Chapter 1 :
The Ceremony
Jika kalian ingin melihat keajaiban musim semi, pergi dan saksikan persiapan upacara masuk Kimberly Magic Academy. Orang-orang telah mengatakan ini selama bertahun-tahun, biasanya dengan nada sinis.
Tinggalkan Galatea dan pergilah ke timur, melintasi dua gunung, dan kalian akan menemukan jalan yang disebut Flower Road menuju ke kampus. Sepanjang tahun ini, tumpah ruah pohon berbunga mekar penuh, termasuk bunga sakura. Pemandangan itu adalah pemandangan yang tampaknya pas untuk menanamkan harapan pada siswa baru saat mereka menuju gerbang akademi.
Namun, pemandangan itu terlihat aneh dari perspektif logis. Kalian dapat mencari di area sekitar semau kalian, namun tidak akan ada satu pun kelopak yang bertunas atau mekar dan pudar. Ribuan tanaman ada di sepanjang Flower Road sepanjang setengah mil, dari pepohonan hingga semak belukar. Mungkinkah semuanya sama-sama mekar di waktu yang sama?
"Ah—bahkan Jack the Unblooming telah berbunga dengan baik."
Pohon sakura kuno berumur seribu tahun. Oliver, menatap apa yang pada dasarnya merupakan emblem dari Flower Road, menghela napas dalam-dalam.
Salah satu ujian bagi siswa tahun keenam Kimberly sebelum mereka menjadi senior adalah memastikan bahwa setiap tanaman di sepanjang jalan ini mekar penuh pada hari upacara masuk. Acara tersebut mendapat julukan seperti Dark Sabbath and Hell’s Greatest Comedy Hour. Hal tersebut adalah kebenaran dari "springtime magic" — bagi orang luar, hal itu tampak seperti pemandangan yang sangat langka, namun begitu selesai, anak kelas tahun keenam akan mengeluh secara kolektif, menyebutnya "tradisi paling bodoh yang pernah ada".
"Hei, kau yang di sana! Bajumu keluar dari celanamu!"
"Singkirkan bulu kucing itu dari jubahmu!"
"Apa kau punya saputanganmu? Apa kau pergi ke kamar mandi? Jangan ditahan. Jika kau tiba-tiba merasa ingin meledak, beri tahu prefek!"
Dahlia, batangnya terjulur, terus-menerus mematuk aliran siswa baru. Dari semua makhluk hidup di sepanjang jalan ini, merekalah yang paling cerewet.
Sayangnya, para siswa yang berjalan di luar antrean panjang tidak memiliki cara untuk melarikan diri dari apa yang disebut "tanaman kebanggaan" yang mampu berpikir dan berbahasa seperti ini.
"Oh, ya ampun, ya ampun, ya ampun!"
Sekuntum bunga dari tempat tidur lain memanggil Oliver, membuatnya tidak sadar. Benang sarinya bergetar saat berbicara.
"Apa kau sedang gugup Nellie!"
".....Apa aku terlihat seperti sedang gugup?"
Yang di maksudkan oleh itu, Oliver melihat dirinya sendiri. Dia mengenakan celana biru tua dan kemeja abu-abu yang ditutupi jubah hitam. Di pinggangnya ada tongkat putih dan athame di sarungnya, masing-masing terpasang di tempatnya. Untuk anak berusia lima belas tahun, dia cukup rata-rata dengan tinggi hanya di bawah lima kaki, dengan rambut hitam lurus dengan panjang rata-rata yang sama. Tidak ada yang istimewa tentang dia sama sekali. Dia benar-benar murid Kimberly baru yang khas.
"Ya, terserah kau sih. Aku tidak tahu apa yang kau takutkan, tapi tidak apa-apa untuk bersantai sedikit! Ini adalah upacara masukmu! Setidaknya cobalah untuk menikmatinya — tidak peduli masa depan mengerikan seperti apa yang menantimu."
"Terima kasih atas sarannya, nona. Namun, aku harus memperingatkanmu bahwa jika kau tidak segera berhenti, kau akan mematahkan batangmu sendiri."
"Oh, ya ampun!"
Dahlia, yang mengikuti langkah Oliver, menyadari bahwa dia kewalahan dan kembali ke petak bunganya.
Oliver menghela napas dan mulai berjalan lagi.
"Apa mereka mencoba menghibur atau menakut-nakuti kita? Setidaknya pilih satunya." Kata seorang siswa yang berjalan di sebelahnya.
Oliver menoleh untuk menemukan seorang gadis kecil yang cantik dengan rambut keriting halusnya.
Pakaiannya, kecuali roknya, persis sama dengan miliknya. Seorang rekan penyihir yang sama dalam masa pelatihan, lalu....
"....Ahem."
Pasti butuh keberanian baginya untuk mengatakan sesuatu, karena dia bisa melihat kegugupan tertulis di seluruh wajahnya. Oliver tersenyum, berhati-hati untuk mengingat orang pertama yang berbicara dengannya.
"Aku, benar?" Katanya kepadanya.
"Kalau begitu, pernahkah kamu melihat tanaman kebanggaan ini sebelumnya?"
Gadis itu berbicara dengan santai setelah mendengar tanggapannya yang ramah.
"Tidak ada yang mengoceh begitu lama. Tempat asalku jauh lebih imut dan sederhana."
"Ha-ha, jangan pedulikan dahlia itu. Mereka tidak lebih dari suara gemerisik daun dibandingkan dengan yang ada di kampung halamanku."
Kata orang ketiga dari belakang mereka.
Oliver dan gadis itu baru saja mulai berbicara ketika mereka berbalik untuk menemukan seorang anak laki-laki berambut cokelat pendek. Meskipun dia mungkin seumuran dengan mereka, dia cukup tinggi.
"Jenis flora magis itu memiliki kepribadian yang berbeda tergantung pada sifat magis dari tanah tempat mereka berakar. Kudengar yang ada di sekitar bagian ini sangat jahat. Itulah sebabnya siswa yang lebih senior mengalami masa-masa sulit setiap tahunnya."
Dia menjelaskan dengan otoritas. Dilihat dari wajah dan tangannya yang kecokelatan, Oliver menganggap keluarganya adalah keluarga petani sihir.
"Kita harus berurusan dengan hal yang sama dalam enam tahun." Canda Oliver.
"Kudengar para siswa yang bertanggung jawab dinilai dari berapa banyak bunga Jack yang dimiliki pada hari upacara masuk."
"Ah, rumor tentang Hell’s Greatest Comedy Hour itu? Dari apa yang aku lihat, Jack sedang mekar penuh — anak tahun ketujuh saat ini pasti sangat berbakat."
Kata gadis berambut keriting itu, dan ketiganya menatap bunga sakura yang mekar itu. Pada pandangan pertama, pohon itu tampak seperti pohon yang benar-benar tua, namun setelah diamati lebih dekat, mereka menyadari tonjolan dan pola kulitnya menyerupai wajah orang tua yang sedang tidur. Apa sesepuh tanaman kebanggaan ini juga berbicara dan bergerak seperti dahlia?
"Yah, bukannya tidak menghormati Jack-san atau bunga mekarnya yang langka, tapi ada hal lain yang menarik perhatianku saat ini."
Kata anak laki-laki bertubuh jangkung itu, mengalihkan pandangannya ke garis depan. Oliver dan gadis berambut keriting juga menoleh, dan anak laki-laki itu merendahkan suaranya.
".....Apa pendapat kalian tentang itu?"
Dia menunjuk ke tengah barisan, pada seorang gadis dengan pakaian yang sangat berbeda dari siswa lainnya. Gadis itu ditutupi dari pinggang ke bawah dengan kain longgar, pakaian di antara celana dan rok panjangnya. Sesuatu yang mirip dengan jubah menutupi atasannya, diikat di depan dadanya dengan ikat pinggang, dan di pinggulnya ada pedang melengkung.
Tak satu pun dari mereka yang tahu penyebutan resmi untuk yang satu itu, namun penampilannya yang unik mengingatkan kata yang sama.
".....Seorang samurai, ya?"
"Seorang gadis samurai?"
"Benar. Jadi aku juga menyebutnya begitu."
Sekarang setelah mereka sepakat, anak bertubuh tinggi itu mulai berpikir dalam dirinya sendiri. Gadis itu terlalu jauh untuk dipanggil, jadi dia berdiri di atas jari kakinya untuk mengamatinya dengan lebih baik.
"Dia jauh lebih langka daripada dahlia yang bisa bicara. Apa yang dilakukan samurai dari Azia di upacara pembukaan Kimberly ini?”"
Oliver diam-diam setuju. Dia dan dua siswa lainnya berasal dari Union, sebuah federasi multinasional.
Union dan Azia secara fisik sangat jauh sehingga mereka hampir tidak memiliki hubungan diplomatik. Yang Oliver dan yang lainnya tahu tentang tempat itu hanyalah kisah-kisah langka dari kapal dagang dan potongan-potongan budaya yang dibawa kembali oleh para petualang yang lebih penasaran. Secara alami, informasi yang terbatas ini mengarah pada fantasi yang sepenuhnya diromantisasi. Jadi, bagi mereka, Indus, Chena, dan Yamatsu disatukan.
"Yah, jika dia sejalan dengan kita, maka dia pasti murid baru juga, kan?"
"Bagaimana dengan seragamnya? Katana di pinggulnya tidak terlihat seperti athame. Apa seragamnya juga berasal dari akademi Azian?"
"Berhentilah menatapnya, bodoh. Aku yakin dia punya alasan. Mungkin kepindahannya sangat mendadak dan penjahitnya tidak buka."
Cewek berambut keriting memarahi laki-laki bertubuh tinggi itu. Oliver hanya mengangguk.
"Kimberly mencari anak-anak dengan kemampuan sihir dari seluruh dunia, tidak hanya di sini, di Yelgland. Dia pasti salah satu prospek internasional—sama sepertimu." Katanya, membuat gadis berambut keriting itu terkejut. Dia membeku sesaat, matanya melebar.
"H-Hah? Kamu bisa mengetahuinya? Aku sangat yakin kalau aku telah menghafal bahasanya dengan sempurna."
"Masih ada sedikit aksen dalam pengucapan a dan o. Aku menduga kamu berasal dari utara, mungkin di sekitar Farnland?"
".....Ugh, kamu bisa menebaknya. Ada keterkejutanku selama perkenalan diri." Katanya dengan getir, bibir cemberut. Oliver tersenyum dengan agak bersalah, lalu mengamati pemandangan di sekelilingnya.
"Sepertinya ada banyak siswa yang berasal di luar Union. Gadis itu adalah satu-satunya Azian. Masuk akal, karena sebagian besar negara di sana yang kita ketahui tertutup terhadap sihir."
"Hmm.... Aku ingin tahu bagaimana rasanya hidup tanpa sihir. Aku tidak bisa membayangkannya."
"Tanaman mungkin lebih mudah dirawat, setidaknya."
Saat gadis berambut keriting itu berbicara, samurai itu tampak menatap sekelompok dahlia yang cerewet dengan heran. Tingkahnya sangat lucu sehingga Oliver tertawa kecil.
"Whoa, coba lihat! Seluruh parade dari fauna sihir!"
Begitu keluar dari Flower Road dan melewati gerbang akademi yang besar, para siswa sudah berada di halaman kampus. Anak laki-laki bertubuh tinggi itu berteriak, dan Oliver menoleh.
"Whoa." Dia menghela napas. Unicorn yang cantik, Griffin dengan bangga melebarkan sayapnya, sisik emas fafnir yang berkilauan di bawah sinar matahari—barisan teratur makhluk sihir, beberapa jauh lebih tinggi dari manusia, berparade mengelilingi halaman.
"Hoo, pemandangan yang luar biasa! Inilah Kimberly. Pertama, mereka membuat kita terkesan dengan tanaman mereka, lalu mereka menambahkannya dengan binatang sihir ini!"
Anak laki-laki bertubuh tinggi itu juga tidak sendirian karena rasa takjubnya. Siswa lain tidak berusaha menyembunyikan kegembiraan mereka mendapatkan kursi barisan depan untuk pertunjukan semacam itu.
Antrean siswa tahun pertama untuk sementara berhenti—itu adalah waktu yang tepat untuk melihat parade itu dengan baik. Anak laki-laki berubuh tinggi itu berseru dan berteriak sampai akhirnya dia menyadari bahwa gadis di sebelahnya sedang mengerutkan keningnya dengan tidak senang. Dia berpaling padanya.
"Apa yang salah?" Dia bertanya dengan bingung.
"Lihatlah. Kamu tidak pernah melihat sesuatu seperti ini di tempat lain."
"Aku mengerti itu. Aku hanya tidak bisa memaksa diri untuk mengikuti hal ini." Kata gadis berambut keriting itu, menunjuk ke bagian pawai.
Oliver dan anak laki-laki bertubuh tinggi itu menoleh untuk melihat makhluk magis humanoid setinggi sepuluh kaki, berotot, —seorang Troll, sejenis demi-human, mengenakan pakaian paling sederhana dan berjalan lamban.
"Lihat? Mereka memaksa troll itu untuk berparade seperti binatang sihir lainnya."
"Hmm? Ya, kurasa begitu."
"Apa tidak ada yang punya masalah dengan itu?"
Gadis itu bertanya dengan ekspresi tidak senang. Anak laki-laki bertubuh tinggi itu memberinya tatapan kosong.
"Di mana masalahnya? Troll liar adalah makhluk yang berbahaya, tapi mereka menghasilkan ternak yang berharga jika seseorag dapat memperkerjakan mereka seperti itu. Mereka sangat berguna untuk membawa barang-barang."
"Sigh.... Kamu perlu belajar lebih banyak."
Kata gadis itu, meratapi kurangnya pengetahuan anak laki-laki bertubuh tinggi itu.
Gadis itu mengarahkan jari telunjuknya ke arahnya dan melanjutkan :
"Apa kamu mendengarkan? Menurut penelitian Great Sage, Rod Farquois, manusia dan demi-human memiliki nenek moyang yang sama, jika kamu kembali ke tiga ratus ribu tahun yang lalu. Apa kamu bisa mengerti apa artinya itu? Spesies kita dengannya memiliki berkerabat jauh!" Gadis itu memberi ceramah.
Anak laki-laki bertubuh tinggi itu menyusut kembali, namun gadis itu terus memburunya.
"Apa kamu tahu jenis demi-human mana yang telah diberikan kebebasan sipil?"
"U-Um..... Para Elf, kan?"
"Benar. Tapi masih ada dua lagi—"
"Para Dwarf dan Centaur."
Sela seseorang dengan blak-blakan.
Keduanya berbalik terkejut menemukan seorang anak laki-laki pendek dengan sebuah buku tebal di tangannya. Dia mendengus dan mengintip mereka melalui kacamatanya dengan sikap yang angkuh.
"Itu hanya pengetahuan umum—tidak perlu mengulang semuanya. Dan jika kalian akan mengobrol di dunia kalian sendiri, bisakah kalian sedikit lebih tenang? Kalian menggangguku saat membaca."
"Heeh? Ah, uh, maaf."
Gadis berambut keriting itu secara naluriah menundukkan kepalanya. Tidak ada yang berpikir untuk menegurnya karena membaca pada saat seperti ini.
"Itu Griffin.... bukan, Hippogriff? Bentuk sayapnya tidak seperti ilustrasi di bukuku. Penjual buku sialan itu lebih baik tidak menipuku....."
Kata anak berkacamata itu berkata sambil melirik antara bukunya dan parade binatang sihir itu.
Gadis itu, mengawasinya dari sudut matanya, mulai berdeham memulihkan suasananya.
".....Ahem. Benar. Semua itu. Kobold, Sirene, Goblin, Harpy, Pygmi—dalam biologi sihir, ada banyak makhluk hidup yang diklasifikasikan sebagai demi-human, namun hanya tiga spesies yang diberikan hak sipil. Semua spesies itu sangat baru, yang baru aku sebutkan. Dua puluh tahun yang lalu, Centaur diperlakukan tidak berbeda dengan troll. Hanya hewan pekerja, dihargai karena kemampuannya membawa beban berat."
Saat gadis itu berbicara, dia dengan cepat mendapatkan kembali ketenangannya. Oliver mendengarkan penjelasannya dengan penuh minat.
"Tapi jika kita menelusuri akarnya, kita bisa menemukan bahwa Troll bercabang dari nenek moyang kita yang sama bahkan lebih dulu dari Centaur. Hal tersebut adalah fakta akademis, dibuktikan oleh banyak penelitian. Namun, meskipun Centaur sekarang dianggap 'manusia', kita masih memperlakukan Troll seperti budak. Tidakkah kamu merasa kalau itu salah?"
Gadis itu menjulurkan jarinya lagi, sementara anak laki-laki bertubuh tinggi itu menyilangkan lengannya dan berpikir sebentar.
"Tunggu dulu." Jawabnya.
"Aku bukan ahlinya di sini, tapi bukankah terlalu sulit untuk mengklasifikasikan Elf, Centaur, dan Troll di bawah posisi yang sama? Troll tidak bisa berbicara atau menulis. Mereka itu murni otot. Mereka juga menyerang manusia. Dan kamu ingin kita memperlakukan mereka sebagai kerabat?"
"Kamu benar tentang keterbatasan mereka itu. Tapi aku keberatan dengan argumenmu yang lain. Gambaran Troll sebagai makhluk biadab baru muncul setelah manusia mulai menaklukkan dan menggunakannya dalam perang. Mereka dijinakkan dengan paksa, dan keinginan mereka dipelintir."
Oliver mengangguk pada dirinya sendiri. Troll itu kuat dan tangguh, tidak terlalu pintar dan tidak terlalu bodoh. Karena alasan ini, dalam banyak hal tidak bisa dihindari kalau para penyihir menggunakan mereka sebagai pelayan.
"Apa kamu mencoba mengatakan jika Troll liar tidak menyerang orang? Maaf saja, tapi hal itu hanya sekumpulan kebohongan. Troll sudah melukai banyak orang setiap tahun di tempat asalku."
"Tentu saja mereka akan melawan jika seseorang menerobos masuk ke wilayah mereka. Hal yang sama berlaku kepada Elf dan Centaur. Ini masalah batasan."
Balas gadis itu, membusungkan dadanya seolah dia sudah menang. Namun, anak laki-laki bertubuh tinggi itu tidak yakin.
"Batasan? Populasi negara ini terus tumbuh dan berkembang. Jika kita tidak meratakan gunung, kita tidak bisa menanam lebih banyak ladang atau membangun kota baru. Dan jika kamu benar-benar ingin sebuah kebenaran, bagaimana dengan akademi yang akan kamu hadiri ini? Tempat ini dulunya adalah rumah bagi demi-human lainnya sebelum mereka membangun kampus ini."
"Mmgh.... I-Itu contoh ekstrem. Aku tidak mencoba menolak pembangunan. Aku hanya berpikir kita harus mengakui bahwa mereka memiliki hak untuk tinggal di wilayah mereka sendiri...."
"Namun, haruskah kita?" Anak laki-laki itu menyela.
"Jika posisinya terbalik, menurutmu apa mereka akan memperlakukan manusia dengan empati sebesar itu? Apa mereka akan membiarkan kita pergi dengan peringatan lembut untuk tidak menyerbu ruang mereka karena kita juga punya hak untuk hidup?"
"Erk—"
Kata-kata gadis itu tertahan di tenggorokannya saat argumen itu memukulnya di tempat yang sensitif. Dia berada di garis belakang sekarang. Anak laki-laki bertubuh tinggi itu juga tidak menyerah.
"Ini hanya pengalamanku, tapi Troll sangat menakutkan bagi kita di luar sana. Mereka mengacaukan ladang kami, itulah sebabnya keluargaku memasang jebakan untuk mengusir mereka dan terkadang memburu mereka di pegunungan, namun ibu dan ayahku tidak pernah mengizinkanku ikut. Satu kesalahan dari orang yang tidak berpengalaman berarti kematian."
Hal itu juga benar, pikir Oliver sambil menoleh untuk melihat reaksi gadis itu. Anak laki-laki bertubuh tinggi itu memiliki pengalaman kehidupan nyata di bidang ini, yang memperkuat kata-katanya. Tidak dapat menemukan argumen balasan yang cocok, gadis itu menggigit bibirnya dengan getir dalam diam.
".....Bukan seperti itu maksudku." Gadis itu tiba-tiba berkata. Kepalanya menunduk, dan pipinya cemberut; bahkan nadanya benar-benar kekanak-kanakan.
".....Miliku tidak seperti itu. Dia sudah seperti keluargaku...... Patro baik dan kuat. Dia tidak pernah melakukan kekerasan kepadaku. Setiap kali dia menemukanku menangis, dia membiarkanku naik di pundaknya..... Aku tidak berbohong. Troll adalah makhluk yang baik."
"Whoa, itu terdengar gila. Aku belum pernah mendengar Troll merawat anak-anak. Orang tuamu pasti melatihnya dengan sangat baik."
Anak laki-laki bertubuh tinggi itu tampak terkesan, namun Oliver masih menutupi wajahnya dengan tangannya. Ini tidak baik, bahkan jika anak laki-laki bertubuh tinggi itu tidak bermaksud untuk menyindirnya.
Dan seperti yang diharapkan, wajah gadis berambut keriting itu langsung berubah menjadi tatapan tajam.
"'Melatih'?! Apa itu satu-satunya caramu memikirkan mereka?! Karena orang-orang sepertimu, para Troll takut kepada manusia!"
"Apa?!" Anak laki-laki bertubuh tinggi itu membalas.
"Kamulah yang belum pernah melihat Troll liar! Kamu belum pernah melihat seseorang mengambil kotoran mereka di lapangan yang baru saja hancur! Kotoran mereka itu seperti gunung kecil! Datanglah kapan-kapan ke tempatku, dan akan aku tunjukkan kepadamu! Itu pasti akan mengubah pikiranmu!"
Masing-masing dari mereka saling menyerang satu sama lain dari perkataan mereka. Hal itu bukan lagi obrolan lagi namun pertengkaran antar anak-anak.
Murid baru lainnya di sekitar mereka mengalihkan pandangan mereka untuk mencari sumber dari teriakan itu. Anak berkacamata di sebelah mereka, yang telah membaca selama ini, tidak bisa lagi menahan kekesalannya.
".....Jangan membuatku sampai mengulanginya lagi. Jika kalian mau berdebat, setidaknya lakukan dengan tenang—"
"Yang di sana! Ada apa dengan keributan ini?”"
Sebuah suara menembus hiruk pikuk kerumunan, dan lautan orang terbelah untuk memungkinkan seorang siswa perempuan lewat. Dia berdiri tegak seperti anak panah, dan tidak ada benang di seragamnya yang berantakan. Kulitnya berwarna seperti kopi yang langka, namun yang benar-benar menarik perhatian adalah rambut keemasannya—banyak ikal keriting yang dilakukan dengan sangat sempurna, tampak bersinar dengan kilauan emas asli.
"Hanya karena upacara masuk belum dimulai bukan berarti kalian bisa bertingkah seperti anak kecil! Begitu kita melewati gerbang itu, kita sudah menjadi siswa Kimberly baik dalam nama maupun kenyataan! Dan sebagai siswa dari institusi bersejarah seperti ini, kita harus berusaha menjadi teladan, mulai sekarang!"
Nada suaranya angkuh seperti penampilannya; begitu terlihatnya, tidak terasa seolah-olah mereka sedang dimarahi oleh seseorang yang seumuran dengan mereka. Namun kedua anak itu begitu asyik dengan argumen mereka sehingga kata-katanya bahkan tidak masuk akal. Sebaliknya, mereka mengalihkan tatapan marah mereka pada pendatang itu.
"Oh bagus, pihak ketiga. Hei, kamu–"
"Apa yang kamu pikirkan ketika kamu melihat troll itu?!"
Menunjuk ke arah Troll itu, mereka menyeretnya ke dalam pertengkaran mereka. Gadis ikal itu terkejut.
"A-Apa? Apa kalian mengacu pada Troll Gasney di antara prosesi parade ini?"
Gadis itu bertanya dengan bingung, pandangannya beralih ke objek diskusi mereka. Matanya sedikit menyipit, kilatan tajam muncul di dalamnya.
"Yah, dari apa yang bisa kukatakan pada jarak ini, sepertinya dia adalah spesimen yang luar biasa. Struktur kerangkanya, tinggi badannya, dan otot-ototnya.... Seharusnya bisa menjalani kerja paksa tiga puluh tahun lagi tanpa masalah. Kimberly hanya memperkerjakan familiar terbaik. Siapa pun yang menawarkan kurang dari tiga juta belc untuk itu di pasar akan tertawakan pastinya."
Mata para siswa melebar pada tanggapannya yang tidak terduga itu. Gadis berambut ikal itu berbalik menghadap murid-murid tahun pertama yang baru dan, tampaknya menyadari kesalahannya, menyilangkan tangannya untuk memahami.
"Ah, jadi begitu. Pendapat kalian terbagi atas penilaiannya? Ya, aku seharusnya berharap kalian ingin mengetahui pendapat penyihir tentang nilai sebenarnya. Tapi demi kehormatan keluargaku, aku bersumpah kalau makhluk itu adalah ras Gasney. Makhluk itu pasti tidak bercampur dengan darah apapun dari Krand yang kejam atau Ellney yang kekar..... Makhluk itu tampaknya sedang agak gelisah, yang akan aku akui sedikit memprihatinkan." Gadis itu menatap Troll itu sebentar, lalu mengembalikan pandangannya ke kedua siswa itu dan berbicara dengan bangga.
"Jika aku boleh menambahkan, jika kalian ingin memilih Troll yang bagus, kalian harus fokus pada garis keturunan mereka sebelum melakukan penilaian pribadi. Aku bahkan pernah mendengar cerita tentang orang malang yang membeli Troll liar dari peternak yang tidak jelas, Troll itu menumbuhkan tanduk setelah bertahun-tahun. Setelah diselidiki, ada darah Ogre—"
"..........."
"..........."
{ TLN : wkwkwkw }
Anak laki-laki bertubuh tinggi dan gadis berambut keriting itu benar-benar terdiam, tidak dapat menemukan waktu untuk menyela ucapan gadis itu.
Tidak hanya pengetahuan gadis itu yang mengesankan, namun kemampuannya untuk menilai Troll membuat mereka berdua sadar — terutama gadis berambut keriting itu — bahwa budaya dan nilai-nilai gadis berambut ikal emas itu sangat berbeda sehingga pada level mereka, tidak ada argumen yang memungkinkan.
"Ada apa? Mengapa kalian diam? Apa kalian tidak ingin tahu lebih banyak tentang Troll itu?
Gadis berambut ikal itu memiringkan kepalanya dengan rasa ingin tahu saat ketegangan canggung di antara mereka bertiga semakin dalam. Oliver, yang hanya menonton, mulai sedikit panik—Hal tersebut bukan perkembangan yang baik tepat sebelum upacara masuk. Setelah beberapa pemikiran, dia memutuskan untuk menghentikan masalah yang berkembang itu.
".....Ahem. P-Pokoknya, kalian, akan ada banyak waktu untuk wacana ilmiah nanti. Hari ini upacara masuk kita; kita seharusnya merayakannya. Tidak ada gunanya bersikap begitu cemberut, sekarang kan?"
Kata Oliver dan menarik tongkat putihnya dari pinggangnya. Dia tersenyum selebar mungkin pada mereka untuk membuktikan niat ramahnya.
Tenggorokannya tegang karena gugup, dia berkata :
"Jadi, uh, lihatlah dan bergembiralah sedikit, oke?"
Oliver menjentikkan tongkatnya, dan meneriakkan dengan keras :
"Comarusal!"
Saat berikutnya, surai raksasa muncul di belakang kepalanya dengan poof.
"Heeh?"
"Wah!"
Kedua orang yang memulai pertengkaran membuka mata mereka lebar-lebar karena terkejut.
Bagus! Sepertinya itu berhasil! Kata Oliver dalam pikirannya, namun kemudian gadis berambut keriting itu berlari ke arahnya.
"Wow! Kamu bisa menggunakan mantra transformasi? Mantra itu sangat hebat!"
"Huh, aku terkesan kamu bisa menggunanya dengan sempurna." Kata anak laki-laki bertubuh tinggi itu.
"Aku mencoba mantra itu sekali, dan wajahku berubah menjadi kucing dari hidung ke bawah. Aku benar-benar ketakutan."
Mereka berdua berkomentar saat mereka menyentuh dan memeriksa surainya dengan rasa ingin tahu yang besar. Terkejut dengan reaksi mereka, Oliver tersenyum canggung dan bertanya :
".....Um, menurut kalian itu tidak lucu?"
"Huh? Hm, lebih seperti...."
"Terkesan dengan keahlianmu."
Mereka berdua menjawab dengan jujur, tanpa sedikit pun niat jahat. Oliver merosot karena kecewa. Kali ini, gadis ikal itu mendekatinya.
"Kamu hebat dalam melakukannya. Mantra milik Bridge Lanarusal-san itu versimu sendiri, kan?"
"K-Kamu tahu itu?" Oliver tergagap.
"Ya, aku suka magical comedy juga. Aku kira kita memiliki minat yang sama. Pertama kali aku melihat lelucon itu, aku memegangi perutku dan tertawa selama hampir satu jam." Kata gadis itu sambil tertawa kecil saat mengingatnya.
Hati Oliver semakin tenggelam. Gadis itu pernah menertawakan versi aslinya, namun dia bahkan tidak tertawa sama sekali dengan versi milik Oliver.
".....Maaf. Lupakan saja yang kalian lihat sebelumnya."
"Heeh? Mengapa?! Itu menakjubkan! Aku sangat terkesan loh!"
Namun kata-kata pujian itu tidak didengarkan saat Oliver merosot dengan rasa kekalahan yang luar biasa. Bahkan surai indah yang telah dia sempurnakan dengan susah payah bergoyang sedih tertiup angin.
"H-Hei, jangan terlalu tertekan. Setidaknya tidak ada yang berdebat lagi, kan?" Anak laki-laki jangkung itu dengan cepat menambahkan. Lalu Oliver, dia akhirnya berdiri kembali. Dia menghilangkan surai dengan mantra lain dan kembali ke gadis berambut ikal itu.
"Ngomong-ngomong, maaf atas gangguan ini."
"Ya, selama kita semua mengerti satu sama lain."
Gadis berambut ikal itu tersenyum anggun dan mengangguk. Puas bahwa masalah itu diselesaikan, dia berputar.
"Paradenya sudah setengah jalan. Sepertinya kami akan segera melanjutkan prosesinya juga. Cobalah untuk menjaga ketertiban sehingga kita semua bisa mencapai akademi tanpa masalah."
Dan dengan itu, dia pergi dengan elegan. Saat mereka melihatnya pergi, pandangan Oliver beralih ke garis depan.
"Sepertinya barisan depan mulai bergerak. Dia benar tentang itu, parade ini akan segera berakhir."
"Tunggu, sudah berakhir? T-Tunggu, beri aku sedikit waktu lagi." Gadis berambut keriting itu mencondongkan tubuhnya lebih jauh lagi dan menatap tajam ke bagian tertentu parade tersebut.
"Aku juga benci untuk mengakuinya, tapi kita harus pergi sekarang."
Kata anak laki-kaki bertubuh tinggi itu kepadanya.
"Kita mungkin akan mendapat banyak kesempatan untuk melihatnya kembali di Kimberly."
"Aku tahu, tapi.... Aku tidak bisa meninggalkan Troll malang itu! Dia benar-benar tampak gelisah."
Kata gadis berambut keriting itu, matanya terpaku pada Troll itu. Analisis gadis berambut ikal sebelumnya pasti benar-benar menarik perhatiannya. Kedua anak laki-laki itu mengangkat bahu mereka. Bukan seperti mereka harus segera mulai bergerak. Tapi begitu mereka mengalihkan pandangan darinya....
"Iaas."
"Hah?"
Rasa kesemutan aneh mengalir di kaki gadis berambut keriting itu. Tiba-tiba, dan bertentangan dengan keinginannya, tubuhnya melompat keluar dari barisan dan mulai berlari lurus ke depan.
"Oi! Apa yang kamu lakukan?!"
"Berhenti! Jangan mendekat ke sana!"
Kedua anak laki-laki itu berteriak, menyadari sesuatu yang terlambat. Tapi kaki gadis itu tidak mau berhenti. Untungnya, dia memiliki kendali atas kepalanya, dan dia menggoyangkannya dari satu sisi ke sisi lain.
"Aku—Aku tahu! Tapi aku tidak bisa—Kakiku bergerak dengan sendirinya!" Gadis itu balas berteriak dengan suara nyaring. Menyadari ada sesuatu yang salah, kedua anak laki-laki itu pergi bersamaan.
Mereka berlari secepat mungkin ke arahnya, melesat melewati gerombolan siswa yang tertegun. Ketika mereka semakin dekat ke parade itu, mereka melihat sesuatu yang membuat mata mereka melebar.
".....?! Hei! Apa ini cuman perasaanku, atau apa Troll itu akan menuju kesini?!"
Teriak anak laki-laki bertubuh tinggi itu dengan bingung. Dia menunjuk pada makhluk besar yang menjadi bahan perdebatan mereka sebelumnya. Tubuh raksasa makhluk itu mengguncang tanah dengan setiap langkah saat dia berlari ke arah mereka. Dan di balik itu.....
"Grrrrr!"
"Rrrrrf!"
Dua Warg telah berpisah dari parade itu dan berlari menuju Troll. Warg memiliki naluri yang kuat untuk melindungi tatanan kawanan mereka, yang artinya mereka sering digunakan dengan cara yang mirip dengan cara gembala menggunakan anjing penggembalanya. Gonggongan berulang mereka memperingatkan Troll untuk segera kembali ke kawanannya. Namun, demi-human raksasa itu tidak mau berhenti, sepenuhnya mengabaikan makhluk-makhluk itu. Salah satu Warg kehilangan kesabaran dan berusaha menggunakan kekerasan, menggigit pergelangan kaki Troll itu dengan kekuatan rahang yang cukup untuk mematahkan leher manusia.
"Hmph!"
Saat berikutnya, tinju besar memotong udara dan menabrak Warg itu, membuatnya menjadi tumpukan daging dan tulang yang bengkok.
"Ap—?!"
"........!"
Sisa-sisa tak berbentuk Warg mengisi celah antara tinju Troll dan tanah. Pemandangan dari daging mentah yang hancur dan tulang yang beterbangan membuat anak laki-laki bertubuh tinggi itu meringis. Oliver, berlari di sampingnya, mengingat sedikit hal sepele yang telah dia pelajari sejak lama.
Magical Beast apa yang paling banyak membunuh manusia? Itu pertanyaan terkenal. Naluri naif seorang penyihir mungkin membuat mereka mengatakan naga atau raksasa, namun kenyataannya sangat berbeda. Magical Beast tingkat tinggi seperti itu tidak menghuni ruang hidup yang sama dengan manusia.
Lalu apa jawaban yang benar? Banyak yang mungkin kecewa mengetahui kalau hal itu sebenarnya adalah makhluk yang sangat familiar yaitu Kobold. Dengan kemampuan reproduksi yang luar biasa dan naluri hebat, mereka menempati posisi pertama.
Yang ketiga adalah Bogey, yang menggunakan otak jahat mereka untuk mengelabui manusia. Jika hanya sendirian, mereka tidak menimbulkan ancaman nyata, namun makhluk itu bertanggung jawab atas lebih dari sepuluh ribu kematian manusia tiap tahunnya. Korban mereka sebagian besar adalah manusia yang tidak bisa menggunakan sihir, namun tidak jarang kemalangan menimpa para penyihir juga.
Lalu ada tempat kedua...... Meskipun mereka tidak memiliki kecenderungan barbar dan kemampuan reproduksi dari makhluk yang disebutkan di atas, kekuatan fisik dan kegigihan mereka tidak tertandingi.
Mereka memiliki kecerdasan seorang anak manusia berusia tujuh tahun, namun orang tidak boleh lupa bahwa mereka datang dengan tubuh yang menjulang setinggi lebih dari sepuluh kaki. Makhluk dengan ukuran yang sama dapat diburu dengan jebakan, namun yang satu ini bahkan dapat membuat jebakan sendiri dari waktu ke waktu.
"ROOOOOAAAAARRR!"
Makhluk itu, tentu saja, mengacu pada Troll, tetangga dari manusia yang pendiam. Tubuh mereka yang besar, berotot, dan otak yang lebih kecil menjadikan mereka kandidat yang sempurna untuk menjadi pelayan. Maka, manusia menginvasi wilayah mereka dalam upaya menjinakkan mereka. Seperti yang dikatakan gadis berambut keriting itu, Troll tidak menyerang manusia hanya untuk berolahraga. Namun, setiap tahunnya banyak manusia mati — yang sebagian besar menemui ajalnya saat mencoba menangkap Troll.
"Gyaoooow!"
Tangan besar Troll itu meraup Warg kedua dan menghancurkannya sebelum dia sempat berjuang. Lolongan kematiannya bergema di telinga anak laki-laki itu saat kenyataan berdarah menampar wajah mereka.
".....Ap-Apa...."
"Makhluk itu sudah mengila.....!"
Saat dia menerima apa yang terjadi, Oliver menarik Athame dari sarung di pinggangnya. Tidak seperti tongkat putih yang dia gunakan sebelumnya, itu adalah pedang pendek yang juga berperan sebagai tongkat sihir. Pedang itu terkait erat dengan penyihir modern.
Mengeluarkannya berarti pertarungan akan segera dimulai. Di depan dua anak laki-laki itu, gadis berambut keriting itu sepertinya masih tidak mengerti situasinya.
"A-A-Apa yang terjadi?! Apa yang sedang terjadi—? Bwah!"
Segera, kakinya yang tidak patuh menghentikan semua gerakan, dan dia jatuh ke depan dengan luar biasa karena momentumnya. Tidak dapat menahan diri, dia berguling dan berguling sampai akhirnya berhenti dengan kepala lebih dulu di rerumputan.
"Ugh.... Akhirnya aku bisa berhenti— Ow!"
Kelegaannya hanya berlangsung sesaat saat rasa sakit menjalari pergelangan kaki kanannya yang sekarang sudah bebas. Selama jatuh, dia memelintirnya dengan sangat buruk. Rasa sakitnya begitu kuat sehingga yang bisa dia lakukan hanyalah duduk di sana.
"Heeh....?"
Tepat di depan matanya ada dinding otot berwarna hijau, menjulang seperti gunung kecil. Sepasang mata merah penuh kebencian menatapnya, tubuh Troll itu naik-turun karena kebencian. Makhluk itu tidak seperti yang dia kenal di rumahnya.
".....Oh.... O-Oh...."
"Lari! Bangun dan larilah, sekarang!"
Teriak Oliver, ujung Athamenya mengarah ke Troll itu. Tapi gadis itu tidak bisa bergerak. Bukan cederanya, melainkan ketakutanlah yang melumpuhkannya; Dia sangat kaku, dia bahkan hampir tidak bisa bernapas.
Kaki demi-human terangkat, setebal kaki gajah, bersiap untuk menghancurkannya tanpa ampun.
"Sial, aku tidak akan sempat!" Oliver mengutuk dirinya sendiri. Dia terlalu jauh untuk membantu. Meski begitu, dia akan melepaskan serangan sihirnya yang putus asa ketika.....
"Haaaah!"
Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. Dengan gagah, seseorang melompat di antara Troll dan gadis berambut keriting itu.
"......?!"
Udara bergetar karena kekuatan teriakan itu. Saat berikutnya, Oliver merasa seolah-olah dunia telah terbalik. Di sana, yang berdiri di depan gadis berambut keriting itu, adalah gadis dari Azian sebelumnya. Troll itu berhenti sejenak, terkejut dengan kehadirannya yang mengesankan.
"......Ini pasti bercanda. Samurai itu baru saja menghentikan Troll di jalurnya dengan hanya berteriak."
Kata anak laki-laki bertubuh tinggi itu dengan kaku, Athame-nya juga telah di keluarkan.
Sama sekali tidak menyadari keterkejutan mereka dan masih dengan hati-hati menghadapi Troll itu, gadis Azian itu memanggil gadis di belakangnya.
"Nona, bisakah kamu berdiri dan lari?"
Bahasa Yelglish miliknya terdengar dengan nada yang aneh. Gadis berambut keriting itu tersadar dan dengan cepat mencoba untuk berdiri—sampai menyadari bahwa kakinya benar-benar menyerah untuk melakukannya.
"Aku—Aku tidak bisa. Kakiku, mati rasa...! Lupakan aku—pergi sendiri! Kalau tidak, kita berdua bisa terkena—"
"Hmm. Aku mengerti." Jawab gadis Azian itu, tampak tidak terlalu peduli dengan situasi mereka. Matanya masih terpaku pada Troll itu.
"Baiklah kalau begitu. Tetaplah di belakangku, nona."
Dengan gerakan selanjutnya, dia meletakkan tangan kanannya pada pedang di pinggul kirinya dan, dengan satu gerakan halus, menariknya dari sarungnya.
"Huff.... Huff.... D-Dia menarik katananya. Apa samurai itu berpikir untuk bertarung?"
Suara yang berbeda bertanya.
Dengan terkejut, Oliver melihat ke belakangnya dan melihat anak laki-laki berkacamata yang sebelumnya kehabisan napas karena mengejar mereka. Gadis berambut ikal sebelumnya juga merasakan ada sesuatu yang salah. Dia tidak membuang waktu melangkah di depan para anak laki-laki itu.
"Jangan bertindak bodoh! Kita harus melakukan sesuatu!" Teriaknya, sambil mengarahkan Athame-nya ke Troll itu.
"Aku akan menarik perhatiannya. Kalian berdua, gunakanlah waktu itu untuk melarikan diri! .....Tonitrus!"
Gadis itu mengucapkan sebuah kalimat, dan Athame di tangan kanannya bersinar, mengeluarkan cahaya menyilaukan dari ujungnya. Cahaya itu melesat di udara lebih cepat dari anak panah dan mengenai Troll itu langsung di dadanya, meledak menjadi percikan api.
"Grr. Grrr!"
Sayangnya, makhluk besar itu tampak tidak terpengaruh. Ekspresi gadis berambut ikal itu berubah menjadi tidak senang.
"Aku tidak percaya. Serangan langsung itu kena, dan dia bahkan tidak akan melirik ke arahku?!"
"Daya tembaknya tidak cukup! Ayo bantu dia! Flamma!"
"Fl.... Flamma!"
Anak laki-laki bertubuh tinggi dan anak laki-laki berkacamata itu mengikuti dengan bola api yang hampir bersamaan dari Athame mereka. Satu mengenai bahu Troll itu, sementara yang lain mengenai pipinya.
Masing-masing meninggalkan luka bakar kecil, dan masing-masing sama tidak efektifnya. Tatapan Troll itu tetap terkunci pada Gadis Azian di depannya.
"Tunggu, bahkan terkena di wajahnya pun tidak bereaksi sedikit pun?"
Kata bocah berkacamata itu dengan heran.
"Jangan hanya berdiri di sana. Lakukanlah sesuatu!"
Teriak anak laki-laki bertubuh tinggi itu pada Oliver. Tapi Oliver hanya menggelengkan kepalanya, Athame-nya dalam posisi yang siap.
"......Tidak ada yang bisa digunakan! Kita hanya tahu mantra dasar. Tidak peduli berapa banyak mantra yang kita lemparkan, semua itu hanya terasa seperti gigitan nyamuk bagi Troll itu!"
Setelah mengungkapkan kebenaran yang kejam ke dalam kata-katanya, Oliver memeras otaknya untuk mencari solusi. Apa yang harus mereka lakukan? Dengan sebuah keajaiban, gadis samurai itu menahan Troll itu, tapi selama gadis berambut keriting itu tidak bisa bergerak, mereka berdua pasti akan hancur.
Lebih buruk lagi, mereka tidak mungkin bisa merapal mantra yang cukup untuk menarik perhatian Troll itu. Satu langkah salah, dan siapa pun yang mendekat akan tersingkir juga. Mereka tidak berdaya. Apa yang bisa mereka lakukan?
"Hanya ada satu cara! Aku akan mendekat dan membidik matanya!"
Gadis berambut ikal itu menyatakan dan mulai maju, namun Oliver mencengkeram bahunya tepat saat dia mau melakukannya.
"Tunggu sebentar. Aku punya ide. Bisakah kalian menggunakan mantra angin?!"
Saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, kaki Oliver mulai bergetar karena beban tanggung jawab yang dia pikul.
Gadis berambut ikal itu mengangkat alisnya dengan ekspresi heran.
"Tentu saja, tapi apa gunanya mantra itu?"
"Jika sendiri, hal mantra itu tidak berarti apa-apa. Tapi jika kita semua bekerja sama, kita akan memiliki peluang yang lebih baik untuk mengalahkan makhluk itu." Jawab Oliver, berusaha menyembunyikan rasa kepengecutannya.
Jika mereka tidak memiliki sarana untuk secara langsung melukai Troll itu, maka mendekat tanpa rencana hanya akan membuat mereka semua menjadi korban. Pertanyaannya adalah, bagaimana mereka bisa menghindarinya dan tetap menyelesaikan situasinya? Mempertimbangkan semua mantra yang dia tahu, Oliver hanya bisa memikirkan satu jawaban.
"Gunakan mantra angin terkuat yang kalian bisa, dan ketika aku memberi sinyal, lepaskan di tempat tertentu. Aku akan mengarahkan mereka semua langsung ke Troll itu."
"Maksudmu.... Kamu berencana menggunakan mantra pemfokusan? Aku tahu kamu terampil, tapi apa yang akan dicapai oleh mantra tersebut?"
"Jika aku meluangkan waktu untuk menjelaskan, gadis-gadis itu akan mati. Tolong ikuti saja petunjukku untuk hal ini!" Oliver bersikeras, sambil menunjuk ke atas.
Gadis berambut ikal itu mengamatinya selama beberapa detik dan kemudian, dengan tekad kuat, berdiri di sampingnya.
"......Aku bisa melihat kalau kamu serius. Baiklah, aku akan ikuti perintahmu!"
"Yang benar saja....?"
"Astaga...!"
Anak laki-laki bertubuh tinggi dan anak laki-laki berkacamata itu mengambil tempat mereka di kedua sisi Oliver, Athame mereka telah siap. Begitu mereka siap, Oliver melambaikan tongkatnya untuk memberi isyarat kepada mereka.
"Impetus!"
Mereka bertiga berteriak serempak. Angin mulai berputar di sekitar suatu titik di udara. Begitu dia mengidentifikasi lokasinya, Oliver berteriak :
"Oke! Apapun yang terjadi, jangan berhenti melakukannya! ....Tibia!"
Dengan mantranya, Oliver mengemas angin yang berputar-putar itu menjadi bentuk instrumen raksasa yang tak terlihat. Instrumen itu mulai mengeluarkan suara melengking, jadi dia melambaikan tongkatnya dan mulai mengendalikannya. Saat ini, instrumen itu tersebut bisa menjadi gangguan. Tapi jika dia bisa mengubah aliran anginnya, dia bisa mengubah suara tersebut dengan berbagai cara.
"Apa....?"
".......?!"
Saat ketiga lainnya mendengarkan, suara yang bergema dari dalam instrumen akhirnya mulai berubah. Ratapan melengking dan menusuk telinga itu sekarang menjadi gemuruh yang menggetarkan tubuh mereka. Ketakutan misterius menguasai diri mereka, dan mereka mulai berguncang. Gadis berambut ikal itu mengenali suara tersebut.
"Apakah suara ini..... raungan naga?!" Serunya.
"Aku hanya menggunakan mantra tanduk peringatan untuk meniru suaranya! Tapi raungan naga adalah raungan naga, meski suara itu palsu! Tidak peduli seberapa palsunya suara itu; Tidak ada bisa mengabaikan sesuatu yang membuat suara ini dari makhluk yang berada di puncak rantai makanan!"
Kata Oliver, pikirannya terlalu terfokus untuk mengendalikan suara itu. Di hadapan ketangguhan Troll yang luar biasa, jawaban yang dia temukan bukanlah daya hancur dari sebuah mantra, namun dampaknya.
Pendekatannya adalah upaya untuk menyalakan naluri yang terukir di otak setiap demi-human: Lari dari naga! Troll itu, yang dibodohi dengan berpikir bahwa ada naga asli sudah yang mendekat, melompat dan menoleh ke arah mereka.
"Aku mendapat perhatiannya!" Oliver cepat-cepat berteriak, melihat rencananya telah berhasil.
"Kalian semua, lari! Aku akan menangani sisanya!"
Dia siap untuk memainkan permainan kejar-kejaran dengan Troll itu. Tapi dia belum siap sama sekali untuk apa yang terjadi selanjutnya: Gadis Azian itu langsung bergerak.
"Hup!"
Gadis Azian itu melompat dari tanah, tubuhnya berputar tinggi di udara..... dan mendarat di lutut Troll, yang terus-menerus ditekuk untuk menopang tubuhnya yang besar. Dia menggunakannya sebagai batu loncatan, melompat lagi dan lagi sampai akhirnya dia menendang bahunya dan tinggi di langit.
"Unngh?!"
Menyadari ada sesuatu yang salah, Troll itu mengayunkan lengan kanannya yang seperti batang pohon. Tapi lengannya hanya menangkap sedikit ujung bajunya. Terganggu oleh mantra gabungan, tubuh raksasanya hanya rentan sesaat—dan jauh di atas kepalanya, gadis Azian itu mengacungkan pedangnya.
"Yaaaaaah!"
Menempatkan seluruh momentum, berat, dan sihirnya ke dalam satu serangan, gadis Azian itu memukul puncak kepala demi-human itu.
"Gaaah!"
Suara keras bergema, seperti gong dipukul oleh batang kayu. Kejang menyebar ke tubuh Troll saat matanya berputar ke belakang. Kekuatan di kakinya hilang, perlahan-lahan jatuh berlutut sebelum jatuh tak terkendali. Beberapa detik berlalu. Oliver dan yang lainnya menonton, terlalu terkejut untuk berbicara.
"Ap....?"
Kata-kata Oliver tersandung di mulutnya dan menghilang sebelum bisa menjadi sesuatu yang koheren. Para siswa lainnya berdiri dengan ekspresi tercengang saat gadis Azian itu mendarat setelah memberikan pukulan terakhir.
"Hooo......" Gadis itu menghela napasnya.
Napas Oliver tertahan di tenggorokannya. Rambut gadis Azian itu berwarna putih. Di waktu sebelumnya berwarna hitam kebiruan, sekarang berubah menjadi putih murni yang berseberangan dan bermandikan cahaya pucat.