khawatir, gadis kecil. Aku tidak akan menyiksamu. Aku tidak akan menggunakan metode seperti itu pada prajurit gagah berani yang berjuang sampai akhir pertempuran yang tidak bisa dimenangkan, dan terutama tidak pada seorang anak kecil."
".........."
"Aku tidak akan menanyakan namamu. Kau akan mati sebagai prajurit tanpa nama, dan tidak ada yang akan mengingatmu. Itu akan membalaskan dendamku."
Kata Yoshihisa dengan sungguh-sungguh, lalu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi untuk dilihat semua anak buahnya.
"Lakukan!" Teriaknya dan menjatuhkan lengannya.
Para prajurit bergerak, ragu-ragu sejenak, lalu menikam gadis itu.
"..........."
Dalam perpanjangan singkat itu dia diberikan, di balik kelopak mata yang tertutup lembut, gadis itu berpikir—
Akhirnya, akhirku sudah dekat, namun aku tidak bisa menemukan kebahagiaan dalam pertempuran.
Hal itu benar-benar mengecewakan. Dia telah berjuang sangat keras sampai saat terakhir, namun hidupnya akan berakhir tanpa dia mencapai keinginan terbesarnya. Itu terlalu berat untuk ditanggung dalam perjalanannya ke sisi lain. Meski begitu, dia tidak diberi banyak waktu untuk merenung. Ujung tombak yang mematikan melesat menuju dada dan punggungnya yang tak berdaya—
"Nak, aku tidak bisa terbiasa dengan budaya negara ini."
Suara orang yang sama sekali tidak dikenal memotong pikiran terakhirnya.
"Maukah kamu menjelaskannya kepadaku? Logika macam apa yang tidak menanyakan nama seseorang dalam balas dendamnya? Apa hal ini ada hubungannya dengan Bushido yang aku pelajari tempo hari?"
".......?"
Orang asing itu melanjutkan, tanpa henti. Bosan menunggu akhir yang tidak akan datang, gadis itu perlahan membuka matanya untuk melihat bahwa tombak yang ditusukkan ke arahnya telah terhenti di udara satu inci dari tubuhnya.
"A-Apa....?"
"Tombakku! Lenganku tidak mau bergerak—"
Para prajurit itu setengah berteriak. Suatu kekuatan misterius telah membekukan mereka di tengah jalan, dan mereka tidak dapat melangkah ke arah mana pun.
Bingung dengan apa yang terjadi pada anak buahnya, Yoshihisa melihat ke atas—di sana, di langit, adalah sumbernya.
"Penyihir dari barat....!" Suaranya bergetar dengan rasa takut dan marah yang seimbang. Gadis itu mendongak, dalam keadaan linglung.
Di udara berdiri seorang laki-laki di atas sapu.
"Tentu saja, aku mengerti beberapa hal. Aku sendiri suka lagu, puisi, dan bunga. Makanan negara ini enak. Dan biasanya, kebijakanku adalau untuk tidak mencampuri urusan orang lain."
Saat orang itu berbicara, dia itu menjentikkan pedang pendek di tangan kanannya. Ukurannya lebih pendek daripada wakizashi di tangan gadis itu. Ada juga batang kayu tipis dengan ukuran yang sama di pinggangnya.
Tapi yang paling menonjol adalah rambut emasnya yang berpilin.
"Namun, di depan mataku, aku melihat seorang anak dengan potensi besar mencoba mati sia-sia. Sebagai seorang guru, itu adalah satu hal yang tidak dapat aku abaikan."
Orang itu memberi isyarat, wajahnya sangat serius sekarang.Kakinya masih di atas sapu, dia membalik terbalik dan menundukkan kepalanya ke tingkat matanya. Mata biru jernihnya menyala dengan rasa penasaran yang tak terbendung.
"Gadis tak bernama, maukah kamu datang ke negaraku dan belajar menjadi penyihir?"
Dia bertanya, menyampaikan undangan yang dia tidak mengerti sedikit pun.
"..........."
Gadis itu yakin dia mengalami halusinasi menjelang kematiannya. Namun, dibandingkan dengan lamunan sebelumnya, awalnya cukup aneh.
".....Baiklah. Aku menerimanya."
Gadis itu mengangguk, masih tidak memahami sedikit pun dari apa yang baru saja dia katakan. Tapi dia penasaran. Jika ini adalah mimpi yang pada akhirnya akan menguap seperti buih—maka untuk saat ini, itulah alasan yang dia butuhkan.
***
Setelah menyelesaikan ceritanya yang panjang, Nanao menghela napas berat. Semua teman-temannya menelan rasa takjub mereka. Tak satu pun dari mereka yang membayangkan kisah berdarah seperti itu; mereka tidak dapat menemukan apapun untuk dikatakan.
"Itu adalah pertempuran yang mengerikan. Bahkan sepersepuluh dari pasukan kami tidak memiliki harapan untuk selamat. Aku juga seharusnya mati di sana. Lalu.... McFarlane-dono muncul. Dia menyelamatkan hidupku dengan cara yang paling tidak terduga."
Mengepalkan dan melepaskan tinjunya, Nanao menatap tangannya seolah dia tidak percaya hal tersebut adalah kenyataan.
"Sejak saat itu, aku merasa seperti berada dalam mimpi yang panjang. Aku pikir telah mati di medan perang itu, dan ini semua hanyalah ilusi sebelum aku dibawa ke sisi lain. Jika ini nyata, betapa konyolnya kenyataan itu. Bagaimana mungkin seorang penyihir muncul saat aku akan mati, menyelamatkan hidupku, dan membawaku sendirian ke akademi di seberang lautan?"
Senyum tipis muncul di bibirnya, namun dengan cepat menghilang, dan segala sesuatu tentang bahasa tubuhnya memancarkan ketegangan dan stres.
"Jadi aku putus asa. Putus asa untuk memenuhi keinginan tercintaku sebelum aku bangun."
"......Keinginan tercintamu?" Oliver mengulangi.
Nanao mengangguk. "'Nikmati bukan pedang balas dendam, tapi pedang cinta timbal balik.'" katanya.
"Apa maksudnya itu?"
"Itu adalah ideologi yang diturunkan di akademi pedangku. Intinya, pengguna pedang yang baik tidak boleh membalas kebencian dengan kebencian dan berjuang untuk balas dendam. Berduel dengan lawan yang diterima kedua pihak dan saling menghormati, tanpa permusuhan di antara keduanya—di jalur pedang, ini disebut shiawase."
Katie memiringkan kepalanya mendengar kata asing dari bahasa lain.
".....Shiawase?"
"Kebahagiaan.... Keberuntungan.... Belajarku masih kurang, jadi aku tidak tahu terjemahan yang tepat."
Jawab Nanao, gagal menemukan kata yang tepat.
Oliver segera memahami implikasinya, dan tulang punggungnya menggigil.
"Kamu menyebut duel sampai mati itu adalah hal yang kamu cintai dan hormati..... dengan sebuah kebahagiaan?" Dia bertanya, suaranya kaku.
Nanao tersenyum sedih padanya.
"Mm.... aneh, bukan? Aku mengerti itu. Emosi dapat dibagi tanpa benturan pedang. Berbicara, menyentuh, dan peduli satu sama lain adalah kebahagiaan sejati—dari sudut pandang normal, hal ini wajar."
Nanao berbicara seolah menatap bintang yang jauh, lalu mengalihkan pandangannya ke pangkuannya.
"Namun, hal itu adalah pertempuran. Saat itulah pedang, bukan kata-kata, menghubungkan seseorang. Jadi, meskipun itu adalah kebahagiaan yang aneh, hal itu tetaplah kebahagiaan yang harus dicari."
Tidak ada yang bisa mengatakan sepatah kata pun. Setelah mengungkapkan kekejaman dunia tempat dia tinggal, Nanao dalam diam mengangkat kepalanya. Dengan air mata mengalir di matanya, dia menatap lurus ke arah Oliver.
"Jadi, Oliver, saat kamu dan aku bertarung—Aku merasakan perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya."
".........!"
Anak itu membeku, seolah-olah hatinya baru saja ditusuk. Mata gadis itu masih terpaku kepadanya, gadis itu melanjutkannya.
"Pada saat itu, aku diliputi kegembiraan. Di tempat ini, aku akhirnya menemukan Shiawase-ku. Itulah mengapa aku meminta agar kami bisa melanjutkan, dalam duel yang sebenarnya. Dan dengan kematianku oleh pedangmu, aku akan pergi ke surga pengguna pedang."
Gadis itu memotong, menutup matanya. Seolah mengigau karena demam, dia melihat ke langit. Setelah keheningan yang lama, bahunya terkulai secara dramatis.
"Tapi, kamu menolakku. Aku berharap terlalu banyak untuk itu. Tidak benar bagiku untuk meminta seseorang yang hampir tidak aku kenal untuk membantuku dalam tujuan gelapku. Namun, aku adalah orang bodoh yang tidak berdaya yang bahkan tidak bisa mempertimbangkan hal-hal seperti itu. Aku sangat terluka, kecewa, dan sengsara karena ditolak.... Sehingga dalam keputusasaanku, aku mulai mencari kematianku sendiri."
Suaranya serak, dan air mata jatuh ke kepalan tangannya yang terkepal. Katie dengan cepat bergerak untuk meletakkan tangan di bahunya, namun Oliver hanya bisa berdiri terpaku. Entah bagaimana tindakannya telah menyebabkan gadis di hadapannya mencari kematian—Itulah yang dia tahu.
"Apa duelmu dengan Oliver benar-benar meninggalkan kesan sebesar itu kepadamu?" Tanya Chela, meletakkan tangannya di kepalan tangan Nanao.
Menyeka matanya dengan punggung tangannya, gadis itu mengangguk.
"Kamu harus merasakannya sendiri, Chela. Dia tidak hanya kuat dan terampil. Pedang Oliver memiliki bobot yang tak terduga. Pelatihan dan studinya yang dibangun dari waktu ke waktu, serta semua pengalaman, emosi, dan kekhawatiran yang menjadi landasan gayanya — mengalami hal itu dari dekat melalui duel kami membuat hatiku berdebar."
Penjelasan gadis itu yang sangat rinci membuat jantung anak itu berdetak kencang.
Katie melipat tangannya sambil berpikir.
"Um, jadi untuk meringkas apa yang kamu katakan, Nanao......"
Sekitar sepuluh detik berlalu saat gadis itu tenggelam dalam pemikiran yang dalam. Menjulurkan jari telunjuknya, dia akhirnya mengucapkan kesimpulannya.
".....Kamu depresi karena Oliver menolakmu—Apa itu yang kudengar?"
"Maaf, Katie, tapi bisakah kamu tutup mulut?"
"Apa?!"
Dengan satu kalimat, Oliver memotong pertahanan lawannya untuk pukulan mematikan.
Senyuman terlihat di bibir Nanao.
"Tidak, dia kebanyakan benar. Apa hal itu adalah orang yang membuatku tergila-gila, atau pedangnya? Selama pedang bisa dipegang oleh seorang manusia, mungkin tidak ada perbedaan yang nyata."
"Dengar itu, Oliver?"
"Tidak banyak perbedaan di sana."
Guy dan Pete berbicara serempak.
Oliver menekan kepalanya ke tangannya, merasakan sakit kepala yang datang.
Tertawa kecil, Chela menyela.
"Sungguh, cara berpikir seorang pengguna pedang..... Tapi aku tidak bisa bilang aku tidak mengerti. Perasaan berbenturan dengan lawan yang sempurna — tidak peduli subjeknya, tidak ada pengganti untuk momen kegembiraan itu."
Setelah Chela menunjukkan bahwa dia mengerti, ekspresinya sekali lagi menjadi serius saat dia menatap Nanao.
"Namun, ketika menyangkut duel mematikan, aku tidak bisa mengabaikannya. Apa pertandingan latihan saja tidak cukup?"
Chela bertanya, setengah tahu jawabannya.
"Karena kalian berdua adalah murid di sini, maka kalian seharusnya memiliki banyak peluang untuk bertanding."
Setelah terdiam beberapa saat, Nanao menggelengkan kepalanya.
"Jika tujuannya adalah untuk meningkatkan diri melalui persaingan, itu akan baik-baik saja. Namun, ilmu pedang yang aku pelajari, pada intinya, adalah alat untuk membunuh. Jiwaku tidak bisa berduel tanpa taruhan yang mematikan."
"Jadi kamu tidak bisa serius kecuali itu mungkin mengorbankan nyawamu? Itu sangat sulit......"
Pete mengerutkan keningnya dan berpikir.
Mempertimbangkan semua yang telah dikatakan sejauh ini, Chela mengangguk.
"Begitu ya.... Ya, aku mengerti sekarang. Ini masalah yang cukup mengakar. Namun, pertama-tama, aku senang kamu memutuskan untuk terbuka kepada kami."
Katanya dan meletakkan tangannya di bahu Nanao, menatap lurus ke matanya.
"Jadi izinkan aku mengatakan ini, sebagai seorang teman : Sudah waktunya untuk mengubah cara hidupmu, Nanao."
"......Chela." Nanao menatapnya.
Nada suara Chela menjadi lebih tegas, seolah memastikan pesannya sampai ke dalam Nanao.
"Kita sekarang ada di sini dan akademi ini jelas bukan mimpi atau ilusi. Kamu tidak perlu panik; Kami tidak akan tiba-tiba menghilang darimu. Tanpa keraguan sedikit pun, kamu masih hidup. Dan kamu menjalani kehidupan baru di sini."
Chela mencengkeram bahu gadis itu lebih keras, seolah membuktikan bahwa mereka berdua benar-benar ada.
"Hentikan kebodohan mencari tempat untuk mati ini. Kimberly akan memberimu banyak peluang seperti itu, mau kamu mencarinya atau tidak. Selama kamu berusaha mempelajari sihir di sini, hantu kematian akan selalu ada di dekatnya. Untuk alasan inilah kita membutuhkan kemauan yang kuat, sehingga kita dapat menghalaunya."
Kewibawaan yang diucapkan Chela membuat Guy, Pete, dan Katie secara naluriah duduk tegak. Apa yang gadis berambut ikal itu bagikan dengan mereka adalah kunci untuk bertahan hidup di lingkungan sihir ini.
"Nanao, kamu bertanya sebelumnya apa hal itu tentang orang atau pedangnya yang membuatmu tergila-gila. Dan kamu mengatakan bahwa mungkin tidak banyak perbedaan di antara keduanya."
".....Mm, aku memang mengatakan itu."
"Kalau begitu lihatlah orangnya. Kamu dan Oliver tidak perlu menggunakan pedang untuk bertemu satu sama lain. Jika kamu menginginkannya, dan dia setuju, kamu dapat bertukar kata atau bahkan menyentuhnya"
Gadis itu berhenti Dengan ekspresi yang sangat baik, Chela melihat di antara keduanya di depan mereka.
"Jika kamu melakukannya, aku yakin kamu akan mengalami kegembiraan. Lagi pula, duel singkat itu sudah cukup untuk mempengaruhimu sebanyak ini. Waktu yang kalian berdua habiskan sebagai teman pasti akan menjadi spesial juga. Dan Oliver bukan satu-satunya di sini. Kamu juha memiliki Katie, Guy, Pete, dan tentu saja diriku—semua orang di sini ingin menghabiskan masa depan mereka bersamamu. Tidak ada yang ingin kamu menyerah pada hidupmu dengan begitu mudah."
Tatapan Chela menyapu ke seluruh kelompok, dan Nanao mengikuti. Untuk pertama kalinya, dia melihat kecemasan, kekhawatiran, dan kekesalan di mata masing-masing temannya.
".....Dia benar. Akan membosankan jika kamu baru saja pergi setelah pertemuan pertama kita yang gila. Mari bersenang-senang lagi, Nanao. Kita bisa jalan-jalan dan melakukan berbagai hal bodoh bersama."
Kata Guy, terpaku pada saat itu.
Setelah jeda, Guy tersenyum dengan sedikit malu.
"Ditambah lagi, aku punya harapan tinggi padamu. Caramu mengalahkan Troll sebelumnya, aku yakin kamu akan melakukan sesuatu yang gila lagi."
Dia mengungkapkan perasaan jujurnya.
Selanjutnya, gadis berambut keriting—Katie—mencengkeram tangan Nanao.
"Lain kali kamu dalam bahaya, giliranku untuk datang menyelamatkanmu. Aku tidak akan membiarkanmu mati. Kita teman sekarang.... Aku tidak tahan selalu diselamatkan tanpa pernah menyelamatkanmu."
Katie mengumumkan dan menutup matanya, bersumpah pada dirinya sendiri.
Pete mengikuti dengan komentarnya sendiri.
"Tidak ada alasan untuk terburu-buru menuju kematianmu. Aku juga harus belajar banyak tentang tempat ini. Jika kamu mempertimbangkan apa yang ada di depan, tidak ada salahnya bersama dengan orang-orang lebih familiar bersamamu."
Katanya, dengan wajah kaku seperti biasa. Tapi untuk anak itu yang biasanya sangat pendiam, hal itu adalah upaya terbaiknya untuk memberi semangat.
Begitu mereka bertiga mengatakan bagian mereka, pandangan Chela berpindah ke anggota terakhir.
"Oliver, apa tidak ada yang ingin kamu katakan?"
Mata semua orang tertuju kepadanya.
Keheningan kali ini adalah yang terpanjang. Setelah mempertimbangkan dengan cermat gadis Azian dan dirinya sendiri, Oliver dengan sungguh-sungguh membuka mulutnya.
"......Ketika kamu mencoba untuk bertahan hidup di Kimberly, kamu tidak boleh berada di sekitar orang-orang yang ingin mati. Mereka hanya akan menyeret orang lain ke dalam kekacauan mereka sendiri. Sama seperti apa yang hampir terjadi sebelumnya."
Itu adalah pendapat paling ketat sejauh ini. Katie mencondongkan tubuh ke depan, siap membela Nanao. Namun dengan satu tangan, Oliver menghentikannya dan melanjutkan.
"Karena itu, aku hanya punya satu pertanyaan kepadamu. Bisakah kamu berjanji kepadaku, Nanao, bahwa apapun yang terjadi di masa depan, kamu tidak akan terburu-buru menuju kematianmu? Bahwa kamu akan selalu mengayunkan pedangmu dengan maksud untuk hidup?"
Itu adalah satu-satunya hal yang ingin Oliver ketahui.
Selama mereka menyebut tempat ini rumah, dia tidak bisa mundur dari ini. Empat lainnya menelan rasa gugup mereka. Nanao menatap mata Oliver, tidak bergerak, saat yang lain mengamatinya. Setelah sekian lama, dia tiba-tiba mengayunkan kedua tangannya ke atas.
"Hyah!"
Bergerak begitu cepat hingga tangannya bersiul menembus angin, dia menampar kedua pipinya.
".....Maafkan aku. Aku adalah seorang pengecut dan orang yang bodoh."
Ketika gadis itu melepaskan tangannya, sidik jari berwarna merah cerah tertinggal di wajahnya. Tapi sebagai ganti rasa sakit itu, cahaya telah kembali ke matanya. Kekosongan diganti dengan tekad yang menghadap ke depan.
"Itu salah untuk berpikir bahwa tidak takut mati berarti terobsesi dengannya. Dan aku menjadi sangat tersesat sehingga aku bahkan tidak bisa mengingat logika seperti itu."
Kata gadis itu sambil berdiri dari bangku tempatnya duduk. Meluruskan punggungnya dengan bermartabat, Nanao menundukkan kepalanya dalam-dalam ke arah teman-temannya.
"Oliver, Chela, Katie, Guy, Pete—Aku benar-benar minta maaf kepada kalian semua. Aku bersumpah kepada kalian sekarang, aku tidak akan pernah mencoba membuang hidupku lagi. Mulai hari ini, aku akan menghargai hidupku saat aku tetap berada di sisi kalian semua."
Setelah bersumpah dengan tegas, gadis itu mengangkat kepalanya. Semua temannya terlihat, gadis itu memberikan mereka senyuman polos.
"Jadi jika kalian tidak keberatan, tolong ajarkan aku cara hidup di sini. Tapi, aku harus memperingatkan kalian semua kalau aku sangat bodoh dalam semua bidang kehidupan kecuali pedang. Sejujurnya, aku benar-benar tidak yakin apa aku bisa mengikuti kelas hari ini."
Katanya sambil menggaruk kepalanya karena malu.
Teman-temannya merasa lega setelah mendengar tekadnya itu.
"Tentu, kami akan membantumu. Pete juga baru mulai belajar sihir. Kamu belum terlambat untuk memulai apapun." Kata Oliver kepada gadis itu.
"Benar. Kamu memilikiku juga, dan sebagai muridku, kamu tidak perlu takut. Dalam hal ini, kamu lebih menjanjikan daripada Guy."
"Tunggu, apa yang kamu artinya itu?! Chela, apa aku memang tidak berbakat?"
"Itu berarti kamu harus lebih berusaha keras dalam studimu. Tapi jangan khawatir—Aku sudah menyiapkan beberapa tugas untuk besok."
"Aku punya firasat buruk tentang ini. Terutama senyumannya itu! Pete, ayo lakukan yang terbaik besok, oke?"
"Jangan seret aku ke dalamnya!"
Guy berinisiatif mencairkan suasana di antara mereka berenam. Mereka akan mengobrol sepanjang malam, tapi akhirnya, Chela berdiri dari bangku untuk mengakhirinya.
"Kita harus menyudahinya, kalau tidak kita akan melewatkan jam malam. Aku benci mengatakannya, tapi mari kita berpisah untuk hari ini."
"Heeh? Wah, lihat waktunya! Nanao, ayo kembali ke kamar kita! Kita harus bersiap-siap untuk besok!"
Katie buru-buru berdiri dan menarik tangan Nanao.
Mereka menghilang ke asrama putri, dan segera setelah itu, Guy dan Pete pergi ke asrama putra. Begitu mereka berempat pergi, Oliver dan Chela menunggu di depan air mancur saat malam.
"....Maaf, Chela. Kamu benar-benar membantuku."
"Itu bukan masalah besar. Apalagi ketika hal itu melibatkan kehidupan seorang teman."
Jawabnya, tersenyum lembut.
Setelah jeda sesaat, dia diam-diam menambahkan :
"Aku juga bisa mengerti kehilangan ketenanganku dalam situasi itu. Apa kamu merasa bertanggung jawab karena hal tersebut?"
Ekspresi Oliver menegang ketika gadis itu menunjukkan hal tersebut. Gadis berambut ikal itu melanjutkan, seolah-olah dia bisa melihat ke dalam pikirannya.
"Apa yang Nanao rasakan dalam duel sebelumnya—Kurasa dia tidak sendirian. Pada saat itu, kamu meresponsnya dengan baik."
"..........!"
Rasanya seolah-olah Oliver telah tertusuk jantungnya; Oliver tidak bisa memikirkan satu jawaban pun.
Bagaimana dia bisa membantahnya? Dia memang merasakan yang sama. Dia telah melupakan dirinya sendiri dalam duel itu, dia sangat ingin melihat apa yang akan terjadi ketika mereka saling berhadapan. Paling tidak, pada saat itu, perasaannya tidak berbeda dengan perasaan Nanao.
"Tapi kemudian kamu menolaknya. Karena alasan itu, aku yakin rasa sakit Nanao bahkan lebih besar. Tentu saja, aku tidak menyalahkanmu karena itu. Bahkan, aku lega kamu bisa tenang. Hal terakhir yang ingin aku lihat adalah dua temanku bertarung sampai mati."
Keheningan berat mengikuti. Setelah beberapa saat, lanjut Chela, wajahnya tampak bermasalah.
"Tapi saat kalian berdua bersilang pedang, kalian menyadari takdir kalian saling terkait. Kudengar hal tersebut adalah fenomena langka di dunia sihir dan pedang. Mungkin kamu dan Nanao membentuk hubungan seperti itu. Jika itu benar, aku sama-sama takut dan iri karenanya."
Chela tiba-tiba berhenti dan meletakkan tangannya ke dadanya, seolah-olah berusaha mati-matian untuk memadamkan api yang berkobar di dalamnya.
"Maaf. Sepertinya aku terkena percikan sesuatu yang tidak baik. Duelmu sangat cemerlang, aku hampir tidak bisa menontonnya." Kata gadis itu dengan cemburu, lalu diam-diam berbalik. Sosok kebanggaannya menghilang ke dalam kegelapan.
Bahkan setelah gadis itu pergi ke asrama perempuan, Oliver tetap tinggal untuk waktu yang lama sampai detak jantungnya kembali normal.
***
Pagi setelah malam mereka yang bermasalah — secara halus — mereka berenam bertemu kembali di halaman tempat mereka mengobrol sebelumnya.
"Selamat pagi, Oliver!" Seru Nanao bersemangat begitu dia melihatnya. Oliver terkejut dengan perbedaan mencolok dalam suasana hatinya.
"Y-Ya, selamat pagi."
"Kamu tampak bersemangat hari ini. Sudah merasa lebih baik?" Guy bertanya, tersenyum.
"Selamat pagi, Guy dan Pete!"
Nanao menanggapi, tersenyum dengan cerah.
"Maafkan aku karena membuat kalian cemas tadi malam!" Gadis itu menundukkan kepalanya. Pete mendengus dan berbalik.
"Aku tidak cemas.... Tapi kurasa kamu lebih terlihat seperti dirimu sendiri sekarang." Tambah anak berkacamata itu dengan suara pelan.
Oliver dan Guy saling memandang, bertukar senyum masam.
"Kita semua sudah di sini sekarang. Sekarang—pergi ke akademi!" Penuh energi, Nanao bergegas memimpin jalan—kemudian melambat, malah berjalan di samping Oliver. Dia tersenyum berseri-seri kepadanya dengan tingkah polos.
".....Nanao, kenapa kamu berjalan di sebelahku?"
Oliver bertanya dengan bingung.
"Untuk mengamatimu lebih dekat, tentunya. Nona Chela menyuruhku berinteraksi denganmu tanpa menggunakan pedang."
"Kurasa dia tidak bermaksud agar kamu mempelajariku dari dekat......"
"Apa aku mengganggumu?" Gadis itu bertanya, tiba-tiba cemas. Dia tidak bisa mengabaikannya setelah tadi malam, jadi Oliver menghela napas pasrah.
"Tidak, aku tidak mengatakan itu. Kamu bebas berada di mana pun yang kamu suka."
Setelah mendapatkan izinnya, Nanao mengayunkan tangan dan kakinya dengan ekspresi gembira yang dramatis. Gadis itu menempel kepadanya seperti lem saat mereka berjalan.
Dari samping, Guy dan Pete mengamati ekspresi Oliver.
"......Kurasa aku melihat senyuman."
"Kurasa begitu."
"Guy! Pete!"
Oliver berteriak kepada mereka saat mereka saling berbisik dengan bercanda, merasa seolah-olah Oliver adalah satu-satunya orang dewasa di sekitar mereka.
Katie, yang mengawasi dari belakang, menarik lengan baju Nanao dari sisi di seberangnya.
"Ahem.... N-Nanao? Jika kamu terlalu dekat dengannya, kamu bisa mendapat masalah karena melanggar, Um, aturan akademi. Oliver adalah laki-laki, kamu tahu?"
Katanya, menariknya lebih keras.
Guy dan Pete mendekatkan kepala mereka lagi.
".....Sepertinya badai sedang terjadi.”
"Aku pikir juga begitu."
"Kalian berdua!"
Gadis berambut keriting meletus, dan para anak laki-laki itu berhamburan seperti bayi laba-laba. Sambil tertawa kecil, Chela melihat Katie mengejar mereka.
"Pagi yang sangat cerah dan hidup. Tidak terlalu buruk, kan, Nanao?"
"Mm, ya!"
Nanao mengangguk tanpa ragu. Melihatnya dipenuhi dengan kehidupan dan energi, Oliver menghela napas lega. Gadis itu bisa merasakan pedang itu bukan satu-satunya hal dalam hidupnya lagi.
***
Periode pertama mereka hari itu berlalu tanpa masalah. Setelah kelas sejarah sihir mereka usai dan keluar dari kelas, Guy dan Nanao sama-sama memegang kepala mereka untuk menunjukkan rasa sakit setelah sejumlah besar pengetahuan yang baru saja dijejalkan ke dalam otak mereka.
"Astaga, ini akan menjadi sulit..... Ada begitu banyak hal yang perlu diingat dalam sejarah sihir."
"Oh, kata-kata itu berputar di kepalaku."
Keduanya mengerang bersama.
Pete memutar matanya dan mendesah.
"Kalian berdua menyedihkan. Kalian akan gagal dari akademi normal dengan sikap seperti itu."
"Jangan merasa harus mengingat semuanya sekaligus. Mulailah dengan bit dasar terlebih dahulu, lalu hubungkan titik-titiknya dari sana. Kalau tidak, kalian akan segera melupakannya, dan lalu apa didapatkan?"
Kata Oliver, berusaha mengajari mereka rahasia belajar. Saat itu, dia melihat seorang gadis yang dikenalnya berlari ke arahnya dari ujung aula.
Gadis itu adalah Chela, yang menghadiri kelas dengan Katie di ruangan yang berbeda.
"Oliver, kamu harus ikut denganku!"
"Chela? Apa yang salah?"
"Katie baru saja pergi! Dia mendengar mereka akan mengeksekusi Troll yang menyerangnya! Dia mencoba menghentikannya!"
Mata Oliver melebar. Dia mengejar Chela saat dia memimpin jalan, tak satu pun dari mereka menyia-nyiakan waktu.
***
Perumahan untuk Magical Beast berada di properti Kimberly, namun untuk alasan pemantauan keamanan dan pelestarian habitat, tempat itu terletak jauh dari gedung akademi itu sendiri. Areanya yang dikelilingi pagar sangat luas, namun kenyataannya, tempat itu hanyalah puncak gunung es, dan sebagian besar fasilitas memotong labirin bawah tanah.
Tempat itu mengembang dan menyusut tergantung pada jumlah makhluk yang dirawat, jadi tidak mungkin untuk mendapatkan gambaran akurat tentang skala penuhnya. Namun, menurut alumni, makhluk paling berbahaya disimpan di level paling bawah.
Adapun Troll, ruang hidup mereka ada di permukaan. Setiap orang bebas untuk mengamati mereka dari balik pagar, dan tidak ada hambatan nyata untuk menyentuh mereka secara langsung. Makhluk yang membunuh ribuan non-penyihir setiap tahun bahkan tidak dianggap berbahaya bagi penyihir.
"Ada sangat sedikit hal yang benar-benar membuatku marah."
Di sudut fasilitas, seorang laki-laki berjubah hitam berdiri dengan ekspresi serius di depan sangkar raksasa yang digunakan untuk mengkarantina makhluk sakit. Di dalam sangkar itu ada Troll — Troll yang sama yang mengamuk selama parade — yang meringkuk karena kehadiran laki-laki yang sombong dan menggigil ketakutan akan kematiannya yang akan segera terjadi.
"Salah satunya adalah mengulangi kembali apa yang aku katakan kepada orang yang sama. Tidak ada yang lebih menggangguku daripada waktu berhargaku yang terbuang sia-sia oleh orang bodoh. Waktu yang dihabiskan untuk berbicara bisa lebih baik dihabiskan untuk pengejaran mental yang berharga."
Dan di antara orang dan Troll itu, punggungnya ke penjara logam, berdiri seorang perempuan. Dia menghadapi orang itu secara langsung, menatap lurus ke matanya. Siapa lagi kalau bukan Katie Aalto?
"Mengulanginya sekali saja sudah menjengkelkan. Tapi untuk membuatku melakukannya untuk kedua kalinya, aku tidak punya pilihan selain menganggap diriku benar-benar berbicara dengan monyet berbentuk manusia. Tahun pertama, apa kau ingin menjadi monyet itu?"
Orang itu bertanya dengan dingin.
Memanggil semua tekadnya, Katie menjawab.
"Tolong jangan mengubah topik pembicaraan. Aku mohon—jangan bunuh Troll itu!" Katie memohon dengan sekuat tenaga.